PAK dan moralitas Orang dewasa
(Mahasiswa dapat menerangkan tahap perkembangan moral dan bagaimana PAK berperan dalam rangka membentuk moralitas kristiani orang dewasa)
I. Pendahuluan
Pada kesempatan kali ini kita semua akan membahas bagaimana PAK dan MORAL orang dewasa. PAK memberikan cara dan menuntun kita orang dewasa dalam melakukan suatu perbuatan dan membimbing, mengarahkan kepada perbuatan yang baik. Dalam hal ini juga PAK merupakan suatu usaha yang dilakukan suatu tindakan baik maupun tindakan buruk serta tidak lepas dari pengajaran moral. PAK yaitu merupakan usaha sadar tujuan, dan bersungguh-suungguh untuk membimbing dan memperlengkapi individu dan kelompok menuju kedewasaan, khususnya dalam cara berfikir, sikap, iman dan perilaku. Dan moral yaitu manusia menyebut kemanusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Moral juga merupakan norma, adat, dan kebiasaan untuk menentukan sifat suatu perbuatan benar atau salah. Pendidikan Agama Kristen berperan penting dalam pembentukan moral orang dewasa. Dalam kehidupan manusia tidak lepas dengan yang namanya bagaimana ia harus hidup atau berperilaku sesuai dengan aturan atau hukum yang berlaku dalam kehidupan yang seharusnya. Dalam hal ini yang terkhusus dalam lingkungan sosial yang paling disoroti adalah segi kemanusiaan dalam tingkat usia yang sudah dewasa. Aspek kehidupannya di perhadapkan dengan kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama Kristen. Sehingga pada ulasan ini dipaparkan bagaimana itu Pendidikan Agama Kristen dengan Moralitas orang dewasa. Semoga sajian ini dapat bermanfaat bagi kita bersama.
II. Pembahasan
2.1. Pengertian Pendidikan Agama Kristen
Pendidikan Agama Kristen Artinya sebagai “pendidikan” ia merupakan usaha sadar tujuan, dan bersungguh-suungguh untuk membimbing dan memperlengkapi individu dan kelompok menuju kedewasaan, khususnya dalam cara berfikir, sikap, iman dan perilaku. Kemudian, PAK harus pula kita pahami secara seksama tentang kedudukannya sebagai pendidikan dan pengajaran agama, atau tepatnya pengajaran iman Kristen. Landasannya, cara kerjanya, serta misinya harus berakar dari nilai-nilai iman Kristiani, sebagaimana diajarkan dalam Alkitab dan tradisi Gereja, sebab itu, dalam mengembangkan tugas PAK, para pengelolanya perlu tetap berakar dan berdasarkan dalam kehidupan, yang berpusat pada pribadi Yesus Kristus dan digerakkan oleh dinamika pribadi Roh yang Maha Kudus.[1]
· Andragogi
Andragogi adalah ilmu yang membahas pendekatan dalam interaksi pembelajaran antara pendidik dan peserta didik yang berusia dewasa.[2]Secara etimologi andragogi diambil dari bahasa Yunani, yaitu “andr” yang berarti dewasa dan “agogo” yang berarti membimbing atau mengayomi. Jadi, andragogi adalah kegiatan membimbing atau mengayomi orang dewasa.
Jadi, pendidikan adalah usaha yang dilakukan secara sengaja dan berkesinambungan untuk membimbing dan membentuk sebuah pola pikir baru dalam pribadi seorang pelajar agar dapat bertanggung jawab atas hidupnya dalam arti bahwa seseorang belajar adalah untuk hidup
Kristen merupakan perkumpulan/ sekumpulan orang-orang yang percaya kepada Kristus, oleh sebab itu seorang Kristen haruslah hidup Kristiani atau menghidupi kehidupan Kristus. Yang menjadi karakter adalah Kristen supaya hidup Kristiani.
Berikut pengertian PAK menurut beberapa tokoh:
a. Agustinus (354-430)
PAK adalah pendidikan yang bertujuan mengajar orang supaya “melihat Allah” dan “hidup bahagia”. Dalam pendidikan ini para pelajar sudah diajar secara lengkap dari ayat pertama kitab Kejadian “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”. Pelajaran Alkitab difokuskan pada perbuatan Allah.[3]
b. Hieronimus
Pendidikan Agama Kristen adalah pendidikan yang bertujuan mendidik jiwa sehingga menjadi bait Allah. “Karena itu haruslah kamu serupa seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Matius 5:48).[4]
c. Campbell Wyckoff (1957)
Pendidikan agama Kristen adalah pendidikan yang menyadarkan setiap orang akan Allah dan kasih-Nya dalam Yesus Kristus, agar mereka mengetahui diri mereka yang sebenarnya, keadaannya, bertumbuh sebagai anak Allah dalam persekutuan Kristen, memenuhi panggilan bersama sebagai murid Yesus di dunia dan tetap percaya pada pengharapan Kristen.[5]
d. John Calvin (1509-1664)
PAK adalah pendidikan yang bertujuan mendidik semua putra-putri gereja agar mereka 1) terlibat dalam penelahan Alkitab secara cerdas sebagaimana dengan bimbingan Roh Kudus; 2) mengambil bagian dalam kebaktian dan memahami keesaan gereja; 3) diperlengkapi untuk memilih cara-cara mengejawantahkan pengabdian diri kepada Allah Bapa dan Yesus Kristus dalam pekerjaan sehari-hari serta hidup bertanggung jawab di bawah kedaulatan Allah demi kemuliaan-Nya sebagai lambang ucapan syukur mereka yang dipilih dalam Yesus Kristus.[6]
2.2.Pengertian Orang Dewasa[7]
Pengertian orang orang dewasa berasal dari kata Adolescere berarti “tumbuh menjadi dewasa”. Kedewasaan adalah proses kehidupan yang panjang dan di dalamnya terdapat cerita masa lalu dan segala yang bersangkutan dalam kehidupan. Ciri kedewasaan adalah serius dengan kegiatan yang dikerjakan, pribadinya semakin matang.
2.3. Tujuan PAK Dewasa
Tujuan PAK dewasa ini dapat kita lihat yaitu merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk membimbing dan mengarahkan setiap orang untuk memiliki kesadaran dalam tingkat kedewasaan dan kematangan yang ia miliki dan dapat ditunjukkannya dalam berbagai hal baik dalam solidaritas maupun mental spritualnya. PAK haruslah dipahami sebagai isi sekaligus proses dari pengajaran Firman Tuhan, yang memimpin orang menjadi pelaku dan hidup sesuai dengan nilai-nilai utama dari Firman Tuhan. PAK sekaligus menjadi lembaga untuk mengimplementasikan Firman Tuhan menjadi bagian hidup individu dan komunitas masyarakat beragama Kristen di dalam seluruh dimensi kehidupan mereka. Dalam tingkatan tertentu, PAK bisa diatur sebagai media penginjilan dan menjadikan semua orang sebagai Kristen yang matang dan dewasa secara spiritual.[8]
2.4. Moralitas Orang Dewasa
2.4.1. Pengertian Moral
Istilah moral berasal dari bahasa latin. Bentuk tunggal kata “moral” yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat.[9] Mores berarti adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, ahklak, yang kemudian artinya berkembang menjadi suatu kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik. Moral adalah sesuatu yang berkaitan dengan kemampuan menentukan benar salah dan baik buruknya tingkah laku. Moral juga memiliki hubungan dan berkaitan dengan etika, dimana etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar. Moralitas adalah sifat moral atas keseluruhan asas dan nilai yang berkenan dengan baik dan buruk.[10] Moralitas mengacu pada arti budi pekerti, selain itu moralitas juga mengandung arti dan adat-istiadat, sopan santun dan perilaku.[11] Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitas yang bernilai secara moral.[12]
Moralitas (dari kata sifat latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan “moral”, hanya ada nada yang lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Menurut Kondratyev, moralitas adalah kesadaran akan loyalitas pada tugas dan tanggung jawab. Moralitas berasal dari dalam kepribadian manusia itu sendiri. Binatang tidak memiliki moralitas karena tidak memiliki kepribadian. Moralitas tidak bisa dikerjakan dengan akal, karena itu berasal dari kepribadian manusia. Kondratyev menjelaskan lebih jauh bahwa moralitas manusia berasal dari keluarga. Jadi keluarga yang baik akan menghasilkan pribadi yang memiliki moralitas yang baik pula. Keluarga adalah tempat mendidik moralitas. Sangat disayangkan pada masa modern saat ini banyak keluarga yang berantakan nilai-nilainya.[13]
2.4.2. Tingkatan dan Perkembangan Moralitas Orang Dewasa
Yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg. Dalam membahas proses perkembangan moral ini, dalam teori Lawrence Kohlerg membagi perkembangan moral kedalam 3 tingkat yaitu:
1. Tingkat Pra Konvensional
Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Penalaran Prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral- penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman.[14] Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap:
a. Orientasi Hukuman dan Kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas. tahap pertama yang mana pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
b. Orientasi Relativis-Instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah) dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
2. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap:
a. Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”. Dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Seorang anak mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai yang terbaik.
b. Orientasi hukuman dan ketertiban
Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri. dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman atuyran sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
3. Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom / Berlandaskan Prinsip)
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini:
a. Orientasi kontrak sosial
Legalitas Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi sesuai dengannya. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat social. Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah “ moralitas resmi” dari pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku di setiap negara. nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.
b. Orientasi Prinsip Etika
Universal Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas imperatif kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret seperti kesepuluh Perintah Allah. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual. Berdasarkan penelitian empirisnya tersebut, secara kreatif Kohlberg menggabungkan berbagai gagasan dari Dewey dan Piaget, bahkan berhasil melampaui gagasan-gagasan mereka. Dengan kata lain ia berhasil mengkoreksi gagasan Piaget mengenai tahap perkembangan moral yang dianggap terlalu sederhana. Kohlberg secara tentatif menguraikan sendiri tahap-tahap 4, 5 dan 6 yang ditambahkan pada tiga tahap awal yang telah dikembangkan oleh Piaget. Dewey pernah membagi proses perkembangan moral atas tiga tahap : tahap pramoral, tahap konvensional dan tahap otonom.[15]
Selanjutnya Piaget berhasil melukiskan dan menggolongkan seluruh pemikiran moral anak seperti kerangka pemikiran Dewey:[16]
1. Pada tahap pramoral anak belum menyadari keterikatannya pada aturan;
2. Tahap konvensional dicirikan dengan ketaatan pada kekuasaan;
3. Tahap otonom bersifat terikat pada aturan yang didasarkan pada resiprositas (hubungan timbal balik).
Berkat pandangan Dewey dan Piaget maka Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap pertimbangan moral anak dan orang muda seperti yang tertera di atas. Hubungan antara tahap-tahap tersebut bersifat hirarkis, yaitu tiap tahap berikutnya berlandaskan tahap-tahap sebelumnya, yang lebih terdiferensiasi lagi dan operasi-operasinya terintegrasi dalam struktur baru. Oleh karena itu, rangkaian tahap membentuk satu urutan dari struktur yang semakin dibeda-bedakan dan diIntegrasikan untuk dapat memenuhi fungsi yang sama, yakni menciptakan pertimbangan moral menjadi semakin memadai terhadap dilema moral. Tahap-tahap yang lebih rendah dilampaui dan diIntegrasikan kembali oleh tahap yang lebih tinggi. Reintegrasi ini berarti bahwa pribadi yang berada pada tahap moral yang lebih tinggi, mengerti pribadi pada tahap moral yang lebih rendah.[17]
Tahap-tahap perkembangan moral menurut John Dewey, yaitu :
1. Tahap pramoral, ditandai bahwa anak belum menyadari keterikatannya pada aturan.
2. Tahap konvensional, ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan ketaatan pada kekuasaan.
3. Tahap otonom, ditandai dengan berkembangnya keterikatan pada aturan yang didasarkan pada resiprositas.
Adapun tahap-tahap perkembangan moral yang sangat terkenal adalah yang dikemukakan oleh Lawrence E Kohlberg. Tahap-tahap berkembangan moral tersebut, yaitu:
1. Tingkat Prakonvensional yaitu tahap perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu atau anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya, baik itu berupa sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan. Pada tingkat ini terdapat dua tahap, yaitu tahap orientasi hukuman dan kepatuhan serta orientasi relativitas instrumental
2. Tingkat Konvensional ialah tahap perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok atau masyarakat. Pada tingkat ini terdapat juga dua tahap, yaitu tahap orientasi kesepakatan antara pribadi atau disebut “orientasi anak manis” serta tahap orientasi hukum atau ketertiban.
3. Tingkat Pascakonvensional adalah tahap perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, hal ini terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegangan pada prinsip tersebut dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut. Pada tingkatan ini terdapat dua tahap, yaitu tahap orientasi kontrak sosial legalitas dan tahap orientasi prinsip etika universal.[18]
2.4.3. Peranan Empati dalam Perkembangan Moral
Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri. Semakin terbuka seseorang kepada emosi diri sendiri, semakin terampil ia membaca perasaan. Kegagalan untuk mendata perasaan orang lain, merupakan kekurangan utama dalam kecerdasan emosional, dan cacat yang menyedihkan sebagai seorang manusia. Setiap hubungan yang merupakan akar kepedulian berasal dari penyesuaian emosional, dari kemampuan untuk berempati, yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain dan ikut berperan dalam pergulatan dalam kehidupannya. Tiadanya empati juga sangat nyata, yaitu terlihat pada psikopat kriminal, pemerkosa, pemerkosa anak-anak.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa faktor-faktor afektif sebagai unsur perasaan moral, seperti kemampuan untuk mengadakan empati dan kemampuan rasa diri bersalah turut berperan dalam perkembangan moral. Memang diakui, bahwa situasi-situasi moral banyak ditentukan secara kognitif oleh pertimbangan pribadi. Namun, perlu juga diketahui bahwa tingkat empati seseorang akan berpengaruh terhadap tindakan-tindakan moralnya.[19]
2.4.4. Permasalahan dalam Perkembangan Moral
· Menumbuhkan Pendidikan Moral di Era Globalisasi
Globalisasi memiliki sisi positif dan negative terhadap moral. Di satu sisi, arus globalisasi merupakan harapan yang akan memberikan berbagai kemudahan bagi kehidupan manusia. Namun disisi lain, era globalisasi juga memberikan dampak yang sangat merugikan. Dengan perkembangan sektor teknologi dan informasi, manusia tidak lagi harus menunggu waktu, untuk bisa mengakses berbagai informasi dari seluruh belahan dunia, bahkan yang paling pelososok sekalipun. Kondisi ini menjadikan tidak adanya sekat serta batas yang mampu untuk mengahalangi proses transformasi kebudayaan.
John Neisbitt, menyebutkan kondisi seperti ini sebagai “gaya hidup global”, yang ditandai dengan berbaurnya budaya antar bangsa, seperti terbangunnya tata cara hidup yang hampir sama, kegemaran yang sama, serta kecendrungan yang sama pula, baik dalam hal makanan, pakaian, hiburan, serta setiap aspek kehidupan manusia lainnya. Kenyataan semacam ini, akan membawa implikasi pada hilangnya kepribadian asli, serta terpoles oleh budaya yang lebih cenderung berkuasa. Dalam konteks ini, kebudayaan barat yang telah melangkah jauh dalam bidang industri serta teknologi informasi, menjadi satu-satunya pilihan, sebagai standar modernisasi, yang akan diikuti dan dijadikan kiblat oleh setiap individu. Globalisasi menyebabkan perubahan sosial yang memunculkan nilai-nilai yang bersifat pragmatis, materialistis, dan individualistik.
· Masuknya Budaya Waternisasi (budaya kebarat-baratan)
Menganggap bahwa free sex atau materialisme adalah hal yang biasa. Keadaan ini sangat memprihatinkan mengingat banyak remaja yang melakukan hal tersebut dan hal itu yang sering menjadi masalah remaja saat ini. Tumbuhnya budaya materialism juga bisa dilihat dari banyaknya orang-orang yang sangat memperhatikan gaya hidup yang terkesan mewah tanpa memperdulikan sekitar dan masa depannya.
· Perkembangan Teknologi
Turunnya moral bangsa Indonesia juga diakibatkan oleh perkembangan teknologi saat ini. dengan kemudahan akses internet, banyak orang memanfaatkan fasilitas tersebut untuk mencari gambar atau video porno. Hal ini jika dilakukan terus-menerus akan merusak moral bangsa karena pikiran mereka sudah dimasuki oleh doktrin-doktrin barat yang kadang salah tersebut.
· Lemahnya Mental Generasi Bangsa
Penurunan kualitas moral dari generasi bangsa juga dapat disebabkan karena lemahnya mental dari generasi bangsa yang terbentuk sejak dini, sehingga membentuk karakter yang kurang baik. Karakter tersebut akan menjadi watak perilaku seseorang dalam menjalani kehidupan. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka perlu diupayakan pembentukan karakter sejak dini.
2.4.5. Solusi dari Tantangan Perkembangan Moral
Dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam setiap proses pendidikan, akan membantu proses pendidikan karakter dari peserta didik yang bermoral dan bermartabat. Penerapan pendidikan karakter dalam sistem kurikulum pendidikan dapat dilaksanakan dengan cara:
1. Menyisipkan nilai-nilai moral disetiap proses belajar mengajar
2. Membentuk kelas motivasi (motivation class), yang dalam hal ini lebih menekankan pada pengunggahan motivasi internal peserta didik.
3. Menambah mata pelajaran tentang pendidikan moral, dan peserta didik dipersyaratkan lulus mata pelajaran tersebut.
4. Mata pelajaran yang substansinya sudah mengandung nilai-nilai moral hendaknya lebih aplikatif, tidak hanya text book semata.
5. Menyeimbangkan antara porsi materi belajar (berdoa) dan hati (moral). Dalam hal ini guru, departemen Pendidikan Nasional, dan masyarakat memperhatikan pendidikan untuk bersama-sama mengupayakan penerapan pendidikan karakter kedalam sistem kurikulum pendidikan.[20]
2.5. Pengertian Moral Menurut Beberapa Tokoh
1. Kohlberg mengatakan moral adalah penilaian dan perbuatan yang bersifat rasional.[21]
2. Durkheim mengatakan moralitas dalam segala bentuknya tidak dapat hidup kecuali dalam masyarakat. Ia takkan berubah kecuali dalam hubungannya dengan kondisi-kondisi sosial. Dengan kata lain moralitas tidak bersumber pada individu melainkan bersumber pada masyarakat dan merupakan gejala masyarakat.[22]
3. Sutono, Moral (dari kata mores=adat istiadat) adalah sesuatu yang ada di luar diri manusia dan memeberi pengaruh ke dalam.[23]
4. W. J. S. Poerdarminta, menyatakan bahwa moral merupakan ajaran tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan.[24]
5. Henri Bergson mengatakan moralitas yang didasarkan kewajiban natural ditentukan oleh masyarakat, berada dalam hubungan terbatas.[25]
2.6. Teori Perkembangan Moral[26]
Teori perkembangannya berkenaan moral adalah berdasarkan pemikiran ahli psikologi Swiss yaitu Jean Piaget dan ahli falsafah Amerika-John Dewey. Kohlberg percaya dan berupaya membuktikan kesasihan teori ini melalui kajiannya yaitu manusia mencapai kemajuan moral berdasarkan beberapa peringkat:
Tahap
Peringkat
Orientasi Sosial
Tahap 1
Pra konvensional
1
2
Pematuhan dan Hukuman
Individualisasi, Instrumentalisasi, Pertukaran,
Tahap 2
Konvensional
3
4
Anak-anak yang Baik
Undang-undang dan Perintah
Tahap 3
Pasca Konvensional
5
6
Kontak Sosial
Prinsip Kata Hati
Keterangan:
Tahap Pertama: Secara amnya, pemikiran moral ditemui pada tahap sekolah rendah. Dalam peringkat pertama tahap ini, kelakuan manusia bergantung pada penerimaan normal masyarakat karena mereka diberitahu untuk berlakuan sedemikian oleh sesetengah pihak seperti ibu bapak ataupun guru. Pematuhan ini disebabkan oleh penerapan hukuman. Peringkat kedua dalam tahap ini ditentukan dengan meneliti kelakuan yang betul mengikut keinginan individu itu.
Tahap Kedua: Secara amnya, pemikiran moral ditemui dalam masyarakat. Oleh sebab itu, ia dinamakan kebiasaan atau lazim. Peringkat pertama dalam tahap ini (peringkat 3) ditentukan melalui sikap uang dilakukan bagi mendapatkan persetujuan dari pada orang lain “Anak yang baik”. peringkat kedua diorientasikan untuk akur kepada undang-undang dan menjalankan kewajiban.
Tahap ketiga: Kohlberg merasakan, tahap ketiga pemikiran moral tidak dilalui oleh kebanyakan orang dewasa. Peringkat pertamanya yaitu peringkat 5 adalah berkaitan dengan saling paham-memahami dalam masyarakat dan tumpuan kita kepada kebajikan orang lain. peringkat terakhir yaitu peringkat 6 adalah berdasarkan prinsip sejagat dan keinginan hati individu. Walaupun Kohlberg selalu mempercayai wujudnya peringkat keenam dan mempunyai beberapa penama bagi peringakat itu, namun beliau tetap tidak mempunyai cukup subjek untuk mendefinisikannya. Begitu juga semasa meninjau pergerakan longitudinal mereka mereka dalam peringkat itu.
2.7. Pendekatan Pendidikan Moral
2.7.1. Pendidikan Moral Tidak Langsung
Pendidikan moral tidak langsung mendorong anak didik untuk menentukan nilai mereka sendiri dan nilai orang lain serta membantu mereka menentukan perspektif moral yang akan mendukung nilai-nilai tersebut.[27]
2.7.2. Pendidikan Moral Langsung
Pendidikan moral langsung memberikan penekanan pada nilai dan juga sifat karakter selama jangka waktu tertentu atau menyatukan nilai-nilai dan sifat-sifat tersebut ke dalam kurikulum. Dalam pendekatan pendidikan moral langsung, intruksi dalam konsep moral tertentu dapat mengambil bentuk dalam contoh diskusi dan bermain peran.[28]
2.8. Tingkatan dalam Perkembangan Moral
1. Tingkat Moralitas Pra-Konvensional
Tahap 1. Orientasi pada hukuman dan ganjaran serta pada kekuatan fisik dan material. Hidup dinilai dalam pengertian kekuatan atau perolehan dari pribadi yang terlibat.
Tahap 2. Orientasi hedinistis dengan suatu pandangan instrumental tentang hubungan-hubungan manusia. Gagasan mengenai timbal balik mulai berkembang, tetapi dengan suatu tekanan atas pertukaran jasa yakni, “jika anda menggaruk punggung saya, maka saya akan menggaruk punggung anda”. Hidup dinilai sejauh berguna untuk memenuhi semua kebutuhan individu tersebut atau orang lainnya.
2. Tingkat Moralitas Konvensional
Tahap 3. Orientasi “Anak Manis”, berusaha mempertahankan harapan-harapandan memperoleh persetujuan dari kelompoknya yang langsung, moralitas ditentukan oleh ikatan individu dalam hubungan. Hidup dinilai dari segi hubungan individu dengan orang lain atau penilaian terhadapnya.
Tahap 4. Orientasi pada otoritas, hukum dan kewajiban untuk mempertahankan tata tertib yang tetap (entahlah peraturan itu bersifat sosial ataupun religius) yang dianggap sebagai suatu nilai utama. Hidup dinilai dalam pengertian hukum dan sosial atau religius.
3. Tingkat Moralitas Pasca Konvensional
Tahap 5. Orientasi kontrak-sosial dengan penekanan atas persamaan derajat dan kewajiban timbale balik dalam suatu tatanan yang ditetapkan secara demokratis; misalnya moralitas perundang-undangan Amerika.
Tahap 6. Moralitas prinsip suara hati yang individual dan yan memiliki sifat yang komprehensif logis dan universalitas. Nilai tertinggi diberikan pada hidup manusia, persamaan derajat dan martabat. Setiap hidup dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya sendiri, terlepas dari semua pertimbangan lain.
Tahap 1 dan 2 yang khas bagi anak-anak muda dan anak-anak nakal, dilukiskan sebagai tahap “pramoral” sebab semua putusan sebagian besar dibuat atas dasar kepentingan diri dan pertimbangan-pertimbangan material. Tahap 3 dan 4 berorientasi pada kelompok merupakan tahap “konvensional”, pada tingkat inilah kebanyakan orang dewasa bertingkah laku. Dua tahap akhir yang mengacu pada “prinsip” merupakan cirri khas dari 20 sampai 25 persen populasi orang dewasa, dengan kemungkinan 5 hingga 10 persennya mencapai tahap 6.[29]
2.9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
1. Faktor tingkat harmonisasi hubungan antara orang tua dan anak.
2. Faktor seberapa banyak model yang diidentifikasi oleh seseorang sebagai gambaran-gambaran ideal.
3. Faktor lingkungan memgang peranan penting. Diantara segala segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu.
4. Faktor yang mempengaruhi perkembangan moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg, dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan piaget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
5. Faktor Interaksi sosial dalam memberikan kesempatan pada anak untuk mempelajari dan menerapkan standart perilaku yang masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan dengan orang lain.
2.10. Moral Orang Kristen[30]
Hidup orang Kristen sebagai mengikuti Kristus bukan soal istilah. Pewartaan Yesus dan sikap-Nya terhadapa manusia menumbuhkan beberapa corak dalam perbuatan manusia dan dalam arti itu membuka kemungkinan bagi moral yang baru. Dalam arti nyata, Kristus telah merintis jalan dan hidup orang Kristen itu mengikut Kristus.
Pewartaan Yesus mengenai kerajaan Allah memanggil manusia untuk bertobat dan percaya. Seruan tobat mengajak orang untuk mengalihkan pandangnya dari diri sendiri kepada Allah yang mendatanginya. Dengan maklumat kerajaan Allah yang mendatang itu, manusia memperoleh suatu titik tolak yang baru, untuk mengambil langkah penuh harapan. Moral orang Kristiani adalah hidup dari kepenuhan.
Dalam pewartaan-Nya, Yesus bukan seorang idealis. Yesus mewartakan kerajaan Allah justru kepada mereka yang paling membutuhkannya, yaitu kepada orang miskin dan kepada orang berdosa. Dalam mukjizat-mukjizat-Nya, Yesus meragakan optimism kerajaan Allah itu, yakni bahwa bagi orang lapar dan lumpuh pun dapat dibuat sesuatu. Pada gilirannya, optimism yang sama mengubah pertanyaan moral bagi orang Kristen: ganti persoalan abadi “apa yang boleh dilakukan?”, kini dipertanyakan: apa yang dapat dibuat? Begitu pula, hirearki nilai menurut Kristus amat jelas: pertama-tama mengusahakan keperluan hidup orang yang paling miskin.
Cukuplah disebut dengan singkat, “bahwa Yesus secara eksplisit menghubungkan kasih Allah dengan kasih terhadap sesame (Mark 12:28-34), sehingga moral Kristen adalah moral kasih tak bersyarat, dalam melayani sesama untuk mengakhiri penguasaan manusia terhadap manusia. Bagi orang Kristen, moral bukanlah teori melainkan praktis (Luk 10:25-37). Ajaran moral Kristen sedikit banyak mengandaikan, “bagaimana kamu harus hidup supaya berkenan kepada Allah”, dan membesarkan hati orang beriman supaya “melakukannya lebih sungguh-sungguh lagi”(1 Tes 4:1).
2.11. PAK dalam Moralitas Orang Dewasa[31]
Demikian juga dengan peran agama dalam pembentukan karakter individu itu sendiri merupakan hal yang sangat penting guna menumbuh kembangkan iman kerohanian masing-masing pribadi agar sesuai dengan karakter. Tuhan itu bagaimana sebenarnya. Yesus sendiri merupakan tokoh pluralism sejati, ia sendiri telah meneladani murid-murid-Nya untuk mengasihi sesama manusia seperti dirinya sendiri. Melalui perumpamaan orang samaria yang baik hati, ia telah menjelaskan sikapnya bahwa sebagai warha masyarakat pengikutnya harus mengasihi sesama dengan totalitas hidupnya, tidak memandang suku, antar golongan, ras dan agama. Oleh karena itu pendidikan pluralism merupakan tuntutan yang harus ditindak lanjuti oleh setiap orang Kristen dalam rangka misi sebagai pembawa kabar damai sejahtera dan damai sejahtera dalam hidupnya. Pengajarannya sangat peduli terhadap manusia; yang sakit disembuhkan; yang lapar dicukupkan; yang mati dibangkitkan; yang lumpuh bisa berjalan serta yang buta bisa melihat. Injil pada dasarnya menolak verbalistik, formalism, tetapi mengutamakan iman dan perbuatan. Ajaran Yesus memerintahkan agar setiap murid-Nya mampu mengekspresikan imannya dalam kepedulian terhadap sesama manusia yang paling membutuhkan. Dengan demikian setiap pengikutnya terpanggil untuk menghadirkan Syalom Allah dalam kehidupan masyarakat merupakan salah satu hakikat iman Kristen.
Bagaimana PAK dewasa dapat memberikan sumbangsih bagi pembangunan Kristus:
1. Mempersiapkan program pendidikan bagi jemaat
2. Melaksanakan pengajaran iman Kristen Alkitabiah bagi jemaat
3. Menyediakan suasana yang kondusif baik pertumbuhan jemaat baik secara kualitatif maupun kuantitatif
4. Meningkatkan kualitas hidup rohani yang bertanggung jawab
5. Memperlengkapi jemaat untuk melaksanakan amanat Agung Yesus Kristus
2.12. Peran PAK dalam Rangka Membentuk Moralitas Kristiani Orang Dewasa
Peran Agama dalam menambahkan nilai pada orang dewasa terletak dalam:
1. Member bimbingan (support) memberi hiburan dan dukungan. Manusia dewasa perlu bimbingan menghadapi masa depan terkhusus dalam hal membangun moral Kristiani, sehingga PAK hadir memberikan pembelajaran moral yang Alkitabiah dalam menjalani kehidupan duniawi.
2. Pengajaran PAK dalam lingkungan dewasa dirasakan memberikan merasa aman dan memberikan identitas moral yang kokoh dalam menghadapi perubahan kemajuan kehidupan manusia yang semakin kurang bermoral.
3. Pengajaran Kristen memberikan sekaligus pengajaran norma kehidupan sebagai social control agar pribadi dewasa mengarah pada hal positif dan jalur Kristiani.
4. Membentuk pemahaman kritik sosial (norma yang ada ditinjau ulang, sesuai fungsi kenabiannya). Artinya kritik ini sebagai pembangun dalam kehidupan yang tidak lagi sesuai dengan pengajaran Kristiani.
5. Member identitas moral Kristen kepada sebuah pribadi tersebut sehingga menyadarkan tentang siapa, mereka dan apa tujuan mereka seturut dengan rencana Allah kepada setiap masing-masing orang.
6. Sebagai sarana untuk mengenal kasih Allah dan menghayati kasih Allah dalam Yesus Kristus pribadi seutuhnya sebagai manusia ciptaan baru yang dewasa dan bertanggung jawab kepada Allah dan manusia, bersedia mengabdikan seluruh hidupnya untuk kehidupan manusia. Sehingga menjadi cerminan bagi orang dewasa untuk membentuk pribadi Kristus sebagai pelaku Firman serta mengabdi bagi sesama.[32]
2.13. Hubungan Pendidikan Agama Kristen dengan Moral orang Dewasa[33]
Relasi antara manusia dengan Allah baru menjadi nyata, jika manusia tidak hanya menggemakan semata-mata sapaan Allah, melainkan memberikan jawaban yang berasal dari penghayatan diri manusia yang bertanggung jawab, juga dalam relasinya dengan Allah. dalam rangka hubungan wahyu-iman (jawaban atau ketaatan iman), perbuatan moral diangkat menjadi perwujudan iman. Perbuatan moral orang beriman juga tidak dimaksudkan sebagai sumbangan iman dalam usaha untuk memperbaiki dan menyempurnakan dunia. Dalam rangka iman, perbuatan moral perlu, supaya senyatanya terjadi relasi antara Allah yang mewahyukan Diri dan manusia yang dipanggil-Nya. dalam rangka iman, perbuatan moral manusia menjadi sangat penting: supaya iman terwujudkan. Bagi orang beriman, perbuatan moral lebih dari pada hanya penerapan iman dalam hidup sehari-hari, dan lebih dari pada hanya konsekuensi dari keyakinan iman. Maka biasanya iman sebagai jawaban manusia dalam relasinya dengan Allah mendapat, yaitu kenyataannya dan kesungguhannya dalam perbuatan hidup sekular. Dan perbuatan agama (hanyalah) pancingan atau panggilan untuk mewujudkan iman, ataupun (hanyalah) mengungkapkan relasi yang (sudah) terbentuk dalam perbuatan-perbuatan hidup. Dengan kepercayaan dasar yang secara implisit terlaksana dalam perbuatan moral, perbuatan moral dapat diangkat dalam hubungan rahmat dan iman dan mungkin menjadi pelaksanaan kepercayaan dan penyerahan akan Allah yang Transenden, yang memanggil manusia. Kepercayaan dasar dan keterarahan kepada Nan-Transenden merupakan salah satu sifat dasar dari perbuatan atau kesadaran moral manusia. Kepercayaan dasar itu adalah ciri dari suatu usaha manusia dan sambil menghayati usaha tersebut, manusia mencari Allah dan dalam arti tertentu “sampai pada” Allah. Perbuatan moral orang Kristen yang mewujudkan relasi iman yang berpangkal dari Allah dan menuju kepada Allah, merupakan perwujudan iman dan tetap bersifat sekular.
Dalam iman, manusia menyerahkan diri secara total kepada Allah, yang diakui sebagai nilai tertinggi dan mutlak, dan oleh karena itu iman sebagai penyerahan itu adalah pasti. Kemantapan iman ini dapat memperoleh wujud dalam kemantapan moral. Namun kemantapan moral itu bukan “nekat” melainkan pertama-tama sikap lepas bebas terhadap segala nilai yang bersifat terbatas dan sementara baru selanjutnya kemantapan moral merupakan juga commitment yang pasti, yang diberikan dalam usaha setiap hari, kendati disadari keterbatasannya.
III. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan PAK menghasilkan seseorang yang bijaksana dan bijak dalam kehidupan, manusiawi, dalam hubungan dengan sesamanya manusia, mampu dalam penggunaan tubuhnya, dan yang hidup beriman sebagai makhluk yang bergantung kepada Allah. Orang dewasa juga masih mempunyai perkembangan moral. Moral adalah sopan santun, kebiasaan, adat istiadat dan aturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Jadi dalam perkembangan moral orang dewasa terdiri dari 3 tingkatan yaitu tingkat pra-konvensional, tingkat konvensional, tingkat pasca-konvensional. Sehingga PAK dan Moral membantu Orang Dewasa untuk lebih hidup dalam tindakan Positif dalam kehidupan Orang Dewasa. Yang dimana dalam pedidikan moral tersebut diperlukan norma yang merupakan hukum, norma, peraturan, dan ketetapan yang harus dilakukan oleh setiap manusia, karena ia akan dikatakan bermoral jika hidup sesuai dengan pengertian moral tersebut. Moral menjadi penting bagi manusia, karena moral itu merupakan ukuran atau standart bagi manusia untuk berperilaku. Orang harus senantiasa hidup berlandaskan moral jika ia mau dikatakan baik dalam berperilaku. Adapun hubungannya dengan PAK adalah, PAK memberikan ukuran atau standart moral yang berlandaskan azas Kristiani.
IV. Daftar Pustaka
A Djuretna., Moral dan Religi, (Yogyakarta: Kanisius, 1994).
Agung & Hartono Sunarto, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002).
Ali Mohammad, Psikologi Remaja (Perkembangan Peserta Dididik), (Jakarta: PT Bumi Aksara 2010).
Anshoriy HM. Nasruddin, Dekonstruksi Kekuasaan, (Yogyakarta: LKiS, 2008).
Bernhard Kieser SI, , Moral Dasar Kaitan Iman dan Perbuatan, (Yogyakarta: KANISIUS:1987).
Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002).
Boehkle Robert R., Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktik Pendidikan Agama Kristen-Jilid II,(Jakarta:BPK Gunung Mulia,2006).
Budiningsih Asri, Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik Siswa dan Budayanya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004).
Budiningsih Asri, Pembelajaran Moral, (Jakarta: IKAPI, 2008).
Darmadi Hmaid, Dasar Konsep Pendidikan Moral, (Bandung: Alfabeta, 2009).
E I.H. Enklaar. & G. Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen.
Groome Thomas H., Christian Religious Education/Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta:BPK-GM, 2010).
Hasan Shahizan, dkk, Komunikasi Kaunseuling, (Bukit Tinggi: PTS Professional, 2005).
Hurlock Elizabeth B., Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 1980).
Junihot. S., Psikologi Pendidikan Agama Kristen, (Yogyakarta: Andi, 2016).
Kristanto Paulus Lilik, Prinsip dan Praktik Pendidikan Agama Kristen.
Lase Jason, PendidikanAgama Kristen, (Bandung:Media Informasi,2005).
Nainggolan Jhon M., Menjadi Guru Agama Kristen, (Bandung:Generasi Info Media,2006).
Santrock John W., Adolence, (Jakarta: Erlangga, 2003).
Sidjabat B. Samuel,Strategi Pandidikan Kristen, (Yogyakarta: Andi, 1996).
SJ Bernhard Kieser, Moral DasarKaitanImandanPerbuatan.
Sudjana H. D., Strategi Pembelajaran, (Bandung: Falah Production, 2005).
Tambunan Elia, Pendidikan Agama Kristen: Handbook Untuk Pendidikan Tinggi, (Yogyakarta: Illumination, 2014).
W Santrock, John., Development Perkembangan Masa Hidup, (Jakarta: Erlangga, 2002).
Zuriah Nurul, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perpsektif Perubahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2017).
Sumber lain:
http://penabicara-suarapena-blogspot.com/2010/12/pendidikan-karakter-sebagai-solusi html
https://tahap-tahap-perkembangan-moral-terdiri-dari-3-tingkat
[1] B. Samuel Sidjabat,Strategi Pandidikan Kristen, (Yogyakarta: Andi, 1996), 111-112.
[2]H. D. Sudjana, Strategi Pembelajaran, (Bandung: Falah Production, 2005), 2.
[3]Jason Lase, PendidikanAgama Kristen, (Bandung:Media Informasi,2005),83 .
[4]Jhon M. Nainggolan, Menjadi Guru Agama Kristen, (Bandung:Generasi Info Media,2006),11.
[5]Robert R.Boehkle, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktik Pendidikan Agama Kristen-Jilid II,(Jakarta:BPK Gunung Mulia,2006),737.
[6]Paulus Lilik Kristanto, Prinsip dan Praktik Pendidikan Agama Kristen, 2-4.
[7] Paulus LilikKristianto, PrinsipdanPraktek PAK, 103.
[8] Elia Tambunan, Pendidikan Agama Kristen: Handbook Untuk Pendidikan Tinggi, (Yogyakarta: Illumination, 2014), 45-46 .
[9] Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 1980), 2.
[10] Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 7 .
[11] Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perpsektif Perubahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2017), 7 .
[12] Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik Siswa dan Budayanya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 24 .
[13] Junihot. S., Psikologi Pendidikan Agama Kristen, (Yogyakarta: Andi, 2016), 136.
[14]Mohammad Ali, Psikologi Remaja (Perkembangan Peserta Dididik), (Jakarta: PT Bumi Aksara 2010), 89.
[15]Paulus LilikKristianto,Prinsipdan Praktik PAK, 214-217.
[16]E.G. Homrighausen &I.H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, 123-125.
[17]Hartono Sunarto & Agung, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 101-102.
[18]Mohammad Ali, Psikologi Remaja (Perkembangan Peserta Dididik), 91.
[19]Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral, (Jakarta: IKAPI, 2008), 52-54.
[20] http://penabicara-suarapena-blogspot.com/2010/12/pendidikan-karakter-sebagai-solusi html, diakses pada tanggal 17 Oktober 2020 Pukul 20.31 .
[21] Mohammad Ali dan Mohhamad Asrori, Psikologi Remaja, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 56 .
[22] Djuretna A., Moral dan Religi, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 36.
[23] HM. Nasruddin Anshoriy, Dekonstruksi Kekuasaan, (Yogyakarta: LKiS, 2008), 30.
[24] Hmaid Darmadi, Dasar Konsep Pendidikan Moral, (Bandung: Alfabeta, 2009), 51.
[25] Djuretna A., Moral dan Religi, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 86.
[26] Shahizan Hasan, dkk, Komunikasi Kaunseuling, (Bukit Tinggi: PTS Professional, 2005), 10-12.
[27]John W. Santrock, Adolence, (Jakarta: Erlangga, 2003), 455.
[28]John W. Santrock, Adolence, 455.
[29] https://tahap-tahap-perkembangan-moral-terdiri-dari-3-tingkat, diakses pada tanggal 18-10-2020, Pukul: 20:30 .
[30] Kieser SI, Bernhard, Moral Dasar Kaitan Iman dan Perbuatan, (Yogyakarta: KANISIUS:1987), 276-279.
[31] Santrock, John. W, Development Perkembangan Masa Hidup, (Jakarta: Erlangga, 2002), 18 .
[32] Thomas H. Groome, Christian Religious Education/Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta:BPK-GM, 2010), 100-102.
[33] Bernhard Kieser SJ, Moral DasarKaitanImandanPerbuatan, 103-110.
Post a Comment