wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

Etika Perjanjian Lama



Etika Perjanjian Lama

I. Pendahuluan

Dalam pertemuan kali ini kita akan membahas tentang etika Perjanjian Lama, Alkitab adalah firman Allah yang hidup dan menjadi dasar kehidupan umat Kristen. Untuk lebih memahami bagaimana etika yang diajarkan kepada kita melalui Alkitab, dalam sajian kali ini kita akan mendalami etika di dalam Alkitab terkusus didalam Perjanjian Lama, semoga sajian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

II. Pembahasan

2.1.Pengertian Etika Perjanjian Lama

Kata etika sebenarnya berasal dari bahwa Yunani yaitu Ethos dan Ta Etika. Ethor berarti kebiasaan dan adat atau lebih condong ke pengertian kesusilaan, perasaan batin, atau kecenderungan hati dengan mana seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan. Jika kita perhatikan dalam PL, tidak muncul kata yang menunjuk kepada etika, namun bisa ditemukan kata yang mendekati ke makna itu. Dalam bahasa Ibrani, kata yang mendekati kepada pengertian etika adalah kata Musar dan derek. Kata Musar. Secara etimologis berarti disiplin, suci, murni, belum berdosa, dll. Sementara kata derek. Secara etimologis berarti jalan, jarak, perjalanan, cara, gaya atau sikap. Jadi jika dilihat dari pengertian tersebut, etika dalam PL dapat dipahami sebagai jalan, gaya, atau sikap yang menentukan jalan hidup seseorang dan ini bisa saja kemudian menjadikan kehidupan orang tersbut suci, atau murni.[1] Menurut Browning, etika merupakan prinsip-prinsip perbuatan benar dan salah. Dasar untuk melakukan apa yang benar dan ketajaman untuk melihat apa yang benar. Agama dan etika sering dianggap sebagai suatu kesadaran manusia yang terpisah. Seseorang dengan religius yang rendah dapat saja memiliki prinsip-prinsip etis yang tinggi dan orang yang religius mungkin saja mengambil standar keputusan yang asing bagi kesadaran moral yang lazim. Sekalipun agama dan etika dianggap berbeda, namun tetap terdapat hubungan yang erat di antara keduanya. Perjuangan moral mendapatkan dasar pengharapannya dari iman kepada Allah yang menjadi pendorongnya. Dalam PL keadaan penuh harapan ini timbul dari perjanjian Allah yang telah diikat dengan Israel. Dan kemudian menjadi bagian dari visi mengenai cara hidup.[2]

2.2.Latar belakang Etika Perjanjian Lama

Di dalam narasi penciptaan alam semesta di kitab Kejadian di gambarkan bahwa Allah Sang Pencipta dalah Allah yang tidak memyukai ke-tidak teraturan, baik dalam kehidupan individu maupun kolektif bahkan bumi secern keluru Penciptaan manusia pertama, Adam dan Hawa disertai kewajiban kewajiban mensyaratkan kebebasan dan sangng jesb etis, demi menjaga kehidupan yang kudus yang tertib di hadapan Allah dan hubungannya dengan nama dalam lapas mereka sebagai mitra dalam penciptaan. Namun dalam kenyataan, manusia pertama itu justru menyalahgunakan kebebasan dengan lebih mengutamakan keinginan Adam dan Hawa mengambil keputusan untuk memilih tidak taat kepada Allah dan sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan itu, mereka diusir dari taman Eden ika pada mulanya mereka berada dalam sebuah tatanan etis maka penghukuman atas pelanggaran menempatkan mereka dalam sebuah lingkup kehidupan pribadi dan sosial yang dibayang-bayangi murka Allah. Meskipun demikian, Allah tidak pernah membiarkan segenap keturunan Adam dan Hawa berada dalam hubungan permusuhan dengan Allah. Justru sebaliknya, la sendiri mengambil prakarsa untuk menyelamatkan manusia dari kekacaubalauan sekaligus mengikat dan memperbaiki perjanjian keselamatan (Kej 6:9). Tulisan ini bermaksud untuk menunjukkan konsistensi hakikat dan tindakan Allah sebagai pemberi hukum dan peraturan sebagai landasan perjanjian kasih karunia-Nya.[3]

2.3.Konsepsi Etika Perjanjian Lama

Pusat dan etika Perjanjian Lama adalah Allah, maka bentuk dasar etika Perjanjian Lama bersifat teosentris yang berkisar pada tindakan Allah dalam sejarah umat-Nya dan yang menuntun respon yang serasi. Maka konsepsi etika dalam Perjanjian Lama selaras dengan etika teonom yang berlandaskan hubungan antara Allah dan umat-Nya.[4] Maka pola teonom berlandaskan pemahaman mengenai hubungan hakiki antara manusia dengan Allah, antara makhluk dengan sang pencipta Hubungan ini adalah hakiki, berarti bahwa itu bukan sesuatu yang fakultatif yang dapat dipilih atau di tolak menurut selera masing-masing dan yang nanti dapat digantikan dengan kegemaran lain. Sebaliknya, hubungan antara makhluk dengan penciptaan merupakan relasi hakiki Dengan kata lain, eksistensi manusia berintikan eksistensinya di hadapan Allah. Allah bukan hanya menciptakan perelasian melainkan kodrat manusia seutuhnya.[5]

2.4.Etika dalam perjanjian lama

Titik tolak etika dalam Perjanjian Lama adalah anugerah Allah terhadap umat-Nya dan turtutan periatahNya yang terikat pada tindakan Nya demi keselamatan umat manusia. Oleh karena itu, bentuk etika perjanjian lama berkisar pada tindakan Allah dalam sejarah umatNya dan juga menuntut respon yang meran. Hal ini juga menjadi konseptilia peren lame selaras dengan etika yang berlandaskan hubungan antara Allah dan umat-Nya Sesuai dengan konsep ini, maka dar etika perjanjian lama dapat disoroti dari empat si pertama, mangan perbuatan Allah dimana bangsa Israel harusmemiliki dorongan untuk mengarah pada kelakuan etis dalam wujud tanggapan akan tindakan-tindakan Allah dalam sejarah kehidugan mereka Kedua, mengikuti teladan Allah, dimana bangsa wajib untuk memperlihatkan sifat Allah melalui kelakuA mereka. Ketiga, hidup dibawah pemerintahan Allah maksudnya adalah menjaga kedaulatan maupun kewibawaan Allah sebagai raja Ilahi Keempat, adalah menaati perintah Allah.[6]

Karya Allah dalam buah peristiwa sejarah label merupakan titik tolak utama dalam etika perjanyian lama Peristwa pemanggilan Abraham yang berujung pada perjanjian menyelamatkan bangsa parsel dari pertatakan merpakan landanan yang paling utama dari seluruh tindakan etis bangsa israel.[7]

2.5.Prinsip dasar etika perjanjian lama

2.5.1. Moralitas manusia pertama (Sikap Allah dan respon manusia berdosa)

Etika perjanjian lama pada dasarnya tidak terlepas dari moralitas manusia pertama Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang istimewa yaitu sebagai gambar Allah, tidak hanya itu saja, manusia yang diciptakan oleh Allah juga memiliki kesamaan moral dengan Allah yang maha suci, hal itu terjadi ketika Adam dan hawa belum jatuh kedalam dosa, manusia yang telah diciptakan Allah selanjutnya merupakan makhluk moral yang diberi kemampuan memilih apa yang akan dilakukan Apa yang diperintahkan perintah Allah atau malah menantangnya. hal ini terjadi karena manusia pribadi yang bebas juga memiliki kehendak yang bebas disertai dengan tanggung jawab. Pada waktu Adam dan hawa diciptakan Allah memberi sebuah perintah kepada Adam yaitu berupa larangan untuk memetik dan memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Namun demikian perintah dari Allah di dirikan oleh Adam dan hawa merekamengambil sebuah keputusan etis yaitu dengan memetik dan memakan buah tersebut. ketika Allah mengetahui perbuatan tersebut ada sebuah tindakan yang dilakukan oleh Allah dan hal ini merupakan ethos Allah (sikap dasar dalam berbuat sesuatu). Tindakan Allah merupakan inisiatif dari Allah sendiri yang memerintahkan sikap kasih Nya pada manusia.[8]



2.5.2. Sikap Allah dan moralitas Pra-Israel (Pilihan Allah terhadap Nuh)[9]

Istilah “Pilih” dalam bahasa Ibrani adalah “bakhar” yang mempunyai arti memilih seorang dengan seksama, yaitu dengan mempertimbangkan dengan sebaik mungkin dari berbagai kemungkinan lain. Nuh merupakan keturunan ke-sepuluh dari pasangan Adam dan hawa yang terkenal dengan peristiwa “air bah” dalam peristiwa Nuh sebelum dan sesudah peristiwa air bah adalah etika Nuh yang menjadi point pertimbangan bagi Allah yaitu:

a. Nuh seorang yang hidup bermain dan bergaul dengan Allah, sikap dan perbuatan yang benar di mata tuhan

b. Perbuatan luh tidak tercela, berani tampil beda dengan perilaku orang-orang di lingkungannya

c. Patuh terhadap perintah Tuhan

d. Karakternya rajin dan teliti dalam bekerja

e. Nuh bersyukur mempersembahkan korban bakaran atas pelayanan Tuhan terhadap keluarganya

2.5.3. Moralitas religius bangsa Israel (Bangsa pilihan Allah)

Istilah “Israel” merupakan nama yang diberikan kepada Allah Yakub yang adalah cucu dari Abraham, dari 12 anak Yakub dan cucu serta keturunannya, kemudian terbentuklah suatu bangsa yang dinamakan “ bangsa Israel” bangsa ini adalah bangsa pilihan Allah dan merupakan keturunan langsung dari Abraham yang dikenal sebagai “orang pilihan Allah” sebagai bangsa yang dipilih maka bangsa Israel harus mengalami;

1. Tuntunan ketaatan

Pemberian anugerah sebagai bangsa “Pilihan Allah” berarti agar bangsa tersebut menjadi pilihan yang tidak memerlukan pemberian yaitu dituntun untuk bersikap sesuai norma yang melekat pada predikatnya

2. Prinsip satu Etika

Tuhan Allah menyatakan “ Ke-Esa-an” dirinya dan menjadi Allah yang wajib “dipercaya” dan disembah bangsa Israel. “Ke-Esa-an” alah berpengaruh pula pada ajaran etika nya yang juga hanya “ Satu Etika “ adanya, dan yang wajib dipatuhi bangsa Israel yaitu kepatuhan

3. Tindakan yang terarah

Allah yang berkuasa membebaskan bangsa Israel dari tanah Mesir, lalu membawanya ke tanah karena and merupakan suatu konsep atau rancangan dari tindakan Allah, menuju sasaran yang tetap berjangka panjang. Berbeda dengan bangsa lain yang tidak jelas konsepnya dalam kehidupan keagamaan nya.



2.5.4. Hidup di bawah pemerintahan Allah

Sebagai umat atau bangsa pilihan Allah, makan implikasinya. Allah sendiri yang memerintahkan bangsa Israel dengan perintah dan hukuman serta ketetapan yang ditentukan nya. Dapat diringkas dalam konsep “Syalom” yaitu keselamatan utuh, keadilan sosial, kedamaian dan kebebasan yang bertanggung jawab.[10]

2.5.5. Hukum Taurat dalam Kaitannya dengan Etika

Hukum Taurat merupakan suatu yang berisikan rangkaian sederhana mengenai ketentuan-ketentuan hubungan perjanjian dan juga tingkah laku manusia sebagai umat Allah. Hukum Taurat dijadikan sebagai suatu bentuk yang menentukan etos dan memberi pembatasan terhadap perilaku umat Allah. Peranan Hukum Taurat sangat kuat di tengah-tengah umat Allah karena tidak hanya menentukan tindakan kehidupan tetapi juga peribadatan bangsa Israel. Hukum Taurat yang telah diberikan Allah melalui Musa bukan hanya sekadar untuk menanggapi perbuatan Allah, tetapi juga untuk memperlihatkan sifat Allah melalui perilaku manusia. Hukum Taurat menuntut manusia untuk hidup sesuai kehendak Allah dan juga memperhatikan kehidupan sosial dan individu manusia.[11]

Hukum Taurat dapat dikatakan sebagai bentuk respon umat atas tindakan Allah di dalam sejarah kehidupan mereka. Allah telah menunjukkan perbuatan-perbuatanya kepada umatnya melalui perjanjian kepada bapa leluhur, pembebasan dan sebagainya. Allah ingin umatnya juga menunjukkan suatu tindakan yang menunjukkan adanya suatu respon umat atas perbuatan Allah tersebut. Allah yang telah bertindak ke dalam kehidupan manusia menginginkan manusia hidup dalam kedaulatannya, melalui apa yang telah Allah berikan.[12] Kehendak Allah-lah yang menjadi dasar utama dalam kehidupan manusia. Kehendak Allah bukan hanya sekadar mengabdikan diri kepada Allah, namun pengabdian kepada sesama manusia. Pengabdian tersebut ditunjukkan melalui perlakuan kita terhadap sesama manusia. Dalam melalukan kehendak Allah tersebut manusia membutuhkan batasan untuk mengetahui sejauh mana tindakan mereka yang sesuai dengan kehendak Allah.[13]

Di dalam Hukum Taurat kita dapat melihat bahwa Allah memberikan kesepuluh hukum Allah kepada bangsa Israel. Kesepuluh hukum tersebutlah yang dijadikan sebagai sebuah patokan tindakan umat. Kesepuluh hukum itu mengatur dan mengarahkan perilaku umat yang tetap berfokus pada kehendak Allah. Aturan yang diberikan tersebut sebenarnya bukan hanya semata-mata bentuk pengabdian kepada Allah, tetapi berupa pemberian “kebebasan” umat. Kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana memperlakukan sesama manusia. Hal ini juga ingin menunjukkan adanya tanggung jawab sosial, sehingga tidak boleh melakukan sesama dengan semena-mena.[14]

Tindakan menurut sabda Allah adalah landasan utama yang melanda segala tindakan yang lahir dari komunitas ini. Hukum taurat menjadi dasar yang paling utama mengatur seluruh keberlangsungan kehidupan mereka dalam segi aspek titik hukum taurat dipandang sebagai bentuk yang dipilih penting karena keseluruhannya isinya mengatur tentang bagaimana seharusnya mereka melaksanakan tugasnya sebagai umat pilihan Allah baik dalam hubungan secara individual, kolektif maupun sebagai bangsa.lebih jauh menjelaskan bahwa taurat sebagai pengajaran atau hukum yang berkembang di kalangan Israel dan penekanan terhadap penggunanya terjadi pada masa Israel berada di pembuangan. Hukum taurat lahir bersama-sama dengan kisah perjanjian Allah dengan umat pilihannya melalui keberadaan hukum inilah,tindakan manusia sebagai umat pilihan Allah diberitahukan Allah tujuan Allah memberi hukum ini adalah sebagai landasan agama untuk Allah bertindak sesuai kekudusan Allah.[15]

III. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat di ambil adalah pusat dalam etika Perjanjian Lama adalah Allah, maka bentuk dasar etika Perjanjian Lama bersifat teosentris yang berkisar pada tindakan Allah dalam sejarah umat-Nya dan yang menuntun respon yang serasi. Maka konsepsi etika dalam Perjanjian Lama selaras dengan etika teonom yang berlandaskan hubungan antara Allah dan umat-Nya. Maka pola teonom berlandaskan pemahaman mengenai hubungan hakiki antara manusia dengan Allah, antara makhluk dengan sang pencipta. Hubungan ini adalah hakiki, berarti bahwa itu bukan sesuatu yang fakultatif yang dapat dipilih atau di tolak menurut selera masing-masing dan yang nanti dapat digantikan dengan kegemaran lain. Sebaliknya, hubungan antara makhluk dengan penciptaan merupakan relasi hakiki. Dengan kata lain, eksistensi manusia berintikan eksistensinya di hadapan Allah. Allah bukan hanya menciptakan perelasian melainkan kodrat manusia seutuhnya.

IV. Daftar Pustaka

Browning W.R.F, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009)

Christoph Barth, Teologi Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1984)

Fletcher Vernen H, Lihatlah Sang Manusia, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2007)

Jongeneel, Hukum Kemerdekaan: Buku Pegangan Etik Kristen Jilid Satu, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980)

Kieser. Bernhard, Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987)

Sosipater Karel, Etika Perjanjian Lama, (Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2010)

Wright. Christopher, Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995)

Sumber Lain:










[2] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 98-100.


[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Etika_Perjanjian_Lama, di akses pada 21 November 2020 pukul 12.05.


[4] Vernen H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2007), 141.


[5] Vernen H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia,117.


[6] Vernen H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia, 124-125.


[7] Vernen H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia, 141.


[8] Karel Sosipater, Etika Perjanjian Lama, (Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2010), 9-15.


[9] Karel Sosipater, Etika Perjanjian Lama, 21-25.


[10] Karel Sosipater, Etika Perjanjian Lama, 37-40.


[11] Jongeneel, Hukum Kemerdekaan: Buku Pegangan Etik Kristen Jilid Satu, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 81.


[12] Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 153.


[13] Vernen H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia,147.


[14] Bernhard Kieser, Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 182.


[15] Barth Christoph, Teologi Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1984), 291-292.

Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Total Pageviews
Times/ Waktu
Waktu di Kota Medan: