PAK dan Disabilitas

PAK dan Disabilitas


I. Pendahuluan

Pendidikan Agama Kristen merupakan pendidikan yang sangat penting, sebab PAK membawa setiap orang mengenal, memahami, dan mengalami kasih dan karya Allah serta rencanaNya dalam panggilan hidup sebagai orang Kristen. Melihat pentingnya PAK, maka perlu mendapat perhatian yang serius, artinya, PAK memiliki ruang lingkup yang begitu luas untuk menyampaikan pengajarannya kepada setiap orang dengan keadaaan apapun tanpa harus membedakan atau mengesampingkan suatu keadaan. Manusia sebagai ciptaan Allah tentu memiliki nilai dan harga dengan kemampuan yang berbeda untuk menyatakan kesempurnaan ciptaan Allah demi kemuliaan nama Allah itu sendiri karena setiap manusia ciptaan Allah diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Untuk itu kami penyaji di sini akan memaparkan bagaimana PAK diperuntukan pada kaum disabilitas.



II. Pembahasan

2.1.Pengertian PAK

Pendidikan Agama Kristen yang berporos pada pribadi Tuhan Yesus dan Alkitab (Firman Tuhan) sebagai acuannya.[1] Menurut Horace Bushnell, pendidikan agama kristen adalah pelayanan dari Pihak orangtua kristen dan gereja yang secara khusus melibatkan kaum muda dengan cara yang wajar dalam pengalaman keluarga dan kehidupan jemaat tanpa mengharuskan kaum muda itu lebih dulu mengalami pertobatan.[2] Dalam pengertian umum Pendidikan Agama Kristen adalah suatu proses pengarahan dan pembelajaran yang berdasarkan alkitabiah, yang berpusat pada Kristus dan bergantung pada Roh Kudus yang membimbing setiap pribadi pada tingkat pertumbuhan sesuai dengan rencana dan kehendak Allah. PAK merupakan usaha yang sadar, sistematis dan berkesinambungan, dan tidak hanya terbatas pada pendidikan yang formal, baik di sekolah, maupun di gereja, melainkan juga pendidikan yang dilakukan dengan pendekatan sosialisasi yang disengaja.[3]

2.2.Hakekat dan Tujuan PAK

Tujuan PAK dewasa ini dapat kita lihat yaitu merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk membimbing dan mengarahkan setiap orang untuk memiliki kesadaran dalam tingkat kedewasaan dan kematangan yang dia miliki dan dapat ditunjukkannya dalam berbagai hal baik dalam moralitas, maupun mental spiritualnya.

PAK haruslah di pahami sebagai isi sekaligus proses dari pengajaran Firman Tuhan, yang memimpin seseorang menjadi pelaku dan hidup sesuai dengan nilai-nilai utama dari Firman Tuhan. PAK sekaligus menjadi lembaga untuk mengimplementasikan Firman Tuhan menjadi bagian hidup individu dan komunitas masyarakat beragama Kristen di dalam seluruh dimensi kehidupan mereka. Dalam tingkatan tertentu, PAK bisa diatur sebagai media penginjilan dan menjadikan semua orang sebagai Kristen yang matang dan dewasa secara spiritual.[4]

Hakekat PAK adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan kontinu dalam rangka mengembangkan kemampuan siswa agar dengan pertolongan Roh Kudus, agar anak dapat mengahayati dan memahami kasih Allah dalam Yesus Kristus yang dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari, terhadap lingkungan dan terhadap sesama.[5]

2.3. Pengertian Disabilitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, disabilitas atau orang dengan disabilitas adalah penyandang cacat yang menderita sesuatu. Disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan Bahasa Inggris disability (Jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan seseorang.[6]Disability berasal dari kata dis dan ability. Kata Dis menunjuk kata ke-tidak atau hilang atau juga kesalahan. Sedangkan ability adalah kemampuan. Dari pengertian ini disability diartikan sebagai ketidakmampuan atau kehilangan kemampuan. Terminologi kata ini untuk orang dengan disabilitas baik fisik atau mental, ada beberapa istilah yang digunakan seperti disability, difabel, handicap, dan impairment. Istilah orang dengan disabilitas merupakan kata yang tepat dalam penyebutan bagi orang-orang penyandang cacat. Kata tersebut berasal dari bahasa Inggris yaitu disability yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Orang dengan disabilitas dapat diartikan individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental dan intelektual, yang diakibatkan kerusakan dapat berupa bersifat fisik, mental, sensorik, kognitif, emosional.[7] Kata disabilitas berasal dari bahasa Inggris disability. Jika kata disability digunakan untuk menunjukkan keadaan yang mereka alami, pribadi yang dianggap mengalami disabilitas adalah pribadi yang dis-able yaitu pribadi yang tidak mampu. Istilah orang dengan disabilitas yang digunakan tentu saja tidak dapat terlepas dari sudut pandang pengguna kata tersebut terhadap keadaan yang ditunjuk. Istilah ini diciptakan oleh masyarakat yang memiliki dan memelihara standar normal. Orang dengan disabilitas memang tidak pernah terlepas dari pemahaman tentang normalitas. Akan tetapi, normalitas yang menghasilkan normalisme dapat memberikan dampak negatif bagi kehidupan pribadi orang dengan disabilitas.[8] Asal mula kedisabilitasan itu juga beragam: faktor kelahiran, kecelakaan, bencana alam atau penyakit.[9]



2.4. Karateristik Disabilitas pada umumnya

Segala sifat dan kondisi yang berasosiasi dengan besarnya kesulitan akibat tidak berfungsi nya organ penting dalam aktivitas individu sehari-hari, baik karena dihilangkan, lumpuh atau berubah bentuk. Karakteristik disabilitas yang menjadi stresor ini antara lain yaitu;

1. Tampak tidak Lazimnya bentuk bagian tubuh yang mengalami disabilitas

2. Gerak dan mobilitas yang menjadi sangat terbatas akibat disabilitas tersebut.

3. Munculnya ketergantungan pada bantuan orang lain hingga aktivitas pribadi.

4. Adanya rasa nyeri yang begitu sangat pada bagian tertentu ataupun sekujur penyadangnya

Semakin kompleks dan beragamnya karakteristik disabilitas individu akan membawa pada semakin tingginya tentang yang harus dihadapi. Sebagai contoh seorang Penyandang disabilitas dengan kelumpuhan disertai rasa nyeri luar biasa dan perubahan bentuk fisik yang tampak tidak lazim. [10]



2.5. Jenis-Jenis Disabilitas

1. Disabilitas Mental; Melipiti Mental Tinggi. Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata dia juga memiliki kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas dan Mental Rendah. Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ (Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus sera berkesulitan Belajar Spesifik. Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar (achievement) yang diperoleh.



2. Disabilitas Fisik; Meliputi Kelainan Tubuh.

a. Tuna Daksa.

Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan. Anak tuna daksa adalah anak yang mempunyai kelainan or top edit atau salah satu bentuk berupa Gangguan dari fungsional Normal pada tulang, otot, dan persendian yang mungkin karena bawaan sejak lahir, penyakit atau kecelakaan, sehingga apabila mau bergerak atau berjalan memerlukan alat bantu. Menurut Somantri pengertian Tuna daksa adalah suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir. Tuna daksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.[11]

Ciri-ciri Tuna daksa

1. Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh

2. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna,tidak lentur/tidak terkendalikan

3. Terdapat bagian angggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebihh kecil dari biasanya

4. Terdapat cacat pada alat gerak

5. ari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam

6. Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal

7. Hiperaktif/tidak dapat tenang[12]

Karakteristik Tuna daksa:

A. Karakteristik kepribadian.

Mereka yang cacat sejak lahir tidak pernah memperoleh pengalaman, yang demikian ini tidak membuat menimbulkan prestasi. Tidak ada hubungan antar pribadi yang tertutup dengan lamanya kelainan fisik yang diderita. Adanya kelainan fisik tidak mempengaruhi kepribadian atau ketidakmampuan individu dalam menyesuaikan diri. Anak cerebal dan Polio cenderung memiliki rasa takut daripada yang mengalami sakit jantung.

B. Karakteristik emosi dan sosial.

Kegiatan kegiatan Jasmani yang tidak dijangkau oleh anak tuna daksa dapat berakibat timbulnya problem emosi, perasaan dan dapat menimbulkan frustrasi yang berat. Keadaan tersebut dapat berakibat fatal, yaitu mereka menyingkir kan diri dari keramayan. Anak tuna daksa cenderung apabila dikumpulkan bersama anak anak normal dalam suatu permainan. Akibat Kecacatan nya mereka dapat mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya[13]



Klasifikasi anak tuna daksa

1. Kelainan pada sistem serebral. Kelainan pada sistem Serebral pengelompokan anak Tunadaksa ke dalam kelainan sistem serebral didasarkan pada letak penyebab kelahiran yang terletak di dalam sistem Syaraf otak. Kerusakan pada sistem Syaraf pusat mengakibatkan bentuk kelainan yang krusial, karena otak dan Sumsum tulang belakang Sumsum merupakan pusat komputer dari aktivitas hidup manusia. Didalamnya terdapat pusat kesadaran, pusat ide, pusat kecerdasan, pusat motorik, pusat Sensoris dan lain sebagainya. Kelompok kerusakan bagian otak ini disebut serebral Palsy.

2. Pengelompokan anak tuna daksa ke dalam sistem otot dan rangka didasarkan pada peta penyebab kelainan anggota tubuh yang mengalami kelainan yaitu kaki, tangan dan sendi, tulang belakang.



b. Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra).

Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision,

Ø Jenis tunanetra dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Buta total dengan kondisi tidak dapat melihat sama sekali.

2. Low vision (penglihatan rendah/dengan kondisi masih bisa[14]

Sedangkan karakteristik atau ciri dari penyandang tunanetra adalah:

1. Curiga pada orang lain. Keterbatasan pengelihatan bagi penyandang tuna netra menyebabkannya kurang mampu untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Penyandang tuna netra memiliki kecurigaan yang melandasi oleh rasa tidak percaya diri dan ketakutan terhadap lingkungan yang baru.

2. Ketergantungan pada orang lain. Sifat ketergantungan pada orang lain adalah salah satu karakteristik yang tidak dapat dipisahkan dari anak tunanetra. Dikarenakan ketidakpercayaan orangtua terhadap perkembangan serta keterampilan tunanetra.

3. Perasaan rendah diri. Rasa takut yang berlebihan mendasari perasaan penyandang tunanetra menjadi rendah diri, sehingga mereka selalu menarik diri dari setiap kegiatan apapun yang diadakan di lingkungan rumah maupun masyarakat.[15]

Ø Ada metode pembelajaran tunanetra

1) Metode Demontrasi

Metode demontrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan memperagakan/mempertunjukkan kepada peserta didik tentang suatu proses, benda tertentu yang sedang dipelajari baik yang sebenarnya maupun tiruannya.

2) Metode Tanya Jawab

Metode Tanya jawab merupakan metode yang bertujuan agar siswa tunanetra aktif di dalam kelas. Metode ini sebagai tambahan dari metode ceramah yang membutuhkan indra pendengaran. Metode tanya jawab dapat memotivasi anak tunanetra untuk mengekspresikan hal-hal yang mereka ketahui sebelumnya dengan adanya pertanyaan dari guru pendamping.

3) Metode Diskusi

Metode diskusi ini bisa diterapkan bagi anak tunanetra karena dengan cara ini mereka bisa ikut berpartisipasi dalam kegiatan diskusi tersebut. Dalam metode diskusi, kemampuan anak tunanetra dalam hal daya pikir akan lebih baik guna memecahkan suatu permasalahan. Metode diskusi ini juga bisa diikuti tanpa menggunakan indera penglihatan.

4) Metode Sorogan

Metode sorogan adalah metode sorogan dapat diterapkan bagi anak tunanetra karena adanya bimbingan langsung dari guru kepada anak didik.Selain itu, para guru juga dapat mengetahui dengan langsung sejauh mana kemampuan siswanya dalam memahami suatu materi pelajaran.

5) Metode Bandongan

Metode bandongan seperti ini bisa diterapkan kepada siswa tunanetra inti di mana guru memberikan suatu penjelasan kepada anak didik mereka yaitu anak tunanetra tidak secara perorangan.Metode bandongan ini merupakan kebalikan dari metode sorogan. Penyandang tunanetra bisa mengikuti metode ini karena metode ini bisa diikuti tanpa menggunakan indra penglihatan.

6) Metode Drill

Metode drill ini bisa diterapkan untuk anak tunanetra jika materi yang disampaikan oleh guru dan media yang digunakan mampu mendukung anak tunanetra dalam memahami materi pembelajaran. Metode drill ini juga disebut dengan metode praktek atau latihan secara langsung.[16]

Ø Media Bagi Tuna Netra

1. Tulisan braille, serta buku-buku yang menggunakan huruf braille. Misalnya dalam pelajaran bahasa indonesia, anak tunanetra tentunya harus menggunakan huruf braille dalam menulis serta membaca isi bacaan.

2. Miniature binatang atau hewan, media ini biasanya digunakan pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Namun dalam pelaksanaannya, guru harus menjelaskan bahwa miniature tersebut merupakan bentuk kecil dari contoh binatang yang sedang dipelajarinya.

3. Peta timbul, media ini digunakan dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

4. Alat-alat musik, media tersebut digunakan dalam pembelajaran kesenian. Dimana guru menyuruh mereka untuk meraba bentuk dari setiap jenis alat musik yang telah dipalajari.

5. Dalam pembelajaran matematika, khususnya materi konsep tentang bangun ruang, anak disuruh meraba bentuk bangun ruang yang telah disediakan oleh guru.

6. Puzzel buahan-buahan, dengan puzzel ini tunanetra dapat mengetahui bentuk tiruan dari buahan-buahan yang dirabanya.

7. Radio, media ini juga cukup efektif digunakan oleh tunanetra. Dengan adanya radio, seorang tunanetra dapat menerima informasi yang disiarkan melalui radio.

8. Kamus bicara, alat ini adalah kamus yang sudah dilengkapi dengan audio sehingga tunanetra dapat mendengarkan output suara dari alat tersebut.

9. Komputer atau laptop yang sudah dilengkapi dengan screenreader (software pembaca layar). Dengan software ini, tulisan-tulisan yang ada di layar komputer dapat dibaca oleh software tersebut. Sehingga tunanetra dapat mendengarkan suara yang dihasilkan dari software tersebut.[17]

Ø Tujuan Media

1. Mempermudah proses pembelajaran di kelas.

2. Meningkatkan efisiensi proses pembelajaran.

3. Menjaga relevansi antara materi pelajaran dengan tujuan belajar.

4. Membantu konsentrasi pebelajar dalam proses pembelajaran.[18]

Ø Kriteria Pemilihan Media

Dalam merencanakan pengadaan media pembelajaran di sekolah penyelenggara pendidikan inklusf agar sesuai dengan materi pelajaran, kondisi serta potensi peserta didik, maka perlu memperhatikan kriteria-kriteria antara lain:

ü Segi Edukatif. Segi edukatif berarti bahwa media pembelajaran harus sesuai dengan kurikulum yang berlaku, yang harus mengacu kepada kompetensi yang diharapkan, materi, metode pembelajaran dan sesuai dengan jenis, jenjang dan satuan pendidikan serta tingkat perkembangan anak.

ü Segi Teknis. Segi teknis meliputi kebenaran media (validity), ketepatan ukuran media, ketelitian media, keamanan dan kemudahan penggunaan, keawetan dan ketahanan serta kejelasan panduan.

ü Segi Estetika. Segi estetika menyangkut bentuk dan warna. Bentuk dan warna yang menarik dan estetik (indah) akan dapat menjadi daya tarik bagi peserta didik.

ü Efektivitas dan Efisiensi. Media pembelajaran yang efektif dan efisien adalah apabila penggunaan media pembelajaran tersebut dapat menghemat waktu, tenaga dan tepat mencapai sasaran atau tujuan.[19]

Secara umum langkah-langkah dalam merencanakan pembuatan media untuk anak berkebutuhan khusus baik di sekolah luar biasa atau khusus maupun sekolah inklusif adalah sebagai berikut:

Ø Identifikasi karakteristik dan kebutuhan siswa.

Ø Perumusan tujuan pembelajaran (instructional objective).

Ø Perumusan butir-butir materi yang terperinci.

Ø Mengembangkan alat pengukur keberhasilan.

Ø Menuliskan media.

Ø Merumuskan instrumen dan tes serta revisi[20]



c. Kelainan Pendengaran (Tunarungu). Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara.

Ø Ada media yang dipakai tunarunngu

1. Media Stimulasi Visual

a. Cermin artikulasi, yang digunakan untuk mengembangkan feed back visual, denganmelihat/mengontrol gerakan organ artikulasi diri siswa itu sendiri, maupun dengan menyamakan gerakan/posisi organ artikulasi dirinya dengan posisi organ artikulasi guru.

b. Benda asli maupun tiruan

c. Gambar, baik gambar lepas maupun gambar kolektif

d. Pias kata

e. Gambar disertai tulisan, dsb.

2. Media Stimulasi Auditoris

a. Speech Trainer, yang merupakan alat elektronik untuk melatih bicaraanak dengan hambatan sensori pendengaran

b. Alat musik, seperti: drum, gong, suling, piano/organ/ harmonika, rebana,terompet, dan sebagainya.

c. Tape recorder untuk memperdengarkan rekaman bunyi- bunyi latar belakang, seperti : deru mobil, deru motor, bunyi klakson mobilmaupun motor, gonggongan anjing dsb.

d. Berbagai sumber suara lainnya, antara lain :

Suara alam : Angin menderu, gemercik air hujan,suara petir,dsb.

Suara binatang :kicauan burung, gongongan anjing, auman harimau, ringkikan kuda,dsb.

Suara yang dibuat manusia: tertawa, batuk, tepukan tangan, percakapan, bel, lonceng, peluit,dsb.

e. Sound System, yaitu suatu alat untuk memperkeras suara

f. Media dengan sistem amplifikasi pendengaran, antara lain ABM, Cochlear Implant dan loop system.[21]



Ø Prinsip-Prinsip Pengajaran Kepada Tuna Rungu

1. Fleksibilitas

Prinsip ini berkaitan dengan kurikulum yang diberikan kepada penyandang tuna rungu. Prinsip fleksibilitas mencakup kelonggaran waktu, mode komunikasi, bentuk kegiatan, materi yang diberikan, target belajar, dokumentasi belajar, dan media belajar yang diberikan kepada penyandang tuna rungu. Pengajaran kepada penyandang disabilitas tidak boleh dilangsungkan secara kaku dan memaksa, tapi lentur dan fleksibilitas. Artinya, pengajaran dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang ada.[22]

2. Prediktabilitas

Prinsip ini berkaitan dengan waktu, tempat, dan urutan pembelajaran. Pihak sekolah harus memberikan prinsip ini kepada orangtua agar mereka mampu menjalankan pembelajaran di rumah yang dapat terprediksi. Pengaturan waktu berupa jadwal harian yang diberikan kepada peserta didik dan jadwal tersebut dimaksimalkan. Tempat juga menjadi hal yang penting dalam prinsip ini. Bagi penyandang tuna rungu, sebaiknya banyak menggunakan media pengajaran visual.

3. Koneksi

Prinsip koneksi adalah prinsip yang berkaitan dengan komunikasi antara siswa dengan guru, guru dengan orangtua siswa dan guru dengan sesama guru. Komunikasi yang baik akan mendukung perkembangan anak agar mengetahui sejauh mana anak berkembang. Komunikasi juga membantu Guru dalam menyampaikan apa yang terjadi terhadap si anak dan mencari jalan keluar bersama.

Komunikasi yang baik dengan anak, akan mendukung mereka. Guru dapat mengetahui apa yang terjadi dengan si anak dan anak pun merasa dekat dengan Guru.

4. Pemberian dorongan (Motivasi)

Ditinjau dari segi Psikologi, motivasi yang tepat sangat berpengaruh kepada kepribadian siswa. Menurut David McClelland, motivasi merupakan suatu kebutuhan. Kebutuhan ini merupakan ”virus mental” yang menentukan tingkat produktifitas seseorang. Virus mental merupakan kondisi jiwa yang mendorong seseorang untuk mampu mencapai prestasinya secara maksimal.[23]



d. Kelainan Bicara (Tunawicara) adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat bersifat fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara, Tunaganda (disabilitas ganda). Penderita cacat lebih dari satu kecacatan (yaitu cacat fisik dan mental).[24]

Karateristik tuna wicara secara umum diklasifikasikan menjadi 4 bagian, yaitu:

1. Keterlambatan Bicara (Delayed speech)Yaitu seseorang yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan bicaranya jika dibandingkan dengan anak seisianya.

2. Gagap (Stuttering)Yaitu kelainan dalam memulai pembicaraan dapat berupa, Pemanjangan fonom atau suku kata depan (prolongation) Pengulangan suku kata depan (reepetition) Gerak mulut berbicara namun tidak keluar suara (slient struggle) Anak dengan kekacauan dalam berbicara (cluttering), biasanya berupa bicara terlalu cepat, struktur kalimat tidak karuan, repitisi berlebihan.

3. Kehilangan kemampuan berbahasa (Disphasia), yaitu kehilangan kemampuan berbahasa mulai dari kesalahan dalam inti pembicaraan sampai tidak dapat berbicara sama sekali.

4. Kelaianan suara (Voice disorder), ditandai dengan perbedaan suara dengan anak normal.[25]

Adapun strategi dalam mengajar Tunawicana ialah suatu proses penentun rencana yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus yang berfokus pada tujuan jangka panjang untuk mencapai tujuan strategi pembelajaran secara umum adalah suatu rencana dan cara mengajar yang akan dilakukan guru dengan menetapkan langkah-langkah utama mengajar sesuai dengan tujuan pengajaran yang akan dicapai dan telah digariskan. Strategi pembelajaran juga bisa diartikan sebagai serangkaian rencana kegiatan yang termasuk didalamnya penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan dalam suatu pembelajaran.[26]



Ø PrinsipPengajaran Tuna Wicara

1. Pendekatan Auditori Verbal

Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tuna wicara tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisifatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif.

Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut:

· Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunawicaraan pada anak, sejak masi bayi

· Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tuna wicara sedini mungkin

· Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari

· Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal

· Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan

· Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory sistem) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokan apa yang diucapkannya dengan apa yang didengarnya.

· Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tuna wicara mempelajari keterampilan baru

· Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang

· Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru

· Membantu anak tuna wicara berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.[27]

Elemen-elemen pendekatan auditori oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:

· Keterlibatan orang tua, untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menurut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya

· Upaya intervensi diri yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif

· Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tuna wicara dalam kegiatan kelas

· Amplifikasi yang tepat, alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan

Mengajari anak menggunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditiri oral. Keuntungan utama pendekatan auditori oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial.[28]

2.6. Pentingnya PAK pada disabilitas

C. Graendorf mendefenisikan PAK adalah “Christian education is a Bible-based, Holy Spirit-empowered (Christ-centered) teaching-learning process it seeks to guide individuals at all levels of growth though contemporary teaching means toward knowing and experiencing God’s purpose and plan through Christ in ever aspect of living”.[29] PAK mempunyai peran penting pada kaum disabilitas, dimana PAK akan mengajar yang didasari oleh Alkitab dan melalui masayarakat maupun gereja. Dan PAK dapat memberi pelajaran di mana saja terlebih di Gereja. Disabilitas adalah suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu aktivitas/kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal, yang disebabkan oleh kondisi kehilangan atau ketidakmampuan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis. Disabilitas disebabkan oleh kondisi impairment (kehilangan atau ketidakmampuan) yang berhubungan dengan usia dan masyarakat. Dahulu istilah disabilitas dikenal dengan sebutan penyandang cacat. Tetapi Anak penyandang cacat atau kaum disabilitas membutuhkan pembelajaran di mana saja terlebih di Gereja. Dimana pada saat bernyanyi merekapun bisa mengikuti gerak-gerik temannya yang lain mereka bisa berdoa, dengan bahasa yang sedikit terbata-bata, dan bisa mengikuti kegiatan lain dalam sekolah minggu atau ibadah umum termasuk pengajaran katekisasi sekalipun. Tidak dipungkiri katekisasi yang dilakukan oleh Gereja dapat menjadi sebuah sarana akan adanya pengakuan bagi kaum disabilitas secara mental, sehingga mereka dapat bergabung dan turut serta dalam setiap persekutuan dilakukan oleh warga jemaat.[30] Campbell Wycoff mengemukakan bahwa Gereja dipanggil oleh Tuhan melaksanakan tiga tugas penting yaitu: Pertama, beribadah, sebuah pelayanan yang menghubungkan komunitas orang percaya kepada Sang Pencipta, Hakim, Bapa Yang Mahakasih, Juruselamat dan sumber kekuatan serta bimbingan. Kedua, bersaksi yakni mengaktualkan pengalaman jemaat yang ditebus dan diperdamaikan kepada orang sekelilingnya supaya juga menjadi pengalaman mereka. Ketiga, berkarya dalam nama Yesus dalam rangka mengemban misi dan pelayanan Kristus dalam berbagai ragam dan situasi. Selanjutnya Campbell Wycoff pun mengemukakan bahwa melalui tugas pendidikan Kristen, Gereja membina kehidupan warganya dalam hal ini semua warga Gereja. Agar anak bisa berinteraksi dengan orang lain, bisa beradaptasi dengan lingkungan bahkan bisa melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain di sekitarnya. Semua itu tidak dapat berjalan lancar tanpa adanya seorang guru, guru disini mengacu kepada Gereja. Dimana Gereja juga memiliki tugas mengajar. Karena seorang guru lah yang akan mengajarkan semua proses yang ada dalam suatu proses menuju kemandirian seorang penderita cacat ataupun autis, guru juga mengajarkan bagaimana kita berinteraksi dengan manusia lain, mengajarkan hal-hal yang baik, seorang guru di sekolah luar biasa memerlukan kesabaran yang extra dalam mengajar murid didiknya karena pastilah berbeda dengan mengajar manusia normal pada umumnya, guru di sekolah luar biasa membutuhkan kesabaran yang ekstra, hati yang besar, serta ketulusan hati yang tulus, keuletan, dan pastinya semangat tanpa menyerah untuk menjadikan motivasi maupun tuntunan bagi penderita cacat mental maupun penderita cacat fisik serta mampu berkomunikasi dengan baik guna mengetahui karakter masing-masing anak. Gereja mempunyai tugas penting dalam pelayanan terhadap kaum disabilitas dan tugas pelayanan tersebut haruslah ditunaikan secara berkesinambungan serta kongkrit. Sehubungan tugas Gereja terhadap kaum disabilitas dilakukan dengan apa yang mereka butuhkan. Yang mereka butuhkan ialah tindakan pelayanan yang memberikan pengertian serta dapat memimpin mereka kepada Allah dalam Kristus Yesus dan mereka mengimani bahwa Yesus selalu menyertai kehidupan mereka ditengah penderitaan yang mereka lewati dan memiliki kemauan untuk membangun hubungan pribadi yang inti dalam Tuhan.[31]

2.7. Teologi Pada Disabilitas

Doktrin manusia sebagai mahkota ciptaan didasarkan oleh kesaksian Alkitab yang mengemukakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah menurut gambar dan rupa Allah sendiri. Dalam terminologi teologi ungkapan ini disebut Imago Dei.[32] Manusia diciptakan menurut gambar Allah. untuk menjadi gambar Allah tidak berarti harus mandiri dan kuat. Justru sebaliknya untuk hidup menurut gambar Allah adalah dengan mengakui bahwa dirinya memiliki keterbatasan, kerapuhan dan ketergantungan. Ketergantungan dan kerapuhan tidak dapat dipahami dengan lebih baik selain bagaimana kita memahami gambar Kristus.[33] Selama ini pendekatan teologis yang kerap dipakai untuk melihat persoalan-persoalan orang-orang disabilitas adalah Kejadian 1:26-28, Berfirmanlah Allah: “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; Laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”. Ayat ini secara umum ingin menekankan pada kesempurnaan manusia sebagai ciptaan Allah yang juga sempurna (Imago Dei).[34] Berharga di mata Allah adalah berharga di hadapan Allah. Di hadapan Tuhan manusia itu berharga, di hadapan Tuhan manusia itu ibarat sebiji mata. Musa bernyanyi, “Dikelilingi-Nya dia dan diawasi-Nya, dan dijaga-Nya sebagai biji mata-Nya” (Ul. 32:10). Bukan main, umat disebut biji mata Tuhan, artinya manusia sangat disayang Tuhan dalam kondisi seperti apa pun. Manusia adalah biji mata Tuhan. Tuhan mengurus, merawat, dan menolong biji mataNya menjadi yang terbaik. Demikianlah Allah itu sayang kepada manusia ciptaan-Nya. Hal ini menunjukkan bukti kasih sayang Allah dan bukti betapa berharganya manusia di hadapan Allah sebagai ciptaan-Nya. Dalam Mazmur 17:8 dikatakan “Peliharalah aku seperti biji mata”. Amsal 7:2 “Simpanlah ajaranku seperti biji matamu”, maka begitu berharga, dijaga, dan dipelihara, serta disayang.[35] Dalam kisah Perjanjian Lama boleh dilihat tanda berharga yang diberikan Allah kepada bangsa pilihan-Nya yaitu bangsa Israel. Pada masa perbudakan di Mesir, Orang-orang Yahudi memikirkan keluar dari Mesir sebagai peristiwa terpenting dalam seluruh sejarah mereka. Kitab-kitab Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan selalu menunjuk kembali kepada kenyataan bahwa Allah telah membawa Israel keluar dari Mesir.[36]

Memahami orang dengan disabilitas berharga di mata Allah, yaitu memahami bahwa pernyataan Allah sangat luar biasa, manusia diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26). Pernyataan ini menyingkapkan nilai yang melekat dalam setiap pribadi manusia, terlepas dari bagaimana penampilan manusia, keberadaan yang dimiliki semua orang, apapun yang dilakukan atau bahkan apa pun yang dipikirkan orang lain menyangkut manusia ciptaan-Nya. Manusia adalah ciptaan yang berharga, bernilai, di hadapan Allah, bahkan lebih tinggi dari ciptaan lainnya. Pernyataan ini menjadi dasar dan pijakan teologis bahwa keberhargaan manusia di hadapan Allah menyadarkan untuk terus berjuang (fight) dan berani menyuarakan (speak out) suara keadilan serta lantang menghentikan perlakuan tindakan diskriminasi (underestimated) dan membeda-bedakan manusia ciptaan Tuhan yang pada dasarnya adalah juga ciptaan Allah yang sungguh amat baik (bd. Kej. 1:31).[37]

Dalam Kitab Taurat dalam Keluaran 4:11 Allah berkata kepada Musa, “Siapakah yang membuat lidah manusia? Siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, membuat orang melihat atau buta bukankah Aku? yakni Tuhan?” artinya bahwa kedisabilitasan seseorang itu adalah rencana Allah dalam hikmat dan kasih-Nya telah menciptakan seseorang yang disabilitas dalam keadaan ketidakmampuannya. Ayat ini menegaskan Allahlah yang menciptakan orang-orang yang tidak mampu berbicara dan mendengar. Ayat ini hendak memotivasi Musa untuk berani berbicara di hadapan umat Israel dan Firaun. Pada konteks ini Allah memperlihatkan kedaulatan-Nya atas tubuh manusia yang merupakan bagian dari seluruh ciptaan-Nya. Namun sebaliknya, Imamat 21:16-23 sering dipakai untuk mendiskriminasikan kaum orang dengan disabilitas. Teks ini memperlihatkan sikap untuk menjauhkan atau menyingkirkan para kaum orang dengan disabilitas yang akan menghampiri altar dan hendak mempersembahkan korban bakaran. Mereka yang hidup pada zaman Israel kuno tidak terlalu memberi perhatian pada orang-orang yang kemudian disebut orang dengan disabilitas.Mereka lebih menekankan pentingnya mempersembahkan korban yang benar, layak, dan kudus. Kaum orang dengan disabilitas menjadi objek spesial untuk mendapatkan pemeliharaan ilahi, bahkan sering kali dihubungkan dengan orang-orang miskin, orang-orang tertindas, dan orang-orang yang dimarginalkan.[38] Yesus sendiri telah menjadi sama bagi orang yang cacat secara fisik, melalui kepedulianNya kepada orang-orang cacat, terlebih ketika Yesus bergaul dengan orang-orang hina dan orang-orang yang dianggap berdosa, serta pelayananNya kepada orang-orang cacat. Disini Yesus meruntuhkan cara pandang ahli taurat atau pemuka agama yang memiliki pemahaman tradisionalnya yang memandang orang-orang cacat sebagai kutukan atau dosa yang diperbuatnya atau keluarganya, pemahaman iman yang memandang orang-orang cacat seperti orang-orang farisi atau pemuka agama yahudi sebagai kutukan atau dosa perlu dibebaskan. Yesus mengubah pemahaman yang salah terhadap orang-orang yang cacat fisik, yaitu melihat saudara-saudaranya sebagai manusia yang berasal dari Allah.[39]

Dengan memahami orang dengan disabilitas adalah orang yang berharga di mata Allah, maka ia percaya bahwa ia adalah karya dan rencana Allah. Orang yang hidup dengan disabilitas adalah untuk kemuliaan Allah dan untuk menyatakan pekerjaan-Nya, bukan karena dosa mereka dan dosa orang tuanya mereka menjadi orang dengan disabilitas tetapi karena pekerjaan Allah hendak dinyatakan baginya dan memberdayakan mereka (Yoh. 9:1-3). Allah memiliki kedaulatan atas segala ciptaan dan juga hak istimewa untuk orang dengan disabilitas dan berhak untuk memakai mereka untuk melayani kemuliaan-Nya dengan cara apa pun yang pantas dalam tindakan maupun penderitaan. Dengan iman dan harapan orang dengan disabilitas mampu menerima pekerjaan Allah dalam hidupnya yaitu Allah yang akan menuntun mereka dalam menjalani hidup seperti dalam Yesaya 35:6; 42: 16:[40]

Pekerjaan Allah adalah rencana Allah. Orang yang hidup dengan disabilitas adalah untuk kemuliaan Allah dan untuk menyatakan pekerjaan-Nya. Amos Yong memberi tiga gagasan yang hendak dikemukakan tentang orang dengan disabilitas adalah pekerjaan Allah yang dinyatakan di dalam mereka yaitu:

1. Disabilitas merupakan bagian dari rencana Allah.

2. Dengan pekerjaan dan rencana Allah, Orang-orang disabilitas didorong untuk memiliki pengharapan dan percaya pada rencana Allah atas hidup mereka.

3. Dengan pekerjaan dan rencana Allah, Gereja dan masyarakat menerima dan memberi tempat dan berkarya bersama dengan umat lainnya.

Dengan demikian, orang dengan disabilitas adalah ciptaan yang berharga di mata Allah hanya saja mereka diciptakan dengan kesanggupan yang berbeda. Apa pun kesanggupannya, Allah tetap menghargai setiap manusia ciptaan-Nya dan imannya mengajarkan kepadanya Tuhan berkarya atas dirinya.[41]

III. Kesimpulan

Dari beberapa pemaparan di atas dapat di simpulkan bahwa. Disabilitas ialah mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intlektual, atau sensorik, dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Disabilitas memiliki beberapa jenis, diantaranya disabilitas mental, dan disabilitas fisik yaitu kelainan tubuh. Tuna Netra ialah indera penglihatan yang tidak dapat berfungsi secara optimal, di mana individu yang indera penglihatannya tidak dapat digunakan sebagai saluran penglihatan informasi dalam kegiatan sehari-hari. Prinsip pengajaran bagi tuna netra ialah bagaimana pengajar memberikan motivasi/dorongan kepada peserta didik, mengenal latar belakangnya, terarah pada tujuan pembelajaran, serta mengaitkan pembelajaran dengan pengalaman yang konkret/dialami oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Strategi, metode, dan media harus lah disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik misalnya dalam tingkatan tuna netra (ringan, sedang hingga berat). Tuna rungu adalah istilah lain dari tuli, yaitu tidak dapat mendengar karena rusak pendengarannya. Salah satu pengajaran yang meningkatkan motivasi penyandang disabilitas disebut dengan pembelajaran flow. Proses pembelajaran flow merupakan proses pembelajaran yang memfasilitasi siswa penyandang disabilitas mencapai kondisi fokus, menikmati proses pembelajaran, dan termotivasi secara internal. Prinsip-prinsip pada pengajaran pada tuna rungu adalah fleksibilitas, prediktabilitas, koneksi, dan pemberian dorongan (motivasi). Tuna Wicara merupakan gangguan verbal pada seseorang sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi melalui suara. Yang dimana dalam pemenuhan kebutuhan belajar kaum tunawicara ini, maka diperlukan lah suatu Prinsip pengajaran untuk diterapkan pada kaum tuna wicara yakni Strategi pembelajaran yang dimana ini sebagai serangkaian rencana kegiatan yang termasuk didalamnya penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan dalam suatu pembelajaran.

Setiap pribadi orang dengan disabilitas adalah citra Allah serta kreativitas dan imajinasi Allah yang membawa talenta dan bakat khusus yang istimewa dari orang dengan disabilitas ke dalam gereja. Allah menciptakan orang dengan disabilitas dan Allah dimuliakan oleh mereka, tentu mereka sangat berharga dan berarti bagi Allah, Apa pun keadaannya semua manusia tetap berharga sebab setiap manusia adalah menurut gambar Allah.



IV. Daftar Pustaka

Abineno Dr. J.I.CH, Pelayanan Pastoral Kepada orang-orang Sakit Jakarta: BPK Gunung Mulia,1997

Aritonang Jan S, Mereka Juga Citra Allah, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2017

Arulangi Roland, Dari disabilitas ke penebusan, Jakarta: BPK-GM, 2016

Boehlke Robert R., sejarah perkembangan pikiran dan praktek pendidikan dan agama Kristen, Jakarta:BPK- GM, 1989

Borrong Robert P, Etika Bumi Baru, Jakarta: BPK-GM, 1999

Campbell D Wycoff, Theory and Design of Christian Education Curriculum Philadelphia: The Wesmister Press, 1961

Mohammad, Efendi Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan,(Jakarta : Bumi Aksara, 2008

F. Hinson David, Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2015

Fritzon Arne and Samuel Kabue, Interpreting Disability : A Church Of All and For All, Geneva: WCC Publications, 2004

GP Harianto, Pendidikan Agama Kristen Dalam Alkitab & Dunia Pendidikan Masa Kini, (Yogyakarta: ANDI, 2012)

Hendriani Wiwin, Resiliesi psikologi, Jakarta:penerbit Prenadamedia Group, 2018

Idawati Dede, Desain Kurikulum Fungsional Orientasi Mobalitas Sosial dan Komunikasi, Surabaya : Cv.Jakad Publishing, 2019

Ismail Andar, Selamat Berkembang, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2008

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,Edisi Ke Empat, Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta: Gramedia, 2008

Kholis Reefani Nur, Panduan Anak Berkebutuhan Khusus Yogyakarta:Imperium, 2013

Kristanto Paulus Lilik, Prinsip dan Praktik Pendidikan Agama Kristen, Yogyakarta:Andi,2006

Lisinus Rafael, Pembinaan Anak Berkebutuhan Khusus, Jakarta: Yayasan Kita Menulis, 2020

Lisinus & Pastiria Sembiring Rafael, Pembinaan Anak Berkebutuhan Khusus Jakarta: yayasan Kita Menulis, 2020.

Longcharf Wati & Gorfon Cownas, Doing Theology From Disability Perspectiv Manila: ATESEA, 2011

Mais Asrorul, Media Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus Jember: CV Pustaka Abadi, 2016

Sanjaya Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2008

Setia Tatang muhtar, Anggi, Pendidikan Jasmani dan Olahraga, Jawa Barat, Upi Sumedang press, 2019

Sutjihati Somantri, Psikologi Anak, Bandung; Refika Aditama, 2006

Sipayung Jon Riahman, “Disabilitas Berharga di Mata Allah”dalam buku Tema-tema Kontemporer Sebuah Refleksi Teologis Biblis,

Stefanus Daniel, Sejarah PAK: Tokoh-Tokoh Besar PAK, Bandung: Bina Media Informasi, 2009

Tambunan Elia, Pendidikan Agama Kristen : Handbook untuk Pendidikan Tinggi, Yogyakarta: IllumiNation, 2013

Graendorf Werner C, Introduction to Bible Christian Education Chichago: Moody Press, 1988



Sumber lain:

http://anggunweku1plb2014.blogspot.com/2015/12/makalah-tunarungu_23.html. http://books.google.co.id/Menyemai_benih_teknologi. http://itasf.blogspot.com/2017/03/media-pembelajaran-untuk-anak-tuna-netra.html.

https://www.liputan6.com/disabilitas/read/4297412/4. Diakses pada tanggal 27/10/2020 pukul 20:53






[1] Paulus Lilik Kristanto, Prinsip dan Praktik Pendidikan Agama Kristen, (Yogyakarta:Andi,2006), 4


[2] Robert R. Boehlke, sejarah perkembangan pikiran dan praktek pendididkdan agama Kristen, (Jakarta:BPK- GM, 1989), 170.


[3] Daniel Stefanus, Sejarah PAK: Tokoh-Tokoh Besar PAK, (Bandung: Bina Media Informasi, 2009), 89.


[4]Elia Tambunan, Pendidikan Agama Kristen : Handbook untuk Pendidikan Tinggi, (Yogyakarta: IllumiNation, 2013), 45-46.


[5] HariantoGP, Pendidikan Agama Kristen Dalam Alkitab & Dunia Pendidikan Masa Kini, (Yogyakarta: ANDI, 2012), 52.


[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,Edisi Ke Empat, (Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta: Gramedia, 2008), 86.


[7] Arne Fritzon and Samuel Kabue, Interpreting Disability : A Church Of All and For All, (Geneva: WCC Publications, 2004), 9.


[8] Ronald Arulangi, Dari Disabilitas Ke Penebusan, 3.


[9] Wati Longchar dan Gordons Cowans, Doing Theology from Disability Perspective, 2.


[10] Wiwin Hendriani, Resiliesi psikologi, ( Jakarta:penerbit Prenadamedia Group, 2018), 146-147


[11] Efendi Mohammad, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan,(Jakarta : Bumi Aksara, 2008), 114


[12] Somantri Sutjihati, Psikologi Anak(Bandung; Refika Aditama, 2006),123


[13] Tatang muhtar, Anggi setia, Pendidikan Jasmani dan Olahraga, ( Jawa Barat, Upi Sumedang press, 2019), 103


[14] Rafael Lisinus, Pembinaan Anak Berkebutuhan Khusus (Jakarta: Yayasan Kita Menulis, 2020), 43


[15]Dede Idawati, Desain Kurikulum Fungsional Orientasi Mobalitas Sosial dan Komunikasi, (Surabaya : Cv.Jakad Publishing,2019), 29-33.


[16] Dede Idawati, Desain Kurikulum Fungsional Orientasi Mobilisasi Sosial dan Komunikasi, 65-66.


[17] http://itasf.blogspot.com/2017/03/media-pembelajaran-untuk-anak-tuna-netra.html. diakses pada tanggal 27 Oktober, pukul 16.17 WIB


[18]http://books.google.co.id/Menyemai_benih_teknologi. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2020 Pukul 10:10 wib.


[19] Asrorul Mais, Media Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (Jember: CV Pustaka Abadi, 2016), 65-66. Di Google Book, Link :https://books.google.co.id/books?id=hjnrDwAAQBAJ&pg=PA85&dq=ciri-ciri+tuna+netra&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjw7abLncbsAhXW7XMBHbf1Ba8Q6AEwAHoECAMQAg#v=onepage&q=ciri-ciri%20tuna%20netra&f=trueDiakses pada 27 Oktober 2020 pukul 18.00 WIB.


[20] Asrorul Mais, Media Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, 67.


[21] http://anggunweku1plb2014.blogspot.com/2015/12/makalah-tunarungu_23.html. diakses pada tanggal 27 Oktober 2020, pukul 15.41 WIB


[22] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: KENCANA, 2008), 41. Diakses di https://books.google.co.id/books?id=BJFBDwAAQBAJ&pg= pada tanggal 27/10/2020 pukul 20:32 WIB.


[23] https://www.liputan6.com/disabilitas/read/4297412/4. Diakses pada tanggal 27/10/2020 pukul 20:53 WIB.


[24] Nur Kholis Reefani, Panduan Anak Berkebutuhan Khusus (Yogyakarta:Imperium, 2013), 17.


[25] Rafael Lisinus & Pastiria Sembiring, Pembinaan Anak Berkebutuhan Khusus (Jakarta: yayasan Kita Menulis, 2020),80. Diakses pada https://books.google.co.id/books?id=5GLLDwAAQBAJ&printsec =frontcover &dq=definisi+tuna+wicara&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjY7Y7ZiansAhX0Q3wKHVhLA-oQ6AEwBXoECAQQAg#v=onepage&q&f=false pada tanggal 27 Oktober, Pukul 16.53


[26] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2009), 26.


[27]Rafael Lisinus & Pastiria Sembiring, Pembinaan Anak Berkebutuhan Khusus (Jakarta: yayasan Kita Menulis, 2020),84-86. Diakses pada https://books.google.co.id/books?id=5GLLDwAAQBAJ&printsec =frontcover&dq=definisi+tuna+wicara&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjY7Y7ZiansAhX0Q3wKHVhLA-oQ6AEwBXoECAQQAg#v=onepage&q&f=false Selasa 27/10/2020, pukul 10:25).


[28]Rafael Lisinus & Pastiria Sembiring, Pembinaan Anak Berkebutuhan Khusus (Jakarta: yayasan Kita Menulis, 2020),84-86. Diakses pada https://books.google.co.id/books?id=5GLLDwAAQBAJ &printsec= frontcover&dq=definisi+tuna+wicara&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjY7Y7ZiansAhX0Q3wKHVhLA-oQ6AEwBXoECAQQAg#v=onepage&q&f=false Selasa 27/10/2020, pukul 10:25).


[29] Werner C. Graendorf, Introduction to Bible Christian Education (Chichago: Moody Press, 1988), 16.




[30] D. Campbell Wycoff, Theory and Design of Christian Education Curriculum (Philadelphia: The Wesmister Press, 1961), 18.


[31] Dr. J.I.CH. Abineno, Pelayanan Pastoral Kepada orang-orang Sakit (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1997),39


[32] Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru, (Jakarta: BPK-GM, 1999), 219.


[33] Jan S Aritonang, Teologi-teologi Kontemporer (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2018),401


[34] Roland Arulangi, Dari disabilitas ke penebusan, (Jakarta: BPK-GM, 2016), 25-27.


[35] Andar Ismail, Selamat Berkembang,((Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2008), 86-87.


[36] David F. Hinson, Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2015), 56.


[37] Jon Riahman Sipayung, “Disabilitas Berharga di Mata Allah”dalam buku Tema-tema Kontemporer Sebuah Refleksi Teologis Biblis,145.


[38] Jan S. Aritonang, Mereka Juga Citra Allah, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2017), 192-193.


[39] Wati Longcharf & Gorfon Cownas, Doing Theology From Disability Perspectiv (Manila: ATESEA, 2011), 249-250


[40] Jon Riahman Sipayung, “Disabilitas Berharga di Mata Allah”dalam buku Tema-tema Kontemporer Sebuah Refleksi Teologis Biblis, 160.


[41] Andar Ismail, Selamat Berkarunia, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2008), 91.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca selengkapnya disini ya