Filsafat Batak Toba


I, Pendahuluan

Masyarakat Batak Toba merupakan salah satu masyarakat dengan banyak ciri khas, bahasanya, sistem perkawinan, sistem keturunan, dan falsafah hidup yang sangat dianut, yaitu Dalihan Na Tolu. Masyarakat Batak Toba memiliki adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyangya, Yang kemudian masyarakat Batak Toba meneruskan hidupnya dengan bertani, berladang Pada pembahasan ini Saya akan membahas Filsafat Batak Toba, Semoga Paper/ artikel ini dapat kita pahami, Tuhan Yesus Memberkati.

II. Pembahasan

2.1. Pengertian Batak

Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia, berdasarkan sensus dari Badan Pusat Satistik pada tahun 2010. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Pantai Barat dan Pantai Timur di Provinsi Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah Angkola, Karo, Mandailing, Pakpak/Dairi, Simalungun, dan Toba. Batak adalah rumpun suku-suku yang mendiami sebagian besar wilayah Sumatera Utara. Namun sering sekali orang menganggap penyebutan Batak hanya pada suku Toba, padahal Batak tidak hanya suku Toba.

2.2. Masyarakat Batak Toba

Masyarakat Batak Toba terutama hidup dari pertanian. Berabad-abad lamanya mereka mengusahakan pertanian sawah dengan perairan terpadu. Maka tidak heran kalau orang Batak Toba berdiam di lembah-lembah dan sekitar Danau Toba sebab di sana ada cukup air untuk persawahan. Kondisi geografis lembah membuat mereka hidup dalam ruang yang terbatas dan terisolasi. Komunitas ini hidup dalam ikatan keluarga yang kuat.Karena keterbatasan tersebut orang Batak Toba hanya melakukan migrasi ke daerah sub-suku Batak lainnya, migrasi bagi orang batak adalah mekanisme utama untuk mendirikan kelompok marga (clan) yang baru dan sarana

untuk mengurangi kepadatan penduduk. Yang kemudian masyarakat Batak Toba meneruskan hidupnya dengan bertani, berladang, dan beternak. Dimana hasil mata pencaharian mereka tukar dan jual di pasar pada hari tertentu dalam waktu satu minggu yang disebut dengan nama onan (pekan). Yang mana onan tersebut menjadi media yang sangat penting dalam masyarakat Batak Toba selain melakukan transaksi ekonomi namun disisi lain memiliki nilai sosiologis yang dimanfaatkan masyarakat Batak Toba untuk berkomunikasi satu sama lainnya serta memberikan informasi penting mengenai suatu acara maupun kejadian-kejadian yang terjadi dimasyarakat.

2.3. Kepercayaan Orang Batak

Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi terhadap Mulajadi na Bolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaannya terwujud dalam Debata Natolu.

Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:

· Tendi/tondi: adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi didapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.

· Sahala: adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.

· Begu: adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, tetapi orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.

2.4. Sistem Religi

Sistem Religi Tanah Batak telah dipengaruhi oleh beberapa agama. Agama Islam dan agama Kristen Protestan masuk ke daerah orang Batak sejak permulaan abad ke-19. Agama Islam disiarkan oleh orang Minangkabau sejak kira-kira tahun 1810 dan sekarang dianut oleh sebagian besar dari orang Batak Selatan, seperti orang Mandailing dan Angkola. Agama Kristen disiarkan ke daerah Toba dan Simalungun oleh organisasi penyiar agama dari Jerman 10) kira-kira sejak tahun 1863 dan ke daerah Karo oleh organisasi Belanda 11) kira-kira pada masa yang sama. Demikian sekarang agama Kristen Protestan dianut oleh sebagian dari orang Batak Utara, tetapi toh tidak merupakan agama yang dominan di seluruh daerah Batak Utara. Tabel VI yang memberi angka-angka penganut agama untuk tahun 1968, dalam enam kabupaten di Tanah Batak, menggambar kan bahwa kecuali agama Kristen Protestan ada juga beberapa agama lain. Di antara penganut agama Islam, mungkin ada yang asal dari suku-suku, Walaupun orang Batak untuk sebagian besar sudah beragama Kristen atau Islam, namun banyak konsep-konsep yang asal dari agama aslinya masih hidup, terutama di antara penduduk daerah pedesaan. Sumber utama untuk mengetahui sistem kepercayaan orang Batak asli ada lah buku-buku kuno (pustaha). Selain daripada berisi silsilah-silsilah (tarombo) buku yang dibuat dari kulit kayu itu juga berisi konsepsi orang Batak tentang dunia mahluk halus. Hal ini dapat terjadi demikian oleh karena tarombo itu sendiri bermula dengan kejadian-kejadian yang hanya mungkin terjadi dalam dunia mahluk halus, seperti misalnya penciptaan manusia yang pertama yang leluhurnya bersangkut-paut dengan burung. Konsepsi tentang pencipta. Orang Batak mempunyai konsepsi bahwa alam ini beserta segala isinya, diciptakan oleh Debata (Ompung) Mulajadi na Bolon (Dibata Kaci-kaci dalam bahasa Karo), Debata Mulajadi na Bolon itu bertempat tinggal di atas langit dan mempunyai nama-nama lain sesuai dengan tugas dan tempat kedudukannya. Sebagai Debata Mulajadi na Bolon, ia tinggal di langit dan merupakan maha pencipta. Sebagai penguasa dunia tengah, ia bertempat tinggal di dunia ini dan bernama Silaon na Bolon (Toba), atau Tuan Padukah ni Aji (Karo). Sebagai penguasa dunia mahluk halus ia bernama Pane na Bolon (Toba) atau Tuan Banua Koling (Karo). Kecuali sebagai Dibata Kaci-kaci dan kedua penjelmaannya, orang Batak Karo mengenal penguasa lain yaitu penguasa matahari (terutama fajar dan terbenam), Sinimataniari dan penguasa di bulan pelangi (Beru Dayang). Selain daripada pencipta, Debata Mulajadi na Bolon juga men ciptakan dan mengatur kejadian gejala-gejala alam, seperti hujan, kehamil an, sedangkan Pane na Bolon mengatur setiap penjuru-mata angin 12). Konsepsi tentang Jiwa, Roh dan Dunia Akhirat. Dalam hubungan dengan jiwa dan roh orang Batak mengenal tiga konsep, yaitu tondi, sahala dan begu 13). Tondi itu adalah jiwa atau roh orang itu sendiri dan sekaligus juga merupakan kekuatan. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimi liki seseorang. Bedanya dengan tondi ialah bahwa tidak semua orang mempunyai sahala dan jumlah serta kwalitasnya juga berbeda-beda. Sahala dari seorang raja atau datu lebih banyak dan lebih kuat dari orang biasa dan begitu pula sahala dari orang hula-hula lebih kuat dari sahala orang boru. Sahala itu dapat berkurang dan menentukan peri kehidupan seseorang. Ber kurangnya sahala menyebabkan seseorang kurang disegani, atau ke datu annya menjadi hilang. Sahala itu adalah sama dengan apa yang oleh orang Batak Karo disebut sumangat, ialah tuah atau kesaktian.

2.5. Filsafat Tetang Gelas Minum Tamu Yang Harus Diisi Penuh

Kalau orang Batak menerima tamu dan hendak menyuguhi tamunya itu dengan minuman (minuman apapun), maka gelas minum itu harus diisi penuh. Kenapa? Di bawah ini diterangkan filsafatnya. Orang Batak berpendapat: segala perbuatan tidak boleh dilaku kan separuh-separuh, tetapi harus penuh. Istilah Batak untuk per kataan penuh "gok". Perkataan "gok" mempunyai peranan pen ting bagi orang Batak. Kalau orang Batak mengadakan upacara peresmian mendiami rumah baru, maka tamu-tamu biasanya mengucapkan doa restu yang bunyinya: "Sai gok ma jolma di ginjang, sai gok ma pinahan di toru." (Artinya: mudah-mudahan penuh manusia di atas dan penuh hewan di bawah). (Noot penulis: rumah Batak di kampung biasanya berkolong dan kolong itulah biasanya dipakai sebagai kandang hewan). Demikian juga kalau seorang Batak hendak membeli "ulos" untuk orang yang dikasihinya, maka ia memilih ulos "sinagok", yaitu ulos yang sempurna coraknya dan bagian-bagiannya. Juga sebagai doa restu waktu mengakhiri pembicaraan-pembicaraan dalam acara-acara adat, orang Batak selalu berkata: Sai gok ma persaulian, gok ma parhorasan jala gok ma nang hagabeon di hita saluhutna". (Artinya: semoga penuhlah segala macam kebahagiaan bagi kita sekalian). Maka berhubung dengan filsafah tersebut di atas, orang Batak mengisi gelas minum tamunya penuh, dengan tujuan mengucapkan kepada tamunya: Seperti gelas yang penuh ini, mudah-mudahan Saudara menerima kebahagiaan yang penuh dari Tuhan.

2.6. Filsafat Tentang Daging Yang Dicampur Dengan Darah

Adapun istilah Batak untuk "daging yang dicampur dengan darah" ialah "Juhut na binontaran". (Noot: sebenarnya arti istilah itu ialah: "daging yang diputihi". Mungkin pembaca akan bertanya: kenapa tidak dikatakan "daging yang dimerahi" sesuai dengan warna darah? Keterangan adalah sebagai berikut: Memang mula-mulanya orang mengatakan "mendarahi daging". Tetapi darah (istilah Batak "'mudar") yang hendak dipergunakan untuk makanan tidaklah disebut "mudar'" tetapi "gota" (getah). Dan karena getah (gota) biasanya berwarna putih maka terjadilah istilah "juhul na binontaran" yaitu "daging yang diputihi''.) Orang Batak dahulu kala berfilsafah: darah itulah sebenarnya kunci hidup. Orang masih dapat hidup beberapa lama tanpa udara, tetapi tak dapat hidup sedetik pun tanpa darah, karena itu darah tidak boleh disia-siakan atau dibuang. Pada zaman dahulu orang Batak pun tidaklah tahu mencampur daging dengan darah. Permulaannya adalah sebagai berikut: Dahulu kala ada seorang raja menyuruh anak kesayangannya pergi ke daerah yang jauh untuk mencari jodoh. Maka berangkat lah anaknya itu. Raja itu tahu bahwa anaknya akan menempuh perjalanan yang maha berat melalui hutan belantara dan tempat tempat musuh. Karena itu selama anaknya itu dalam perjalanan raja selalu berada dalam kecemasan yang sangat, walaupun anak nya itu ditemani oleh seorang hulubalang. Tetapi pada suatu hari anaknya itu kembali dalam keadaan sehat wal afiat. Kegembiraan raja tak tergambarkan dan untuk mencetuskan perasaannya ia terus menyuruh pelayan-pelayannya memotong seekor anak babi untuk dimakan bersama. Waktu pelayan-pelayan memoto g babi itu, raja hadir juga dan memperhatikan semua yang terjadi. Ia turut mendegar raungan binatang itu yang memilukan hait waktu pisau yang tajam masuk ke dalam kerongkongannya dan ia turut melihat bagaimana darah binatang itu menyembur keluar dan ditampung dalam sebuah piring kayu. Maka.

2.7. Filsafat Tentang “Parjambaran”

Adapun “parjambaran” atau “Jambar” ialah pemberian berupa uang atau daging dalam pesta atau pekerjaan adat, yang wajib diserahkan oleh “Suhut” (tuan rumah) kepada tiap undangan menurut kedudukan yang bersangkutan dalam hubungan kekeluargaan dengan “suhut”. Selain “Jambar Uang” dan “Jambar daging” ada lagi yang disebut Jambar Hata” (yaitu kesempatan memberi kata sambutan, doa restu, nasihat dan lain sebagainya).

Ada "umpasa" (yaitu semacam pepatah yang berbentuk san jak) yang menyatakan filsafat Batak mengenai "jambar" itu yang bunyinya sebagai berikut: Molo siat di parsoburan Laos siat do i di panggagatan, Molo tangkas do di partuturan, Laos tangkas do i di parjambaran Artinya Kalau muat di tempat minum, Tentu muat juga di tempat makan; Kalau terang ada tali kekeluargaan, Sudah terang ada hak menerima "parjambaran". Adalah sangat unik, bahwa orang Batak pada jamuan makan dalam semua pekerjaan adat, selalu membagi "parjambaran yang dinamai "ja,nbar juhut" jambar daging) sehabis bersantap. Sesudah itu barulah kepada para undangan diberi kesempatan un tuk menyampaikan kata sambutan. Kesempatan menyampaikan kata sambutan inilah yang disebut "jambar hata". Dalam tiap tiap pekerjaan adat, kedua macam jambar itu yaitu "jambar juhut" dan "jambar hata" wajib diberikan oleh "suhut" ke pada undangannya. Undangan yang dilupakan, walaupun tidak dengan sengaja, (istilah Batak "halioan'), yang bersangkutan akan merasa sangat tersinggung dan akan menuntut haknya, kadang-kadang dengan nada marah. Biasanya dan memang juga seharusnya, "jambar juhut" lah yang pertama diberikan. Dari "jambar juhut" inilah nanti nampak bagaimana hu- hubungan keluarga undangan dengan "suhut". Dan "jambar "ju- hur" yang diterima oleh seseorang lah nanti akan menentukan, "jambar hata" yang bagaimana akan diterimanya kelak. Jadi seorang yang menerima "jambar juhut" untuk "hulahula" (yaitu famili dari pihak orang tua istri "suhut") haruslah menerima "jambar hata" untuk "hulahula", yaitu ia harus memberi kata sambutan yang sesuai dengan kedudukannya sebagai "hulahula". Sering penulis pada jamuan makan adat mendengar "keluhan" dari pihak orang muda-muda, "Buat apa lagi membagi-bagi par. jambaran juhut, kan kita sudah kenyang makan; itu membuang- buang waktu saja, apalah artinya sekerat kecil daging atau se potong tulang? Omong kosong "parjambaran juhut" itu, sudah waktunya sekarang meninggalkan kebiasaan itu." Begitulah kira kira bunyi omelan itu. Tetapi penulis pikir, sekiranya kita menge tahui makna dan tujuan parjambaran" itu serta sejarah permula. annya, bagaimana pun, kita akan menghargai kebiasaan itu dengan sewajarnya dan akan merasa bangga mempunyai nenek leluhur yang telah mempunyai filsafat tinggi dalam ilmu sosiologi. Pada suatu jamuan makan adat, terlebih-lebih yang besar, sudah tentu di antara tamu yang banyak itu banyak pula yang belum saling berkenalan. Maka salah satu guna dan tujuan par jambaran juhut" itu ialah untuk memperkenalkan kepada semua undangan hubungan kekeluargaan tiap undangan dengan suhut" sesuai dengan bunyi "umpasa": Sinintak abit laho pasiding somotsomot, Binagi parjambaran laos patuduhon parsolhot. Artinya: Tujuan membagi-bagi "parjambaran juhut" ialah juga untuk memperkenalkan hubungan kekeluargaan "suhut" dengan para undangan. Dengan demikian undangan yang semula tidak saling berkenalan, bukan lagi hanya menjadi berkenalan saja, tetapi dapat juga menyimpulkan hubungan kekeluargaan mereka itu sendiri satu sama lain; jadi tiap jamuan makan adat yang kita hadiri, akan dapat memperluas bidang kekeluargaan kita.

2.8. Filsafat Ulos atau Mangulosi (memberi Ulos)

“Ulos” adalah semacam kain khas tenunan Batak berbentuk selendang dan “mangulosi” artinya “memberi ulos”. Sebuah filsafat Batak berbunyi: Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong. Artinya: ijuk ialah pengikat pelepah pada batangnya dan ulos ialah pengikat kasih sayang antara orang tua dan anak-anak atau antara seseorang dengan orang yang lain. Akhir-akhir ini banyak kita baca laporan penduduk tentang "mangulosi" Pembesar-pembesar yang datang berkunjung ke daerah-daerah oleh penduduk setempat, yang dilakukan dengan cara yang lazim menurut adat Batak; dan walaupun kunjungan Pembesar-pembesar itu tidak ada hubungannya dengan adat, namun martabatnya tidaklah kurang. Semua orang mengerti tujuannya yang murni, yaitu menjalin hubungan bathin yang baik dan erat di antara yang memberi dan yang menerima. Bahwa hal "mangulosi" itu adalah khas kebiasaan Batak tidak lagi perlu diuraikan. Yang penting sekarang ialah menyelami segala lubuk hal ihwal "ulos" dan "mangulosi itu dan menye lidiki pikiran, pendapat dan filsafat orang Batak tentang itu. Banyak pemuda Batak yang modern dan progresip waktu ini pada upacara "mangulosi" penganten, waktu melihat onggokan ulos yang diterima oleh penganten, berkata, "Bagaimana ini, tidak lebih baikkah dan lebih bermanfaat, kalau "ulos-ulos" itu diganti dengan kado yang lain berupa alat-alat rumah tangga yang sangat dibutuhkan oleh sepasang suami istri yang baru mulai berumah tangga? Coba hitung berapa harga semua "ulos" itu. Biasanya yang diterima oleh penganten ada 50 sampai 100 helai. Andai kata jumlah yang diterima itu 50 helai dan harga sehelai rata-rata Rp 2000,- maka harga semua sudah Rp 100.000, Memang uatu jumiah vang boleh dikatakan eukup untok mem hell alat alai dapur dan piring mangkuk Pikian in emang idak salah bila dipendang dari sudut ekonomi dan praktienya saja, teapi terlalu paal kalau terus disetu ji bulai bulai Perlu dahulu kiia telash filsafat Batak tentan whdan manHguhs" i. Neorang tua ius menerangkan sehagai berikut: "Mangulosi" itu adalah suau bagian penting dalam adat Batak. "Mangulosi" arti nya membert ulos kepada seseorang. Untuk apakah diberi ulos itu dan apakah artinya? Menurut pandangan orang Batak dahulu ada tHan unsur yang essential untuk dapat hidup yaitur 1. darah, 2 Hapas, 3, panas (kepanasan) Tentang darah dan napas orang Batak dahulu tidak banyak berpikir, karena kedus duanya adalah pemberian Tuban dan tidak perlu dicari. Tetapi panas (kepanas- am) lain halnya. Panas dari matahari tidak cukup. Daerah-daerah tempat diam suku Hatak dahulu adalah tanah tinggi, jauh di pegunungan, jadi daerah daerah berhawa dingin. Ada sebuah "umpasa" (pepatah berbentuk sanjak) yang baris pertamanya berbunyi Sinuan bulu sibahen na las. Arinya ditanam bambu disekeliling kampung untuk mendapat panas. Jadi bambu itu ditanam bukanlah pertama-tama untuk menjadi pagar yang sulit dilewati oleh musuli atau binatang bina tang liar yang berbahaya, tetapi pertama tama untuk menangkis angin yang dingin dan dengan demikian berfungsi sebagai "ulos" (selimut) yang memberi panas. Menjadi pagar adalah fungsi ke duanya. Menurut pemikiran orang Batak dahulu ada tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, yaitu: 1. matahari, 2. api dan 3. "ulos". Filsafat Batak ientang matahari berbunyi: Sibahen na las na so dung hinamahaphon, Sibahen narahar na so pola pinarsomahon. Artinya: yang memberi panas yang tidak pernah membosankan. dan, walaupun dapat membuat tanam-tanaman layu dan kering, namun tidak dibenci.

Tentang api filsafat Batak berbunyi: Sisulhut seganon di parro ni hagabeon, 1) Sisulhut ranggas di hamamasa ni haleon, 2) Sisulhut obuk ni halak na paturengeon. 3) Artinya 1): Yang menyalakan potongan balok-balok kayu waktu lahir anak. pad: 2) Yang menyalakan tangkai mati waktu masa kelaparan. 3) Yang membakar rambut orang yang terlalu nyenyak tidur.

2.9. Filsafat tentang Berumah tangga( mardongan Saripe)

Sebelum seorang Batak menyuruh putranya mencari jodohnya (istilah Batak: “mangaririt”), maka ia lebih dahulu memberi nasihat kepadanya, yaitu supaya anaknya itu memperhatikan benar-benar filsafat-filsafat dan petuah-petuah nenek moyang tentang “pangaririton”.

Maka di bawah ini di paparkan beberapa buah yang, walaupun sudah kuno, tetapi masih mampu memberikan muda-mudi zaman sekarang pedoman yang berharga.

Kata cinta: ada seorang raja, bernama Raja Tindanng di Langit, mempunyai seorang putri tunggal bernama si Tapi Mombang Haomasan yang sangat cantik parasnya,. Banyak sudah putra-putra raja meminagnya tetapi si Tapi Mombang Haomasan selalu menolak dengan berbagai dalih untuk untuk menampik pinangan-pinagan itu. Ayah bundanya tidak berdaya sedikitpun menaklukkan putrinya yang selalu memakai filsafat Batak untuk memperkuat tolakannya dan mematahkan bujuk-bujukan orang tuanya.

2.10. Filsafat tentang Dalihan Na Tolu

“Dalihan Na Tolu” yang juga disebut “Dalihan Nan tungku tiga” (Artinya: tungku Nan Tiga) yang selanjutnya akan disingakt dengan DNT, adalah suatu ungakapan yang menyatakan ke satuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak. Di dalam DNT, adalah suatu ungakapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak. Di dalam DNT, terdapat 3 unsur hubungan kekeluargaan itu ialah:

1. Dongan sabutuha (teman semarga)

2. Hulahula (keluarga dari pihak istri)

3. Boru (keluarga dari pihak menantu laki-laki kita).

Suatu tungku baru dapat disebut tungku yang sederhana dan praktis bila terdiri dari tiga buah batu yang membentuk suatu kesatuan atau tritunggal. Hal inilah yang menjadi kesamaan bentuk kesatuan tritunggal pada suku Batak yang terdiri dari 3 unsur hubungan kekeluargaan.

Tetapi banyak lagi tritunggal yang lain yang mungkin lebih tinggi derajatnya, misalnya “Banua na Tolu” (benua nan tiga) yang terdiri dari : Banua Ginjang (benua atas), Banua Tonga (benua tengah), dan Banua Toru (benua bawah).

Menurut kepercayaan orang dahulu kala Banua Ginjang (benua atas) bukan berarti sorga dan Banua Toru (benua bawah) juga bukan neraka. Ketiga benua itu sama derajatnya, hanya, penghuninyalah yang berbeda. Tritunggal yang lain ialah “Bonang manalu” pada mulanya “Bonang manalu” disebut “Bonang manolu” yang berarti “benang nan tiga”, yaitu benang yang terdiri dari 3 macam yang berlainan warna, yakni warna merah, putih dan hitam. Ketiga macam benang tersebut dipilin menjadi satu benang dan inilah yang dinamai “Bonang manalu”.

Banyak macam tritunggal, namun tritunggal ketiga baru tungkulah yang dijadikan orang Batak menjadi simbol hubungan kekeluargaannya yaitu DNT. Kenapa?

Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut karena keterangan tentang itu bermacam-macam didapat oleh penulis. Tetapi jawaban yang paling tepat ialah: Di antara tunggal ketiga unsur hubungan kekeluargaan DNT dan ke batu tungku, terdapat beberapa persamaan (analogi) yang tid dijumpai pada tritunggal-tritunggal yang lain. Persamaan per samaan (analogi) tersebut adalah: Pertama: Filsafat Batak mengenai "dalihan" (tungku) ber bunyi: "Si dua uli songon na mangkaol dalihan, Masak sipanganon huhut malum na ngalian." Artinya: Memeluk (mempergunakan) tungku memberi dua keun tungan yakni makanan masak dan hilang perasaan dingin Jadi nyata "dalihan" memegang peranan penting yang tak dapat dipisahkan dari penghidupan sehari-hari. Orang tak dapat hidup dengan baik dan wajar tanpa "dalihan" (tungku). Hubung. an kekeluargaan pun yang disebut DNT tak dapat dipisahkan dari penghidupan sehari-hari orang Batak, sejak lahir sampai akhir hayatnya. DNT-lah dasar filsafat hidupnya dan fundasi (dasar) yang kukuh bagi hubungan sosialnya dan dalam soal interrelasi (hubungan biasa dan hubungan kekeluargaan) orang Batak. Ber. dasarkan DNT-lah orang Batak dapat dengan segera menentukan status, fungsi dan sikap sosialnya. Kedua: Kadang-kadang ketiga batu "dalihan" tersebut tidak sesuai besar ukurannya sehingga bila diletakkan periuk atau alat masak yang lain yang berukuran kecil, kedudukannya tidak dapat disangga oleh ketiga batu tersebut. Untuk mengatasi hal ini, di dempetkanlah dari dalam sebuah batu sebagai tambahan pada salah satu batu "dalihan" tersebut. Dengan demikian periuk atau alat masak yang lain yang ukurannya terlalu kecil tersebut dapat tepat duduk di atas tungku. Batu tambahan itu dinamai dengan istilah Batak: "sihalsiha!". Filsafat Batak tentang "sihalsihal" itu berbunyi: "Nipis hansinghansing, i do na patoguhon, Metmet sihalsihal, i do na patukkon." Artinya: Walaupun "sihalsihal" itu kecil, namun jasanya besar karena dialah yang memperbaiki kekurangan "dalihan" di dalam menjalankan fungsinya dengan baik. Hal serupa itu terdapat juga pada DNT. Dalam DNT tidak muat semua orang yang ada hubungan kekeluargaan dengan kita. Sebagai contohnya: kakak perempuan dan adik perempuan istri kita serta pamilinya. Mereka itu masuk famili dekat kita. Di mana kah tempat mereka dalam DNT? Dan sebagai apakah mereka bila harus diundang pada pekerjaan-pekerjaan adat dan "jambar" apakah yang patut diberikan kepada mereka itu? Banyak lagi famili serupa itu, umpamanya kakak perempuan dan adik perem puan kandung ibu kita serta famili-familinya. Dalam mengatasi kesulitan-kesulitan itulah nampak kebijaksa naan leluhur suku Batak itu. Apa yang diperbuatnya? Sebagai contoh padanan diambillah gambaran tungku yang ber "sihalsihal" itu. Serupa dengan batu "sihalsihal" itu, dibuat nyalah peraturan tambahan yang wajar kita sebut "aturan sihal sihal" dalam DNT, sehingga famili yang semula tidak masuk ke dalam salah satu unsur DNT itu menjadi tertampung di dalamnya. Sebagai contoh sebuah peraturan "sihalsiha!". Tadi telah kita sebut kakak perempuan dan adik perempuan istri kita, bersama pamilinya. Masuk unsur manakah mereka itu dalam DNT? Masuk unsur "hulahula"-kah? Tidak. Masuk unsur "boru"-kah? Juga tidak. Masuk unsur "dongan sabutuha"-kah? Sebenarnya juga tidak. Tetapi leluhur orang Batak, yang ternyata ahli-ahli pikir, telah membuat teori sebagai berikut: Kakak perempuan dan adik perempuan istri kita serta suaminya masing-masing disebut oleh Batak: "pariban" "Pariban" adalah kependekan dari is tilah "na pinaribahon", yang mempunyai arti yang kita buat menjadi "iba". "Iba" artinya awak (dari kita). Jadi "pariban" artinya: orang yang kita pandang sebagai diri kita. Jadi kalau begitu kakak dan adik istri kita serta suaminya boleh dan wajar dimasukkan ke dalam unsur "dongan sabutuha" didalam DNT.

Ketiga: ketiga batu “dalihan” tersebut menopang periuk atau alat masak yang lain dengan baik serta dalam penuh keseimbangan, hal mana perlu untuk menjaga agar isi periuk tersebut jangan sampai tumpah. Demikian juga dengan DNT yang menopang masyarakat Batak dengan sempurna serta dalam keseimbangan yang benar-benar ideal.

Dalam “dalihan” harus selalu ada api yang menyala untuk menjadikan tungku itu betul-betul berfaedah dan dapat memberi hasil yang sangat di butuhkan orang. Demikian pula dalam DNT, api solidaritas harus tetap menyala agar semangat gotong royong yang hebat tetap timbul dalam pekerjaan-pekerjaan adat dan usaha-usaha yang lain sehingga pekerjaan-pekerjaan yang bagaimanapun beratnya dapat di selesaikan degan baik dan memuaskan.

III. Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai filsafat batak toba, dapat kita pelajari tentang filsafat-filsafatnya Batak Toba, ada beberapa filsafat batak toba yang sangat sering kita dengar yaitu:

1. Filsafat Tetang Gelas Minum Tamu Yang Harus Diisi Penuh

2. Filsafat Tentang Daging Yang Dicampur Dengan Darah

3. Filsafat Tentang “Parjambaran”

4. Filsafat Ulos atau Mangulosi (memberi Ulos)

5. Filsafat tentang Berumah tangga( mardongan Saripe)

6. Filsafat tentang Dalihan Na Tolu

Beberapa dari fislafat tersebut penting didalam Orang Batak Toba dan ada juga sistem religi, Tanah Batak telah dipengaruhi oleh beberapa agama. Agama Islam dan agama Kristen Protestan masuk ke daerah orang Batak sejak permulaan abad ke-19. Dan Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi terhadap Mulajadi na Bolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaannya terwujud dalam Debata Natolu.

IV. Daftar Pustaka

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: DJAMBATAN: 1990)

Sihombing,T.M, FILSAFAT BATAK, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000)

Sumber Lain

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batakhttp://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:TL0xUVu9zZAJ:repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/50489/Chapter%2520II.pdf%3Fsequence%3D4%26isAllowed%3Dy+&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-b-d

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca selengkapnya disini ya