Mengenal Hati Nurani serta Peranannya
I. Pendahuluan
Pada beberapa minggu yang lalu kita sudah membahas tentang etika secara umum. Pada pertemuan kali ini kita akan membahas tentang hati nurani. Hati nurani sering disebut dalam Alkitab. Dalam berprilaku yang baik dan yang buruk, kita dapat dibimbing oleh hati nurani. Rasul Paulus menyatakan, “sebab itu aku senantiasa berusaha untuk hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia” (Kis 24:16). Dan dalam menggambarkan orang-orang tidak percaya, dia berkata bahwa “suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh dan saling membela (Rm 2:15). Allah menggunakan hati nurani kita untuk memberi kita petujuk. Tetapi apakah sebenarnya hati nurani itu? Bagaimana dia berfungsi? Bagaimana kita seharusnya menanggapi semua desakannya? Berikut ini akan kita bahas bersama seperti apa hati nurani tersebut, semoga sajian kita kali ini dapat menambah wawasan serta pengetahuan kita bersama. Tuhan Memberkati
II. Pembahasan
2.1. Pengertian Etika
`Kata etika, berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti kebiasaan, adat. Di dalam bahasa Indonesia, kata etika diartikan sebagai kesusilaan, yaitu norma peraturan hidup yang baik[1]. Dalam Kamus Alkitab, etika diartikan sebagai prinsip-prinsip perbuatan yang benar dan salah. Etika diletakkan sebagai dasar untuk melakukan apa yang benar, dan ketajaman untuk melihat apa yang benar[2].
2.2. Pengertian Hati Nurani
Hati nurani merupakan pusat kepribadian.[3] Kata inggris consience (hati nurani) berasal dari kata latin conscientia. Awalan con berarti “dengan” atau “bersama” kata kerja scire berarti “mengetahui” jadi kata tersebut berarti “mengetahui dengan” atau “mengetahui bersama” kata yang dipakai dalam bahasa Yunani yaitu bahasa asli perjanjian baru, adalah suneidesis. Lagi kata itu berarti “mengetahui dengan” “melihat bersama” atau “setuju dengan”.[4] Hati nurani kadang-kadang juga disebut suara Tuhan. Hati nurani bukanlah suatu kemampuan khusus, berbeda dari intelek. Bila tidak demikian, berarti keputusan kita akan kebenaran dan kesalahan perbuatan-perbuatan individual kita akan non rasional, nonintelektual sifatnya, produk suatu naluri yang buta. Hati nurani adalah intelek sendiri dalam suatu fungsi istimewa, yakni fungsi memutuskan kebenaran dan kesalahan perbuatan-perbuatan individual kita sendiri. hati nurani adalah suatu fungsi intelek praktis. Hati nurani dapat kita beri batasan keputusan praktis akal budi yang mengatakan suatu perbuatan individual adalah baik dan harus dikerjakan atau suatu perbuatan buruk maka harus dihindari.
Tiga hal yang tercakup dalam hati nurani
a. Intelek sebagai kemampuan yang membentuk keputusan-keputusan tentang perbuatan-perbuatan individual yang benar dan salah.
b. Proses pemikiran yang ditempuh intelek guna mencapai keputusan semacam itu.
c. Keputusannya sendiri yang menjadi kesimpulan proses pemikiran ini.[5]
2.3. Pengertian Hati Nurani Menurut Tokoh[6]
2.3.1. O. Hallesby
O. Hallesby, ahli teologi Norwegia, berkata, “hati nurani adalah kesadaran akan suatu hukum yang kudus, yang jauh melebihi yang dimiliki manusia” hati nurani tidak menuntut kepatuhan kepada dirinya sendiri, Hallesby berkata, tetapi mengijinkan manusia untuk “secara bebas dan tanpa paksaan mengikuti justru hukum itu, yang melalui hati nuraninya dikenalnya sebagai hukum yang seharusnya dia ikuti”. Dengan demikian hati nurani memberikan suatu dasar bagi pengambilan keputusan-keputusan yang benar. Hallesby juga mengatakan hati nurani tidak sama seperti naluri, yaitu desakan dari dalam untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Hati nurani adalah pengetahuan atau kesadaran.
2.3.2. Immanuel Kant
Immanuel kant, ahli filsafat jerman abad ke-18, berkata, “hati nurani adalah bagian itu dalam diri setiap orang yang bersedia menanggapi hukum moral yang universal, yang sebenarnya adalah hukum moral Allah. Hati nurani mengkomunikasikan kesadaran ini kepikiran seseorang dan memaksa pikiran tersebut mematuhi atau mengabaikan desakannya”.
2.4. Keadaan Hati Nurani[7]
2.4.1. Bimbang
Pengalaman hidup sehari-hari menunjuk bahwa selain tak luput dari kekeliruan atau kesalahan, hati nurani manusia juga tak bebas dari kebimbangan. Hati nurani dikatakan bimbang atau ragu apabila berada dalam ketidakpastian mengambil keputusan ataupun tindakan. Biasanya, seseorang akan bimbang jika ia harus memilih satu dari sekian banyak kemunginan. Ada dua jenis kebimbangan yaitu:
· Kebimbangan Hukum
Yaitu kebimbangan akan keberadaan hukum dan prinsip moral, kebiasaan dan makna norma khusus dihadapan keadaan-keadaan nyata.
· Kebimbangan Fakta
Yaitu kebimbangan akan keberadaan akan suatu kenyataan. Contohnya: apakah pengguguran dalam kasus pengobatan dianggap sah? Kebimbangan ini berhubungan dengan prinsip contohnya, apakah pertumbuhandalam rahim seorang ibu adalah tumor atau bayi?
2.4.2. Kacau
Hati nurani yang kacau dapat digolongkan sebagai sejenis hati nurani yang keliru atau salah sewaktu berhadapan dengan dua ketentuan atau peraturan, takut kalau akan berdosa jika memilih salah satu. Dalam keadaan itu seseorang tidak mungkin lari dari dosa. Contohnya: seorang janda telah menerima banyak keuntungan dari sebuah keluarga yang ayahnya melakukan tindakan kriminal, dia harus menjadi saksi. Dengan mudah, dia mengalami dirinya berada dalam suatu konflik antara “keharusan berterima kasih kepada si pembuat baik” dan “keharusan berterima kasih kepada si pembuat baik” dan “ keharusan untuk memberitahukan kebenaran di pengadilan”
2.4.3. Kecemasan
Kecemasan adalah ketakutan yang menetap, menggangu, dan tak beralasan yang dialami seseorang. Seseorang merasa bahwa tindakannya menjengkelkan Tuhan. seseorang merasa bersalah sebelum melakukan sesuatu. Seseorang yang kecemasan berada dalam rasa takut akan dosa yang sebenarnya tidak ada, atau takut terhadap dosa. Orang kecemasan sering kali bnayak menderita akibat rasa takut tersebut. Dari sudut pandang psikologis, kecemasan seeorang muncul dari rasa takut yang tersembunyi karena adanya tekanan dari dalam diri orang itu. Seseorang yang kecemasan membutuhkan arahan yang jelas, teguh, dan sekaligus baik hampir bisa dipastikan bahwa umumnya orang kecemasan ini menyerahkan pengambilan keputusaannya kepada orang lain, sebab mereka tidak mampu menngambil keputusan berdasarkan hati nuraninya yang jelas.
2.5. Fungsi Hati Nurani
Hati nurani berfungsi setiap waktu, tetapi kemampuannya untuk mempengaruhi kita berubah-ubah. Adakalanya dia berbicara dengan lemah dan kadang-kadang sangat keras. Sebelum suatu tindakan yang direncanakan dimulai, hati nurani mencoba berkomunikasi kepada kita, tentang apakah tindakan tersebut benar atau salah. Pada tingkat ini pertempuran berada dipikiran kita. Hati nurani bergulat dalam keadaan yang agak kacau-balau dengan macam-macamusul, alasan, desakan hati dan motivasi. Seberapa kuat ia berbicara sangat dipengaruhi oleh informasi yang telah dimasukkan ke dalam pikiran kita oleh hal-hal tentang mana kita telah berpikir paling banyak pada waktu itu.
Inilah titik dimana pertempuran untuk kemurnian, moral dan kejujuran harus dilaksanakan dan dimenangkan. Apa yang disimpan dalam pikiran seseorang akan segera menjadi tindakan bila suatu kesempatan untuk berbicara sebelum terjadi suatu tindakan. Selama satu tindakan sedang dilakukan, hati nurani biasanya berada pada tingkat pengaruhnya yang paling lemah. Kita menjadi begitu terlibat dalam apa yang sedang kita kerjakan, sehingga kita tidak peka terhadap jeritan hati nurani kita. Hati nurani berbicara paling keras setelah suatu tindakan diselesaikan pada saat ia menyatakan penilaiannya atas tindakan itu.hati nurani kita mendesak kita untuk membuat restitusi atas kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh tindakan tersebut.[8]
2.6. Tujuan Untuk Berhati Nurani
Hati nurani memberitahukan kepadaku mana yang benar, norma diberikan untuk memberika kepada semua orang mana yang benar itu. Namun, hati nurani kita juga dapat keliru, atau tumpul, atau bahkan buta. Hal itu disebabkan karena kita adalah makhluk ciptaan yang tidak sempurna, dan hidup dalam lingkungan yang tidak sempurna pula. Karena itu, di samping taat pada bisikan hati nurani kita sendiri, kita juga harus berusaha agar hati nurani kita itu memberikan bisikan yang benar.[9]
2.7. Jenis-jenis Hati Nurani
Hati nurani dapat di kategorikan ke dalam beberapa jenis, yaitu:
· Hati nurani yang baik, artinya, hati nurani yang mengedepankan kehendak Tuhan. Menolak hati nurani yang baik mempunyai efek yang sangat membinasakan iman kita (1 Tim 3:8-9).
· Hati nurani yang jahat, artinya, hati nurani yang tidak di bersihkan dan disucikan. Hati nurani yang jahat menyimpan dosa dan semua perbuatan yang sia-sia. Akibatnya, apabila hati nurani ini tidak segera di bersihkan, maka hati nurani ini dapat mempengaruhi tindakan seseorang.
· Hati nurani yang hangus, artinya, hati nurani yang tidak memiliki kepekaan lagi terhadap suara dan panggilan Tuhan. Hati nurani ini adalah efek dari hati nurani yang tidak dibersihkan tersebut. Akibat dosa yang dilakukan berulang-ulang sehingga hati kehilangan kepekaannya. Untungnya hati nurani ini dapat dijadikan peka kembali, tetapi hanya dengan pelatihan bersama Firman Allah.
· Hati nurani yang lemah, artinya, hati nurani yang belum matang dan terlalu peka. Maksudnya adalah, hati nurani yang terlalu bergantung pada hukum dan menyalahtafsirkan apa yang orang lain perbuat. Ia menjadi lemah karena tidak bisa mengambil sikap dalam bertindak ataupun menjadi contoh terhadap orang lain.
· Hati nurani yang najis, artinya, hati nurani yang tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Istilah najis mengandung konotasi campuran antara yang suci dengan yang tidak suci (Tit 1:15). Hati nurani ini dapat terjadi apabila kita terus menerus mengabaikan pimpinan Tuhan dalam hidup kita (1 Kor 8:7)[10].
Di samping itu, hati nurani juga terdiri dari 2 bentuk, akan tetapi tidak selamanya hati nurani ini menjadi tolak ukur yang tepat untuk seseorang mengambil keputusan atau bertindak.
· Hati nurani retrospektif, yaitu hati nurani yang memberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani jenis ini, menilai apa yang terjadi di masa lalu, baik atau tidak, mencela atau memuji. Hal ini semacam instansi kehakiman dalam bathin kita tentang perbuatan yang telah berlangsung.
· Hati nurani prospektif, yaitu hati nurani yang melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani ini bersifat ajakan atau himbauan untuk menimbang apa yang akan dilakukan serta mencoba menerka apa resiko yang bisa terjadi dari setiap keputusan. Hati nurani ini bisa dikatakan hati nurani yang lebih hati-hati, dan tentunya lebih baik dari pada hati nurani retrospektif[11].
2.8. Sifat-sifat Hati Nurani
Selain kedua bentuk diatas, hati nurani juga memiliki 3 sifat, yang di kenal dengan:
· Sifat Personal: selalu berkaitan dengan pribadi yang bersangkutan. Hati nurani sifat ini juga akan ikut mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan yang di alami oleh orang yang bersangkutan.
· Sifat Adipersonal: seolah-olah melebihi pribadi kita sendiri. Hati nurani ini sudah di terangi oleh cahaya dari luar yang menerangi budi dan hati kita. Hati nurani ini sering di sebut sebagai suara Tuhan[12].
· Sifat Pasti: memberikan penilaian dan tidak memberikan alasan penilaian. Artinya, hati nurani hanya berkata bahwa tindakan itu benar atau salah[13].
2.9. Proses Membentuk Hati Nurani[14]
Proses membentuk hati nurani terwujud dengan memakai prinsi-prinsip refleks, yakni prinsip yang dipakai oleh pikiran dalam merenungi keadaan keragi-raguan dan ketidaktahuan yang sekarang dialami. Dua prinsip diterapkan disini yaitu:
1. Jalan yang lebih aman harus dipilih
2. Suatu hukum yang meragukan tidak mengikat.
2.9.1. Bentuk-bentuk Hati Nurani[15]
1. Hati Nurani Retrospektif
Memberi penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung dimasa lampau. Hati nurani ini seakan-akan menoleh kebelakang dan menilai perbuatan-perbuatan yang sudah lewat. Contoh: menuduh atau mencelah, memuji apabila perbuatan seseorang diaggap baik.
2. Hati Nurani Prospektif
Melihat ke depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu atau melarang untuk melakukan sesuatu.
2.9.2. Pembinaan Hati Nurani[16]
Mengenal pembinaan hati nurani, pantas kita anut gagasan pemikiran: “hati nurani harus terdidik dan keputusan moral diterangi”. Hati nurani yang terbina dengan baik adalah jujur dan lurus hati. Bagaimana hati nurani kita seharusnya dibina?
1. Pembinaan hati nurani hendaknya memperhatikan pengertian yang jelas mengenai norma-norma yang membedakan yang baik dan yang jahat.
2. Diperlukan indormasi yang memadai dan factual untuk meliat rangkaian kemungkinan praktis.
3. Kesediaan untuk bereflesi moral sebelum mengambil setiap keputusan.
2.9.3. Kesadaran Hati Nurani
Hati nurani adalah kesadaran moral : instansi yang membuat kita menyadari baik atau buruk ( baik secara moral) dalam perilaku kita dan karena itu dapat menyuluhi dan membimbing perbuatan – perbuatan kita dibidang moral. Dengan demikian hati nurani berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai kesadaran. Dengan kesadaran kita maksudkan kesanggupan manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi dengan dirinya.[17]
2.9.4. Keputusan Hai Nurani
Kesimpulan yang secara logis muncul daripadanya adalah keputusan hati nuraninya sendiri. Salah satu contoh:
o Semua perbuatan dusta tidak diperbolehkan.
o Hakikat perbuatan saya ini adalah berdusta.
o Maka hakikat perbuatan saya ini tidak diperbolehkan.
Kesimpulan ialah, hati nurani sering kita buat demikian cepatnya sehingga kita tidak menyadari bentuk silogistiknya. Tetapi bila kita renungkan proses pemikirannya yang telah kita tempuh, kita dengan mudah bisa melihat bahwa pada hakikatnya berbentuk silogisme.[18] Karena keputusan hati nurani adalah keputusan intelek dan intelek bisa sesat karena memakai premis-premis yang palsu atau karena menarik kesimpulan yang tidak logis, maka hati nurani juga bisa seksama atau keliru. Hati nurani yang seksama adalah hati nurani yang memutuskan sebagai baik hal yang benar-benar baik, atau memutuskan sebagai buruk hal yang benar-benar buruk.[19]
2.10. Hati Nurani sebagai Sumber Etika
Bagi orang Kristen, hati nuraninya dapat menjadi sumber yang berharga, sesudah Alkitab, untuk mendapatkan petunjuk Allah di dalam situasi yang mana pun. Hati nurani tidak dapat dikatakan sebagai sumber utama bagi etika, karena yang menjadi sumber utamanya adalah Alkitab, akan tetapi peranan hati nurani sangatlah besar dalam menentukan seseorang tersebut adalah orang yang beretika atau tidak[20]. Hati nurani kita terkadang tidak sadar akan sesuatu yang jahat, karena hati nurani tidak dapat membenarkan kita dihadapan Allah, hanya saja hati nurani dapat menunjukkan jalan bagi kita agar mendapat pembenaran oleh Allah[21].
Hati nurani dapat menuntun seseorang untuk mengetahui kehendak Allah dan berbuat yang baik. Semakin seseorang mengasah hati nuraninya, dengan Firman Allah (Alkitab), dan mengandalkan Roh Kudus dalam mengambil keputusan, maka seseorang itu akan semakin mengenal suara Tuhan. Suara Tuhan hanya dapat di dengar apabila seseorang telah di terangi oleh terang Tuhan, sehingga setiap tindakannya penuh dengan pertimbangan dan semakin mengerucutkan tindakan yang gegabah.
2.11. Bagaimana Mengikuti Hati Nurani dan Menanggapinya Dengan Baik
Hati nurani dapat merupakan penuntun bagi perbuatan-perbuatan yang akan datang, mendorong kita untuk mengerjakannya atau menghindarinya, atau merupakan hakim atas perbuatan-perbuatan kita yang telah lalu, sumber pembenaran diri atau sumber rasa sesal kita. Yang pertama disebut antecedent conscience (kata hati yang mendahului) yang terahir conseguent conscience (nurani konsekuen). Bila kita memeriksa hati nurani kita, kita membicarakan conseguent conscience. Tetapi untuk kepentingan etika, antecendent conscience jauh lebih penting. Memerintah atau melarang apabila perbuatan harus dikerjakan atau harus dihindari; meyakinkan atau mengizinkan bila terdapat soal mana yang lebih baik atau buruk tanpa keharusan yang keras.
Oleh karena keputusan hati nurani adalah keputusan intelek dan intelek bisa sesat karena memakai premis-premis yang palsu atau karena menarik kesimpulan yang tidak logis, maka hati nurani juga bisa seksama atau keliru.[22]
2.12. Pandangan Hati Nurani Menurut Alkitab[23]
ü Pandangan Perjanjian Lama
Satu – satunya tempat dalam perjanjian lama yang menggunakan istilah “hati nurani”. Banyak tempat dalam perjanjian lama yang melukiskan hati nurani dengan bantuan gambaran dunia jasmaniah. Ini bisa ditelusuri melalui wajah – wajah sejumlah tokoh dalam kitab Suci, seperti Adam – Hawa (Kej 3:8), Kain (Kej 4:5), dan Daud (2 Sam 12: 5-7). Pembicaraan hati nurani menyatu dengan keberadaan, kehendak dan kesetiaan Tuhan. Keberadaan dan kehadiran-Nya dalam hati manusia dipertautan dengan kesadaran akan keberadaan manusia. Dari sudut pandang ini, hati nurani manusia selalu menyatu dengan Tuhan. Dimensi keterkaitan antar pribadi dalam hati nurani ditonjolkan oleh PL, sebab hati nurani manusia dilihat dalam kesatuan dengan Tuhan yang mewujudkan diri kepada manusia. Yang ingin ditekankan adalah bahwa pembicaraan tentang hati nurani manusia dalam cahaya PL tidak tertutup dalam pewahyuan. Bisa dikatakan, keputusan hati nurani dalam PL akhirnya adalah suara Tuhan. Kenyataan ini menjadi jelas terutama di dalam contoh tindak kriminal si Kain.
ü Pandangan Perjanjian Baru
Dalam injil, Yesus berbicara tentang “hati” sebagai pusat pribadi moral, (Mark 7:17-23). Dia menyatakan “terpujilah” kepada mereka yang berhati nurani yakni orang yang sederhana (Mat 5:8). Dia mengajarkan bahwa Surgawi (Mat 6: 19-21), dan masalah dosa pertama – tama adalah masalah hati. Yesus sendiri menuntut supaya perbuatan kita merupakan buah diposisi batin kita (Luk 6:43-45). Seluruh PB menggunakan 31 kali kata hati nurani, 19 diantaranya dipergunakan oleh rasul Paulus. Ini berarti bahwa Paulus cukup banyak menggunakan hati nurani yang lazim dipergunakan oleh rasul Paulus. Ini berarti bahwa Paulus cukup banyak menggunakan hati nurani yang lazim dipergunakan pada abad pertama. Acap kali, hati nurani dicirikan oleh kesaksian (Rom 2:15; 9:1; 2 Kor 1:12). Hati nurani menjadi saksi perbuatan kita yang tak pernah hancur. Hati nurani juga dipandang sebagai “anugerah umum” bagi seluruh umat manusi. Hati nurani menjadi guru umat manusia yang mengikat mereka dengan hukum Tuhan. Malah, hati nurani menjadi tempat Yesus Kristus selaku “Sabda” yang mengajar mereka yang belum mengenalnya.
Hati nurani adalah tenaga batiniah yang mendorong manusia untuk menerima ajaran Kristus dan memeliharanya agar tidak ternoda. Hati nurani yang diterangi oleh kepercayaan dan dijiwai oleh cinta kasih, menurut seorang tokoh B. Harring adalah hati nurani yang sempurna.
III. Kesimpulan
Hati nurani merupakan pusat kepribadian. Kata inggris consience (hati nurani) berasal dari kata latin conscientia. Awalan con berarti “dengan” atau “bersama” kata kerja scire berarti “mengetahui” jadi kata tersebut berarti “mengetahui dengan” atau “mengetahui bersama” kata yang dipakai dalam bahasa Yunani yaitu bahasa asli perjanjian baru, adalah suneidesis. Lagi kata itu berarti “mengetahui dengan” “melihat bersama” atau “setuju dengan”. Hati nurani kadang-kadang juga disebut suara Tuhan. Hati nurani adalah norma terakhir dari perbuatan kita. Kita selalu wajib mengikuti hati nurani dan tidak pernah boleh kita lakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Dalam arti hati nurani mengikat kita secara mutlak. Kita terima bahwa ada perbuatan yang baik dan yang buruk, semua perbuatan itu didorong oleh hati nurani yang diteruskan dan dilakukan. perbuatan kita dinilai oleh moral, Sehingga menghasilkan perbuatan yang baik dan juga buruk. pembahasan mengenai hati nurani dan moral saling berhubungan dimana melalui pembahasan ini, kita mengetahui bahwa hati nurani kita selalu menunjukkan jalan kepada kita tergantung kita meneruskan dan menanggapi hal itu. Lalu perbuatan yang kita teruskan akan kita sadari apakah keputusan yang kita ambil sudah benar bahkan salah. Sehingga setelah memahami hati nurani ini semakin tahu memilih mana yang lebih baik dan mendatangkan hasil yang baik.
IV. Daftar Pustaka
Bertens K., Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007).
Browning W.R.F., Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK-GM, 2014).
Chang William, Pengantar Teologi Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2001).
Douma J., Kelakuan yang Bertanggung Jawab, (Jakarta: BPK GM, 1993).
Hadiwardoyo Purwa AL., Moral Dan Masalahnya (Yogyakarta: IKAPI, 1990).
Poespoprodjo W., Filsafat Moral Kesusilaan Dalam Teori Dan Praktek (Bandung: IKAPI, 1988).
Verkuyl J., Etika Kristen bag. Umum, (Jakarta: BPK GM, 2009).
White Jerry, Kejujuran, Moral & Hati Nurani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000).
[1] J. Verkuyl, Etika Kristen bag. Umum, (Jakarta: BPK GM, 2009), 2.
[2] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK-GM, 2014), 98.
[3]AL. Purwa Hadiwardoyo, Moral Dan Masalahnya (Yogyakarta: IKAPI, 1990), 18.
[4]Jerry White, Kejujuran, Moral & Hati Nurani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 13.
[5]W. Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan Dalam Teori Dan Praktek (Bandung: IKAPI, 1988), 229-230.
[6] Jerry White, Kejujuran, Moral & Hati Nurani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 14.
[7] William Chang, Pengantar Teologi Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 129.
[8]Jerry White, Kejujuran, Moral & Hati Nurani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 20-21.
[9]AL. Purwa Hadiwardoyo, Moral Dan Masalahnya (Yogyakarta: IKAPI, 1990), 15.
[10] Jerry White, Kejujuran, Moral, & Hati Nurani, (Jakarta: BPK GM, 2000), 24-29
[11] K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 54-55
[12]Ibid, 57-58
[13] Jerry White, Kejujuran, Moral & Hati Nurani, (Jakarta: BPK GM, 2000), 17
[14] W. Poespoprodjo, Filsafat Moral, (Bandung: CV Pustaka Grafika,1998),252
[15] William Chang, Pengantar Teologi Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 129.
[16] Ibid, 137-138.
[17] K. Bertens, Etika, 56.
[18]W. Poespoprodjo, Filsafat Moral, (Bandung : CV Pustaka Grafika, 1999), 231.
[19]W. Poespoprodjo, Filsafat Moral, (Bandung : CV Pustaka Grafika, 1999), 245.
[20] Jerry White, Kejujuran, Moral & Hati Nurani, (Jakarta: BPK GM, 2000), 8
[21] J. Douma, Kelakuan yang Bertanggung Jawab, (Jakarta: BPK GM, 1993), 96
[22]W. Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan Dalam Teori Dan Praktek (Bandung: IKAPI, 1988), 231-232.
[23] William Chang, Pengantar Teologi Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 126-128.
Post a Comment