wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

Pembahasan tentang Pietisme

Pietisme






I. Pendahuluan

Pietisme adalah sebuah gerakan di lingkungan Lutheranisme yang berlangsung dari akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-18. Kalangan pietis sangat mementingkan iman yang hidup, hubungan pribadi yang dekat dengan Allah, dan praktik hidup yang saleh dalam kehidupan sehari-hari. Di sini kami akan mencoba menjelaskan pengertian pietisme, latar belakang, hingga kelemahan dan jenis aliran pietisme, semoga paper kami ini dapat menambah wawasan kita semua, Tuhan Yesus memberkati.

II. Pembahasan

2.1. Pengertian Pietisme

Istilah Pietisme muncul dan menjadi popular di kalangan gereja-gereja Lutheran. [1]Pietisme (dari bahasa Inggris Pious = Saleh).[2] Pietisme adalah aliran yang menekankan kesalehan (bhs. Latin : pietas). Dan penghayatan iman. Aliran ini merupakan suatu reaksi terhadap perkembangan di gereja-gereja Protestan sesudah reformasi.[3] Kata pietisme juga dipergunakan sebagai ejekan terhadap kelompok-kelompok orang yang hidup saleh (Collegia Pietatis), yang waktu itu tumbuh menjamur dalam gereja-gereja Lutheran.[4]

2.2. Latar Belakang Munculnya Pietisme

Aliran Pietisme yang mulai muncul di Eropah-Barat pada Penghabisan abad ke-XVII, menjadi suatu gerakan pembangunan rohani yang amat penting, teristimewa di Jerman dan Belanda. Pietisme adalah reaksi terhadap suasana Gereja yang suam itu dan terhadap semangat dunia yang sudah merajalela di dalam masyarakat Kristen.[5]

Gerakan Pietisme muncul di kalangan jemaat Gereja Lutheran, dan dirintis Philipp Jacob Spener (1635-1705) dengan tujuan menanamkan kehidupan baru dalam Protestantisme yang saat itu sedang tidak bersemangat.[6] yang kemudian mempraktekkan kesalehan[7]. Sejak tahun 1669, kelompok ini untuk pertama kali didirikan oleh Spener, dalam rangka memberi arti dan memanfaatkan kehidupan orang-orang Kristen. Spener mengatakan “Daripada dalam seminggu anggota-anggota Jemaat hanya menghabiskan waktu mereka untuk mabuk-mabukan, berjudi atau bermain kartu, maka lebih baik mereka memanfaatkan waktu itu untuk hal-hal yang membangun.” Kegiatan Collegia Pietatis kemudian berkembang. Mereka tidak saja berdiskusi tentang kesalehan, tetapi diskusi itu juga diikuti oleh petunjuk-petunjuk praktis, sesuai dengan kekhasan Pietisme di kemudian hari.[8] Untuk itulah ia menulis sebuah buku yang berjudul Pia Desideria pada tahun 1675.[9] Dalam tulisan ini Spener memberi suatu program untuk memperbaiki keadaan gereja Lutheran di Jerman.[10] Kalangan pietis sangat mementingkan iman yang hidup, hubungan pribadi yang dekat dengan Allah, dan praktik hidup yang saleh dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tidak pernah menolak doktrin yang benar, tetapi lebih mengutamakan penghayatan dan penerapan kebenaran itu sendiri secara pribadi. Kalangan pietis begitu menekankan soal iman yang disertai dengan praktik kesalehan, pendalaman Alkitab, dan hubungan pribadi dengan Yesus. Mereka tidak pernah bermaksud mendirikan sebuah gereja baru, karena tujuan mereka semata-mata ialah ingin menghidupkan persekutuan di antara orang-orang yang sudah mengalami pembaruan. [11]

2.3. Perkembangan dan Perlawanan

Dalam bagian pertama abad ke- XVIII, Pietisme berkembang dengan pesat di Jerman. Di Rusia dan beberapa negeri yang lain, Pietisme menjadi aliran rohani yang paling kuat di dalam Gereja. Perkembangan Pietisme yang terindah terdapat di Wurttemberg di Jerman-Selatan; disana Pietisme diakui dan dihargai oleh Gereja resmi dan dapat mempengaruhi segenap jemaat dengan roh Alkitab dan kesalehan yang murni. Di situ juga bangunlah cita-cita Pekabaran Injil Basel pada tahun 1815. [12]

Prakarsa Spener untuk membentuk kelompok-kelompok saleh (Collegia Pietatis) pada waktu itu dirasakan sebagai sebuah kebutuhan yang mendesak, sebab Jerman sedang dilanda kemerosotan moral yang dahsyat, akibat perang 30 tahun (1618-1648). Inilah sebuah perang dengan latar belakang agama, tetapi ternyata menghancurkan semua nilai-nilai agama. Budaya manusia hancur, moral merosot, dan banyak gedung gereja yang ditutup. Perang ini diakhiri dengan perjanjian Munster pada tahun 1648, tetapi akibat perang itu dalam semua bidang kehidupan ternyata sangat fatal. Banyak desa-desa yang musnah, rumah-rumah dan kebun dibakar, penyakit merajalela, uang kehilangan nilainya, sadisme ditemukan di mana-mana, mabuk-mabukan dan pelacuran adalah hal yang biasa. Halle sebagai salah satu pusat Pietisme Jerman, juga mengalami kemelaratan seperti ini. Ketika Francke tiba di Halle, dari 200 rumah yang ada, 37 di antaranya adalah rumah pelacuran. Rekreasi yang paling disenangi adalah mabuk-mabukan. Anak-anak yang miskin tinggal buta huruf dan tidak berpendidikan. Tempat bermain mereka adalah selokan-selokan kotor dan timbunan-timbunan sampah. Dalam keadaan seperti inilah Pietisme lahir dan berusaha menjawab keadaan.

Sejajar dengan kemelaratan yang melanda masyarakat, dampak negatif dari peperangan yang dahsyat itu mulai terasa di dalam gereja. Gereja-gereja Lutheran pada waktu itu sangat bergantung pada raja yang berkuasa. Pejabat-pejabat gereja ditunjuk oleh raja. Harta milik gereja diatur oleh pemerintah. Disiplin gereja dijalankan tetapi tidak berlaku untuk tokoh-tokoh pemerintah. Dengan perkataan lain, gereja pada waktu itu telah diperalat oleh pemerintah. Apalagi raja-raja di kalangan Lutheran umumnya tidak bisa dibandingkan. Mereka tidak segan-segan mempergunakan pedang atau kekerasan dengan alasan kepentingan Tuhan.

Standar kehidupan pendeta sangat rendah, jauh berada dibawah pegawai-pegawai pemerintah, bahkan masih lebih rendah jika dibandingkan dengan para petani yang berhasil. Mereka bersedia diperalat oleh pemerintah, mimbar-mimbar gereja pada waktu itu adalah alat yang sangat baik untuk menyampaikan peraturan-peraturan atau dekrit pemerintah. Tidak jarang pendeta bertindak sebagai pegawai pemerintah atau polisi rahasia. Oleh sebab itu gereja sebagai alat untuk memerangi akibat bencana peperangan, tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. [13]

Orang Pietis sangat menyesalkan sifat intelektualistis watak khotbah-khotbah yang diperdengarkan di mimbar-mimbar Gereja, baik di Gereja Lutheran Jerman, maupun di Gereja Calvinis di Belanda. Menurut mereka, belum cukup, jikalau hanya ajaran murni dan dogmatik ortodoks saja yang diberikan, yang hanya memuaskan otak tetapi tidak memberi rezeki rohani kepada jiwa. Betapa sedih mereka melihat bahwa kebanyakan anggota jemaat hidup untuk dunia ini saja; agama dipandang sebagai perkara biasa saja, yang memang masih diindahkan tetapi tinggal perkara lahiriah saja yang tidak menggerakkan hati lagi dan kurang dipraktekkan dalam hidup kaum Kristen sehari-hari.[14] Ditengah-tengah kemerosotan moral dan kemelaratan akibat Perang Tiga Puluh Tahun, gereja-gereja Lutheran tidak mempunyai sarana untuk mengisi atau mangatasi keadaan itu. Karena waktu mereka hanya dihabiskan untuk debat-debat dan polemik menyangkut agama, maka wajar kalau uda semacam kekosongan di kalangan umat, seperti kebutuhan hidup saleh dan lain-lain.

Di kalangan Calvinis, disiplin yang keras seperti yang ada pada Pietisme adalah hal yang biasa dipraktekkan. Konsep Presdestinasi juga menimbulkan kesalehan yang khas Calvinis, di mana orang mulai memeriksa diri dan mencari tanda bahwa Allah telah memilih mereka dan menyelamatkan mereka. Tanda-tanda pemilihan itu antara lain adalah kesalehan dan kebajikan. Itulah sebabnya Pietisme lebih gampang muncul di Jerman, sementara di tempat-tempat lain di mana aliran Calvinis dominan, kesalehan mendapatkan tempatnya dan tidak perlu dipertentangkan dengan gereja resmi, karena kesalehan itu sendiri telah diterima oleh umat dan segala golongan masyarakat.

Dengan demikian Jerman telah menjadi persemaian yang cukup subur untuk benih-benih Pietisme. Tokoh-tokoh Lutheran pada waktu itu lebih menekankan hal yang formal dari ajaran Luther, dan debat-debat dogmatis yang tidak menyentuh kebutuhan praktis. Pada waktu itu orang-orang Lutheran terlalu bergantung kepada raja-raja, dalam arti raja yang mengatur segala-galanya, kecuali masalah teologis diserahkan kepada universitas. Akibatnya Lutheran sulit sekali berkembang, sebab pada umumnya raja-raja Lutheran pada waktu itu tidak mampu memelihara nilai-nilai Reformasi. Dalam kekuasaan raja-raja itu lama kelamaan mulai sulit dibedakan antara inti ajaran dan kulit yang membungkus ajaran itu. Muncullah sekelompok orang-orang yang merasa yakin dapat menafsirkan ajaran Luther secara tepat, untuk mempertahankan ajaran Luther dari serangan orang-orang Katolik Roma, Calvinis atau sekte-sekte yang lain. Sejak saat itu mulailah era ortodoksi dalam tubuh Lutheran. Akal mendapatkan tempat utama dan perasaan disingkirkan. Dogma digarisbawahi dan disalahgunakam dengan menjuruskan dogma itu kearah fanatisme. Walaupun di belakang sifat yang kaku dan fanatik itu ada motif yang baik, yaitu ingin melindungi kemurnian ajaran Reformasi. Tetapi kenyataannya jiwa dan semangat Reformasi itu sendiri dimasukkan ke dalam penjara status quo.

Sebenarnya sudah sejak Luther umat dihujani dengan debat-debat yang menyangkut doktrin. Misalnya perdebatan antara Luther dengan orang-orang Katolik Roma. Atau antara orang-orang Lutheran dengan Calvinis menyangkut masalah Perjamuan Kudus. Bahkan dikalangan Lutheran sendiri ada pertentangan-pertentangan menyangkut dogma yang tidak berkesudahan. Belajar dari pertentangan-pertentangan ini, orang-orang gnesio Lutheran pada tahun 1477, merumuskan Formula Concordia untuk melindungi ajaran Lutheran. Dan sebenarnya juga untuk memperkuat kedudukan mereka sendiri. Namun akibat Formula Concordia, jurang antara Lutherisme dan Calvinisme semakin dalam, sebab secara tidak langsung Formula itu memperdalam fanatisme. Dari pertentangan-pertentangan tersebut dapat dilihat bahwa orang mulai berusaha untuk merumuskan rumusan-rumusan yang rasionalistis dan teliti. Atau dengan perkataan lain muncullah Scholastik Protestan dalam tubuh Lutheran. Pertentangan-pertentangan itu bahkan sampai menyentuh tatacara ibadah di dalam Jemaat. Khotbah-khotbah pada waktu itu sama sekali tidak cocok dengan kebutuhan orang. Isi khotbah hanya merupakan serangan-serangan terhadap sekte-sekte. Kadang-kadang khotbah tidak lebih dari pidato yang berapi-api, pengulangan kata atau permain kata, pertanyaan-pertanyaan retoris yang dangkal dan yang dikumpulkan dari Alkitab.[15]

Oleh sebab itu theologia ini seringkali disebut Skholastik Protestan, atau juga ortodoksi Protestan karena yang diutamakan adalah ajaran yang benar, sedangkan penghayatan iman dengan perasaan dan hati diabaikan. Dalam reaksinya, Pietisme melawan perkembangan ini, yang telah menjadikan iman mengiakan sejumlah kebenaran dengan akal dan mengikuti peraturan-peraturan gereja. Sebaliknya Pietisme menekankan bahwa iman bukan tindakan otak saja, melainkan adalah menyerahkan seluruh pribadi kepada Allah dengan hati dan jiwa, sebagai akibat kelahiran kembali oleh Allah.[16]

Dengan perkembangan ini sekaligus kita melihat adanya beberapa tipe semangat dan gerakan Pietisme, mulai dari yang bertahan sebagai anggota gereja yang setia (kendati membentuk semacam gereja kecil di dalam gereja besar), yang berbobot akademis intelektual, sampai kepada yang ekstrem. Pietisme bukanlah suatu sistem ajaran ataupun lembaga keagamaan yang baku. Ia lebih merupakan semacam semangat hidup atau religiositas yang saleh. Kendati demikian ada ciri bersama yang terdapat pada semua kalangan Pietis, sebagaimana telah dikemukakan di atas: kehangatan persekutuan, pengalaman langsung dengan Allah, pemahaman atas Alkitab secara sederhana, peranan warga gereja di dalam kesaksian dan pelayanan, dan sebagainya.[17] Gerakan Pietisme mulai dengan pertemuan-pertemuan religious di rumahnya. Dia menetapkan kelompok doa devisional, membaca Kitab Suci secara teratur, menegaskan imamat universal semua orang beriman, tetapi tanpa bermaksud untuk memisahkan dari Gereja. Sejarah Protestantisme abad XVII-XVIII, telah menjadi gerakan Pietisme, terutama karena reaksi mereka atas kekakuan Gereja.[18] Dan juga orang-orang Pietis suka berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, yang terdiri dari orang-orang sehati dan sejiwa untuk bersama-sama menghayati dan memperdalam iman pribadi dalam suasana bebas dan spontan, yang tidak terdapat dalam kebaktian-kebaktian resmi.[19]

Untuk mencapai tujuannnya, kaum Pietis menekankan: (1). Iman yang berpusat pada Alkitab (2). Pengalaman khas dalam kehidupan kristiani dan (3). Pengungkapan iman secara bebas melalui nyanyian, kesaksian, dan semangat menginjili.[20] Dalam bidang theologia mereka menganggap kurang relevan penekanan pada ajaran benar yang dijelaskan secara ilmiah. Mereka tidak menolak ajaran ini, tetapi mereka sendiri, dalam tulisan-tulisan theologis mereka, lebih menekankan kesalehan pribadi sebagai hasil pertobatan dan penghayatan iman dengan seluruh pribadi. Selain itu orang-orang Pietis menjadi orang Protestan yang pertama yang memperhatikan pekabaran Injil. Mereka, yang menekankan pertobatan manusia sebagai hasil kelahiran kembali yang dikerjai oleh kasih karunia Allah, merasa diri terdorong untuk menyampaikan Injil kepada mereka yang belum mengenal keselamatan dalam Kristus, baik di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. [21]

Dalam situasi seperti inilah muncul aliran Pietisme. Di tengah-tengah pertentangan dogma yang tidak berkesudahan, mereka lalu menekankan etika. Ketika idea tau gagasan digarisbawahi, orang-orang Pietisme lalu berbicara tentang Praksis Pietatis. Ketika akal adalah alat utama yang dipergunakan dalam perdebatan, Pietisme malahan menekankan satu dimensi yang lain dari manusia yaitu perasaan. Bukan apa yang ada di dalam kepala manusia, tetapi yang paling penting adalah apa yang ada di dalam hati manusia. Ketika khotbah-khotbah pada waktu itu sama sekali tidak cocok dengan kebutuhan manusia, Pietisme lalu berbicara tentang khotbah praktis yang berbicara tentang pengalaman dan kehidupan manusia sehari-hari.

Singkatnya Pietisme adalah sebuah koreksi atau reaksi, yang berusaha keras mengisi sebuah kekosongan di dalam kehidupan Jemaat. [22]



2.4. Tujuan Pietisme

Tujuan Pietisme adalah untuk menyelesaikan reformasi abad ke-16 supaya tidak hanya ajaran yang di reformasikan, tetapi juga seluruh kehidupan baik pribadi maupun persekutuan dalam kristen (Gereja, bahkan masyarakat), mencerminkan iman kristen.[23] Tujuan Pietisme adalah untuk menghidupkan kembali kehidupan iman dalam kalangan orang-orang protestan di Jerman yang telah menjadi suam karena kebekuan ajaran dan pengaruh semangat pencerahan.[24]

2.5. Ciri-ciri Umum Pietisme[25]

Ternyata ada bermacam-macam aliran Pietisme yang masing-masing mempunyai kekhasan tersendiri, dan masing-masing mempunyai perbedaan-perbedaan dan ada juga persamaannya. Persamaan yang paling prinsip adalah kesalehan. Minat utama Pietisme bukanlah teologi, tetapi kesalehan. Minat utama mereka terhadap kesalehan itulah yang membuat mereka bernama Pietisme.

· Natura Pietatis

Natura Pietatis artinya Pietisme yang menekankan manusia baru atau regenerasi (lahir baru). Umumnya aliran pietisme ini masih dipengaruhi oleh reformasi. Mereka berpendapat kelahiran baru adalah anugerah Allah semata-mata, tetapi anugerah Allah itu bukanlah untuk diserap manusia lama, pergumulan antara manusia lama dan manusia baru itu terus berlangsung, sebab kelahiran baru adalah sebuat proses, atas dasar pertyimbangan itulah ditemukan di dalam pietisme untuk memutuskan hubungan secara total dengan kehidupan yang lama.

· Collegia Pietatis

Collegia Pietatis merupakan sebuah persekutuan yang menjalankan kesalehan atau sebuah persekutuan saleh, hal-hal yang lahiriah harus diganti dengan hal-hal yang batiniah. Ungkapan-ungkapan yang terkenal dalam Pietatisme misalnya “Kristus didalam aku”, dimana ditekankan hubungan yang organis yang hidup antara setiap individu dengan kristus yang tubuh mistiknya adalah gereja, atau dengan perkataan lain individualisme bertujuan untuk menciptakan hubungan yang bebas dengan Allah.

Jelaslah betapa pentingnya individu dalam pietisme, tetapi sebenarnya bagi Pietisme, manusia baru bukanlah manusia yang terpisah dari persekutuan. Pada Pietisme secara umum individu-individu itu hidup dalam satu jaringan reaksi atau komunikasi dengan individu-individu yang lain. Hubungan itu bukanlah merupakan sebuah pilihan, tetepi merupakan hasil persekutuan manusia. Persekutuan itulah yang dinamakan Collegia Pietatis (Kesalehan yang tepat).

· Praksis Pietatis

Pietatis menekankan pengetahuan tentang bagaimana hidup untuk Allah serta menekankan hal-hal yang praktis dalam kehidupan sehari-hari. Pietisme tidak mementingkan kemurnian doktrin tetapi yang diutamakan adalah kebenaran hidup orang-orang kristen. Praksis Pietatis dapat diwujudkan dalam masyarakat. Salah seorang tokoh Pietisme Puritan yang sangat menekankan unsur Praktis Pietatis ialah Lewis Bayly, dia memberi petunjuk-petunjuk sperti bagaimana memasuki pagi hari dengan doa dan meditasi, praktis Pietisme dapat diwujudkan dalam kehidupan secara pribadi misalnya: meditasi, bagaimana membaca Alkitab yang praktis dan berguna.

· Reformatio Pietatis

Menurut orang-orang Pietisme, Reformasi pertama yang dibuat oleh Luther sebenarnya belum selesai, sebab tidak menyangkut segala bidang kehidupan. Oleh karena itu perlu Reformasi yang kedua, yaitu pembaharuan kehidupan. Untuk itulah Spener menulis Pia Desideria, yaitu semacam kerangka yang harus diikuti dalam reformation pietatis.

Pembaharuan itu seharusnya tidak saja terjadi di dalam gereja, tetapi dampak pembaharuan itu mencakup dunia. Dan menurut mereka pembaharuan itu harus dimulai di bidang moral, karena dunia kurang bermoral, kurang disiplin dan kurang kebahagiaan. Menurut Pietisme, Allah telah memberikan janji-Nya, dengan melihat kepada janji Allah itu, sekarang bukan masanya untuk santai. Tetapi orang Pietisme harus bertindak dan berkarya menyongsong masa depan itu. Dengan perkataan lain, kemungkinan itu ada di dalam tangan Allah, tetapi harus direalisir oleh gereja. Dari sini bisa dimengerti kalau Pietisme selalu menentang semua yang sudah mapan dan statis, serta dengan penuh gairah mengusahakan pembaharuan. [26]



2.6. Aliran Pietisme

· Pietisme Halle

Pada tahun 1651 Spener masuk Universitas Strassburg, dan dididik oleh tokoh-tokoh lutheran dan ortodoks yaitu: C. Dannhauer, J Schmidt dan lain-lain. tetapi sebenarnya tradisi Reformed atau (Calvinis) juga kuat di Strassburg. Disana spener tertarik dengan hal-hal praktis yang dilihat Spener pada orang-orang Reformed. Walaupun Spener tidak menetap di Halle, tetapi gagasan Spener lah yang berkembang di sana. Oleh karena itu ketika kita berbicara tentang Pietisme Halle, maka tokoh Spener harus ditampilkan. Dalam ajarannya sangat menekankan pertobatan, kesatuan dengan Kristus dan hidup suci. Spener belajar di Strassburg sampaitahun 1659, dan dalam periode ini ia menulis: Soliloquia et Meditationes Sacrae yang merupakan kombinasi antara mistik Arndtian dan hal-hal praktis seperti pada puritan. Gagasan-gagasan Spener sangat menentukan arah Pietisme, sehingga ia dinamakan Bapa Pietisme. Gagasan Spener itu dapat ditemukan dalam karya Spener: Pia Desideria (1675). Isi Pia desideria adalah sebuah program pembaharuan. Spener begitu yakin dengan pembaharuan itu. Menurut Spener, pembaharuan itu pasti berhasil karena telah dijanjikan oleh Tuhan sendiri, dan sama sekali tidak bergantung kepada kemampuan manusia. Kesederhanaan Pia Desideria menyebabkan karya itu disenangi pada waktu itu. Orang-orang yang tidak puas dengan keadaan gereja, menyambut Pia Desideria dengan segala senang hati. Spener menulis program pembaharuan itu bukan maksudnya untuk memisahkan diri dari gereja. Collegia Pietatis tidak dimaksudkan untuk berdiri disamping gereja, tetapi di dalam gereja. Sayangnya dalam perkembangan kemudian orang-orang Pietisme tidak dapat konsekwen dengan Collegia Pietatis itu, sehingga terjadilah perpecahan. Spener sendiri sangat menyesalkan perpecahan itu.

Menurut Spener, walaupun gereja penuh dengan kelemahan-kelemahan, ia adalah tubuh Kristus yang perlu untuk diperbaharui atau diperbaiki. Harapan Spener dengan Collegia Pietatis ini ialah akan muncul ecclesiola in ecclesia, yang mengambil alih fungsi presbiter, dan menjadi alat di mana gereja dapat menghayati kembali persekutuannya yang mula-mula.

· Pietisme Herrnhut

Tokoh yang paling terkenal pada Pietisme ini ialah: Nikolaus Ludwig von Zinzendorf (1700-1760). Pietisme Herrnhut mula-mula terbentuk dari sekelompok orang-orang Kristen Moravian, yang terpaksa melarikan diri dari tanah airnya karena penghambatan. Herrnhut yang berarti perlindungan Tuhan. Di tempat inilah Zinzendorf mulai menanam pengaruh Pietismenya. Ia membentuk kelompok-kelompok kecil dengan tujuan meningkatkan kehidupan rohani di Herrnhut, lewat doa dan diskusi-diskusi.

Herrnhut kemudian berkembang menjadi satu persekutuan yang unik, antara lain: Khotbah pendeta di Berhtelsdorf diringkaskan dan didiskusikan oleh kelompok itu setiap petang, perjamuan kasih mulai diadakan, mereka juga melakukan hari doa setiap bulan, penggunaan undi dalam mengambil keputusan, perjamuan kudus dilaksanakan secara bulanan, kebaktian fajar pada hari Paskah, pelayan-pelayan berjaga-jaga sepanjang malam.

· Pietisme Wurttemberg

Aliran ini dimulai di Tubingen. Di sana ada seorang ahli bahasa Johann Andreas Hochstetter (1637-1720). Ia adalah seorang tokoh Ortodoks Wurttemberg, tetapi di dalam kehidupannya sehari-hari mengikuti contoh orang Puritan. Tokoh inilah yang memberikan inspirasi munculnya Pietisme Wurttemberg, yaitu semacam aliran yang merupakan kombinasi antara Pietisme dan Ortodoksi.

Salah seorang tokoh Pietisme Wurttenberg yang terkenal ialah: Johann Albrecht Bengel (1687-1725). Bengel sangat mementingkan hidup baru, tetapi seperti orang-orang Helle, ia juga merasakan penyesalan sebagai suatu kebutuhan atau keharusan, tetapi berbeda dengan Halle, tulisan-tulisannya tidak secara berlebih-lebihan menekankan dosa manusia yang hebat. Dan ia juga tidak berbicara tentang krisis-krisis yang dialami manusia sebelum terjadi penyesalan.

· Pietisme Radikal

Salah seorang tokoh Pietisme radikal yang terkenal ialah Gottfried Arnold (1666-1714). Ia hanya mempertajam, memperjelas atau mempopulerkan pandangan-pandangan yang sudah ada. Ia sebenarnya hanya mengembangkan pandangan-pandangan John Arnold dan Jakob Boehme. Orang Kristen yang benar menurut Arnold, harus mengalami kelahiran baru secara radikal dan pembaharuan hati. Ia mengatakan semua itu terjadi karena anugerah Allah, namun kelahiran baru juga menuntut tindakan dan kehendak manusia. Akibat pengalaman kelahiran baru itu ialah terciptanya satu persekutuan kasih sayang yang sangat indah dengan Kristus atau Sophia. Arnold juga mempunyai pandangan yang negative terhadap dunia ini. Ketika dalam satu puisinya ia mengatakan: “Sekarang saya tinggal di dunia ini, tetapi saya telah siap untuk diangkat ke surge”. Ia juga tidak menghormati organisasi-organisasi gereja pada umumnya dan Lutheran khususnya. Ia mengatakan ada empat berhala dalam Lutheranisme yaitu: Kursi pengakuan dosa, Altar, Bejana Baptisan dan Mimbar. Sebab menurut Arnold, yang paling penting di atas segala-galanya ialah identifikasi batin dengan Kristus. Tokoh Pietisme yang lain ialah: Gerhard Tersteegen (1687-1769). Ia terkenal karena banyak menulis buku-buku rohani dan nyanyian-nyanyian Rohani. Ia juga merupakan salah satu tokoh yang sangat disenagi oleh orang banyak, didalam tulisannya sangat jelas ia dipengaruhi oleh mistik.

· Neo Pietisme

Jerman dipengaruhi oleh Christian Wolff (1679-1754). Ia mengatakan pernyataan Allah dalam Alkitab dan akal, sama nilainya. Ia juga telah membawa perubahan-perubahan tekanan dalam teologi. Sebagai reaksi terhadap rasionalisme Wolff, muncul aliran Sturm und Drang yang menekankan pengalaman batin, legimitasi dan pentingnya perasaan, hal-hal yang rasional dst. Ortodoksi dan Pietisme yang tadinya bermusuhan, kini bersatu melawan Wolff, Pietisme abad ke-18, menolak rasionalisme dan mulai menekankan empirisme, walaupun empirisme yang berakar pada pengalaman manusia ditolak. Aliran ini lalu dinamakan Neo-Pietisme, yang selama paruhan kedua abad ke- 18, menolak pencerahan di satu pihak, tetapi pihak yang lain mengakomodasikan diri dengan roh zaman itu. Cirri-cirinya ialah antara lain:

-Melawan otonomi manusia dan menekankan wibawa Alkitab sebagai otoritas final buat iman dan kehidupan manusia

-Melawan etik natural dan menekankan etik pernyataan

-Melawan reduksi teologi Kristen oleh prinsip-prinsip akal dan menekankan pernyataan Alkitab tentang aktifitas Allah yang menyelamatkan [27]

2.7. Tokoh-tokoh Pietisme

1. Philip Jakob Spener (1635-1705)



Spener adalah seorang tokoh dan pelopor gerakan Pietisme Jerman. Ia dilahirkan di Alcase pada tahun 1635.[28] Ia didik untuk takut kepada Tuhan dan menjadi pendeta.[29] Ia belajar di Universitas Strassbourg dan setelah selesai pendidikannya di sana, ia pergi ke Jenewa. Disini ia berkenalan dengan seorang pengkhotbah terkenal dan dikenal juga sebagai tokoh mistik yang bernama Jean de Labadie. Tetapi kemudian ia kembali lagi ke Strassbourg tempat ia ditahbiskan menjadi pendeta.

Pada tahun 1666 Spener menjadi pendeta di kota perdagangan Frankurt. Sementara itu Spener mulai tidak puas dengan mutu kekristenan pada abad ke-17. Kaum awam dilibatkannya dalam pekerjaan pelayanan gereja. Spener kini menakankan agar diadakan penelitian Alkitab. Dalam khotbah-khotbahnya ia mengajak umat untuk berbuat baik. Ia mengimbau agar para pendeta hidup lebih saleh.

Atas permintaan jemaatnya, Spener pada tahun 1670 mendirikan suatu Collegium Pietatis di jemaat Frankfurt. Pada tahun 1675 Spener mencetuskan gerakan Pietisme.[30] Para pietis menekankan pentingnya memiliki suatu iman pribadi yang hidup dalam Yesus Kristus. Kekristenan yang sejati tidak hanya mencakup kepercayaan terhadap ajaran, ia merupakan suatu pengalaman akan Roh Kudus dalam pertobatan dan hidup yang baru. [31]Ia menerbitkan bukunya yang berjudul Pia Desideria (Cita-cita Kesalehan). Spener sendiri menajukan enam usul untuk memperbaiki Gereja.

1. Harus disediakan waktu yang lebih banyak untuk mendengarkan Firman Allah.

2. Harus mengajak anggota jemaat untuk mempraktikkan imamat am-nya.

3. Iman Kristen harus dipraktikkan.

4. Para teolog tidak boleh memakai kata-kata pahit terhadap lawannya.

5. Lembaga pendidikan teologi haruslah menjadi bengkel-bengkel Roh Kudus.

6. Khotbah-khotbah harus disusun dengan tujuan membangkitkan iman pendengarannya supaya imannya menunjukkan buah-buah roh.

Pada tahun 1686, sesudah 20 tahun pelayanannya di Frankfurt, Spener diangkat menjadi pengkhotbah istana Pangeran John George III dari Saksen. Selama lima tahun ia tinggal di Dresden dan di sinilah ia berkenalan dengan Francke. Pada tahun 1691 Spener menjadi pendeta jemaat di Berlin. Ia menjadi pendeta di sini hingga meninggalnya pada tahun 1705.

2. August Herman Francke (1663-1727)



August Herman Francke adalah salah seorang tokoh Gerakan Pietisme Jerman yang terkemuka pada pertengahan abad ke-17 dan permulaan abad ke-18. Ia dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1663 di Lubeck, 60 kilometer sebelah utara kota Hamburg. Neneknya ialah Hans Francke, seorang ahli hukum dan ibunya adalah Anna Gloxin, saudara perempuannya ahli hukum terkenal di Lubeck. Dengan demikian A.H. Francke berasal dari lingkungan keluarga intelektual.

Pada umur 16 tahun ia memasuki perguruan tinggi, yaitu universitas Erfurt. Ia memusatkan dirinya pada studi logika dan metafisika, kemudian dia pindah ke Universitas Kiel, dalam studi teologi, fisika, filsafat dan sejarah.

Sejak pertobatannya hingga tahun 1690 Francke berkecimpung dalam lingkungan Spener. Francke kemudian berdiam dirumah Johann W. Winkler, seorang pendeta di kota Hamburg. Di sini Francke berkenalan dengan tokoh-tokoh Pietisme lainnya. Spener memberikan pengaruh yang besar atas Francke ketika ia berdiam di Hamburg.

Tahun 1688 Francke berjalan ke Dresden untuk mengunjungi Spener dan berdiam disana setahun lebih. Francke menyebut Spener sebagai “Ayah Kekasihnya.” Tahun 1689 Francke kembali lagi ke Leipziq. Francke segera menjadi pemimpin Pietisme di Jerman Tengah dan Jerman Utara sekaligus menjadi pemimpin politis.

Di Halle, Francke mengadakan kegiatan-kegiatan yang jaungkuannya sangat luas.[32] Ia mendirikan bermacam-macam lembaga yang melakukan sebagian dari program Pietis, seperti panti asuhan, sekolah, apotik dan lembaga Alkitab, yang menyebarkan Alkitab dengan harga murah. Francke juga melibatkan diri dalam suatu bidang yang sebelumnya kurang diperhatikan oleh gereja-gereja Prostestan, yaitu pekabaran Injil di tengah-tengah bangsa bukan Kristen dan kemudian juga di tengah-tengah orang Yahudi. [33] Di Halle Francke mendirikan sekolah-sekolah berdasarkan strata sosial pada masa itu, sebagai berikut:

1. Pedagogium Regium

Sekolah ini hanya untuk menerima anak-anak bangsawan, yang bertujuan untuk mempersiapkan tenaga bagi jabatan-jabatan tertinggi.

2. Sekolah Latin

Sekolah ini bertujuan untuk mempersiapkan masuk ke Universitas yang akan menjadi ahli hukum, dokter, teolog dan sebagainya.

3. Sekolah Jerman

Sekolah ini dikhususkan untuk warga Negara biasa yang bertujuan untuk mempersiapkan seseorang bagi pekerjaan sehari-hari

4. Sekolah-sekolah untuk orang Miskin.

Sekolah ini dipergunakan untuk anak-anak miskin, mereka dibebaskan dari uang sekolah.

Seluruh kegiatan Francke mempunyai tujuan yang lebih lanjut. Lembaga-lembaga itu dimaksudkan sebagai alat perluasan kerajaan Allah. Francke bermaksud untuk menyiapkan tenaga pekabar Injil dan pendeta-pendeta bagi seluruh gereja di dunia.[34]

3. Nicholaus Ludwig Von Zinzendorf (1700-1760)



Zinzendorf adalah keturunan bangsawan di daerah Saksen. Ia dilahirkan di kota Dresden, 26 Mei 1700. Ayahnya meninggal tatkala ia masih bayi. Lalu, ibunya menikah lagi dan Zinzendorf diasuh oleh neneknya, Henrietta von Gerstorff, seorang yang dipengaruhi oleh Spener dan memiliki hubungan yang baik dengan Francke. Karena itu suasana Istana diwarnai oleh pietisme. Spener selalu menjadi tamu yang baik bagi keluarga istana ini. Keluarga ini selalu menjadi penyokong utama kegiatan-kegiatan Francke di Halle.

Pada umur 10 tahun, Zinzendorf dikirim untuk belajar di Paedagogium Regium di Halle, yaitu sebuah sekolah yang dikhususkan untuk anak para bangsawan. Ia belajar disini selama 10 tahun (1710-1716). Dengan demikian Zinzendorf dibesarkan dalam udara pietisme sejak kecil. Di Halle, ia sudah memperlihatkan kemampuannya dalam bidang bahasa, kepemimpinan, dan sifat tanggung jawab yang besar, serta semangat keagamaan.

Setelah selesai pendidikannya di Halle, ia dikirim ke Wittenberg untuk belajar ilmu hukum agar kemudian hari ia dapat bekerja sebagai ahli hukum. Namun suasana Wittenberg tidak menyenangkan hatinya karena di sini merupakan pusat ortodoksi gereja. Ia mengenang kegembiraan masa lalunya di Halle. Di Wittenberg, ia tetap rajin membaca Alkitab, berdoa dan bermeditasi. Di sinilah sebenarnya Zinzendorf menjadi seorang yang sungguh-sungguh pietis. [35] Dalam kesalehan Zinzendorf tidak seperti Spener dan khususnya Francke mengutamakan pertobatan, tetapi hubungan kasih antara orang percaya dengan Kristus yang telah menebus dosanya.[36] Zinzendorf juga menekankan bahwa perhatian kita harus diarahkan kepada salib Kristus.

Pada tahun 1722 sekelompok orang Protestan diusir oleh pemerintahan Austria yang Katolik dari tanah mereka, Moravia. Mereka pindah ke Jerman dan disambut oleh Zinzendorf di tanah miliknya. Di sana mereka mendirikan suatu desa baru yang diberi nama Herrnhut (Perlindungan Tuhan). Mereka digabungkan dengan kelompok penganut pietisme yang telah berkumpul sebelumnya di sekitar Zinzendorf.

Pada tahun 1727 didirikanlah perhimpunan saudara-saudara Injili. Mereka biasa disebut Orang-orang Herrnhurt. Zinzendorf menjadi pemimpin mereka. Herrnhurt mulai mengadakan kegiatan pekabaran Injil ke seluruh Eropa dan di anatara penginjil-penginjil terdapatlah Zinzendorf sendiri. Kegiatan ini membuahkan cabang-cabang Herrnhurt di luar Jerman. [37]Kesalehan yang berpusat pada Kristus mewarnai juga pekabaran Injil yang dilakukan oleh pengikut-pengikut Zinzendorf. Tujuan pekabaran Injil adalah membawa Kristus, bukan ajaran Kristen. [38]Pada tahun 1735 Zinzendorf ditahbiskan menjadi uskup oleh Jablonski dan Nitschman.

Pada tahun 1741 Zinzendorf berkunjung ke Amerika dan tinggal di sana selama dua tahun. Setelah itu ia kembali ke Jerman dan seterusnya ia mengunjungi Inggris. Pada masa akhir hidupnya ia mengunjungi kelompok-kelompok Herrnhut di Jerman dan di luar Jerman hingga ia meninggal pada tahun 1760.



2.8. Kelemahan dan kelebihan Pietisme

ü Kelebihan Pietisme

a. Menekankan perlunya persekutuan yang seerat-eratnya antara orang-orang percaya dengan Kristus.

b. Menekankan penyelidikan Alkitab dengan seksama.

c. Menekankan imamat umum semua orang percaya.

d. Menekankan Tuntutan Tuhan, supaya pengikut-pengikutnya memperlihatkan buah-buah iman dan kasihnya dalam kelakuannya setiap hari dan pergaulannya dengan sesama manusia. [39]

ü Kelemahan Pietisme

Salah satu yang harus diketahui ketika membahas tentang pietisme adalah pasti kelemahan atau kekurangan yang terdapat pada pietisme tersebut:

1) Pietisme adalah Aliran yang menjauhkan Diri dari Dunia

Maksudnya adalah mereka tidak melibatkan diri dengan masakag-masalah dunia sebab dunia dianggap sebagai salah satu tempat yang berlumur dosa. Tempat-tempat hiburan dan tempat-tempat rekreasi selalu dijauhi. Perhatian mereka haya diarahkan ke surge atau dunia di seberang kematian, dengan demikian mereka sama sekali menolak untuk berkarya di bidang sosial, politik, ekonomi dan lain-lain

2) Pietisme adalah Aliran yang Induvidualistis

Semua aliran pietisme setuju bahwa hakikat kekristenan dapat ditemukan dalam hubungan secara pribadi dengan Allah. Apabila kita memperhatikan latar belakang pietisme, maka kelihatan dengan jelas reaksi yang individualistis ini muncul karena dalam persekutuan gereja, banyak sekali individu yang hilang atau tenggelam. Masalah-masalah individu luput dari perhatian, karena persekutuan mreampas segala-galanya. Itulah sebabnya pietisme lalu menekankan tanggung jawab atau peranan individu. Dalam individualisme itu orang menciptakan hibungan yang bebas dengan Allah dan tidak mau diikat dengan formalismegereja. Individualisme bukan saja merupakan sebuah usaha untuk melepaskan diri dari kuasa gereja. Tetapi juga penekanan atas pribadi itu mempunyai dasar di dalam Kristus. Karena pribadi Kristus merupakan pusat iman, maka Pietisme menerjemahkan iman mereka dengan menghormati nilai setiap pribadi.

3) Pietisme adalah Aliran yang subyektif

Unsur subyektif dalam pietisme sebenarnya kelihatan dalam penenkanan atas pengalaman pribadi. Akibatnya pada kelompok-kelompok radikal peranan Firman Allah diabaikan karena pengaruh mistik. Namun demikian sebenarnya unsur pengalaman itu sendiri bukan masalah. Latar belakang Pietisme menunjukkan bahwa unsur pengalaman manusia dan peranann subyektif muncul karena Ortodoksi terlalu menekannkan pembenaran oleh anugrah Allah sehingga etika atau moral manusia diperhatikan.

Itu tidak berarti pietisme menolak anugrah Allah, tetapi tanggung jawab manusia ditekankan karena alasan pastoral. Kenyataan ini dapat dimengerti karena pietisme menekankan praktis pietatis, sehingga ajaran tidak terlalu penting bagi mereka. Ajaran itu baru dirasa penting kalau ajaran itu mendukung pengalaman religius. Pandangan pietisme ini merupakan ajaran yang benar, tetapi mengabaikan penjabaran ajaran itu di dalam praktek[40]

2.9. Dampak Pietisme

Dampak positif pietisme adalah adanya pekabaran injil yang dilakukan dalam rangka harapan kedatangan kerajaanAllah, pekabaran injil yang dilakukan bersifat okumenis, dimana ajaran yang dipegang sesuai dengan Alkitab, pusat hidup adalah Firman Allah dan setia kepada gereja. Dampak pietisme masuk ke Indonesia lewat badan-badan pekabaran Injil baik dari Belanda, Jerman maupun dari Amerika, diantaranya yaitu:

2.9.1. NZG (Nederlandsche Zendeling Genootschap)

Didirikan di Rotterdam pada tahun 1897. Badan ini bekerja di tempat-tempat yang ersebar di seluruh Indonesia, oleh karena itu pengaruhnya perlu di perhitungkan. NZG tidak bertujuan menanam dan membentuk gereja dalam pekabaran injil. NZG lebih menekankan menanam agama Kristen yang benar dan aktif dalam hati manusia, tanpa penambahan pikiran-pikiran manusiawi. Dengan perkataan lain mereka tidak akan mengajarkan perbedaan-perbedaan pikiran tentang kebenaran iman, tetapi mereka menanamkan agama Kristen yang sejati didalam hati manusia.

2.9.2. Pekabar-pekabar Injil Tukang

Dua orang tokoh yang terkenal sebagai pencetus dan penggerak pekabaran injil dan penggerak pekabaran injil Tukang ini adalahGossner dari Jerman dan Heldring dari Belanda. Mereka mengaui bahwa tugas mengabarkan injil adalah tugas gereja dan bukan individu, tetapi kepercayaannya terhadap instansi dan lembaga gereja yang resmi telah hilang. Menurut Gossner dan Heldring, dengan perlengkapan nyanyian rohani dan Alkitab, pekabar-pekabar injil itu dapat menghadapi segala persoalan di daerah pekabar injil.

2.9.3. NZV (Nederlandsche Zendingsvereeniging)

Badan ini banyak bekerja di Jawa Barat. NZV sebuah lembaga yang lahir dari golongan Ortodoks. Pada mulanya NZV hanya mau mendidik calon pekabar injil selama 3 tahun sikap ini didasarkan kepadapola berpikir bahwa kesalehan dan spontanitas lebih penting dari ilmu pengetahuan dan persiapan yang matang.

2.9.4. UZV (Utrechtsche Zendingsvereeniging)

Badan ini dibentuk oleh sekelompok orang yang tidak setuju dengan golongan modern. Mereka sebenarnya berasal dari golongan etis. Mereka juga lebih terbuka pada pekembangan ilmu penegtahuan. UZV pada mulanya hanya mengutus pekabar injil yang berusia 25 sampai 30 tahun. Ternyata mereka beranggapan bahwa kesadaran tentang panggilan Ilahi dan kemantapan iman belum mungkin ditemukan di dalam diri seorang anak belasan tahun.

2.9.5. Badan-badan Pekabaran Injil Lain

1. BM (Bassler Mission Gesselschaft)

Badan ini merupakan buah hati dari suatu kebangunan rihani di basel, sekitar tahun 1800,itu berarti ada hubungan yang erat antara badan ini dengan pietisme, seperti badan pekabaran injil yang lain, Bm juga bersifat antar-denominasi. Di dalam badan ini ada unsur Lutheran dan Calvinis (Reformiert), walaupun di Jerman ada ketegangan antara dua aliran ini. BM bekerja di Kalimantan Selatan, daerah ini diambil alih dari RMG

2. RMG (Rheinische Missiongesselschaft)

Badan ini juga bersifat antar-gereja. Ia bekerja di dalam lingkungan Uniert (gabungan antara Lutheran dengan Reformiert). Oleh sebab itu RMG tidak mau mengikat diri dengan salah satu aliran yang ada. Dalam sebuah pernyataan dari badan ini, dapat diperoleh kesan tentang warna ajarannya. Pernyataan itu berbunyi sebagai berikut: “Kita menamakan diri satu lembaga pekabaran injil, Injili…kita sama sekali tidak mengingkari pentingnya ajaran-ajaran yang membedakan kedua golongan Gerejani itu, dan kita sama sekali tidak juga memaksa seorang pun untuk melepaskan atau menyingkirkan ajaran-ajaran itu. akan tetapi kita yakin dengan setegasnya bahwa ajaran-ajaran itu tidak menjadi dan tidak boleh menjadi alasan yang mencegah kita bekerja sama bagi kerajaan Yesus Kristus. Hendaklah kita tidak mengibarkan bendera salah satu pengakuan iman, apabila Tuhan membentangkan Panji-Panji Kerajaan-Nya”. badan ini kurang berminat terhadap penanaman atau pembentukan gereja. Badan ini juga menekankan pertobatan dan hubungan orang Percaya dengan Kristus, semua ini menimbulkan gambaran tentang RMG, bahwa badan ini di pengaruhi oleh Pietisme.

III. Kesimpulan

Gerakan Pietisme muncul di kalangan jemaat Gereja Lutheran, dan dirintis Philipp Jacob Spener (1635-1705) dengan tujuan menanamkan kehidupan baru dalam Protestantisme yang saat itu sedang tidak bersemangat. Tujuan Pietisme adalah untuk menyelesaikan reformasi abad ke-16 supaya tidak hanya ajaran yang di reformasikan, tetapi juga seluruh kehidupan baik pribadi maupun persekutuan dalam kristen (Gereja, bahkan masyarakat), mencerminkan iman kristen. Dampak positif pietisme adalah adanya pekabaran injil yang dilakukan dalam rangka harapan kedatangan kerajaanAllah, pekabaran injil yang dilakukan bersifat okumenis, dimana ajaran yang dipegang sesuai dengan Alkitab, pusat hidup adalah Firman Allah dan setia kepada gereja.

IV. Daftar Pustaka

Aritonang, Jan S, Reformasi dari Dalam Sejarah Gereja Zaman Modern, Yogyakarta: IKAPI,2004.

Aritonang,Jan Sihar, Garis Besar Sejarah Reformasi, Bandung: Jurnal Info Media, 2007.

Berkhof, H. & I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 2018.

Culver, Jonathan E. SEJARAH GEREJA UMUM, Bandung: BIJI SESAWI, 2013.

Hale, Leonard, Jujur terhadap PIETISME, Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 1996.

Jonge, C. de, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK GUNUNG MULIA,1996.

Lane, Tony, Runtut Pijar, Sejarah pemikiran Kristiani, Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 2007.

Schie,Van, Rangkuman sejarah gereja kristiani dalam konteks sejarah agama-agama lain, Jakarta: OBOR, 1995.

WELLEM, F.D. Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 2006 Jonge, Christian de, Gereja Mencari Jawab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013

Wellem, F.D., Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.




[1] Leonard Hale, Jujur terhadap PIETISME, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 1996), 4.


[2] Jonathan E.Culver, SEJARAH GEREJA UMUM,(Bandung:BIJI SESAWI, 2013), 305.


[3] C. de Jonge, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA,1996), 78.


[4] Leonard Hale, Jujur terhadap PIETISME, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 1996), 4.


[5] H.Berkhof & I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 2018), 244.


[6] Jan S. Aritonang, Reformasi dari Dalam Sejarah Gereja Zaman Modern, (Yogyakarta: IKAPI,2004), 208.


[7] Van Schie, Rangkuman sejarah gereja kristiani dalam konteks sejarah agama-agama lain, (Jakarta: OBOR, 1995), 41.


[8] Ibid, 5.


[9] F.D. WELLEM, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 2006), 365.


[10] Christiaan de Jonge, Gereja Mencari Jawab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 40.


[11] Jonathan E.Culver, SEJARAH GEREJA UMUM,(Bandung:BIJI SESAWI, 2013), 306.


[12] H.Berkhof & I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 2018), 248.


[13] Leonard Hale, Jujur terhadap PIETISME, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 1996), 6-7.




[14] H.Berkhof & I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 2018), 244.




[15] Leonard Hale, Jujur terhadap PIETISME, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 1996), 7-10.


[16] C. de Jonge, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA,1996), 79.


[17] Jan Sihar Aritonang, Garis Besar Sejarah Reformasi, (Bandung: Jurnal Info Media, 2007), 80.


[18] Jan S. Aritonang, Reformasi dari Dalam Sejarah Gereja Zaman Modern, (Yogyakarta: IKAPI,2004), 209.


[19] Ibid, 79.


[20] Ibid, 81.


[21] C. de Jonge, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA,1996), 79-80.


[22] Leonard Hale, Jujur terhadap PIETISME, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 1996), 10-11.


[23] C. De Jonge, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA,1996), 78


[24] F. D. Wellem, kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM,2006),365.


[25] Leonard Hale, Jujur terhadap PIETISME, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 1996), 12-16.


[26] Leonard Hale, Jujur terhadap PIETISME, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 1996), 12-17.


[27] Leonard Hale, Jujur terhadap PIETISME, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 1996), 18-47.


[28] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2015), 172.


[29] Tony Lane, Runtut Pijar, Sejarah pemikiran Kristiani, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 2007), 142.


[30] Ibid, 172.


[31] Ibid, 142.


[32] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2015), 79.


[33] Christiaan de Jonge, Gereja Mencari Jawab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 40.


[34] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2015), 79-80.


[35] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2015), 198.


[36] Christiaan de Jonge, Gereja Mencari Jawab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 41.


[37] Ibid, 149.


[38] Ibid, 41.


[39] H. Berkhof & I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, 225.


[40] Leonard Hale,Jujur Terhadap Pietisme,115-125


Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Total Pageviews
Times/ Waktu
Waktu di Kota Medan: