Teologi Karl Barth dan Rudolf Bultman



Teologi Karl Barth dan Rudolf Bultman










I. Pendahuluan

Kekristenan, teologi selalu mengalami pergerakan atau dinamika yang menarik dari masa ke masa, hal ini pun selalu memiliki ciri khas yang ada pada di setiap abadnya. Pada kali ini para teolog memandang ilmu teologi dan biblika juga diperlukan sebuah logika atau cara berpikir yang benar, sebuah kritik, dan hal-hal etis yang harus ada di dalamnya agar tidak membuat umat salah dalam bertindak dan berpikir hanya karena suatu dogma maupun doktrin Kekristenan. Tidak sedikit tantangan yang harus dihadapi pada era modern ini. Di sini kita akan membahas teologi Karl Barth dan Rudolf Bultman. Semoga materi ini dapat dipahami dan menambah wawasan pengetahuan bagi para pembaca. Tuhan Yesus Memberkati.



II. Pembahasan

II.1. Karl Barth

II.1.1. Riwayat Hidup Karl Barth

Karl Barth lahir tanggal 10 Mei 1886 di kota Basel, Swis dan di sanalah dia menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya. Minatnya dibidang teologi berakar dalam keluarganya. Kedua kakeknya melayani sebagai pendeta di Basel. Barth anak sulung dari orang tuanya, Johann Friedrich Barth dan Anna-Katharina Barth-Sartorius, juga berasal dari Basel. Karl barth termasuk anak yang cukup pandai. Pada tahun 1904, ia mampu menyelesaikan pendidikan sekolah menengah dengan predikat baik. Pelajaran yang paling tinggi nilainya adalah bahasa Jerman,Yunanu, dan Latin. Ia juga memperoleh nilai yang tinggi dalam pelajaran sejarah. Karl Barth belajar di Universitas Bern, Berlin, Tubingen, dan Marburg ia menjadi pendeta di Swis.

Ketika beliau berkhidmat kepada agama dan masyarakat, Barth mendapat banyak waktu untuk berfikir dan studi, akhirnya beliau berhasil menulis sebuah buku yang menghebohkan, yatu sebuah tafsir tentang Surat Paulus Kepada Jama’ah Kristen di Kota Roma. Tafsir yang ditulisnya merupakan protes terhadap theology libral dan rasionalis serta menunjukan jalan kembali kepada ajaran asli (Neo Ortodok). Dalam hal ini yang paling penting, adalah keasadaran bahwa agama dan theologi pada umumnya, tidak berangkat dari emosi, pengalaman dan akal manusiawi, tetapi berdasarkan wahyu dan Tuhan. Theologi bukan merupakan monolog, (artinya percakapan yang disampaikan oleh seorang saja, dialog seorang diri). Manusia dengan dirinya sendiri, tetapi merupakan dialog diantara dua pola yang sangat berbeda, yaitu manusia dengan Tuhannya, karenanya theology Karl Barth dan para pengikutnya di sebut theologia dialektis.

Pada tahun 1909 mendapat kesempatan untuk melayani jemaat berbahasa Jerman di Genewa karena pada waktu itu pendeta resmi yang bertugas di sana tidak ada. Di sana, ia terus memperdalam ilmu pengetahuannya. Sambil memberikan pelayanan, ia mempelajari karya-karya Scheiermacher dan teologi Calvin. Pada tahun 1911, ia pindah tugas sebagai pendeta ke Safenwil. Di sinilah, Karl Barth menampilkan awal teologinya dan menulis komentarnya atas Surat Paulus kepada Jemaat di Roma yang sangat berpengaruh pada dunia pemikiran teologi. Pemikirannya di tempat ini pula telah mengundang pihak-pihak pendukung dan yang melawan pemikirannya.

Pada tahun 1921, Karl Barth diangkat menjadi guru besar di Gottingen dan pada minggu kedua bulan November tahun itu ia menyampaikan kuliah perdananya. Karl Barth bekerja di tempat itu selama empat tahun (tahun 1925-1929). Pada tahun 1930, di usianya yang ke-45 tahun, ia diangkat menjadi guru besar di Bonn bidang teologi sistematis. Dan pada tahun 1931 mempublikasikan ajaran St. Anselmus, Fides quarens intellectum. Karl Barth mudah jatuh cinta pada iman. Saat itu menjadi langkah pertama yang menghantarnya menjadi teolog iman yang besar. Barth mengajar di Bonn dari 1930 sampai 1935, tetapi ia menolak sumpah kesetiaan yang tanpa syarat kepada Hitler yang mengakibatkan dia kehilangan jabatannya di Bonn tahun 1935. Penolakan barth untuk menuruti perintah dari rektor Unuversitas Bonn untuk mengakhiri setiap kuliah dengan memberikan penghormatan kepada Jerman untuk sementara waktu mengakhiri karir Barth di Jerman. Dia kembali ke daerah asalnya, Basel, di mana ia tinggal di sana sampai maut menjemputnya, 10 Desember 1968, di usia 82 tahun.



II.1.2. Pemikirannya

Pemikiran Karl Barth ini merupakan salah satu buah perjalanan panjangnya dalam menggeluti teologi Kristen. Pemikiran bahwa manusia memperoleh keselamatan dan dinyatakan benar oleh Allah merupakan konsekuensi dari inti teologinya bahwa Sabda Allah adalah sumber segala teologi, bukan filsafat manusia. Seorang teolog harus menghormati firman Allah, bukan menghormati sejarah. Sebab teologi merupakan penyataan atau wahyu Allah. Jadi, teologi tidak boleh berpangkal pada gagasan manusia tentang Allah. Teologi harus berpangkal pada gagasan Allah tentang manusia, bagaimana Allah berbicara dan berpikir tentang manusia. Seorang teolog tidak boleh menurunkan kebenaran Allah dari sejarah, dengan memakai hukum-hukum ilmu sejarah sebagai sarananya atau menurunkan kebenaran Allah dari kesadaran beragama manusia dengan hukum-hukum psikologi sebagai sarananya, atau dengan secara filsafat merenungkan tentang “Yang Mutlak”. Seorang teolog hanya diperkenankan untuk melakukan satu hal, yaitu: mendengarkan firman Allah dan menerangkannya. Seorang teolog harus berdiri berdasarkan Alkitab (Neo Ortodoks).

Pengertian Neo Ortodoks, merupakan cara baru yang sesuai dengan arus modern dan kembali kepada konsep theologi yang menggunakan cara baru di dalam dunia modern yang mengikuti konsep awal suatu ajaran dengan tetap berpegang pada sumber rujukan yang asli, yaitu Kitab suci suatu agama. Sakalipun Karl Barth seorang pengagum Luther dalam teologinya dan pemikirannya di dalam pembaharuan agama Kristen, akan tetapi kelihatannya sangat kontradiksi dalam masalah politik. Karl Barth dengan kersa menolak terhadap ide-ide Lutrher dalam permasalahan politik, yang berpendapat bahwa agama dan politik merupakan dua wilayah yang berbeda secara total, akibatnya pimpinan agama tidak boleh ikut campur dalam politik. Karl Barth berkomentar bahwa tokoh agama dan politik memang seharusnya terpisah tetapi tidak secara total, pimpinan agama masih dapat memberikan saran dan masukan serta nasihat dalam dunia perpolitikan seperti yang dipraktekkan oleh Kral Barth sendiri, yaitu menegur dunia tentang kezaliman rejim hetler dan mengharapkan dunia berani melawannya.

Berteologi yang baru ini oleh Karl Barth diungkapkan di dalam bukunya yang berjudul Romerbrief (“Surat Kepada Jemaat Roma), yang ditulis pada tahun 1918.



II.1.3. Teologi Karl Barth

Dalam khotbah-khotbahya dan khususnya dalam sebuah buku yang ditulisnya di biara kongregasinya, Barth beralih pandangan-bagi dirinya sendiri dan, seperti yang terjadi, bagi Protestantisme di Eropa dan Amerika Serikat. Commentary on Romans (Tafsiran Surat Roma) merupakan buku yang klasik revolusioner. Dalam tafsiran ini, dan juga di dalam dua belas volume Church Dogmatics (Dogmatika Gereja), barth berpendapat bahwa berdasarkan kitab-kitab Injil dan surat-surat Santo Paulus: manusia tidak sanggup bertindak sendiri, namun bersama Allah, mereka bisa. Agar hal ini dimungkinkan, manusia harus membiarkan Allah menjadi Allah.

Bagi Barth, berita ini tidak lain adalah Berita Baik yang terkandung dalam Perjanjian Baru, khususnya yang diberitakan oleh Santo Paulus dan para Reformator. Berita ini dapat dijelaskan dalam empat “hanya” yang menjadi dasar dan inspirasi dari Protestantisme:

1. Kita diselamatkan hanya oleh rahmat: yang oleh Barth, bukan sekedar apa yang dibacanya dalam Perjanjian Baru. Berita ini juga tertulis secara jelas dan terang di dalam kehidupan pribadinya dan kehidupan dunia sekitarnya yang penuh dengan kekerasan dan penderitaan: manusia berada dalam kekacauan dan mereka sendiri tidak sanggup keluar dari kekacauan ini. Mereka terperangkap. Istilah Alkitab atau teologi yang dipakai menjelaskan keadaan ini adalah “dosa asal” atau “kejatuhan manusia”. Kalau manusia ingin keluar dari lubang yang digalinya sendiri, mereka harus mengakui adanya satu “Kekuasaan yang Lebih Tinggi”, yang menurut Barth, bersama Rasul Paulus, disebut rahmat.

2. Kita diselamatkan hanya oleh iman: kebalikannya adalah “bukan oleh perbuatan”. Agar bisa menerima rahmat, kita harus mundur, keluar dari jalan yang salah, mengakui ketidakmampuan kita menuntun kehidupan kita sendiri. Namun, hal ini bisa dilakukan hanya kalau kita percaya. Inilah arti dari “hanya oleh iman”: seperti kata-kata bijak terkenal, kita membiarkan semua pergi agar membiarkanAllah datang. Seperti anak kecil yang jatuh ke dalam pelukan orang tuanya, kita melompat dari tebing curam ke dalam tangan Allah yang penuh kasih dan rahmat. Ini bagian dari satu proses yang tersulit di mana manusia biasanya berdalih karena mungkin mereka takut atau tidak bersedia. Percaya, yang adalah tidak melakukan apa pun selain berpaling ke Seseorang lain, memang sangat menakutkan sehingga rasanya tidak mungkin dilakukan – Barth mengatakan memang tidak mungkin. Karena itu diperlukan “hanya” ketiga.

3. Kita diselamatkan hanya oleh Kristus: hanya di dalam Kristus, dan hanya di dalam dia, Allah bekerja dan mengungkapkan hakikat segala sesuatu – bahwa Allah bersedia mengasihi, mengesahkan kita sebagai miliknya, dan menyelamatkan kita karena kasih ilahi-Nya, bukan karena kita layak menerimanya atau bekerja keras untuk itu. Yang jelas,”usaha” kita untuk membuat rahmat itu layak bagi kita akan menghalangi Allah untuk menganugerahkan kasih-Nya. Usaha kita malah “melaknatkan” rahmat. Ini yang dinyatakan di dalam dan diberi tahu melalui Yesus Kristus. Ini berita yang luar biasa, sesuatu yang tidak dapat kita bayangkan. Kita bisa tahu dan percaya akan berita ini kalau kita bersedia mendengarkannya. Karena itu, akhurnya. Ada “hanya” keempat.

4. Kita diselamatkan hanya oleh Firman Tuhan: yang ada di dalam Alkitab dan khotbah yang didasarkan pada Alkitab, bahwa berita dan realitas tentang Yesus telah disampaikan kepada kita. Inilah Wahyu dalam arti yang sebenarnya – memberitahukan sesuatu yang tidak kita bayangkan, atau yakni, atau percaya. Menurut Barth,”Dalam wahyu, Allah memberi tahu manusia bahwa ia adalah Allah… Dalam pemberitahuan ini, wahyu merupakan sesuatu yang benar-benar baru bagi manusia, sesuatu yang di luar wahyu manusia tidak akan memahami dan mengenal siapa dirinya dan orang lain.”



II.2. Rudolf Bultman

II.2.1. Riwayat Hidup Rudolf Bultman

Bultmann adalah seorang ahli Perjanjan Baru, ahli bahasa, seorang filsuf yang bersama-sama dengan Karl Barth dan Paul Tillich merupakan teolog besar dalam abad ke-20 ini. Rudolf Bultman lahir padatahun1884 di Wiefelstede dekat Oldenburg, di Jerman. Ia belajar teologi di Universitas Tubingen, Berlin dan Marburg. Setelah ia menyelesaikan pendidikan teologinya, Bultmann menjadi mahaguru di Breslau (1912), di Glessen (1916), dan di Marburg sejak tahun 1921 sampai dengan pensiunnya pada tahun 1951.

Di Universitas Marburg dia belajar di bawah bimbingan Wilhelm Herman yang teologinya menjadi dasar dari seluruh pemikiran teologi Bultmann. Ia memilih bidang Perjanjian Baru karena terpengaruh oleh Johannes Weiss yang juga berasal dari Universitas Marburg. Pada tahun 1908 Rudolf Bultmann menjadi guru besar di Marburg, dimana dia berkenalan dengan Wilhelm Heit muller yang mendorongnya untuk melakukan spesialisasi di bidang History of Religions School. Secara khusus, ia kemudian mempelajari tiulisan-tulisan dari Perjanjian Baru kemudian diperbandingkan dengan catatan-catatan tentang agama-agama yang ada pada zaman gereja mula-mula, antara lain dengan Hellenistic Gnosticism, Jewish Apokalyptic, dan agama-agama rahasia atau mystery religions.

Beberapa tulisannya yang terkenal mulai ditulis pada tahun dua-puluhan, antara lain The History of the Synoptic Tradition (1921). Di dalam buku ini ia membuat analisis yang baru yang disebut dengan istilah Form History atau Form Criticism. Di dalam analisis ini ia membedakan antara ketiga lapisan tradisi oral atau lisan yang ada di belakang injil-injil sinoptis. Ia menyimpulkan bahwa cerita tentang kehidupan Yesus (yang mula-mula ada di Markus) sebenarnya karangan dari jemaat Hellenistic (dengan latar belakang Greek Speaking Church). Kumpulan mitos ini berbeda sekali baik dalam waktu, bahasa, maupun kebudayaan dengan Palestinian Origin dimana Yesus hidup. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui injil-injil Sinoptis saja, orang Kristen tidak dapat mengenal tentang historical Jesus atau kehidupan Yesus dari Nazareth yang sesungguhnya. Dengan dasar historical Studies ini pulalah ia menyimpulkan bahwa “iman Kristen” yang disaksikan dalam Alkitab, baru mulai dikenal setelah munculnya Gereja-gereja yang berbahasa dan berkebudayaan Yunani. Sedangkan orang-orang yang benar-benar mengenal historical Jesus adalah angota-anggota dari jemaah-jemaah Palestinian justru termasuk dalam sekte-sekte agama Yahudi, dan mereka tidak dikenal sebagai gereja-gereja atau jemaat Kristen pada jaman itu. Segala sesuatu yang dikenal sebagai agama Kristen sebenarnya mulai dari gereja-gereja Yunani yang mula-mula atau Primitive Hellenistic Christianity.

Pada tahun 1924-1925, di Marburg, ia bertemu dengan Paul Tillich dan Martin Heidegger yang sedang menulis bukunya Sein und Zeit. Ia sangat tertarik pada filsafat Heidegger. Filsafat ini kemudian mempunyai arti yang menentukan. Bundel pertama dari bukunya Glauben und Verstehen ia persembahkan kepada Heidegger sebagai peringatan waktu, di mana mereka bersama-sama di Marburg. Persahabatannya dengan Heidegger diputuskannya ketika Heidegger pada tahun 1933 menjadi penganut sosialisme nasionalis Jerman dan diangkat sebagai rektor Universitas di Freiburg. Pada saat itu Bultmann dekat sekali dengan Karl Barth dalam kalangan ahli-ahli teologi dalam majalah “Zwischen den Zeiten.” Di dalam majalah tersebut ada beberapa karangan dari Bultmann. Kemudian hubungan antara Barth dengan Bultmann semakin lama semakin renggang. Sebab Barth melihat “Entmythologisierung” dari Bultmann sebagai lanjutan dari teologi liberal abad ke-19. Sesudah perpisahan tersebut hidup Bultmann seperti biasa, tanpa kejadian-kejadian yang mengejutkan.

Sungguhpun ia menentang “Kerajaan Ketiga” dari Hitler, ia dapat melanjutkan pekerjaannya di Marburg sampai pensiun (1954). Ia merupakan salah satu wakil yang paling penting dari penelitian-historis yang ilmiah dan radikal tentang Alkitab di Jerman.



II.2.2. Pemikirannya

Pemikiran Bultman tertuang dalam bukunya yang berjudul Kerygma and Myte,. Pokok pikirannya dalam buku tersebut yakni ia mengungkapkan bahwa guna memahami mite(logi) di dalam tradisi Yahudi, pertama-tama perlu diketahui kosmologi Perjanjian Baru yang terdiri atas tiga lapisan: atas, tengah dan bawah. Dengan demikian, mukjizat bukanlah sesuatu yang aneh. Setiap orang yang hidup dalam dunia itu dengan segera “memahami” adanya mukjizat, yang dilihat sebagai kegiatan-kegiatan supernatural, sehingga kalimat-kalimat seperti “di dalam kepenuhan waktu...” (Gal. 4:4; Fil. 2:6) dapat dipahami dalam konteks ini.

Menurut Bultmann, semua bahasa mitis bisa ditelusuri asal-usulnya pada apokalupsis Yahudi dan mite-mite penebusan yang berasal dari gnostisisme. Mite-mite itulah yang mengaburkan makna kerygma. Bagi Bultmann, kerygma harus diselamatkan. Kerygma adalah inti Kabar Baik yang disampaikan kepada manusia. Tentang mitelogi, Bultmann mengatakan bahwa mite(logi) bukanlah untuk menampilkan suatu gambaran objektif mengenai dunia ini sebagaimana adanya, melainkan guna mengekspresikan pemahaman manusia mengenai dirinya dan dunia yang di dalamnya ia hidup. Alhasil, mite(logi) tidak boleh ditafsirkan secara kosmologis, melainkan antropologis, atau lebih baik lagi, eksistensial.

Sasaran dari demitologisasi adalah peristiwa Kristus. Penebusan adalah fokus dalam peristiwa Kristus. Ini mempunyai sangkut paut dengan pemahaman tentang dosa. Dalam bahasa Perjanjian Baru, demikian Bultmann, manusia adalah pendosa, yang merupakan ekspresi dari kejatuhan total. Karena itu implus dan gerak hati dari manusia yang jatuh itu tidak dapat tidak mencerminkan kejatuhan tersebut. Lalu manusia akan mencari pembenaran terhadap dirinya sendiri, namun ujungnya ini akan menghantarkan manusia kepada pemegahan diri, yaitu upaya untuk mengontrol nasib manusia di dalam tangannya sendiri. Tetapi bagi Bultmann, Perjanjian Baru telah menggambarkan bahwa manusia itu adalah pemberontak/pendosa yang tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri, sehingga perlu anugerah Allah untuk pembebasan dari dosa. Pembebasan dosa itu menurut Bultmann adalah dengan salib dan kebangkitan Kristus. Dan bagi Bultmann, Salib dan Kebangkitan Kristus itu bukanlah mite(logi) tetapi peristiwa historis. Jadi menurut Bultmann, pada akhirnya bahasa mitologis hanyalah medium untuk menyampaikan makna dari peristiwa historis. Peristiwa historis dari salib telah menciptakan suatu situasi historis yang baru. Alhasil, pemberitaan tentang salib sebagai peristiwa penebusan menantang semua yang mendengarkannya bagi diri mereka sendiri, menantang mereka untuk disalibkan bersama Kristus.

Bultmann mau menegaskan bahwa kebangkitan bukanlah suatu peristiwa mitologis yang ditampilkan guna membuktikan keefektifan kuasanya, yaitu kuasa keselamatan. Tetapi kebangkitan Kristus adalah sebuah pasal iman. Sama seperti salib adalah pasal iman. Menurut Bultmann, pemberitaan tentang salib tersebut mestilah selalu dibarengi dengan pemberitaan mengenai kebangkitan. Kristus bersua dengan kita di dalam khotbah-khotbah dan pemberitaan sebagai Yang Tersalib dan Yang Bangkit. Ia bertemu dengan kita di dalam Firman yang diberitakan. Firman yang diberitakan itu menghadapmukakan kita sebagai firman Allah. Alhasil, iman Paskah sejati adalah percaya kepada Firman yang diberitakan, yang sekaligus membawa penerangan.



II.2.3. Teologi Bultmann

Untuk menegaskan kembali pemikiran Bultman diatas, sejalan dengan itulah juga teologi yang mau dibangun oleh Bultman. Adapun Teologi Bultmann adalah tentang demitologisasi (Demytologizing atau Entmythologisierung) berikut ini:

a. Pusat dari konsep demitologisasi adalah pendirian Bultmann yang menemukan dua hal di dalam Perjanjian Baru, yaitu: 1) Injil Kristen, dan 2) pandangan orang pada abad pertama yang bercirikan mitos. Hakekat Injil, oleh Bultmann disebut dengan kerugma (Yunani = isi yang dikhotbahkan), merupakan inti yang tidak dapat dipersempit lagi. Orang zaman modern ini harus dihadapkan dengan inti tersebut dan harus mempercayainya. Namun orang modern tidak dapat menerima kerangka yang bersifat mitos yang membungkus hakekat Injil. Oleh karena itu teologia harus berusaha untuk melepaskan berita kerugma dari kerangka yang bersifat mitos. Menurutnya kerangka yang bersifat mitos tidak selalu berkaitan dengan Kekristenan.

b. Menurut Bultmann, mitos merupakan cerita yang tidak membedakan fakta dari yang bukan fakta dalam isinya, dan yang berasal dari suatu jaman pra-ilmiah. Tujuan mitos adalah untuk menyatakan pengertian manusia tentang dirinya sendiri, bukan untuk menyajikan gambaran obyektif tentang dunia. Mitos menggunakan perumpamaan dan istilah-istilah yang diambil dari dunia ini untuk menyatakan keyakinan-keyakinan tentang pengertian manusia akan dirinya sendiri. Pada abad pertama, orang Yahudi memahami dunia ini sebagai suatu sistem terbuka kepada Allah dan kuasa-kuasa supranatural. Alam semesta pada abad pertama dinyatakan dalam tiga tingkat, yaitu surga di atas, bumi, dan neraka di bawah bumi. Bultmann berpendapat bahwa gambaran dunia seperti ini merupakan pandangan semesta yang terdapat di dalam Alkitab. Dalam hal ini sistem hukum alam seringkali diganggu oleh intervensi supranatural.

c. Menurut Bultmann perubahan dunia yang bersifat mitos tersebut juga telah digunakan untuk merubah Yesus. Pribadi Yesus yang ada di dalam sejarah diubah menjadi suatu mitos dalam kekristenan yang mula-mula. Oleh karena itu Bultman menyatakan bahwa pengenalan historis tentang manusia Yesus tidak relevan lagi untuk iman Kristen. Mitos inilah yang dihadapkan pada orang Kristen dalam gambaran Perjanjian Baru tentang Yesus. Fakta-fakta sejarah tentang Yesus telah diubah menjadi cerita mitos tentang suatu oknum ilahi yang berpraeksistensi yang berinkarnasi dan dengan darah-Nya menebus dosa-dosa manusia, bangkit dari kematian, naik ke surga, dan menurut kepercayaan mereka ia akan segera kembali untuk menghakimi dunia dan memulai jaman baru. Cerita utama ini juga telah dibumbui dengan cerita-cerita mukjizat, cerita-cerita tentang suara dari surga, kemenangan-kemenangan atas setan dan lain-lainnya. Menurut Bultmann semua penyajian tentang Yesus dalam Perjanjian Baru bukanlah sejarah melainkan hanya mitos, yaitu pemikiran dari orang-orang yang menciptakan mitos-mitos tersebut untuk mengerti diri sendiri dengan lebih baik. Itu semua merupakan mitos-mitos yang tidak cocok lagi bagi manusia abad ke-20, yang percaya kepada rumah sakit dan bukan mukjizat, pinisilin dan bukan doa. Untuk mengkomunikasikan Injil secara efektif kepada manusia modern, kita harus mengupas mitos dari Perjanjian Baru dan mencoba untuk menyingkap tujuan mula-mula di balik mitos tersebut. Proses penyingkapan ini disebut demitologisasi.

d. Proses ini, menurut Bultman, bukan berarti menyangkal mitologinya. Demitologisasi ini berarti penafsiran secara eksistensial, yaitu menurut pengertian manusia terhadap keberadaannya sendiri, dan dengan istilah-istilah yang dapat dipahami oleh orang modern sendiri. Bultman melakukan proses ini dengan menggunakan konsep-konsep eksistensialis Jerman, Martin Heidegger. Contohnya, yang disebut mitos mengenai kelahiran Kristus dari anak dara dikatakan sebagai suatu usaha untuk menjelaskan arti Yesus bagi orang beriman. Mereka mengatakan bahwa Kristus datang kepada manusia sebagai tindakan Allah. Salib Kristus tidak mempunyai arti yang menunjukkan Yesus menanggung dosa bagi orang lain. Hal itu hanya mempunyai pengertian sebagai suatu symbol dari manusia yang mengambil suatu hidup yang baru, yaitu menyerahkan semua rasa aman duniawi untuk mendapatkan suatu hidup baru yang bergantung pada yang transenden.

e. Bultman pada dasarnya menyatakan bahwa gambaran dasar dari mitologi Perjanjian Baru berpusat pada dua macam pengertian diri. Pertama, hidup di luar iman, dan yang lain hidup di dalam iman. Istilah-istilah dosa, daging, ketakutan dan kematia merupakan penjelasan-penjelasa mitologis tentang hidup di luar iman. Dalam istilah-istilah eksistensial hal itu berarti hidup di dalam keterikatan pada realitas yang nyata, yang nampak dan akan binasa. Sebaliknya, hidup di dalam iman berarti meninggalkan ketergantungan pada realitas yang dapat dilihat dan nyata. Ini berarti melepaskan diri dari masa lalu dan membuka diri pada masa depan Allah. Menurut Bultmann, ini merupakan satu-satunya arti eskatologi yang sebenarnya. Kehidupan eskatologis yang benar dikatakannya sebagai hidup dalam pembaharuan yang terus menerus melalui keputusan dan ketaatan Dalam konsep demitologisasi ini Bultmann membantu mengingatkan kaum Kristen tentang pentingnya memahami orang modern, pendengar khotbahnya. Ia juga mengingatkan bahwa kepentingan orang Kristen tidak hanya memberitakan Injil tetapi juga menerapkannya dengan tepat dan teliti pada pendengar.



II.2.4. Karya Tulisan Bultmann

Bultmann menulis beberapa karya teologi yang terkenal, seperti “Theology of the New Testament” (1951), yang berisi tentang pernyataan lengkap tafsiran alkitabiah Bultmann. Di tulisan selanjutnya, Bultmann meneruskan kritik analisanya tentang sumber-sumber Perjanjian Baru. “The History of the Synoptic Tradition” (1968) merupakan ujian yang berpengaruh terhadap susunan Injil Matius, Markus, dan Lukas. “The Gospel of John: A Commentary” (1971) dianggap sebagai tafsiran baru yang penting atas kesulitan keempat Injil. Salah satu karya terakhir Bultmann, “Jesus and The Word” (1975), adalah sebuah penyelidikan akan pengajaran Yesus yang memberikan kepada pembaca sekilas teori teologi tentang sejarah dan penafsiran Alkitab.

Literatur tentang karya Bultmann juga berkembang pesat sejak akhir Perang Dunia II. Karya Charles Kegley, ed., “The Theology of Rudolf Bultmann” (1966), berisi uraian singkat riwayat hidup yang ditulis oleh Bultmann, esai penting tentang tafsiran, dan kritik tentang ide-ide besarnya, yang disertai dengan jawaban Bultmann. Karya ini juga berisi bibliografi lengkap tentang karyanya hingga tahun 1965. Karya André Malet, “The Thought of Rudolf Bultmann” (diterjemahkan tahun 1971), sangat komprehensif dan mudah dibaca.



III. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan beberapa teolog-teolog abad modern diatas. Dapat ditarik sebuah kesimpulan yaitu para teolog berusaha menjawab berbagai tantangan kehidupan khususnya Kekristenan. Jika dipelajari secara cermat, maka akan jelas terlihat bahwa para teolog abad ke-19 dan ke-20 berusaha untuk memberikan pendapat sekaligus kritik-korektif terhadap pola pemahaman teolog-teolog sebelumnya. Relasi dengan Allah dan konsep beragama yang semakin salah merupakan hal yang paling diperjuangkan oleh para teolog agar kembali pada jalur yang seharusnya tanpa mengabaikan kondisi etika sosial dan kehidupan pastoral masyarakat sekitar. Allah diperkenalkan sebagai Dia yang berbeda secara absolut dengan manusia. Allah adalah Dia yang tidak dijangkau oleh rasio manusia. Allah adalah Dia yang transenden, sementara manusia merupakan pribadi terbatas. Allah yang tak terbatas ini bersedia untuk dikenal.

IV. Daftar Pustaka

Barth, Karl, Teolog Kemerdekaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Bultmann, R., Kerygma and Myte, New York and Evanston, 1958.

Conn, Harvie M., Teologia Kontemporer, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1988.

F. D. Wellem, Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

J.L.Ch, Abineno, Rudolf Bultmann dan Theologinya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.

Lane, Tony, Runtut Pijar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.

Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Susabda, Yakub B., Teologi Modern I, Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1999.

Yewangoe, A.A., Hidup Dari Pengharapan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017.

Sumber Lain

https://biokristi.sabda.org/mengenal_karya_karya_rudolf_karl_bultmann, diakses pada tanggal 15-03-2020, pada pukul 21.57 PM.















Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca selengkapnya disini ya