Teologi Scholastik: Duns Scotus (c. 1265-1308) dan Thomas Aquinas (c. 1225-1274)
Teologi Scholastik: Duns Scotus (c. 1265-1308) dan Thomas Aquinas (c. 1225-1274)
I. Pendahuluan
Berdasarkan tradisi teologi abad Pertengahan, teologi dan filsafat Skolastik berkembang melalui seklah-sekolah atau universitas. Pemikiran Fransiskan yang terpenting ialah Yohanes Duns Scotus (1266-1308). Scotus termasuk generasi kedua mazhab Pertengahan, teman dan lawan diskusi Thomas Aquinas (1225-1274). Ia sangat cemerlang dalam pemikirannya, memunculkan gagasan yang teliti dan kaya, serta menanggapi lawan diskusi dengan argumentasi yang original. Ketelitian dan kekayaan pemikirannya menjadikan ia pantas digelari Doctor subtle. Kemahakuasaan Allah coba direfleksikan dari perspektif kasih. Cara pandang itulah yang menjadi kesaksian utama Fransiskus bagi gereja, dan khususnya bagi para pengikutnya. Dalam sajian ini kita akan membahas lebih mendalam tentang kedua tokoh yang terkenal di masa abad Pertengahan ini, puji syukur.
II. Pembahasan
2.1 Pengertian Teologi Scholastik
Abad 13 dapat dianggap sebagai jaman kejayaan dalam filsafat dan teologi Skolastik. Seperti hanya sepanjang seluruh Abad Pertengahan, dalam periode ini pun filsafat umumnya dipelajari karena hubungannya dengan teologi. Namun demikian, peranan filsafat dalam jaman ini tidak boleh diremehkan. Pada abad 13 dihasilkan beberapa sintesa filosofis yang betul-betul mencolok mata. Teologi skolastik adalah teologi Abad Pertengahan yang berusaha menyelaraskan ajaran gereja dengan filsafat Yunani dan diajarkan para guru-guru dan mahasiswa di universits-universitas dari seluruh Eropa.
Taraf ilmu teologi di Gereja Eropa sagat menurun, sehingga diperlukannya teologi baru, karena karangan-karangan filsafat Yunani, terutama Aristoteles, muncul dan mulai diperhatikan kembali di Eropa. Filsafat Aristoteles merupakan sistem pemikiran yang berlainan dengan ajaran gereja, bahkan dalam banyak hal melawan ajaran itu. Namun kaum cendikiawan memandangnya sebagai teladan, sehingga gereja harus menjawab semua tantangan yang diberikan oleh Aristoteles dan berusaha menyelaraskan filsafat Aristoteles dengan ajaran Alkitab menjadi satu pemikiran.
2.2 Tokoh-tokoh Teologi Scholastik
2.2.1 Duns Scotus
2.2.1.1 Riwayat Hidup Duns Scotus
Johannes Duns Scotus ia lahir di Skotlandia dan belajar di Cambridge, Oxford dan Paris. Ia menjadi anggota Ordo Fransiskan. Pada umur 42 tahun ia meninggal di Kӧln (Jerman). Dari karya-karyanya boleh disebut Opus oxoniense (karangan dari Oxford), suatu komentar atas “Sententiae” Petrus Lombardus yang merupakan hasil pengajarannya di Oxford, dan Opus parisiense (karangan dari Paris), suatu komentar atas “Sententiae” yang merupakan buah hasil kuliahnya waktu ia mengajar di Paris. Scotus mengenal dan menggunakan filsafat Aristoteles, tetapi dalam banyak hal ia mengikuti tradisi Ordo Fransiskan, khususnya Bonaventura.
Duns Scotus diabadikan dalam bahasa Inggris karena memberikan namanya untuk istilah ‘dunce’, Dunses adalah orang-orang sekolahan yang mengikuti Duns Scotus, menentang banyak ajaran klasik. Mereka bersikeras bahwa tidak ada yang dapat diketahui tanpa penerangan ilahi.
Dalam pemikirannya beberapa kali dengan jelas sekali ia menyimpang dari ajaran Thomas. Hal itu akan mengakibatkan banyak dikemudian hari antara Mazhab Scotistis dan Mazhab Thomistis. Misalnya, ia menolak bahwa segala hal yang diciptakan mempunyai struktur esensi-eksistensi. Menurut dia, suatu individu menjadi individu ini karena haecceitas, yaitu suatu bentuk khusus yang dimiliki oleh setiap makhluk. Ia mengakui kemampuan rsio insani untuk membuktikan adanya Allah. Bahkan ia mengarang De primo principio (tentang prinsip yang pertama). Sehingga dapat dikatakan bahwa Johannes Duns Scotus termasuk filsuf yang terbesar dari seluruh Abad Pertengahan.
2.2.1.2 Teologinya
Scotus memahami penciptaan dengan kaca mata keluhuran Kristus, kebebasan Allah, dan keterbatasan dunia. Pandangannya berakar pada intuisi Santo Fransiskus mengenai keluhuran ciptaan sebagai tanda kehadiran Allah. Bagi Scotus Tuhan memiliki kebebasan absolut, sedangkan ciptaan bersifat kontingen, artinya mungkin saja tidak ada, tetapi de facto ada (diadakan). Oleh karena itu, penciptaan bukan sebuah kewajiban Allah, melainkan semata-mata rahmat dan pemberian cuma-cuma dari-Nya. Tuhan menciptakan untuk menyingkapkan diri-Nya sebagai kepenuhan kasih.
2.2.1.3 Pemahamannya
a. Kebebasan Absolut
Scotus menempatkan ciptaan dalam relasi yang erat dengan Inkarnasi. Penciptaan dan inkarnasi dihubngkan oleh satu dasar, yaitu kasih Allah. Alasan utaa dari segala aktivitas Illahi ialah odrat Allah sebagai kasih. Bagi Scotus Allah adalah Allah Trinitas, tiga pribadi Ilahi dalam relasi kasih. Bapa sebagai penggerak kasih internal, Putra sebagai ungkapan totalitas kasih Bapa, dan Roh sebagai ungkapan share dari kasih itu. Kasih Ilahi bersifat bebas dan suci. Masing-masing ciptaan berada karen kebebasan dan kasih tak terbatas dari Allah. Scotus menempatkan penciptaan dalam kerangka penyempurnaan, bukan dalam rangka karena dosa manusia. Karena itu, Kristus baginya merupakan karya Agung Allah (summum opus Dei).
b. Kristus Sebagai Blueprint Ciptaan
Jikalau Thomas Aquinas menekankan adanay penyebab materil dan formal dalam penciptaan, Scotus menekankan bahwa penyebab akhir merupakan penentu karya seni pencitaan. Segala ciptaan berkaitan dengan Kristus sebagai tujuan akhir, yang sementara ini ditampakkan dalam ciptaan. Sebab segala sesuatu telah dijadikan dengan menyerupai Dia, sebab Kristus adalah sabda yang dengannya segenap ciptaan dijadikan (bnd. Yoh 1:1). Kristus merupakan blueprint dari segenap ciptaan. Sebagai motif dan model ciptaan sehingga menjadi sempurna relasi antar dimensi.
c. Hubungan Univokal
Relasi antar keduanya dipandangnya sebagai univokal. Ia menekankan relasi antara segenap wujud dalam kesatuan (unity) dan kebaikaan (good). Baginya Allah adalah sesuatu yang selalu lebih besar dari pada segala sesuatu yang dapat dipikirkan dan dipahami manusia. Tindakkan moral yang dilakukan Allah adalah juga untuk mempertahankan keindahan dan keharmonisan yang telah dijadikan Sang Seniman.
2.2.2 Thomas Aquinas
2.2.2.1 Riwayat Hidup
Thomas Aquinas atau Thomas dari Aquino (1225-1274) dilahirkan di Italia dan pada usia 18 atau 19 tahun ia masuk Ordo Dominikan dan ia termasuk murid Albertus di Paris dan di Kӧln. Thomas Aquinas adalah seorang filsuf dan ahli teologi ternama dari Italia. Lahir di Sisilia Utara, dia mula-mula belajar di University of Naples dan kemudian do Cologne, memberikan kuliah (menjadi dosen) di Paris dan Naples. Aquinas ditahbiskan pada tahun 1323 oleh Paus Yohanes XII. Aquinas merupakan teolog skolastik yang terbesar. Thomas Aquins adalah seorang santo, mistikus, dan teolog serta metafisikus. Pada tahun 1244, ia menjadi seorang Dominikan (Ordo yang baru saja dididirikan dari para pertapa). Aquinas meneruskan belajarnya di Paris dan Cologne di bawah bimbingan Albertus Agung. Ia adalah orang yang besar, lamban, dan mahasiswa yang lain menyebutnya “lembu bodoh”. Namun kecerdasannya tidak diragukan dan Albertus Agung menyatakan “lembu bodoh ini akan memenuhi dunia dengan lenguhannya”.
Bahasa Latin Aquinas padat tetapi jernih. Ia menunjukkan perhatian pada pernyataan yang jernih dan tepat. Perhatian seperti itu merupakan ciri Abad Pertengahan, dan memberi filsafat Aquinas suatu tingkat modern pada waktu perhatian mengenai filsafat dan bahasa, menjadi terkait secara erat sekali lagi.
2.2.2.2 Karya-karyanya
Karya-karyanya yang terkenal, antara lain:
a. De Ente et Essentia (berisi tentang “pengada” dan hakikat),
b. Summa Contra Gentiles berisi tentang ikthisar melawan orang-orang kafir), dan
c. Summa Theologia (berisi tentang ikthisr teologi).
Kedua karyanya Summa Contra Gentiles dan Summa Theologiae, merupakan dari sudut teologi Kristiani. Karya-karya dikumpulkan mencapai 34 judul, terutama karya-karya teologis dan filosofis.
2.2.2.3 Pemikirannya
Beberapa pokok filosofis yang boleh dianggap penting dalam pemikirannya:
a. Penciptaan
Pada Thomas terdapat suatu ajaran yang seimbang tentang penciptaan. Ajarannya berkisar pada konsep “Partisipasi” atau hal yang mengambil bagian, gagasan itu berasal dari Plato serta Augustinus dan memainkan peranan sentral dalam seluruh metafisika Thomas. Pendiriannya ialah bahwa segala sesuatu yang diciptakan mengambil bagian dalam adanya Allah. Itu berarti bahwa segala sesuatu yang diciptakan menurut adanya tergantung pada Allah. Ia mempertahankan pula bahwa Allah sama sekali bebas dalam menciptakan dunia. Dunia tidak mengalir dari Allah bagaikan air yang megalir dari sumbernya, seperti dipikirkan filsuf-filsuf neo-platonis dalam ajaran mereka tentang “emanasi’. Allah menjadi ciptaan-ciptaan dari ketiadaan (ex nihilo). Dengan itu Thomas bermaksud menekankan dua hal:
1. Dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar.
2. Penciptaan tidak terbatas pada suatu saat saja dalam artiannya bahwa dunia pada satu saat tertentu diciptakan Tuhan dan kemudian sudah tidak lagi tergantung pada-Nya. Jadi, harus dikatakan bahwa penciptaan tetap berlangsung terus.
b. Pengenalan mengenai Allah
Kemampuan rasio insani untuk adanya Tuhan. Namun adanya Allah tidak dapat dikenal secra langsung, tetapi hanya melalui ciptaan-ciptaan. Oleh karena itu Thomas menolak bukti ontologis yang diusulkan Anselmus. Dalam Summa Theologiae, ia memberi lima bukti untuk adanya Allah yang disebutnya “lima jalan”, sehingga ia mengatakan dari bukti yang pertama atau penggerak itu adalah Allah.
c. Hilemorfisme
Thomas mengambil alih dan menyempurnakan ajaran Aristoteles mengenai materi dan bentuk. Ajaran ini juga dapat mengartikan individuasi. Dengan “individuasi” dimaksudkan kenyataan bahwa suatu benda merupakan suatu yang individual. Di samping ini ada suatu bentuk lain yaitu esensi (hakekat) dan eksistensi (adanya) ini terdapat dalam segala sesuatu yang diciptakan. Hanya Allah yang tidak memiliki struktur esensi dan exsistensi, karena Allah adalah tunggal
d. Manusia
Tentang manusia juga Thomas menyempurnakan ajaran Aristoteles. Ia sangat menekankan kesatuan manusia. Manusia adalah satu substansi saja. Oleh karen itu jiwa manusia tidak merupakan substansi lengkap, sebagaimana dipikirkan oleh Plato. Thomas mempertahankan kebakaan jiwa melawan pendirian Aristoteles. Ia mengakui ula bahwa jiwa sesudah kematian hidup terus sebagai bentuk, hal ini cocok dengan ajaran Kristiani mengenai kebangkitan badan, biarpun seorang filsuf atas dasar rasio insani belaka tidak mampu membenarkan ajaran Kristiani tersebut.
2.2.2.4 Teologinya
Aquinas adalah seorang Kristen dan percaya bahwa memperlajari filsafat akan membawa pada peneguhan ajaran Kristen. Ia memisahkan budi dari perwahyuan, Aquinas percaya bahwa tidak ada di dalam perwahyuan yang dapat bertentangan dengan budi. Ia percaya bahwa iman Kristen menjamin filsafat, sebagaimana filsafat menjamin iman Kristen. Perlu kita ingat Aquinas adalah manusia Abad Pertengahan. Ia percaya, seperti orang lain waktu itu bahwa: budi adalah bawahan iman; alam adalah bawahan rahmat; filsafat bawahan teologi; dan Negara bawahan Gereja. Aquinas juga tidak menyukai Plato, filsafat Aquinas yang dikenal dengan “Thomisme”. Ia membuat karya-karya Aristoteles dikenal dan diterima oleh para ahli sezamannya oleh karena kritikannya terhadap karya-karya Aristoteles.
2.2.2.5 Kelima Jalan
Fakta-fakta yang akrab bagi Aquinas menyiratkan keberadaan Tuhan. menyebutkannya dapat ditemukan dalam 'lima cara' yang terkenal untuk membuktikan keberadaan Allah, yang diuraikan dalam summa theologica:
1. Jalan pertama
Di jalan pertama ini Aquinas memulai dengan mengatakan bahwa ‘sudah pasti dan sudah jelas dari pengalaman-indralah bahwa beberapa hal di dunia ini digerakkan’. harus diingat bahwa dia, seperti Aristoteles, memahami istilah 'gerak' dalam arti perubahan yang luas, pengurangan dari keadaan potensi menjadi tindakan; dia tidak merujuk secara eksklusif pada gerakan lokal.
2. Jalan kedua
Bagian kedua ia mulai dengan pernyataan bahwa 'dalam hal materi kita menemukan urutan sebab-sebab yang efisien'. dengan kata lain, dalam pengalaman kami tentang hal-hal dan hubungan mereka satu sama lain, kami menyadari hubungan sebab-akibat yang efisien.
3. Jalan ketiga
Mengambil ide ada dan tiada di salam dunia. Benda-benda ada, tetapi mereka tidak harus ada. Lebih lagi, ada suatu masa sebelum mereka ada dan aka nada waktu setelah mereka berhenti berada. Menurutnya seandainya Allah tidak ada maka tidak ada sesuatu pun yang dappat ada, sebab ciptaan tergantung pada eksistensi Allah agar mereka dapat ada.
4. Jalan keempat
Dipusatkan pada tingkat-tingkat kebaikan dan kesempurnaan di dunia. ‘Sesuatu adalah yang paling mulia di antara benda-benda, dan oleh karenanya paling penuh dalam adanya’. Kemudian Aquinas meneruskan untuk mengatakan: ‘Maka, ada sesuatu yang menyebabkan keberadaan, kebaikan, dan kesempurnaan apa pun yang ada dalam benda-benda. Ini kita sebut Allah’.
5. Jalan kelima
Yang terakhir ini menunjukkan pada tatanan dan tujuan di dalam alam. Sebab tingkah laku mereka hampir tidak berubah, dan praktis selalu menjadi baik. Mereka benar-benar mengarah pada tujuan, dan tidak hanya terjadi demikian karena kebetulan.
III. Kesimpulan
Teologi Skolastik berhasil menciptakan sintesis (perpaduan) antara aneka unsur yang rohani dan yang jasmani, gereja dan dunia atau Negara, ilmu teologi dan ilmu umum. Dalam sintesis itu masing-masing unsur menduduki tempatya sendiri yang dianggap cocok baginya. Sintesis itu tampak dalam semua segi kehidupan dalam Abad Pertengahan, termasuk dalam pemahaman berpikir. Tokoh-tokoh terbesar pada abad ini ialah Duns Scotus dan Thomas Aquinas. Duns Scotus dalam pemahamannya menyimpulkan penciptaan bukan sebuah kewajiban Allah, melainkan semata-mata rahmat dan pemberian cuma-cuma dari-Nya. Tuhan menciptakan untuk menyingkapkan diri-Nya sebagai kepenuhan kasih. Sedangkan Aquinas sebagai lawan Duns Scotus, melalui kritikannya terhadap karya-karya beberapa tokoh ia tetap berusaha mempertahankan kesatuan manusia, bahwa Allah merupakan substansi tunggal.
IV. Daftar Pustaka
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisinus, 1998
Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013
Ahmad Asnawi, Sejarah Para Filsuf Dunia, Yogyakarta: Penerbit Indoliterasi, 2014
Andreas Bernardinus Atawolo, Perjalanan Sarat Nilai, Medan: Bina Media Perintis, 2012
Linda Smith /William Raeper, Ide-ide Filsafat dan Agama, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991
Masykur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: IRCiSoD, 2013
Burhanuddin Salam, Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000
F. C. Copleston, Aquinas, Victoria: Penguin Books, 196