Perkembangan Teologi Pada Masa Pencerahan (Enlightment):Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834)

Perkembangan Teologi Pada Masa Pencerahan (Enlightment):Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834)










I. Pendahuluan



Pada masa reformasi, suatu tradisi gerejawi ditolak jika tidak sesuai dengan alkitabiah. Dalam abad pencerahan Alkitabiah yang dikaji secara kritis terlepas dari ajaran gerejawi. Ahli teologi Jerman terkenal yang mengumuli masalah ini ialah Friedrich D.E. Schleiermacher (1768-1834). Pemikirannya dituliskan dalam karya-karyanya. Dalam pembahasan kali ini kita akan membahas tentang tokoh ini di masa pencerahan.

II. Pembahasan

2.1. Abad Paencerahan(1700-1800)

Abad ke-18 disebut abad Pencerahan. Selama abad ini terjadi perubahan dramatis dalam kebudayaan di Eropa. Di Eropa orang makin percaya terhadap terang cerah akal dan daya pikir. Akal dipandang sebagai terang yang membimbing manusia. Segala tradisi di berbagai bidang kehidupan yang telah berlaku (termasuk dalam dunia politik dan ilmu pengetahuan) diteliti secara kritis dalam terang akal budi.[1] Segala tradisi di berbagai bidang kehidupan yang telah berlaku. Adalah kenyataan yang tak terelakkan bahwa dalam fakultas-fakultas teologi terjadi pergumulan hebat disekitar pendekatan Pencerahan. Banyak pihak tak mengetahui pendekatan ini dan bertanya: apakah iman Kristen hanya berlaku sejauh itu sesuai dengan akal budi? Apakah iman bersifat rasional belaka?.[2] Akal menjadi sumber cahaya yang menerangi seluruh keberadaan hidup manusia. Itu sebabnya periode ini disebut “pencerahan” Enlightenment. Dunia dan kehidupan akan menjadi lebih baik, asal saja manusia hidup dalam terang akalnya. Karena peranan akal mahapenting, bidang pendidikan pun mendapat perhatian utama. Ada suasana optimis bahwa dibawah bimbingan akal budi, umat manusia akan makin maju. Dalam dunia politik, orang mulai mempersoalkan penguasa-penguasa tradisional serta mencari bentuk masyarkat dan bentuk pemerintahan yang paling rasional. Puncak perkembangan ini menyatadalam Revolusi Prancis (1793), yang mengunah secara radikal posturpemerintahan di Prancis. Gelombang revolusi Prancis amat berpengaruh di seluruh Eropa dan Amerika. Revolusi ini mangusing Semboyan liberte-egalite-fraternite (kebebasan-persamaan hak-persaudaraan). Di dalam satu gedung gereja di paris tahun 1793, “Dewi akal” dinobatkan melalui suatu upacara.[3]

Pencerahan ini turut menentukan paradigma ilmu alam serta perkembangan teknik. Tidak ada lagi hal yang dianggap benar , hanya kerena dari dulu selalu diangap benar. Melalui berbagai eksperimen, orang meneliti sendiri apakah sesuatu itu benar atau tidak. Pencerahan sangat mempengaruhi kehidupan dalm geraja. Segala tuntutan terhadap kekuasaan dikaji dan di teliti dalam terang akal budi. Aa yang sebelumnya diterima sebagai hukum ilahi, kini mulai di pertanyakan. Makin banyak bidang hidup yang tidak lagi dikuasai oleh gereja atau didominasi oleh ajaran agama (proses ini disebut sekularisasi). Akal menjadi dewa yang baru. Tak diragukan ilmu teologi pun dipengaruhi oleh paradigma ini. Dogma-dogma gereja mulai di periksa secara kritis. Apakah ajaran-ajaran tertentu dapat dipertahankan dihadapan akal manusia? Ada ali-ahli yang hanya bersedia menerima ajaran Kristen sejauh sesuai dengan akal. Mereka menganggap bahwa jika agama Kristen sudah sesuai dengan hukum alam dan akal manusia, sebenarnya pernyataan ilahi tidak diperlukan lagi. Dalam perpekif ini peran Yesus lebih ditekankan sebagai guru yang mengajarkan moral yang agung, moral yang sebenarnya telah diketahui manusia berdasarkan akalnya.

Bermunculan pertanyaan baru seperti apakah kitab Kejadian hingga kitab Ulangan benar-benar disusun oleh Musa? Dalam penelitian terhadap kitab-kitab Perjanjian Baru, mata orang terbuka melihat perbedaan di kitab Injil, serta muncul pertanyaan tentang apa yang persis dikatakan Yesus. Inilah penelitian tentang “Yesus Historis”. Pendekatan ini merupakan permulaan dari metode yang disebut metode Histori-Kritis. Metode ini dilakukan dengan sebisa mungkin terlepas dari pengaruh ajaran gereja.[4]

Ahli teologi Jerman terkenal yang mengumuli masalah ini ialah Friedrich D.E. Schleiermacher (1768-1834). Tanpa menolak begitu saja paradigma pencerahan, ia mepertahankan peranan “perasaan” dalam kajian iman dan teologi Kristen. Akar iman bukan dalam akal, melainkan dalam kesadaran religius. Orang merasa tergantung kepada Allah secara mutlak. Perasaan ini menyatukan kekuatan rasional dan kekuatan moral manusia. Yesus kristus mempunyai kesadaran ketergantungan pada Allah secara sempurna. Jadi, ia bukan hanya seorang Guru moral, melainkan ia memperkuat kesadaran religius manusia, dan dengan demikian ia menyelamatkan manusia.[5]

2.1.1. Pekabaran Injil (1800-1900)

Dalam tahun ini relitas penjajahan (kolonialisme) makin menonjol. Wilayah-wilayah di luar Eropa menjadi objek penelitian dan sekaligus lahan garapan yang membawa keuntungan ekonomi dan kekuasaan politik. Pada periode ini pula berlangsung dengan gencar berbagai gerakan zending atau pekabaran Injil ke benua-benua lain.[6] “Suka atau tidak suka, para misionaris menjadi pionir ekspansi Barat yan imperialistik”. Kolonialisasi dipandang sebagai situasi yang normal. Namun di pihak lain juga benar bahwa “...dalam seluruh sejara misi, selalu ada suatu minoritas yang gigih yang harus di akui terbatas, bertahan melawan pemaksaan politik Barat terhadap seluruh bagian dunia lainnya”.[7] Dalam optimisme dan kebanggaan pencerahan sering tidak dibedakan antara penyebaran terang kekristenan dan penyebaran terang kebudayaan barat. Pada kenyaaannya, keduanya dipandang sebagai satu kesatuan tang harus dibawa kepada orang yang hidup di dalam kegelapan kultural dan religius. Secara teologis, inspirasi diterima dari bacaan Kisah Para Rasul 16:9 tentang Paulus yang mendengar panggilan dari seorang Makedonia: “Menyebranglah...dan tolonglah kami”. Dalam tafsiran mereka, Paulus disamakan dengan orang Kristen (Barat) dan orang Makedonia disamakan dengan orang yang non-Kristen dibenua lain. bacaan lain yang penting ialah Matius 28:19,20 yang dipahami sebagai amanat agung untuk melakukan pekabaran injil juga dipengaruhi oleh pandangan dan sikap pietisme. Tekanan pada pertobatan pribadi memang tidak terlepas dari perkembangan individualisme dalam kebudayaan Barat.[8]

2.2.Tokoh Teologi pada Masa Pencerahan

2.3.Friedrich Schleiermacher

Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher lahir di Breslau, Silesia, Prusia, Jerman, 21 November 1768-meninggal 12 Februari 1834 pada umur 65 tahun, adalah seorang teolog dan filsuf Jerman.[9] Pengkhotbah dan ahli teologi dari berlin, Friedrich Schleiermacher (1768-1834), sering dianggap sebagai “Bapa teologi modern”. Menurut Karl Bart, justru inilah kekurangan “sobat dan musuh lamanya” yang ia anggap sebagai lambang antroposentrisme subyektif. Bagi Schleiermacher memang agama adalah “perasaan yang akan ketergantungan mutlak manusia”. Tetapi “dari mananya” agama adalah Allah. Yesus memiliki kesadaran akan Allah yang sempurna dan disanalah letak sifat ke TuhananNya. Karya penyelamatan dicapai melalui “Proklamasai diriNya” Yesus yang membebaskan manusia dari sifat melupakan Allah dan yang mendorong kesadaran beragama mereka yang menerimanya, baik secara langsung maupun lewat pemberitaan Kristen.[10]

Friedrich sebagai anak dari pendeta tentara aliran Calvinis. Ia dibesarkan dalam pietisme tradisi Spener dan masuk seminar teologi pietes. Namun, teologi tradisional ini tidak dapat ia terima, sehingga ia meninggalkan seminar teologi pietis. Namun, teologi tradisional ini tidak dapat ia terima, sehingga ia meninggalkan seminar tersebut untuk menyelesaikan studinya di universitas Helle. Ia juga memberi reaksi pemberontakan terhadap pendidikannya yang piestis. Pemikirannya banyak berubah pada saat ia memadukan pengaruh agama bercorak piestis injili dengan sikap moderat liberal atas anjuran kaum terpelajar di zamannya. Sesudah penahbisannya, ia kebanyakan melayani di Berlin. Disamping menjadi gembala suatu jemaat Calvinis, ia membantu mendirikan universitas Berlin. Kemudian ia menjadi guru besar disana. Dalam pekerjaan penggembalaannya ia juga mempersiapkan Bismarck, negarawan besar dari Prusia, untuk disidi. Ia meninggal tahun 1834. Dengan sangat tepat Karl Barth mengatakan bahwa ia tidak hanya membentuk suatu aliran baru, tetapi suatu zaman baru. Ia bukan saja pendiri aliran liberal, tetapi pendiri dari seluruh teologi modern.[11]

2.4. Kritik mengenai Rasionalitas Kant

Schleiermacher sangat kreatif dalam berteologi. Konon, ia menyelamatkan teologi di budaya Eropa. Ketika pencerahan menjadi dominan dan mengusai semua diskusi, Schleiermacher bersuara. Pencerahan, khususnya pemikiran Kant menjadi sangat penting untuk Schleiermacher. Saya telah memperlihatkan bagaimana Kant membedakan antara tiga kritik. Tiga kritik ini merupakan tiga fungsi dari akal budi. Schleiermacher mengambil masalah antara subjek dan objek dari Kant, tetapi jugu menolak bagaimana menurut Kant subjek dan objek saling terkait. Relasi yang digambarkan oleh Kant bagi Schleiermacher adalah relasi yang terlalu abstrak. Disini ada subjek dan akal budinya, dilain pihak ada objek yang benar, baik atau indah. Schleiermacher memberi kritik pada relasi yang steril ini. Dia mengatakan bahwa bagaimana moralitas terjadi tanpa perasaan? Menurut Schleiermacher, perasaan mewarnai hubungan diantara subjek dan objek. Tak mengherankan bila Schleiermacher mengambil kritik yang kedua dari Kant. Sejak pencerahan ada sebuah pemisahan antara ilmu pengetahuan dan agama. Ilmu pengetahuan berkembang berdasarkan rasio yang sempurna dan mengambil sebentuk dunia objek-objek yang objektif. Sedangkan agama memperhatikan hal-hal yang bersifat non-objektif, tetapi yang berlaku untuk etika dan moralitas. Dalam filsafat Kant, Allah sama dengan jiwa dan dunia ada sebagai tiga prinsip yang regulatif dalam kritik yang kedua, yaitu etika. Allah adalah dasar penyatuan antara moralitas dan kebahagiaan. Dasar ini tidak dapat menjadi objektif dalam kerangka ilmu pengetahuan sebab Allah ada sebagai ide atau postulat. Allah tidak memiliki keterkaitan dengan fisika tetapi dengan moralitas. Sebagai postulat moralitas Allah sangat dibutuhkan. Dialah yang tertinggi. Bagi Schleiermacher semua ini dapat benar. Tetapi juga terlalu steril karena Kant menolak emosi dan perasaan sebagai bagian penting bagi relasi antara subjek dan objek, Schleiermacher mengambil perasaan ini sebagai instansi yang terpenting dalam semua relasi etis. Schleiermacher mengatakan bahwa observasi tanpa perasaan adalah tidak mungkin.

2.5.Rasionalitas Tanpa Perasaan Tinggal Kosong

Pada tahun 1830, Schleiermacher menerbitkan Magnum opusnya: Der Christliche Glaube (iman Kristen). Dalam buku ini, Schleiermacher menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai agama Kristen. Apa itu iman atau agama Kristen? Schleiermacher menjawab bahwa agama Kristen adalah iman yang monoteistis, yang teleologis, dan yang berbeda dengan agama-agaman yang lain karena semua terkait dengan keselamatan yang diberikan oleh Yesus dari Nazaret. Disini Schleiermacher mengambil tiga konsep yang kelihatannya masih sangat rasional dan steril: monoteisme, teleologi, dan soteriologi. Tiga aspek ini mewarnai yang teologinya. Disinilah masalah muncul. Apakah aku sebagai orang Kristen dapat mengikuti ketiga konsep ini begitu saja karena aku mengerti atau memahami? Aku mengerti bahwa hanya ada satu Allah, aku mengerti bahwa ada tujuan berdasarkan imanku, aku mengerti bahwa semua ini muncul terlihat dan terdengar dalam kehidupan Yesus dari Nazaret.semua ini tidak dapat dimengerti. Secara rasional dengan memakai akal budiku aku tidak berhasil menyentuh dengan tema-tema ini. Menurut Schleiermacher aku tidak dapat mengerti tetapi aku dapat menyadari.

Disini muncul dalam tema baru dalam teologi, yaitu kesadaran. Pertama, kesadaran itu bersifat Introver. Kesadaran adalah kesadaran terhadap diri sendiri. Kesadaran menghadapi aku yang beriman. Disini ada dua arah: aku sendiri sebagai objek kesadaran dan iman. Iamn dalam konteks ini berarti bahwa aku memulai memperhatikan diri sendiri, dikeluarkan dari diriku. Iaman berarti bahwa muncul perspektif yang keluar dari aku. Iamn Kristen adalah kesadaran bahwa Kristus adalah Juruselamat. Beginilah kesadaran menjadi ekstrover. Penting didingat bahwa kesadaran menjadai ekstrover tanpa kehilangan arah introver. Jadi, disini kesadaranku memperhatikan baik aku yang beriman, maupun objek iman ini, yaitu Yesus Kristus. Semua dogmatika gereja harus menekankan dan memperkuat relasi ini. Dalam relasi ini, Yesus Kristus memperlihatkan relasi dengan Allah yang tidak dapat dipahami secara rasional. Subjek merasa bahwa karena Kristuslah dia menjadi bagian dari relasi ini sehingga muncul perasaan ketergantungan mutlak disalam subjek. Ketergantungan ini adalah ketergantungan Mutlak terhadap subjek yang tidak dapat dipahami. Beginilah Schleiermacher memasukkan perasaan dan kesadaran ke dalam relasi religius. Sangat penting dicatat bahwa perasaan ketergantungan mengatasi relasi steril antara subjek dan objek yang ditekankan oleh pencerahan. Schleiermacher,dari perspektif teologis, menambah tema yang penting yaitu perasaan. Tanpa perasaan ini relasi antara manusia tidak mungkin. Kritik ini menjadi penting sampai saat ini. Schleiermacher melanjutkan kritik der praktische vernunft, kritik yang kedua dari Kant, sampai relasi yan etis ini memang sama sekali tidak tergantung pada subjek, tetapi pada ibjek (Allah) yang tidak dapat dimengerti dengan rasionalitas. Relasi ketergantungan mutlak ini menjadi kerangka untuk semua relasi lain. jadi, relasiku dengan Allah mendahului relasiku dengan orang lain. Menurut Schleiermacher, JalanKristus sebagai jalan keselamatan. Jadi, Kristus menggambarkan jalan kehidupan yang benar. Perasaan ketergantungan mutlak ini adalah kesadaran terhadap diri sendiri sebagai instansi yang berelasi dengan Allah. Ini adalah keselamatan, keselamatan tinggal diluar pengertian manusia. Jikalau Allah dapat dimengerti, Dia menjadi tergantung pada moralitas atau rasionalitasku. Schleiermacher berfikir bawa perasaan adalah perasaan manusiawi perasaan tidak dapat menjadi kebenaran. Perasaan hanya dapat mewarnai relasi dengan kebenaran, tetapi perasaan saya kosong tanpa Allah. Perasaan bahwa aku berdosa tidak berasal dari aku sendiri, tetapi berasal dari konfrontasiku dengan Kristus. Schleiermacher bertola dari sebuah prinsip: keselamatan menjadi tampak pada Kristus. Karena Kristuslah aku tahu bahwa pwmbunuhan itu adalah dosa. Jadi perspektif teologis tidak bertolak dari hasil perbuatan manusia, tetapi dari sebuah prinsip yang mendasar: Jalan Kristus. Inilah kekuatan untuk mengakui dosa dalam diriku yang mewarnai kesadaranku akan anugerah Allah atau keselamatan.[12]

2.5.1. Pernyataan Allah dan Sejarah

Oleh karena banyak alasan yang mendukung keaslian kitab-kitab Injil itu, kita mungkin heran melihat begitu banyak ahli mengambil sikap yang begitu negatif. Salah satu sebab utama bukanlah pendekatan mereka terhadap sejarah dan sastra, melainkan pengertian mereka tentang pernyataan Allah. Untuk mengerti hal ini kita harus meninjau karya Friedrich Schleiermacher (1768-1834), yang pernah disebut sebagai “bapak teologi modern”. Didalam usaha untuk menghadapi kebangkitan rasionalisme pada masa pencerahan di Eropa, Schleiermacher berpendapat bahwa jika kepercayaan agama dapat mempertahankan keabsahannya bagi orang-oarang barat modern, ia harus dilepaskan sama sekali dari penyelidikan rasional. Sebab ilmu sejarah pada zamannya bersikap skeptis sama sekali terhadap seluruh gagasan Allah dapat menyatakan diri-Nya dalam sejarah melalui peristiwa-peristiwa yang dicatat dalam Alkitab. Sebab itu Schleiermacher bermaksud menyelamatkan kepercayaan agama dari apa yang ia gambarkan sebagai mati lemas dalam suasana skeptisisme. Ia berpendapat dasar iman sangat berbeda 2 dasar moralitas (yang mengatur segi praktis kehidupan) dan dari dasar ilmu pengetahuan (yang berkaitan dengan proses-proses pemikiran rasional). Iman menurut dia adalah meluluh perasaan dan itu berarti kepercayaan agama dapat absah terlepas dari apa pun yang di tafsirkan secara ilmiah. Gagasan ini telah ditantang dan dimodifikasi dalama banyak segi oleh para pemikir lainnya pada kemudian hari. Tetapi pembedaan umum dari Schleiermacher antara agama dan akal memainkan peranan menentukan dalam perkembangan pemikiran teologi selanjutnya di sebagian besar dunia barat. Dalam studi kitab-kitab Injil hal itu dinyatakan dengan diterimanya dua prinsip yang menguasai pemikiran banyak ahli.[13]

2.6.Pemikiran Friedrich Schleiermacher

Terdapat teologi Friedrich yang mencoba menghubungkan iman Kristen dengan semangat Pencerahan. Dalam tulisan-tulisannyan ia memberi tempat, baik kepada manusia sebagai subjek iman, yang merasa diri tergantung semata-mata dari Allah, maupun kepada penyataan Allah, khusus dalam Yesus Kristus, yang memberi arah kepada manusia yang mencari Allah. Schleiermacher menolak panteisme yang menyatakan bahwa Allah berada di belakang setiap fenomena, juga menolak Deisme yang menyatakan Allah tidak menentukan apa yang terjadi dalam realita kehidupan ini, serta pandangan ortodoks yang satu pihak lain mengakui adanya hukum alam yang diciptakan Allah. [14] Keyakinan yang optimistis bahwa umat manusia berada dalam proses kemajuan. Kemungkinan-kemungkinan manusiawi dihargai sangat tinggi,terutama penggunaan rasio,sebagai batu uji kebenaran. Menurut kant, manusia tidak dewasa. Atas ketidakdewasaannya. Abad pencerahan menjadi salah satu zaman yang mengubah perkembangan teologi diantaranya terhadap rasionalisme dan supernaturalisme. Menurut Schleiermacher manusia mengalami momentum dengan Allah pada saat manusia itu secara tulus menyadari akan dosanya dan merindukan untuk diperdamaikan dengan Allah dan ia tidak terjerat dengan kedagingannya. Dia percaya bahwa kehidupan beragam tidak terletak pada rasio dan tingkah laku agamawi, tetapi pada pengalaman naluriah (intuitif dengan Allah)

Bagi Friedrich, kesalahan gereja yang utama adalah menyaksikan dalam bentuk formulasi doktrin-doktrin tentang tabiat dari Allah, padahal keberadaan Allah hanya dapat dialami secara batiniah melalui perasaan. Friedrich membuat pembedaan yang jelas antara agama dan akal. Menurutnya, akar iman bukan dalam akal, melainkan dalam kesadaran religius. Dimana ia mempertahankan peranan perasaan dan pengalaman dalam kajian iman dan teologi.[15]

2.7.Karya Friedrich Schleiermacher

Friedrich sebagai anak dari pendeta tentara aliran Calvinis. Ia dibesarkan dalam pietisme tradisi Spener dan masuk seminar teologi pietes. Namun, teologi tradisional ini tidak dapat ia terima, sehingga ia meninggalkan seminar teologi pietis. Namun, teologi tradisional ini tidak dapat ia terima, sehhingga ia meninggalkan seminar tersebut untuk menyelesaikan studinya di universitas Helle. Sesudah penahbisannya, ia kebanyakan melayani di Berlin. Disamping menjadi gembala suatu jemaat Calvinis, ia membantu mendirikan universitas Berlin. Kemudian ia menjadi guru besar disana. Dalam pekerjaan penggembalaannya ia juga mempersiapkan Bismarck, negarawan besar dari Prusia, untuk disidi. Ia meninggal tahun 1834. Dengan sangat tepat Karl Barth mengatakan bahwa ia tidak hanya membentuk suatu aliran baru, tetapi suatu zaman baru. Ia bukan saja pendiri aliran liberal, tetapi pendiri dari seluruh teologi modern. Pandangan-pandanganya dipaparkan dalam dua karya unggul:

1. Uber die Religion. Regen an die Gebildeten unter ihren Verachtern (Agama: pidato-pidato kepada pencela-pencelanya yang berbudaya, 1799) dapat dianggap sebagai permulaan teologi liberal. (dari segi teologi abad ke-19 meliputi tahun 1799 sampai perang dunia pertama). Dalam pidato-pidato ini Schleiermacher berusaha membela agama melawan pandangan skeptis, tetapi konsep agama yang ia bela radikal baru.

2. Der Christlichen Glaube (Iman Kristen) adalah karya unggul tentang teologi sistematis. Pidato-pidato tentang Agama ini membicarakan sifat asli agama. Pendidikan corak pietismenya telah mengajarnya bahwa agama lebih dari pada sekedar teologi dan etika, pengetahuan dan tindakan, mengetahui dan berbuat yang tepat. Kesalehan tidak mungkin hanya naluri yang mendambakan fragmen-fragmen metafisika dan etika yang berantakan. Agama termasuk suatu dunia yang ketiga yaitu dunia perasaan. Agama sejati adalah rasa dan selera untuk yang tak terhingga. Penting untuk mengetahui dengan jelas apa yang dikatakan Schleiermarcher. Ia bergerak lebih jauh dari posisi tradisional pietisme. Pietisme menyatakan bahwa agama meliputi lebih daripada hanya pengetahuan dan tindakan. Scheiermacher melihat agama sebagai sesuatu yang jelas berbeda dari pengetahuan dan tindakan.Untuk menjelaskan kepada anda apa sifat-sifat asli dan khas dari agama: ia langsung menghamburkan tuntutannya atas segalanya yang tergolong pada ilmu pengetahuan maupun kesusilaan. Semua gagasan dan asas asing bagi agama... Kalau gagasan dan asas mau berkembang, mereka harus ditempatkan pada bidang pengetahuan yang adalah bagian kehidupan yang lain dari agama. Itu tidak berarti bahwa agama itu tidak ada hubungannya dengan pengetahuan dan tindakan. “Maksud saya bukanlah bahwa yang satu bisa ada tanpa yang lain, bahwa seseorang misalnya,”

3. Teologi Baru

Friedrich sehleiermacher (1768-1834), pendiri Teologi Liberal, berusaha membuat iman Kristiani cocok dengan mereka yang telah dididik dan dipengaruhi oleh para pemikir Zaman Pencerahan. Tradisi teologi yang ia temukan, yang masih sangat penting hingga zaman ini, disebut ‘Liberal’ (pangkal penyesuaian yang mendasar antar teologi Jristen dengan dunia modern), karena penekanannya pada hak individu untuk menentukan imannya tanpa didikte oleh otoritas apa pun. Gagasan ini saling mengisi dengan Gerakan Romatik karena Scheiermacher banyak dipengaruhi oleh Romantisisme Jerman. Skeptisisme teologinya membuka pintu bagi pemkiran Penceraham sekular untuk memasuki bidang teologi. Walaupun ia tidak percaya bahwa Alkitab itu sabda Allah yang di inspirasi oleh Roh Kudus, juga tak seorang pun bisa akan sesuatu yang bukan merupakan pengalaman pribadi, ia sangat yakin bahwa setiap orang memiliki kesadaran akan Allah yang menimbulkan serta ketergantungan pada sesuatu yang melampaui diri. Karena manusia sepenuhnya bergantung pada Tuhan. Dosa terjadi setiap kali manusia berjuang mendapatkan kebebasan. Bagi Scheiermacher, Yesus yang ditemukan dalam Perjanjian Baru dan yang diagungkan dalam syahadat telah disalah artikan sebagai Allah, yang dikontraskan dengan orang yang mencapai kesadaran tertinggi akan Allah. Friedrich Scheiermacher menyatakan: Agama adalah kesadaran akan Tuhan sebagaimana Dia ditemukan dalam diri kita dan di dunia ini.[16]



III. Kesimpulan

Pencerahan merupakan kelanjutan dari Renaissance. Jika renaissance dipandang sebagai peremajaan pikiran maka pencerahan sebagai masa pendewasaan pemikiran manusia. Manusia mulai mencari cahaya baru melalui rasionya sendiri. Schleiermacher percaya bahwa pengalaman yang sejati dengan Allah hanya dapat menjadi objek pengalaman. Manusia dapat benar-benar mengalami pengalaman sejati dengan Allah melalui salah satu aspek dalam “inner self” ("jati diri") manusia yang ia sebut dengan “feeling of absolute dependency” ("perasaan ketergantungan mutlak") atau “feeling of immediate self consciousness” ("perasaan kesadaran diri langsung").

IV. Daftar Pustaka

Arip Surpi Sitompul, Pembimbing Teologi Sistematika, (Medan: CV Mitra, 2011)

B.F. Drewes, Julianus Mojau, Apa itu Teologi?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003)

Christiaan de Jonge, Apa itu Calvinisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008)

David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen:Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997)

Jhon Drane, Memahami Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005)

Lucien Van Liere, Memutus Rantai Kekerasan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010)

Michael Collins & Matthew A. Price, The History of Christianity:Menelusuri Jejak Kristianitas,(Yogyakarta: Kanisius, 2010)

Paul Avis, Ambang Pintu Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990)

Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani, (Jakarta:BPK Gnung Mulia, 2005)

Sumber Lain:

http://leryanimanuain.blogspot.com/2015/11/perasaan-dan-pengalaman-sebagai-dasar.html








[1] B.F. Drewes, Julianus Mojau, Apa itu Teologi?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 52.


[2] Arip Surpi Sitompul, Pembimbing Teologi Sistematika, (Medan: CV Mitra, 2011), 45.


[3] B.F. Drewes, Julianus Mojau, Apa itu Teologi?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 52


[4] B.F. Drewes, Julianus Mojau, Apa itu Teologi?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 52-54.


[5] B.F. Drewes, Julianus Mojau, Apa itu Teologi?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 55.


[6] B.F. Drewes, Julianus Mojau, Apa itu Teologi?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 55-56.


[7] David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen:Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 468,478.


[8]B.F. Drewes, Julianus Mojau, Apa itu Teologi?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 55-56


[9] Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani, (Jakarta:BPK Gnung Mulia, 2005), 198-201.


[10] Paul Avis, Ambang Pintu Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 66.


[11] Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2007), 198.


[12] Lucien Van Liere, Memutus Rantai Kekerasan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 27-28.


[13] Jhon Drane, Memahami Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 236.


[14] Christiaan de Jonge, Apa itu Calvinisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 94.


[15] http://leryanimanuain.blogspot.com/2015/11/perasaan-dan-pengalaman-sebagai-dasar.html


[16] Michael Collins & Matthew A. Price, The History of Christianity:Menelusuri Jejak Kristianitas,(Yogyakarta: Kanisius, 2010), 178.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca selengkapnya disini ya