wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

Aliran Teologi Syi’ah (Syi’i)

Aliran Teologi Syi’ah (Syi’i)




I. Pendahuluan

Aliran Syi‟ah adalah salah satu kelompok dalam sejarah pemikiran Islam merupakan sebuah aliran yang muncul dikarenakan gejolak politik dan seterusnya berkembang menjadi aliran teologi dalam Islam.Syi‟ah dikenal sebagai sebuah aliran teologi dalam Islam, yaitu ketika mereka mencoba mengkaitkan iman dan kafir dengan Imam, atau dengan kata lain ketaatan pada seorang Imam merupakan tolak ukur beriman tidaknya seseorang, di samping paham mereka bahwa Imam merupakan wakil Tuhan serta mempunyai sifat ketuhanan.Mengenai kemunculan syiah dalam sejarah terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Ada yang mengatakan syiah muncul pada masa khalifah Utsman bin Affan, ada juga yang mengatakan syiah muncul ketika peperangan siffin terjadi yang kemudian terpecah menjadi dua kelompok salah satunya adalah yang mendukung khalifah Ali bin Abi Thalib, dalam sajian kami ini kami akan menjelaskan Pengertian, Latar belakang, Dasar-Dasar Syi’ah, Ajaran Teologinya serta Sekte-sektenya. Supaya lebih jelasnya lagi, di sini kami penyaji akan memaparkan tentang “aliran teologi syi’ah”, semoga wawasan kita semakin berkembang luas tentang teologi Syi’ah.

II. Pembahasan

2.1. Pengertian Syi’ah

Sejak masa Rasulullah Saw. serta dua khalifahnya, yaitu Abu Bakar dan ‘Umar, belum pernah ditemukan adanya satu golongan politik atau golongan agama yang memiliki banyak pengikut, mempunyai karakter dan identitas khusus, dan memiliki target yang jelas. Golongan itu baru muncul pada akhir masa kekhalifahan ‘Utsman. Mereka adalah orang-orang Syi’ah yang sangat setia kepada ‘Ali yang meyakini kekhalifahan Ali didasarkan pada nash (ketetapan berdasarkan teks suci) dan wasiat dari Rasulullah Saw., baik yang disampaikan secara jelas maupun samar. Menurut mereka, seharusnya imamah (tampuk kepemimpinan) itu diduduki oleh Ali dan keturunannya, serta tidak boleh lepas darinya. Jika terlepas, itu berarti disebabkan oleh kezaliman dari orang lain; atau karena taqiyah dari ‘Ali sendiri. Imamah adalah rukun agama. Rasulullah Saw. tidak mungkin melupakan atau menyia-nyiakannya, dan tidak mungkin pula menyerahkannya kepada masyarakat umum.[1]

2.2. Latar Belakang Munculnya Aliran Syi’ah

Para ulama masih berbeda pendapat mengenai asal-usul Syi’ah dan perkembangannya. Menurut Prof. Walhus, akidah Syi’ah banyak terpengaruh oleh ajaran Yahudi, bukan Persia, mengingat pendirinya adalah Abdullah bin Saba’ yang berasal dari Yahudi. Sedangkan Prof. Dawzi cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa pendiri aliran Syi’ah adalah orang Persia. Orang Arab memeluk agama dengan bebas dan tanpa paksaan. Sementara orang Persia beragama sesuai dengan agama warisan nenek moyangnya dan tidak mengenal urgensi pemilihan khalifah.

Menurut Prof. Ahmad Amin, Syi’ah sudah muncul sebelum orang-orang Persia masuk Islam, tetapi masih belum ekstrim seperti sekarang. Mereka hanya berpendapat bahwa Ali lebih utama dari pada para sahabat lainnya karena dua hal: kepribadiannya yang agung dan kedekatannya dengan Nabi Muhamad Saw. Kemudia paham Syi’ah ini berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan adanya kasus pembunuhan terhadap ‘Utsman. Pernyataan ini disepakati oleh Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud. Ia menilai bahwa pada mulanya orang Syi’ah hanya mengagumi kepribadian Ali dan kedekatannya dengan Rasullullah Saw.

Syaikh Abu Zahroh berpendapat, Syi’ah adalah golongan Islam yang paling tua. Pemikiran politik mereka tampak jelas pada akhir masa kekhalifahan ‘Utsman. Sementara sebagai sebuah paham, Syi’ah tumbuh dan berkembang pada masa kekhalifahan ‘Ali. Pendapat ini dikemukakan juga oleh Ibnu an-Nadim dalam kitab al-Fihrisat.

Dalam pandangan Muhamad Jawwad, seorang pengikut Syi’ah sekte Imamiah, “sebenarnya perjalanan paham Syi’ah seiring dengan sejarah penegasan dari Nabi Saw bahwa kursi kekhalifahan diperuntukkan bagi ‘Ali. Para sahabat juga menganggap ‘Ali adalah sahabat utama Rasulullah Saw[2].

2.3. Dasar-dasar Syi’ah[3]

Imamah dan khilafah adalah asas terpenting bagi golongan Syi’ah dan dianggap sebagai pembeda antara golongan Syi’ah dan golongan lainnya. Ada empat hal pokok yang berkaitan erat dengan masalah imamah dan Khilafah, yaitu at-ta’yin wa at-tanshish (penentuan dan penunjukan), ‘ishmah (keterjagaan dari perbuatan dosa), al-mahdiyyah wa ar-raj’iyyah (kebangkitan dan kebebasan dari api neraka), dan at-taqiyah (menyembunyikan kesyi’ahan seseorang).

2.3.1. At-Ta’yin wa at-Tanshish

Syi’ah menganggap imamah bukan permasalahan publik yang diputuskan melalui pemilihan umum. Terpilihnya seseorang menjadi imam (khalifah) sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Karena itu, imamah adalah sesuatu yang prinsipal dan merupakan rukun agama. Rasulullah Saw. tidak boleh melupakan atau menyia-nyiakannya, dan tidak mungkin menyerahkan kepada masyarakat umum. Sebaliknya, Rasulullah telah menentukan penggantinya, baik secara jelas atau samar. Menurut Mahmud Jawwad, Syi’ah mempunyai padangan yang berbeda dengan golongan lain mengenai masalah imamah. Bagi Syi’ah, imamah itu sudah ditetapkan penunjukannya melalui nash (teks Al-Quran atau hadis) dari Nabi Saw. beliau juga tidak diperkenankan melupakan nash tersebut dan menyerahkan urusan imamah sesuai pilihan umat.

2.3.2. ‘Ishmah

Syi’ah berpendapat, para imam seperti para nabi yang setiap langkah hidupnya dijaga oleh Allah Swt. Mereka meyakini, para imam tidak pernah melakukan dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil, dan tidak pernah melakukan kekeliruan atau kealpaan.

Mahmud Jawwad mengatakan, “Syi’ah bagi hakim yang berhak menguasai urusan dunia dan akhirat adalah hendaknya ia terjaga (ma’shum) dari kesalahan dan kekeliruan dalam ilmu dan amalnya; atau orang yang mendapat restu dari imam yang ma’shum karena dianggap memiliki ilmu yang mendalam dan akhlaknya baik. Jika kriteria-kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka ia tidak berhak memutuskan hukum atas nama Allah dan agama.

2.3.3. Al-Mahdiyyah wa ar-Raj’iyyah

Syi’ah meyakini bahwa al-Mahdi adalah imam yang kedatangannya sangat dinanti untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Orang gerenasi pertama yang meyakini adanya ruj’ah (kembalinya orang mati ke dunia, penerj.) adalah Abdullah bin Saba’. Ia meyakini bahwa Nabi Muhamad Saw. akan kembali ke dunia setelah kewafatannya. Banyak juga orang Syi’ah Imamiah yang mempunyai keyakinan seperti ini. Mereka mengira bahwa Nabi Muhamad Saw., ‘Ali, al-Hasan, al-Husain, imam-imam lainnya, serta rival-rival mereka seperti Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, Mu’awiyah, dan Yazid, semuanya itu akan dikembalikan hidup ke dunia setelah munculnya Imam Mahdi. Kemudian orang-orang yang memusuhi para imam, dan membunuhnya, maka akan disiksa. Setelah penyiksaan itu selesai, mereka akan dimatikan lagi, baru dibangkitkan kembali pada hari kiamat nanti.

2.3.4. Taqiyah

Taqiyah berarti memperlihatkan ketaatan dan kesetiaan untuk menjaga kehormatan, jiwa dan harta benda. Taqiyah adalah sebuah siasat rahasia, yang menurut Syi’ah disebut an-nizham as-sirri (sistem rahasia). Jika imam ingin melakukan pemberontakan atau kudeta terhadap khalifah, maka ia menyusun strategi dan perencanaan yang matang. Lalu ia memberitahukan rencana tersebut secara rahasia kepada para pengikutnya. Selama rencana tersebut belum berhasil, mereka diharuskan tetap taat kepada khalifah yang sah. Itulah makna taqiyah yang sesungguhnya. Jika merasakan adanya ancaman dari orang kafir atau golongan Sunni, maka mereka berpura-pura tidak terjadi apa-apa dan seakan-akan mereka tetap menjalani aturan. Sikap seperti ini bisa juga disebut sebagai taqiyah. Atas dasar inilah, sebagian mereka menyarankan kepada orang-orang Syi’ah yang berkumpul dengan ahli Sunah agar tetap mengikuti tata cara salat, puasa, dan semua tata cara beragama ala Sunni. Sikap Syi’ah yang seperti ini sangat bertolak belakang dengan pemikiran Khawarij yang mewajibkan untuk memberontak kepada penguasa yang zalim.

Menurut Prof. Ahmad Amin, pada hakikatnya Syi’ah sangat cocok menjadi tempat perlindungan bagi orang yang ingin menghancurkan Islam, karena unsur permusuhan atau dendam. Syi’ah juga bisa menjadi media yang tepat bagi orang yang ingin merusak ajaran Islam dengan menyebarkan pemikiran-pemikiran dari agama Yahudi, Nasrani, Zaratusta, dan Hindu. Selain itu, juga bisa menjadi kendaraan politik bagi orang yang ingin memerdekakan negaranya dan keluar dari kekuasaan negara tertentu. Mereka semua menjadikan kecintaan kepada ahli bait sebagai tabir untuk menutupi segala rencana jahat yang di cita-citakannya. Orang-orang Yahudi menampakkan kesyi’ahan mereka dengan cara mengemukakan konsep raj’iyyah. Karena itu, orang Syi’ah mengatakan, “Neraka diharamkan membakar tubuh orang Syi’ah, kecuali beberapa saat saja” sebagaimana pernyataan orang Yahudi, “Kami tidak akan terbakar api neraka, kecuali hanya beberapa hari saja.” Orang nasrani menampakkan kesyi’ahan mereka dengan cara memposisikan ‘Ali seperti posisi Nabi ‘Isa. Mereka menganggap ‘Ali atau Nabi ‘Isa adalah titisan Allah. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya al-lahut (sifat ketuhanan) dan an-nasut (sifat kemanusiaan) telah menyatu dalam diri seorang imam, serta kenabian dan risalah tidak pernah terputus. Karena itu, orang yang telah menyatu dengan sifat ketuhanan dapat dikategorikan sebagai nabi, dan seterusnya.

2.4. Pokok-pokok Ajaran Teologi Syi’ah

2.4.1. Ajaran Teologi Aliran Syi’ah

Kaum Syi’ah memiliki 5 pokok pikiran utama yang harus dianut oleh para pengikutnya diantaranya yaitu at tauhid, al ‘adl, an nubuwah, al imamah dan al ma’ad dan ajaran lainnya, yaitu:

1. At tauhid

Kaum Syi’ah juga meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat bergantung semua makhluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk yang ada di bumi ini. Namun, menurut mereka Allah memiliki 2 sifat yaitu al-tsubutiyah yang merupakan sifat yang harus dan tetap ada pada Allah SWT. Sifat ini mencakup ‘alim (mengetahui), qadir (berkuasa), hayy (hidup), murid (berkehendak), mudrik (cerdik, berakal), qadim azaliy baq (tidak berpemulaan, azali dan kekal), mutakallim (berkata-kata) dan shaddiq (benar). Sedangkan sifat kedua yang dimiliki oleh Allah SWT yaitu al-salbiyah yang merupakan sifat yang tidak mungkin ada pada Allah SWT. Sifat ini meliputi antara tersusun dari beberapa bagian, berjisim, bisa dilihat, bertempat, bersekutu, berhajat kepada sesuatu dan merupakan tambahan dari Dzat yang telah dimilikiNya.[4]

2. Al ‘adl

Kaum Syi’ah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat Maha Adil. Allah tidak pernah melakukan perbuatan zalim ataupun perbuatan buruk yang lainnya. Allah tidak melakukan sesuatu kecuali atas dasar kemaslahatan dan kebaikan umat manusia. Menurut kaum Syi’ah semua perbuatan yang dilakukan Allah pasti ada tujuan dan maksud tertentu yang akan dicapai, sehingga segala perbuatan yang dilakukan Allah Swt adalah baik. Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep keadilan Tuhan yaitu Tuhan selalu melakukan perbuatan yang baik dan tidak melakukan apapun yang buruk.Tuhan juga tidak meninggalkan sesuatu yang wajib dikerjakanNya.[5]

3. An nubuwwah

Kepercayaan kaum Syi’ah terhadap keberadaan Nabi juga tidak berbeda halnya dengan kaum muslimin yang lain. Menurut mereka Allah mengutus nabi dan rasul untuk membimbing umat manusia. Rasul-rasul itu memberikan kabar gembira bagi mereka-mereka yang melakukan amal shaleh dan memberikan kabar siksa ataupun ancaman bagi mereka-mereka yang durhaka dan mengingkari Allah SWT. Dalam hal kenabian, Syi’ah berpendapat bahwa jumlah Nabi dan Rasul seluruhnya yaitu 124 orang, Nabi terakhir adalah nabi Muhammad SAW yang merupakan Nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada, istri-istri Nabi adalah orang yang suci dari segala keburukan, para Nabi terpelihara dari segala bentuk kesalahan baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Rasul, Al Qur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad yang kekal, dan kalam Allah adalah hadis (baru), makhluk (diciptakan) hukian qadim dikarenakan kalam Allah tersusun atas huruf-huruf dan suara-suara yang dapat di dengar, sedangkan Allah berkata-kata tidak dengan huruf dan suara.[6]

4. Al-Imamah

Bagi kaun Syi’ah imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama sekaligus dalam dunia. Ia merupakan pengganti Rasul dalam memelihara syari’at, melaksanakan hudud (had atau hukuman terhadap pelanggar hukum Allah), dan mewujudkan kebaikan serta ketentraman umat. Bagi kaum Syi’ah yang berhak menjadi pemimpin umat hanyalah seorang imam dan menganggap pemimpin-pemimpin selain imam adlah pemimpin yang ilegal dan tidak wajib ditaati. Karena itu pemerintahan Islam sejak wafatnya Rasul (kecuali pemerintahan Ali Bin Abi Thalib) adalah pemerintahan yang tidak sah. Di samping itu imam dianggap ma’sum, terpelihara dari dosa sehingga iamam tidak berdosa serta perintah, larangan tindakan maupun perbuatannya tdak boleh diganggu gugat ataupun dikritik.[7]

5. Al-Ma’ad

Secara harfiah al ma’dan yaitu tempat kembali, yang dimaksud disini adalah akhirat. Kaum Syi’ah percaya sepenuhnya bahwa hari akhirat itu pasti terjadi. Menurut keyakinan mereka manusia kelak akan dibangkitkan, jasadnya secara keseluruhannya akan dikembalikan ke asalnya baik daging, tulang maupun ruhnya. Dan pada hari kiamat itu pula manusia harus memepertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di dunia di hadapan Allah SWT. Pada saaat itu juga Tuhan akan memberikan pahala bagi orang yang beramal shaleh dan menyiksa orang-orang yang telah berbuat kemaksiatan.

2.5. Sekte-sekte Ajaran Teologi Syi’ah

Semua sekte dalam Syi'ah sepakat bahwa imam yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan bin Ali, lalu Husein bin Ali. Namun setelah itu muncul perselisihan mengenai siapa pengganti imam Husein bin Ali. Dalam hal ini muncul dua pendapat. Pendapat kelompok pertama yaitu imamah beralih kepada Ali bin Husein, putera Husein bin Ali, sedangkan kelompok lainnya meyakini bahwa imamah beralih kepada Muhammad bin Hanafiyah, putera Ali bin Abi Thalib dari isteri bukan Fatimah. Akibat perbedaan antara dua kelompok ini maka muncul beberapa sekte dalam Syi'ah. Para penulis klasik berselisih tajam mengenai pembagian sekte dalam Syi'ah ini. Akan tetapi, para ahli umumnya membagi sekte Syi'ah dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah dan Kaum Gulat.

1. Al-Kaisaniyah

Kaisaniyah ialah nama sekte Syiah yang meyakini bahwa kepemimpinan setelah Ali bin Abi Thalib beralih ke anaknya Muhammad bin Hanafiyah. Para ahli berselisih pendapat mengenai pendiri Syiah Kaisaniyah ini, ada yang berkata ia adalah Kaisan bekas budak Ali bin Abi Thalib r.a. Ada juga yang berkata bahwa ia adalah Almukhtar bin Abi Ubaid yang memiliki nama lain Kaisan.[8]Diantara ajaran dari Syiah Kaisaniyah ini ialah, mengkafirkan khalifah yang mendahului Imam Ali r.a dan mengkafirkan mereka yang terlibat perang Sifin dan Perang Jamal (Unta), dan Kaisan mengira bahwa Jibril a.s mendatangi Almukhtar dan mengabarkan kepadanya bahwa Allah Swt menyembunyikan Muhammad bin Hanafiyah.Sekte Kaisaniyah ini terbagi menjadi beberapa kelompok, namun kesemuanya kembali kepada dua paham yang berbeda yaitu: 1. Meyakini bahwa Muhammad bin Hanafiyah masih hidup. 2. Meyakini bahwa Muhammad bin Hanafiyah telah tiada, dan jabatan kepemimpinan beralih kepada yang lain.[9]

Pokok-pokok ajaran Syi’ah al-Kaisaniyah anatara lain:

a. Mereka tidak percaya adanya roh Tuhan menetes ke dalam tubuh Ali ibn Abi Thalib, seperti kepercayaan orang-orang Saba’iyah.

b. Mereka mempercayai kembalinya imam (raj’ah) setelah meninggalnya. Bahkan kebanyakan pengikut al-Kaisaniyah percaya bahwa Muhammad Ibn Hanafiyah itu tidak meninggal, tetapi masih hidup bertempat di gunung Radlwa.

c. Mereka menganggap bahwa Allah Swt. itu mengubah kehendak-Nya menurut perubahan ilmu-Nya. Allah Swt. Memerintah sesuatu, kemudian memerintah pula kebalikannya.

d. Mereka mempercayai adanya reinkarnasi (tanasukh al-arwah).

e. Mereka mempercayai adanya roh.[10]

2. Al-Zaidiyah

Zaidiyah adalah sekte dalam Syi'ah yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin setelah kepemimpinan Husein bin Ali. Mereka tidak mengakui kepemimpinan Ali bin Husein Zainal Abidin seperti yang diakui sekte imamiyah, karena menurut mereka Ali bin Husein Zainal Abidin dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin. Dalam Zaidiyah, seseorang dianggap sebagai imam apabila memenuhi lima kriteria, yakni: keturunan Fatimah binti Muhammad SAW, berpengetahuan luas tentang agama, zahid (hidup hanya dengan beribadah), berjihad dihadapan Allah SWT dengan mengangkat senjata dan berani. Sekte Zaidiyah mengakui keabsahan khalifah atau imamah Abu Bakar As-Sidiq dan Umar bin Khattab. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib dinilai lebih tinggi dari pada Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Oleh karena itu sekte Zaidiyah ini dianggap sekte Syi'ah yang paling dekat dengan sunnah.[11] Disebut juga Lima Imam dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam mereka yaitu:

1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin

2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba

3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid

4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin

5. Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.

Pokok-pokok ajaran Syi’ah Zaidiyah, terdiri dari beberapa hal. Diantaranya:

a. Ilmu al-Faidh al-Ilahi, yang Allah melimpahkannya pada imam. Maka dengan itu imam-imam, mempunyai kedudukan di atas manusia pada umumnya dan beilmu belebihi manusia lainnya. Mereka secara khusus mempunyai ilmu yang tidak dimiliki orang lain. Baginya mengetahui ilmu Syari’at melebihi apa yang diketahui.

b. Sesungguhnya iman itu tidak harus tampak dan di kenal masyarakat, tetapi boleh jadi samar bersembunyi. Namun demikian tetap harus ditaati. Dialah al-Mahdi yang member petunjuk kepada manusia, sekalipun dia tidak tampak pada beberapa waktu. Dia tentu muncul, dan hari kiamat tidak akan dating sampai al-Mahdi itu muncul, memenuhi bumi ini dengan keadilan, sebagaimana kejahatan dan kezaliman telah merajalela.

c. Sesungguhnya imam itu tidak bertanggungjawab di hadapan siapa pun. Seorang pun tidak boleh menyalahkannya, apa pun yang diperbuatnya. Masyarakat harus membenarkan bahwa apa yang diperbuatnya adalah baik, tidak ada kejelekan sedikitpun. Sebab imam mempunyai ilmu yang tidak dapat dicapai orang lain. Karena itulah mereka menetapkan bahwa imam itu ma’shum.[12]

3. Al-Imamiyah

Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa nabi Muhammad SAW telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam pengganti dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar, Umar, maupun Utsman. Bagi mereka persoalan imamah adalah salah suatu persoalan pokok dalam agama atau ushuludin. Sekte imamah pecah menjadi beberapa golongan. Golongan yang besar adalah golongan Isna' Asyariyah atau Syi'ah dua belas. Golongan terbesar kedua adalah golongan Isma'iliyah. Golongan Isma'iliyah berkuasa di Mesir dan Baghadad.[13] Disebut juga Tujuh Imam. Dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari 'Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:

1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin

2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan Al-Mujtaba

3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain Asy-Syahid

4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin

5. Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad Al-Baqir

6. Ja'far bin Muhammad bin Ali (703–765), juga dikenal dengan Ja'far Ash Shadiq

7. Ismail bin Ja'far (721 – 755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.

4. Al-Ghaliyah (Kaum Ghulat)

Istilah ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw yang artinya bertambah dan naik. Ghala bi ad-din yang artinya memperkuat dan menjadi ekstrim sehingga melampaui batas. Syi’ah ghulat adalah kelompok pendukung Ali yang memiliki sikap berlebih-lebihan atau ekstrim. Lebih jauh Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syi’ah ekstrem (ghulat) adalah kelompok yang menempatkan Ali pada derajat ketuhanan, dan ada yang mengangkat pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi daripada Nabi Muhammad.[14] Gelar ektrem (ghuluw) yang diberikan kepada kelompok ini berkaitan dengan pendapatnya yang janggal, yakni ada beberapa orang yang secara khusus dianggap Tuhan dan ada juga beberapa orang yang dianggap sebagai Rasul setelah Nabi Muhammad. Selain itu mereka juga mengembangkan doktrin-doktrin ekstrem lainnya tanasukh, hulul, tasbih dan ibaha.[15]

III. Kesimpulan

Sejak masa Rasulullah Saw. serta dua khalifahnya, yaitu Abu Bakar dan ‘Umar, belum pernah ditemukan adanya satu golongan politik atau golongan agama yang memiliki banyak pengikut, mempunyai karakter dan identitas khusus, dan memiliki target yang jelas. Golongan itu baru muncul pada akhir masa kekhalifahan ‘Utsman. Mereka adalah orang-orang Syi’ah yang sangat setia kepada ‘Ali yang meyakini kekhalifahan Ali didasarkan pada nash (ketetapan berdasarkan teks suci) dan wasiat dari Rasulullah Saw., baik yang disampaikan secara jelas maupun samar. Para ulama masih berbeda pendapat mengenai asal-usul Syi’ah dan perkembangannya. Menurut Prof. Walhus, akidah Syi’ah banyak terpengaruh oleh ajaran Yahudi, bukan Persia, mengingat pendirinya adalah Abdullah bin Saba’ yang berasal dari Yahudi. Sedangkan Prof. Dawzi cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa pendiri aliran Syi’ah adalah orang Persia. Orang Arab memeluk agama dengan bebas dan tanpa paksaan. Sementara orang Persia beragama sesuai dengan agama warisan nenek moyangnya dan tidak mengenal urgensi pemilihan khalifah.

IV. Daftar Pustaka

NahrawiAbdus Salam Al-Indunis, Ahmad, Ensiklopedia Imam Syafi’I, (Jakarta: Mizan Publika, 1988)

Zahrah Abu, Muhammad, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta : Logos Publishing House, 1996)

Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya

Nasir. A, Salihun, Pemikiran Kalam

Abu Su’ud, Solah, As’ Syiah An Nasyaah As Syiasiyah wal Aqidah Ad’ Diniyah, (Giza: Maktabah Nafidah, 2004)






[1]DR. Ahmad NahrawiAbdus Salam Al-Indunis, Ensiklopedia Imam Syafi'i, (Jakarta: PT Mizan Publika, 1988), 95.

[2]Ahmad NahrawiAbdus Salam Al-Indunis, Ensiklopedia Imam Syafi'i, 95-96.


[3]Ahmad NahrawiAbdus Salam Al-Indunis, Ensiklopedia Imam Syafi'i, 97-99.


[4]Ibid, 94.


[5]Ibid, 94.


[6]Ibid, 94.


[7]Ibid, 94.


[8]Solah Abu Su’ud, As’ Syiah An Nasyaah As Syiasiyah wal Aqidah Ad’ Diniyah, (Giza: Maktabah Nafidah, 2004), 158.


[9]Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, 108.


[10]Ibid, 108-109.


[11]Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta : Logos Publishing House, 1996), 25.


[12]Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam…, 117.


[13]Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, 27-28.

Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Total Pageviews
Times/ Waktu
Waktu di Kota Medan: