I. Pendahuluan
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Batak adalah Perang Toba yang terjadi tahun 1878 dan 1883 sebagai inti perlawanan Singamangaraja XII terhadap kekuasaan Belanda yang diikuti oleh hadirnya para perintis batakmission melakukan penelitian terhadap keadaan di Tanah Batak. Perang dan penaklukan Toba sangat mendukung dan mempercepat upaya pembukaan pos penginjilan. Para penginjil memainkan peran yang cukup besar di Tanah Batak. Disajian kali ini kita akan membahas peran Zending dalam perang Batak. Semoga sajian ini menambah pengetahuan kita semua, Tuhan Yesus Memberkati.
II. Pembahasan
2.1. Latar Belakang Penginjilan di Tanah Batak
Pada awal abad ke- 19 timbul konflik di Kerajaan Pagaruyung antara kaum ulama yang ingin menerapkan syariat Islam sesuai dengan mazhab Wahabi di satu sisi, dan pihak kerajaan Pagaruyung di sisi lain. Selain adanya unsur agama, ada pula unsur ekonomi.[1] Penginjil pertama yang datang ke Tanah Batak adalah Richard Burton dan Nathaniel Ward, utusan Baptist Missionary Society (BMS). Mereka datang ke Silindung tahun 1824, bertemu dengan warga termasuk Ompu Pintubosi, kakek dari Raja Pontas Lumbantobing. Pada waktu itu Sumatera masih dikuasai oleh Inggris dan Letnan Gubernur Jendral Inggri Thomas Stamford Raffles yang berkedudukan di Bengkulu mengizinkan utusan misi BMS dari Ingris untuk mengabarkan Injil di Tanah Batak. Tetapi kunjungan Burton dan Ward belum menghasilkan penerimaan karena komunikasi yang belum baik.[2] Masuknya penginjilan di Tanah Batak juga tidak terlepas dari perang Padri yang tidak lepas dari tindakan keras dan pembantaian masyarakat Batak di pulau Sumatera. Agama Islam telah tersebar sejak abad ke-13 sampai abad 15 mulai dari Aceh yang meluas ke seluruh Pantai Timur, abad ke 16 meluas ke Pantai Barat, dan abad ke 17 meluas sampai ke pedalaman Minangkabau dan sampai ke Bangka Hulu sementara kesultanan-kesultanan berkembang tidak ada tempat-tempat bagi orang Barat untuk melakukan usaha dagang. Di samping itu daerah Batak juga tidak bisa disentuh, namun masih ada beberapa daerah yang bisa ditempati orang Barat.[3] Perang Padri tetap berkelanjutan hingga meletus kembali di Minangkabau sejak tahun 1821-1837. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Islam di Minangkabau menikah dengan perempuan Batak sehingga meningkatkan pemeluk agama Islam dalam masyarakat Batak. Pada saat meletusnya perang Padri di Minangkabau, terjadi pengislaman besar-besaran sampai ke wilayah Mandailing dan Angkola. Perang ini juga merembes sampai pedalaman Tanah Batak yang dipimpin Tuanku Rao.[4]
Dalam suasana perang Padri itu, tahun 1834 datanglah dua penginjil utusan American Board of Commissioner for Foreign Mission (ABCFM) dari Boston-Usa, yaitu Samuel Muson dan Henry Lyman. Namun karena warga batak tidak mengizinkan orang asing masuk ke Tanah Batak maka pada 28 Juni 1834 mereka dibunuh oleh Raja Panggalamei di dusun Sisangkak, desa Lobu Pining daerah Tapanuli Utara. Pada tahun 1840-1841 yaitu setelah perang Padri usai, Franz Willhelm Junghuhn melakukan kunjungan penelitian di Tanah Batak. Atas saran F.W. Junghuhn, Lembaga Alkitab Belanda pada 1849 mengutus Herman Neubronner dan Van der Tuuk untuk meneliti bahasa Batak. Hal ini dilakukan untuk menyusun buku Tata Bahasa Batak dan Kamus Bahasa Batak serta menerjemahkan bagian Alkitab dalam bahasa Batak. Junghuhn dan Van der Tuuk menyarankan agar misi Kristen dibuka kembali di daerah Tanah Batak yang masih menganut agama suku.[5] Pada tahun 1857, dari zending Ermelo, yaitu Gerrit Van Asselt berhasil menembus beberapa orang pemuda lalu memberi mereka pendirikan Kristen. Pada tanggal 31 Maret 1861 dua orang di antara mereka dibaptis, yaitu Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar. Dalam hal ini jumlah orang Kristen masih dianggap kecil dan belum sanggup menjadi Gereja yang mandiri.[6] Salah seorang tokoh pimpinan RMG, yaitu Fabri, pergi ke Belanda untuk menemui pemerintah Belanda agar mengizinkan misionarisnya ke Tanah Batak menyebarkan agama Kristen. Pemerintah Belanda pun mengizinkan zending RMG melakukan tugasnya di Tanah batak dan bekerja sama dengan zending Ermelo. Pada tanggal 7 Oktober 1861, missionaris RMG dan Ermelo melakukan rapat pembagian tugas. Dari hasil rapat tersebut diambil keputusan pembagian tugas dan tempat kerja masing-masing missionaris dalam menyebarkan agama Kristen.[7] Untuk memudahkan penyebaran agama Kristen, maka misionaris belajar tentang sistem sosial, politik, budaya, agama. Perjumpaan masyarakat Batak dengan zending RMG mengalami perubahan dalam beberapa hal, yaitu kepercayaan yang mereka anut lambat laun mereka tinggalkan kemudian menganut agama Kristen, yang dulunya orientasi masyarakat Batak adalah kehidupan pertanian dimana anak-anak mereka akan menjadi sumber rezeki dalam mengelola sawah, namun seiring masuknya zending diperkenalkanlah teknik-teknik pertanian modern. Sehingga kristenisasi di Tanah Batak semakin meluas.[8]
2.2.Misi Gereja dalam Habatakon
Gereja diutus untuk melaksanakan pemakluman kabar gembira keselamatan yang telah dibawa Yesus Kristus. Kerajaan Allah telah dekat, bertobatlah dan percayalah kepada Injil (Mrk 1. 15). Pewartaan kabar gembira mempunyai tujuan untuk memertemukan umat manusia dengan Kristus Sabda Allah yang menjadi manusia. Melalui Kristus kerajaan Allah menerobos masuk ke dalam dunia secara definitif dan tidak dapat ditarik kembali.[9] Melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Ia menjadi penebus seluruh umat manuia. Berkat Dialah kita melihat arti keselamatan yaitu diterima dengan penuh kasih oleh Allah, Abba kita, agar kita menjadi umat yang diubah sesuai dengan model Yesus Kristus. Inilah kabar Gembira bagi manusia yang harus diwartakan oleh Gereja yaitu keselamatan dalam Kristus. Keselamatan itu diwartakan kepada semua orang.[10]
2.3. Sikap Zending/Penginjil terhadap Masyarakat Pribumi Khususnya orang Batak
Para misionaris dipengaruhi oleh arus-arus ideologi yang sedang berlaku di Eropa, termasuk di antaranya rasisme dan nasionalisme, yang sering terwujud sebagai Calvinisme yang menekankan keunggulan bangsa Jerman. Sikap rasisme sangat kelihatan pada beberapa penginjil RMG seperti Hugo Hahn, sementara ada misionaris lain yang lebih cenderung membela kepentingan pribumi. Walaupun banyak misionaris bersikap kritis, boleh dikatakan hampir tidak ada seorangpun yang secara prinsipil menolak penjajahan. Para penginjil kendati pada umumnya berasal dari latar Belakang sosial yang sederhana, berkeyakinan menjadi wakil peradaban yang begitu jauh lebih unggul daripada budaya kafir. Masyarakat di wilayah penginjilan dianggap tidak memiliki peradaban, sehingga diperlukan adanya transfer budaya dan peradaban Eropa dengan menggunakan istilah culturkamp (perang budaya). Oleh karena itu masyarakat primitif tidak memiliki cultur melainkan uncultur. Maka sebagian besar budaya yang sudah ada harus dihilangkan. Namun dalam praktek, penginjil melihat di daerah Batak adanya unsur Batak yang perlu dilestarikan, termasuk aksara dan bahasa Batak, sastra lisan, dan arsitektur yang dibutuhkan demi melestarikan watak bangsa. Dalam hal ini para penginjil Jerman berbeda dengan zending asal Inggris yang kurang mementingkan pelestarian bahasa pribumi. Namun sebagian besar budaya batak dianggap tidak penting atau malah bertentangan dengan agama Kristen. Penginjil Nommensen, misalnya melarang jemaatnya bermain musik (margondang), menari (manortor), bahkan Kristen kekerabatan orang Batak dikenal sebagai dalihan na tolu ingin dihilangkan dengan mengizinkan perkawinan antara sesama warga. Carl Hugo Hahn menyimpulkan watak suku batak adalah mereka sombong, tidak setia, licik, curiga, curang, tidak mau memaafkan, keras kepala, selain itu mereka teramat membenci bangsa kulit putih. Prasangka negatif juga dikemukakan oleh Junghun, orang Batak memiliki sifat pemabuk, curiga, kejam, tidak sabar, tidak patuh, tetapi Junghuhn juga melihat adanya sikap positif pada orang Batak yaitu berani, jujur, terus terang, baik hati, dan mandiri.[11]
2.4. Latar Belakang Perang Toba
Perang Toba adalah perlawanan yang dilakukan oleh rakyat toba, kepada belanda. Perang ini juga disebut dengan perang batak/ Tapanuli karena disana sebagian besar rakyatnya berasal dari rumpun batak. Suku yang termasuk dalam rumpun batak ini adalah Toba, Karo, Simalungun, Pak-pak, Anggkola dan Mandailing. Perang ini terjadi pada tahun 1878-1907, lamanya perang ini adalah 29 tahun perang ini berlangsung. Perlawanan ini dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja ⅩⅡ. Perang batak ini sebenarnya dilatar belakangi oleh penolakan oleh Raja Batak Sisingamangaraja ⅩⅡ atas misi zending (penyebaran kekeristenan) yang dilakukan oleh pendeta-pendeta Belanda dan Jerman di daerah batak yang telah dikuasai oleh Belanda. Hal ini berawal dari wilayah kekuasaan Raja Sisingamangaraja ⅩⅡ yang mengecil karena wilayah Tapanuli dan Tarutung telah dikuasai oleh Belanda. Raja Sisingamangaraja ⅩⅡ kemudian berusaha melakukan perlawanan untuk mencegah kekuasaannya semakin mengecil oleh ekspansi Belanda. Raja Sisingamangaraja ⅩⅡ kemudian menyerang kedudukan Belanda di Tarutung. Perang berlangsung selama 7 tahun di daerah Tapanmuili Utara seperti di Bahal Batu, Siborong-borong, Balige, Laguboti, dan Lumban Julu. Kemudian untuk membalas serangan Raja Sisingamangaraja ⅩⅡ, Belanda pada tahun 1894 meluncurkan serangan balasan dengan menyerang Bakkara yang merupakan pusat kedudukan dan pemerintahan Kerajaan Batak. Serangan ini berujung dengan mengungsinya Raja Sisingamangraja ⅩⅡ ke Pak-pak Dairi. Pada tahun 1904, pasukan Belanda dibawah kepemimpinana Van Daalen dari Aceh Tenggah, melanjutkan gerakannya ke Tapanuli Utara, sedangkan di Medan didatangkan pasukan lain. Pada tahun 1907 pasukan Marsose dibawah kepemimpinan Kapten Hans Christoffel menangkap boru Sagala, istri Raja Sisingamangaraja ⅩⅡ serta dua orang anaknya. Sementara itu Raja Sisingamangaraja ⅩⅡ dan para pengikutnya berhasil melarikan diri ke hutan Simsim. Ia menolak untuk tawaran menyerah, dan dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907, Raja Sisingamangaraja ⅩⅡ gugur bersama putrinya Loppian dan dua putranya Sutan Nagari dan Patuan Anggi. Gugurnya Raja Sisingamangara ⅩⅡ menandai berakhirnya Perang Tapanuli.[12]
2.5. Peran Zending dalam Perang Toba
Raja Sisingamangaraja XII adalah Maharaja di Negeri Toba dari Bangkara. Namanya Patuan Bosar dengan gelar Ompu Pulo Batu dan naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Singamangaraja XI yang telah meninggal. Sementara itu L.I Nommensen sudah berada di Silindung sejak masa pemerintahan Raja Singamangaraja XI, karena Nommensen masuk ke Silindung pada tahun 1864. Masyarakat Toba adalah masyarakat yang sudah memiliki tatanan yang mengatur hidupnya di mana mereka hidup di dalam Huta-Horja-Bius. Huta-Horja-Bius merupakan elemen dasar daripada sistim kelembagaan masyarakat Toba. Singamangaraja merupakan lembaga pemersatu masyarakat Toba secara keseluruhan. Singamangaraja dipahami sebagai inkarnasi Batara Guru, sehingga menempatkan Singamangaraja sebagai Dewa-raja. Singamangaraja bukan Pendeta-raja atau Raja-imam seperti yang biasa disebut-sebut oleh para misionaris Jerman dan hal ini merupakan usaha mereduksi makna dan status lembaga Singamangaraja. Dalam kaitan dengan pemahaman bahwa Singamangaraja adalah inkarnasi Batara Guru, maka dalam konteks inilah Singamangaraja dipanggil ‘Ompu i’, sehingga Singamangarajalah satu-satunya yang dipanggil ‘Ompu i”. Itulah sebabnya, menjadi aneh kalau L.I Nommensen dipanggil ‘Ompu i’ juga selain daripada hanya untuk membangun kultus individu/pengkultusan.
Para misionaris Jerman memandang masyarakat Toba sebagai bangsa kafir yang berjalan dalam kegelapan dan hasipelebeguon, barbar, tak berbudaya, kanibal, dlsb. Sementara misionaris Burton dan Ward dari Inggris menyebut masyarakat Toba sebagai masyarakat yang ramah menyambut mereka dengan pesta dan tor-tor pada tahun 1824. Meskipun pemberitaan Injil yang mereka sampaikan ditolak, tetapi mereka masih tetap tinggal di sana beberapa waktu dan perpisahan untuk mereka dilakukan meriah dengan pesta dan tortor sebagaimana mereka tulis sendiri di dalam memoarnya. Berbeda dengan sebuah buku riwayat pelayanan L.I Nommensen dalam bahasa Toba ejaan lama yang mengatakan bahwa Burton dan Ward diusir. Mungkin penulis buku tersebut “salah mendengar informasi”, karena perhatiannya terlalu terfokus hanya kepada Nommensen dalam rangka pengkultusan.
Kehadiran para zendeling di Tanah Batak tentu tidak disetujui oleh Singamangaraja XII yang menggantikan ayahnya pada tahun 1867 apalagi setelah mereka mengundang Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens menjelang Natal 1868. Pada kesempatan itu para misionaris menekankan kepada gubernur bahwa mereka akan menyambut baik aneksasi Tanah Batak demi adanya pemerintah yang menjalankan hukum dan keadilan (Recht und Gerechtigkeit) (BRMG 1869:300, BRMG 1871:142-3). Misionaris Johannsen malah menganggap Arriens sebagai “sungguh-sungguh wakil Allah yang untuk membawa kesenangan bagi Silindung”. Tentu Singamangaraja merasa kedaulatannya diingkari dengan kedatangan pembesar Belanda ke dalam wilayah kekuasaan Singamangaraja tetapi ternyata tidak ada reaksi apa-apa mungkin karena beliau masih muda dan belum cukup berpengalaman.[13]
Hubungan antara Penginjil dan pemerintah penjajah sangat kompleks, dan tergantung pada berbagai faktor. Koalisi Injil dan pedang memang cukup sering terjadi karena kedua belah pihak merasa diuntungkan, dimana pemerintah dan tentara kolonial dapat memanfaatkan pengetahuan para Missionaris yang mengetahui bahasa, adat istiadat, dan keadaan setempat, sementara penginjil dapat menyebarkan injil dengan lebih tenang dalam kawasan yang telah “didamaikan” pemerintah. Tetapi disisi lain, persekongkolan yang sangat erat dengan penjajah dapat juga menghambat upaya penginjilan, dengan demikian kepentingan pemerintah dan penginjil tidak selalu sama, namun pada umumnya ada perasaan kuat, baik pada pihak penginjil maupun pihak kolonial bahwa mereka saling membutuhkan. Hubungan akrab antara pemerintah dan penginjil disebabkan oleh kepercayaan mutlak akan keunggulan bangsa Eropa, baik agama Katolik maupun Protestan melihat dirinya sebagai saudara kembar. Sehingga hubungannya dapat kita lihat bahwa kolonialisme dimata para penginjil tidak lagi sesuatu yang berkonotasi negatif, namun sebaliknya kolonialisme dianggap sesuai dengan rencana Tuhan dan sekaligus sebagai wahana untuk membawa peradaban dan injil kepada banga primitif.
Saat L.I. Nomensen ketika baru membuka pos zending dilembah Sipirok, taklama sesudah pindah kelembah Silindung, tepatnya pada awal tahun 1878. Nomensen berulang kali meminta pemerintah Kolonial agar selekasnya menaklukkan Silindung menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda kemudian pada akhirnya pemerintah Belanda mengabulkan permintaan Nomensen, sehingga terbentuklah koalisi Injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak memiliki musuh yang sama. Raja Sisingamangaraja ⅩⅡ yang oleh zending di cap sebagai “ musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan Zending Kristen” sehingga mereka bersama-sama untuk mematahkan perjuangan Raja Sisingamangaraja ⅩⅡ.[14]
2.6.Tokoh- Tokoh
1. Inger Ludwing Nomensen
I.L. Nomensen adalah seoran penginjil yang terkenal di Indonesia. Nomensen dilahirkan pada tanggal 06 Februari 1834 disebuah pulau kecil yang bernama P. Noordstard, Jerman Utara. Nomensen sejak kecil sudah hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Sejak kecil ia juga sudah mencari nafka untuk membantu orang tuanya. Pada umur 8 tahun ia mencari nafka dengan mengembalakan domba orang pada musim panas dean bersekolah pada musim dingin. Dan pada umur 10 tahun ia menjadi buruh tani sehingga pekerjaan itu tidak asing lagi baginya. Semua itu tampaknya sebagai persiapan baginya sebagai seorang penginjil dikemudian hari. Tahun 1846 Noensen mengalami kecerlakaan serius luka itu sangat parah sehingga ia tidak dapat berjalan, meskipun sakit ia tetap belajar untuk menjahit dan menambal sendiri pakaiannya yang robek. Suatu hari ia membaca Yohannes 16:23-26 tentang kata-kata Yesus yang menyatakan siapa yang meminta kepada Bapa di Surga, maka Bapa akan mengabulkannya. Nomensen bertanya kepada ibunya apakah nasihat Yesus masih berlaku atau tiadak. Ibunya meyakinkannya bahwa nasihat itu masih berlaku. Ia meminta ibunya supaya berdoa bersama-sana, Nomensen meminta kesembuhan dan berjanji jikalai ia sembuh maka ia akan pergi memberitakan injil kepada orang kafir.[15]
Ia melamar ke RMG untuk dapat menjadi seorang pekabar Injil. Lalu ia didik di wisma RMG di Barmen, dan pada tahun 1861 ia ditabhiskan dan ia berangkat ke Sumatera. Sesudah perjalanan yang 142 hari lamanya ia tiba di padang dan dipekerjakan dalam wilayah kekuasaan belanda. Ia berniat menyiarkan agama Kristen bukan dari pinggir melainkan daro pusat tapanuli.[16]
2. Franz Wilhelm Junghuhn
Pada tahun 1836, Junghuhn tiba di Jawa dan pada tahun 1840 ia ditugaskan di Padang. Di dalam kapal ia bertemu dengan Pieter Merkus, seorang pejabat tinggi yang pada awal tahun 1841 menjadi gubernur Jendral Hindia Belanda. Merkus menugaskannya untuk meneliti tanah Batak. Pada 2 Oktober Junghun tiba di Teluk Tapanuli. Kontrak kerjanya tidak terbatas, dan pemerintah Belanda membebaskan dia tinggal lama di daerah Batak untuk melakukan penelitian yang sungguh-sungguh. Walaupun sakit-sakitan selama berada di tanah Batak, Junghuhn sempat menulis dua jilid buku sebagai hasil penelitiannya. Buku itu dibagi dalam enam belas bab yang mengandung informasi tentang asal-usul, ras, kebudayaan, dan lainnya.
3. Herman Neubronner Van Der Tuuk
Herman lahir di Malaka dari seorang ayah berkebangsaan Belanda dan seorang ibu yang separuh Jerman dan separuh Indo. Ia adalah seorang yang ahli bahasa yang sangat muda, untuk meneliti bahasa Batak dan menerjemah Kitab Injil. Pada tahun 1836 ia di sekolahkan di Belanda dan mulai tahun 1840 ia mulai kuliah hukum. Ia dipekerjakan oleh NZG untuk meneliti bahasa-bahasa Batak dan menerjemahkan kitab Injil ke dalam bahasa Toba, dan menyusun kamus bahasa Batak. Walaupun ia seorang atheis, namun ia juga memberi kesimpulan yang sama dengan Junghun bahwa orang Batak harus diizinkan untuk membendung pengaruh Islam di bagian Utara pulau Sumatera. Mengingat bahwa agama Islam pada hakikatnya bersifat anti Belanda, maka pengkristenan orang Batak juga menjadi kepentingan pemerintah.
4. Hermanus Willem Witteven dan Gerrit Van Asselt
Hermanus adalah pendiri jemaat zending (1859), dan Gereja Zending di Ermelo. Pada tanggal 11 Desember 1853, seorang pemuda yang sehari-hari bekerja sebagai pengembala kambing mendatangi Pastor Wittevem karena hendak menjadi penginjil. Pemuda itu bernama Gerrit Van Asselt, pemuda setengah buta huruf itu lalu belajar pada Pastor Witteven. Lalu Witteven menghubungi NZG dan meminta agar Van Asselt diterima sebagai tukang di zending. Akan tetapi permintaan itu ditolak dengan alasan bahwa si Gerrit itu terlalu bodoh untuk mempelajari bahasa asing. Namun Witteven berhasil meyakinkan persatuan pendukung zending perempuan yang dipimpin oleh Eihelmina E. Van Vollenholen. Esser menginginkan agar Asselt menjadi penginjil di Sumatera untuk menaklukan kerajaan Minangkabau. Misi di daerah-daerah selatan berada di wilayah pemerintah kolonial Belanda. Pada awalnya pemerintahan belum stabil, namun mulai tahun 1875 sudah ada seorang kontrolir berkebangsaan Belanda. Pada awal kedatangan para penginjil masih belum banyak penganut agama Islam, dan terutama pada periode sekitar 1867-1871 ada kemajuan yang pesat di daerah Selatan, sehingga pada tahun 1871 telah tercatat hampir 700 penganut agama Kristen. Pemerintah tidak bersikap anti zendeling, malah sangat mendukung upaya penginjilan, tetapi para penguasa takut bahwa kehadiran misionaris akan mengakibatkan adanya pemberontakan sebagaimana terjadi di Kalimantan tahun 1859.[17]
III. Kesimpulan
Dari sajian diatas dapat kita simpulkan bahwa Penginjil pertama yang datang ke Tanah Batak adalah Richard Burton dan Nathaniel Ward, utusan Baptist Missionary Society (BMS). Mereka datang ke Silindung tahun 1824, bertemu dengan warga termasuk Ompu Pintubosi, kakek dari Raja Pontas Lumbantobing. Pada waktu itu Sumatera masih dikuasai oleh Inggris dan Letnan Gubernur Jendral Inggri Thomas Stamford Raffles yang berkedudukan di Bengkulu mengizinkan utusan misi BMS dari Ingris untuk mengabarkan Injil di Tanah Batak. Tetapi kunjungan Burton dan Ward belum menghasilkan penerimaan karena komunikasi yang belum baik. Dan zending pun berperan dalam perang toba ini yaitu memberi penginjilan bagi orang Batak. Adapun tokoh-tokoh yang berperan adalah Inger Ludwig Nomensen, Franz Wilhelm Junghuhn, Herman Neubronner van Der Tuuk dan Hermanus Willem Witteven serta Gerrit Van Asselt.
IV. Daftar Pustaka
Aritonang, Jan S., Yubelium 50 Tahun GKPI, Pematang Siantar: Kalportase Pusat GKPI, 2014
Aritonang, Jan S., Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988
End, Th. Van den, Ragi Cerita II, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006
End, Th. Van den, Harta dalam Bejana, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982
Kozok, Uli, Utusan Damai di Kemelut Perang Peran Zending dalam Perang Toba, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010
KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi, (Yokyakarta: Kanisius, 1996).
Sangti, Batara, Sejarah Batak, Balige: Karl Sianipar Compan, 1978
Wellem, F.D, Riwayat Hidup Singkat, Jakarta: BPK-GM, 2015
V. Sumber Lain
https://www.kaskus.co.id/thread/5a8495aa162ec21a698b456f/peran-zending-dalam-perang-toba-1878-dan-1883/
[1] Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang Peran Zending dalam Perang Toba, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 18
[2] Jan S. Aritonang, Yubelium 50 Tahun GKPI, (Pematang Siantar: Kalportase Pusat GKPI, 2014), 11
[3] Th. Van den End, Ragi Cerita II, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 181
[4] Batara Sangti, Sejarah Batak, (Balige: Karl Sianipar Compan, 1978), 143
[5] Jan S. Aritonang, Yubelium 50 Tahun GKPI, 12-13
[6] Th. Van den End, Ragi Cerita II, 182-183
[7] Th. Van den End, Harta dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 175
[8] Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), 7
[9]KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi, (Yokyakarta: Kanisius, 1996)l, 382-383.
[10]Ibid 243.
[11] Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang Peran Zending dalam Perang Toba, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 112
[12] Uli Kazok, Utusan Damai di Kemelut Perang Peran Zending dalam Perang Toba,( Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 92-94.
[13] https://www.kaskus.co.id/thread/5a8495aa162ec21a698b456f/peran-zending-dalam-perang-toba-1878-dan-1883/, Diakses pada tanggal 5 Desember 2020, Pukul 10.27 WIB
[14] Batara Sangti, Sejarah Batak, (Balige: Karl Sianipar Compan, 1978), 143-145.
[15] F.D Wellem, Riwayat Hidup Singkat, (Jakarta: BPK-GM, 2015), 145-146.
[16] Th. Van End, Harta Dalam Bejana, 270
[17] Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang Peran Zending dalam Perang Toba, 23-33
Post a Comment