wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

Etika Deontologi (Principal Ethics) Kekuatan dan kelemahannya

 

Etika Deontologi (Principal Ethics)

Kekuatan dan kelemahannya

I.                   Pendahuluan

Pada sajian kali ini, kita akan membahas mengenai Etika Deontologi serta kekuatan dan kelemahannya. Bagi etika deontologi yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Karena etika deontology itu merupakan kewajiban dan ilmu atau teori. Deontologi sebagai pemikiran dalam ranah etika, secara komprehensif mencari mengenai apa itu yang “baik” dalam dirinya sendiri, tetap dalam “baik” tanpa dipengaruhi oleh kualitas individu ataupun kebahagiaan sebagai tujuan tindakan. Kita akan membahasnya lebih dalam. Semoga sajian kami kali ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi kita semua, Tuhan Yesus Memberkati.

 

II.                Pembahasan

2.1. Pengertian Etika

Secara etimologi kata “etika” berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu Ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak kebiasaan, tempat yang biasa. Ethikos berarti susila, keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik.[1] Istilah moral berasal dari kata latin yaitu mores, yang merupakan bentuk jama‟ dari mos, yang berarti adat istiadat atau kebiasaan watak, kelakuan, tabiat, dan cara hidup.[2] Sedangkan dalam bahasa Arab kata etika dikenal dengan istilah akhlak, artinya budi pekerti. Sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut tata susila.[3] Etika juga diartikan adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja hasil dari keputusan yang tegas berdasarkan analisa dan olahan akal budi yang menyangkut pemikiran sistematik tentang kelakuan, motivasi dan keadaan batin yang menyadarinya.[4]

 

2.2. Pengertian Etika Deontologi

Deontologi berasal dari kata “deon”, yang berarti sesuatu yang harus dilakukan atau kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Sesuatu itu dianggap baik karena tuntutan norma sosial dan moral, apapun dampaknya dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang menguntungkan atau tidak, menyenangkan atau tidak. Istilah ini, digunakan kedalam suatu sistem etika.[5]

Etika deontologi adalah sebuah istilah yang berasal dari kata Yunani ‘deon’ yang berarti kewajiban dan ‘logos’ berarti ilmu atau teori. Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak sebagai keburukan, deontologi menjawab, ‘karena perbuatan pertama menjadi kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang’. Sejalan dengan itu, menurut etika deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Karena bagi etika deontologi yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Atau dengan kata lain suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu memang baik pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Sebaliknya, suatu tindakan dinilai buruk secara moral sehingga tidak menjadi kewajiban untuk kita lakukan. Bersikap adil adalah tindakan yang baik, dan sudah kewajiban kita untuk bertindak demikian. Sebaliknya, pelanggaran terhadap hak orang lain atau mencurangi orang lain adalah tindakan yang buruk pada dirinya sendiri sehingga wajib dihindari. Contoh kasus dari etika deontologi: Jika seseorang diberi tugas dan melaksanakannya sesuai dengan tugas maka itu dianggap benar, sedang dikatakan salah jika tidak melaksanakan tugas.[6]

 

2.3. Latar Belakang Etika Deontologi

Istilah ini digunakan pertama kali oleh filsuf dari Jerman yaitu Immanuel Kant. Deontologi sebagai pemikiran dalam ranah etika, secara komprehensif mencari mengenai apa itu yang “baik” dalam dirinya sendiri, tetap dalam “baik” tanpa dipengaruhi oleh kualitas individu ataupun kebahagiaan sebagai tujuan tindakan. Melihat secara historis kajian etika sebelum deontologi ini, tidak menyentuh mengenai yang baik itu sendiri, berpusat tentang kebahagiaan yang pada kesepakatan di level tertentu, perbuatan apapun itu tidak akan berpengaruh selama disepakati membawa kebahagiaan maka itulah perbuatan yang baik. Sehingga terlihat bahwa bukan kepada “kebaikan” pencarian etika yang ada, namun lebih diarahkan kepada kebahagiaan.[7]

Deontologi mendasarkan etikanya pada dua konsep, yaitu kehendak baik dan kewajiban. Hal ini untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang apa yang membuat manusia menjadi baik pada diri sendiri tanpa terpengaruh dengan tujuan dan kualitas sifat manusia.[8] Deontologi sebagai salah satu aliran besar dalam etika memiliki pengaruh signifikan terhadap etika terapan yang pada dasarnya disarikan dari etika arus besar lainnya bersama Ultilitarianisme.

Sejalan dengan itu, menurut etika deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Karena bagi etika deontology, yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Dengan itu Kant mengemukakan pandangannya dengan tiga prinsip:

a. Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan kewajiban.

b. Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainyatujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada kemauanbaik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu,berarti kalaupun tujuan tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilaibaik.

c. Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalahhal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkansikap hormat pada hukum moral universal.[9]

 

2.4. Paham Etika Deontologi

2.4.1.      Rational Monism

      Paham ini meyakini bahwa suatu tindakan dianggap bermoral jika dilakukan dengan sense of duteye tugas atau kewajiban individu adalah melakukan sesuatu yang rasional dan bermoral sehingga semua tindakan yang berasal dari “keinginan Tuhan” dianggap bermoral. Untuk membedakan tindakan bermoral dan tidak bermoral maka ia menawarkan teorinya yang bernama “catagorial imperative”. Teori ini mengajarkan apa yang seharusnya dilakukan dan tidak seharusnya dilakukan. Teori ini bersifat tegas dan pasti, lawan teori ini adalah hypothetical imperative yang bersifat kurang pasti dan tidak tegas, menggunakan pernyataan “jika.., maka...” dan “jika kamu ingin mendapatkan A, maka kamu harus melakukan B”. Menurut Kant, hal itu salah karena tidak memberi kepastian.

2.4.2.      Traditional Deontology

      Paham ini memiliki dasar religi yang kuat, yaitu meyakini Tuhan dan kesucian hidup. Tugas dan kewajiban moral berpedoman pada 10 perintah Tuhan. Semua tindakan yang  dilakukan harus berdasarkan perintah Tuhan. Paham ini menentang keras munculnya konfik moral, yang mungkin terjadi karena setiap poin (dalam 10 perintah Allah) membahas hal atau kewajiban yang berbeda sehingga setiap orang bisa melakukannya dengan mudah (tidak akan muncul benturan antara satu kewajiban dan kewajiban lainnya). 10 perintah Tuhan tersebut diantaranya kewajiban menghormati orangtua, tidak boleh membunuh, tidak boleh mencuri, tidak boleh berzinah, tidak boleh memberi kesaksian palsu, dan tidak boleh berselisih.

2.4.3.      Intuitionistic Pluralism

      Paham ini tidak memiliki prinsip utama, namun hanya menyatakan bahwa ada beberapa aturan moral atau kewajiban yang harus diikuti manusia. Aturan dan kewajiban tersebut sama pentingnya, sehingga sering memunculkan konflik satu aturan dengan aturan lainnya, menurut paham intuitionistic pluralism, terdapat tujuh kewajiban utama yang harus dilakukan oleh manusia:

-         Kewajiban akan kebenaran, kepatuhan, ketaatan, menjaga rahasia, setia, dan tidak berbohong.

-         Kewajiban untuk berderma, murah hati, membantu orang lain.

-         Tidak merugikan orang lain.

-         Menjunjung tinggi keadilan.

-         Wajib memperbaiki kesalahan yang ada.

-         Wajib bersyukur, membalas budi kepada orang lain yang telah berbuat baik kepada kita (khususnya orangtua).

-         Kewajiban untuk mengembangkan kemampuan diri.

      Persoalan akan muncul saat masing-masing kewajiban ini berkonflik, solusinya adalah menyesuaikan dengan keadaan (prioritas berdasarkan kondisinya). Contohnya seorang anak diajak main ke Mall sepulang sekolah, jika anak itu terus terang kepada ibunya pasti tidak mendapat izin, maka anak itu berbohong mengatakan akan belajar kelompok setelah sepulang sekolah. Dalam kasus di atas, anak tersebut mengalami konflik antara kewajiban untuk setia kepada teman-temannya juga, kewajiban untuk berbakti kepada orangtuanya.[10]

 

2.5. Kekuatan dan Kelemahan Etika Deontologi

2.5.1.      Kekuatan Etika Deontologi

Pemikiran Kant banyak Mewarnai teori etika di tingkat global. Teori ini memberikan dasar dan keteguhan bagaimana orang harus bersikap dalam hidup dan dalam pekerjaan. Sebagaimana teori etika egoisma utilitarisme, deontologi juga memiliki kekuatan dan kelemahan. Beberapa kekuatan deontologi adalah sebagai berikut:

Pertama, fokus deontologi adalah nilai-nilai kemanusiaan. Deontologi memberi perhatian pada martabat manusia. Hal ini terlihat dengan jelas dalam pandangan Immanuel Kant yang menyatakan bahwa manusia tidak bisa diperalat. Manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri. Implikasinya, setiap orang mempunyai kewajiban untuk menghormati martabat manusia. Satu elemen mendasar kemanusiaan adalah otonomi. Bagi Kant, otonomi moral merupakan hukum moral tertinggi, karena otonomi menghadirkan kemampuan seseorang menentukan pilihan berdasarkan suara hatinya. Dengan demikian otonomi sekaligus menjadi penentu kualitas etis perbuatan bagi seseorang. Menurut deontologi, tindakan yang sudah dikondisikan tidak memiliki nilai moral, karena dalam situasi seperti itu kesempatan untuk menentukan diri tidak ada. sebuah keputusan hanya bisa bernilai etis kalau itu merupakan hasil pilihan bebas.[11]

Kedua, deontologi memberikan dasar yang kokoh bagi rasionalitas dan objektivitas kesadaran moral. Kant mengatakan bahwa suatu perbuatan dinilai baik atau buruk didasarkan pasa kesadaran setiap orangdan menjalankan apa yang menjadi kewajiban moralnya. Jadi, kulitas perbuatan tidak dilihat dari motif tertentu, tetapi hal yang mendasarinya. Ini berarti memberikan dasar pada rasionalitas dan objektivitas sebuah perbuatan. Dengan kedua dasar ini, suatu perbuatan dapat dipertanggungjawabkan secara etis pula.[12]

Ketiga, deontologi memberikan tolak ukur untuk menilai perbuatan seseorang, yakni universalitas. Dengan penegasan bahwa "Bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maksim) yang dapat sekaligus kaukehendaki menjadi hukum umum". Kant meletakkan dasar prinsip humanisme yang universal. Bahkan menurut Samuel J. Kerstein, ini mendasari penghargaan pada humanitas sekaligus menjadi dasar untuk menuntuk setiap orang menjunjung tinggi martabat setiap individu.[13]

2.5.2.      Kelemahan Etika Deontologi

Selain kekuatan, deontologi juga memiliki sejumlah kelemahan.

Pertama, Gagasan Kant sangat kaku, karena melihat satu aspek dari nilai moral, yakni kewajiban, sementara aspek lain seperti kesenangan tidak diberi tempat. Dengan kata lain, sisi psikologi kurang mendapat tempat bagi etika deontologi. Dalam dunia kerja modern, aspek psikologi seperti kesenangan (enjoyment) justru diberi tempat penting, bahkan dijadikan sebagai kondisi vital bagi peningkatan produktivitas. John Mackey dan Raj Sisodia mengakui itu secar tegas dengan menyatakan bahwa kerja efektif terjadi kalau pekerja merasa senang dalam pekerjaaanya. Ia menemukan makna dan tujuan serta kenikmatan ketika si psikologis ini menyertainya. Sisi psikologis ini merupakan kondisi yang menciptakan budaya inovatif dan kreatif. Jika suatu perkerjaan dilakukan hanya karena kewajiban, pekerjaan itu lebih cenderung menjadi beban, Sebaliknya, jika suatu pekerjaan dilakukan dengan senang hati, maka pekerjaan itu akan menjadi wadah bagi pengembangan diri. Ini yang memungkinkan produktivitas seseorang dalam pekerjaan. Ruang ini tidak mendapat tempat bagi deontologi.[14]

Kedua, deontologi Kant sulit dijadikan sebagai solusi berhadapan dengan dua kewajiban yang memiliki bobot yang sama. Kant tidak memberi tempat bagi dilema moral.

Ketiga, Kemutlakan norma tanpa kemungkinan pengecualian dengan mengindahkan  akibat tindakan tidak mudah diterima. Deontologi Kant tidak mengenal kekecualian, karena setiap norma mengikatdan bersifat wajib untuk dilakukan. Penerapan ini kaku dan sulit. Manusia hidup dalam ruang dan waktu yang berbeda. Situasi ini membuka pintu bagi pengecualian. Konkretnya, ada kalanya pengecualian berlaku demi tujuan yang lebih luhur. Kant jelas tidak memberi tempat untuk itu.

Keempat, imperatif kategoris Kant terlalu formal sehingga tidak memberi pengertian kewajiban mana yang mengikat sweseorang secara nyata. memang imperatif kategoris Kant tidak memberi celah bagi konflik, namun konflik justru menjadi faktisitas hidup manusia, apalagi mereka yang hidup dalam keberagaman seperti diakui oleh Geiko Muller-Fahrenholtz. Berhadapan dengan situasi seperti ini Kant tidak mampu memberi petinjuk konkret apa yang harus dilakukan dan tujuan mana yang harus dipilih. Jadi, ia hanya memberi batasan, tapi tidak memberi arah kehidupan, padahal hal ini sangat penting.[15]

Kelima, deontologi mengabaikan aspek moral lain, yakni persahabatan dan rasa kedekatan. Dalam kehidupan sehari-hari kita berhadapan dengan tingkatan relasi sosial. Intensitas relasi kita dengan anggota keluarga dan kerabat serta sahabat berbeda dengan intensitas relasi yang kita bangun dengan mereka yang sama sekali belum kita kenal. Hidup dengan keluarga dan kerabat serta sahabat merupakan sesuatu yang eksistensial. Artinya, kedekatan kita dengan anggota keluarga dan kerabat yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak kenal merupakan hal yang melekat dalam diri manusia. Namun bagi Kant hal ini kurang mendapat pehatian. Melihat hal ini Mark Cheffers berlasan untuk mengatakan bahwa prinsip universalitas Kant lebih memihak orang asing, namun kurang memberi tempat bagi keluarga, sahabat/teman, perkumpulan dan lain sebagainya.[16]

 

2.6. Tokoh-tokoh Etika Deontologi

2.6.1.      Immanuel Kant

Pertanyaan pertama yang timbul sekarang adalah: apa yang membuat kehendak menjadi baik? Menurut Kant kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Kalau perbuatan dilakukan dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak bisa disebut baik. Betapa pun luhur atau terpuji motif itu. Misalnya, kalau perbuatan dilakukan karena kecenderungan atau watak, perbuatan itu secara moral tidak baik. Mungkin sifat watak saya demikian, sehingga saya selalu senang membantu orang lain. Mungkin sifat altruistis itu adalah kecenderungan spontan saya. Bagi Kant, perbuatan-perbuatan yang berasal dari kecenderungan macam itu tidak bisa disebut baik, tapi dari sudut moral bersifat netral saja. Perbuatan adalah baik jika hanya dilakukan karena wajib dilakukan. Jadi, belum cukup jika suatu perbuatan sesuai dengan kewajiban. Seharusnya perbuatan dilakukan berdasarkan kewajiban. Bertindak sesuai dengan kewajiban oleh Kant disebut legalitas. Dengan legalitas kita memenuhi norma hukum. Misalnya, tidak penting dengan motif apa saya membayar pajak, asal saja saya membayar dengan jumlah uang yang sesuai dengan kewajiban saya. Tetapi dengan itu saya belum memenuhi norma moral. Saya baru memasuki taraf moralitas, jika saya melakukan perbuatan semata-mata karena kewajiban. Kata Kant, suatu perbuatan bersifat moral, jika dilakukan semata-mata “karena hormat untuk hukum moral”. Dengan hukum moral dimaksudkannya kewajiban.

Terkenal juga pembedaan yang diajukan Kant antara imperatif kategoris dan imperatif hipotetis. Kewajiban moral mengandung suatu imperatif kategoris, artinya, imperatif (perintah) yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat. Sebaliknya, imperatif hipotetis selalu diikutsertakan sebuah syarat. Bentuknya adalah: “kalau engkau ingin mencapai suatu tujuan, maka engkau harus menghendaki juga sarana-sarana yang menuju ke tujuan tersebut”. Jika kita ingin lulus untuk ujian, misalnya, kita harus belajar dengan tekun. Tapi sarana itu (belajar) hanya mewajibkan kita sejauh kita ingin mencapai tujuan (lulus). Belum tentu kita semua mempunyai tujuan itu.

Langkah berikut dalam pemikiran moral Kant ini adalah menyimpulkan otonomi kehendak. Kalau hukum moral harus dipahami sebagai imperatif kategoris, dalam bertindak secara moral kehendak harus otonom dan bukan heteronom. Kehendak bersifat otonom bila menentukan dirinya sendiri, sedangkan kehendak heteronom membiarkan diri ditentukan oleh faktor dari luar dirinya seperti kecenderungan atau emosi. Menurut Kant, kehendak itu otonom dengan memberikan hukum moral kepada dirinya sendiri. Yang dimaksudkan Kant dengan otonomi adalah bahwa rasio manusia secara umum membuat hukum moral dan kehendak menaklukkan diri kepadanya. Dengan hidup menurut hukum moral, manusia tidak menyerahkan diri kepada sesuatu yang asing baginya (heteronom), melainkan mengikuti hukumnya sendiri.[17]

2.6.2.      William David Ross

Ross menyusun sebuah daftar kewajiban yang semuanya merupakan kewajiban prima facei (pada pandangan pertama atau penampilan pertama):

-         Kewajiban kesetiaan: kita harus menepati janji yang diadakan dengan bebas.

-         Kewajiban ganti rugi: kita harus melunasi utang moril dan materiil.

-         Kewajiban terima kasih: kita harus berterima kasih kepada orang yang berbuat baik terhadap kita.

-         Kewajiban keadilan: kita harus membagikan hal-hal yang menyenangkan sesuai dengan jasa orang-orang bersangkutan.

-         Kewajiban berbuat baik: kita harus membantu orang lain yang membutuhkan bantuan kita.

-         Kewajiban mengembangkan dirinya: kita harus mengembangkan dan meningkatkan bakat kita di bidang keutamaan, intelegensi dan sebagainya.

-         Kewajiban untuk tidak merugikan: kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan orang lain (satu-satunya kewajiban yang dirumuskan Ross dalam bentuk negatif).

Menurut Ross, setiap manusia mempunyai intuisi tentang kewajiban-kewajiban itu, artinya, semua kewajiban itu berlaku langsung bagi kita. Tapi kita tidak mempunyai intuisi tentang apa yang terbaik dalam situasi konkret di mana beberapa kewajiban berlaku sekaligus. Dalam keadaan itu kita harus memanfaatkan fungsi lain dari akal budi (selain intusi) yaitu penalaran (reasoning) kita harus mencari alasan rasional, artinya, yang meyakinkan bagi akal budi, untuk menentukan kewajiban mana yang harus dipilih, sehingga kewajiban lain harus kalah terhadap kewajiban yang dinilai paling penting itu.

Pandangan Ross ini merupakan kemajuan besar terhadap rigorisme dari Kant. Konflik antara kewajiban-kewajiban dengan demikian dapat diatasi. Tapi pandangan itu ssendiri tidak tanpa kesulitan juga. Ross mengakui bahwa ia tidak bisa menunjukkan norma untuk menentukan kewajiban apa yang berlaku diatas kewajiban prima faice lainnya. Tidak ada jalan lain daripada mencari sendiri alasan yang paling meyakinkan. Namun, dengan demikian terbuka kemungkinan bahwa tidak semua orang yang ikut dalam suatu diskusi moral dan mencapai kesimpulan yang sama. Bisa saja, dari diskusi tentang sebuah dilema moral muncul dua pendapat yang bertentangan. Rupanya hal itu terjadi dalam beberapa diskusi tentang masalah etis yang kita saksikan dalam masyarakat modern. Contoh paling mencolok adalah diskusi tentang abortus provocatus yang sudah lama berkisar pada 2 pendapat (pro dan kontra) yang tidak pernah bisa mencapai kesepakatan.[18]

 

2.7. Prinsip Pengajaran Etika Deontologi

1.      Sistem etika ini hanya menekankan suatu perbuatan di dasarkan pada wajib tidaknya kita melakukan perbuatan itu.

2.      Yang di sebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik, semua hal lain disebut baik secara terbatas ataupun dengan syarat. Contohnya : kesehatan, kekayaan, intelegensia, adalah baik jika digunakan dengan baik oleh kehendak manusia. Tetapi jika digunakan oleh kehendak jahat, semua hal itu menjadi jahat sekali.

3.      Kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Kalau perbuatan dilakukan dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak bisa disebut perbuatan baik, walaupun perbuatan itu suatu kecenderungan atau watak baik.

4.      Pebuatan dilakukan berdasarkan kewajiban, bertindak sesuai dengan kewajiban disebut legalitas kita memenuhi norma hukum.[19]

 

III.             Kesimpulan

Dari pemaparan kami diatas, Etika deontologi adalah sebuah istilah yang berasal dari kata Yunani ‘deon’ yang berarti kewajiban dan ‘logos’ berarti ilmu atau teori. Istilah ini digunakan pertama kali oleh filsuf dari Jerman yaitu Immanuel Kant. Sejalan dengan itu, menurut etika deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Karena bagi etika deontologi yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Dari pemikiran Kant ini, kita melihat bahwa etika deontologi memiliki banyak kekurangan dan juga kelemahan.

 

IV.              Daftar Pustaka

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia pustaka, 2000

Bakry, Hasbullah, Sistematika Filsafat, Jakarta: Wijaya, 1978

Bertens, K., Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997

Bertens, K., Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993

Brotosudarmo, R. M. Drie S., Etika Kristen, Yogyakarta: Andi, 2014

Burhan, Asmawati, Buku Ajar Etika Umum, Yogyakarta: Deepublish, 2019

Kerstein, Samuel J., Kant's Search for the Supreme Principle of Morality, New York: Cambridge University Press. 2002

Rismalinda, Etika Profesi dan Hukum Kesehatan

Salam, H. Burhanuddin, Etika Sosial Asas Moral dalam Kehidupan Manusia, Jakarta: IKAPI, 2002

Sihotang, Kasdin, Etika Profesi Akutansi, Yogyakarta: PT Kanisius, 2019

Sihotang, Kasdin, Kerja Bermartabat, Jakarta: Penerbit Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 2009

Sudarminta, J., Etika Umum: Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, Yogyakarta: Kanisius, 2019

Suesono, Franz Magniz, Tiga Belas Model Pendekatan Etika, Yogyakarta: Kanisius, 1998

Sumber Lain

http://delvitasariindiastutii.blogspot.com/2018/03/contoh-teori-deontologi-teori-teologi.html



[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia pustaka, 2000), 217

[2] Ibid… 672

[3] Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Wijaya, 1978), 9

[4] R. M. Drie S. Brotosudarmo, Etika Kristen, (Yogyakarta: Andi, 2014), 4

[5] K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), 254

[6] H. Burhanuddin Salam, Etika Sosial Asas Moral dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: IKAPI, 2002), 68

[7] Franz Magniz Suesono, Tiga Belas Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 135

[8] Ibid… 137

[9] Asmawati Burhan, Buku Ajar Etika Umum, (Yogyakarta: Deepublish, 2019), 21

[10] Rismalinda, Etika Profesi dan Hukum Kesehatan, 10-12

[11] Kasdin Sihotang, Etika Profesi Akutansi, (Yogyakarta: PT Kanisius, 2019), 109-112

[12] J Sudarminta, Etika Umum: Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, (Yogyakarta: Kanisius, 2019), 138

[13] Samuel J. Kerstein, Kant's Search for the Supreme Principle of Morality, (New York: Cambridge University Press. 2002), 175

[14]  Kasdin Sihotang, Kerja Bermartabat, (Jakarta: Penerbit Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 2009), 23

[15]  Kasdin Sihotang, Etika Profesi Akutansi, (Yogyakarta: PT Kanisius, 2019), 112

[16]  J Sudarminta, Etika Umum: Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, (Yogyakarta: Kanisius, 2019), 20

[17] K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), 270-273

[18] K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993),  276-277

Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Total Pageviews
Times/ Waktu
Waktu di Kota Medan: