Misi sebagai Kontekstualisasi

Misi sebagai Kontekstualisasi



I. Pendahuluan

Pada materi kali ini kita akan membahas mengenai Misi sebagai Kontekstualisasi. Dimana kata kontekstualisasi (contextualitation) berasal dari kata konteks (context) yang diangkat dari kata Latin “contextere” yang berarti menenun atau menghubungkan bersama (menjadikan satu). Konteks adalah suatu kesatuan atau kumpulan kalimat di mana di dalamnya terdapat teks. Di sisi lain, Misi sebagai Kontekstualisasi adalah penegasan bahwa Allah telah berpaling kepada dunia, Misi sebagai Kontekstualisasi melibatkan pembangunan berbagai teologi lokal serta Ide-ide kreatif dalam perealisasian kedua cara pandang baru terhadap misi. Kiranya dalam pembahasan kita kali dapat menambahwawasan kita semua. Terimakasih.

II. Pembahasan

2.1. Pengertian Misi

Kata ''misi" dalam bahasa latin adalah missio, berarti perutusan. Kata missio adalah bentuk substantif dari kata kerja mittere (mitto, missi, missum) yang mempunyai beberapa pengertian dasar: (1) Membuang, menembak, (2) Mengutus, mengirim, (3) Membiarkan, membiarkan pergi, melepaskan pergi, (4) Mengambil/menyadap, membiarkan mengalir (darah). Kalangan gereja pada dasarnya menggunakan kata mittere dalam pengertian mengutus, mengirim.[1]

Menurut pendapat Yakob Tomala, mengatakan: “Misi adalah karya Allah yang menghimpun bagi diri-Nya suatu umat yang bersekutu dengan Dia dan menyembah Dia dalam hubungan yang harmonis dan utuh untuk kejayaan Kerajaan Allah. Menurut penulis ini, misi adalah karya Allah. Allah berkarya dalam pengutusan-Nya, yang menghimpun umat-Nya untuk bersekutu, menyembah dan melayani-Nya dalam hubungan yang harmonis bagi kejayaan kerajaan-Nya. Selanjutnya dikataka bahwa penginjilan adalah rancangan dan karya Allah yang menghimpun bagi diri-Nya suatu umat untuk bersekutu, menyembah serta melayani Dia secara utuh dan serasi bagi kejayaan Kerajaan Allah”.[2]

Sedangkan David J. Bosch merumuskan beragam pengertian tradisional tentang misi dan mengusahakan suatu sinopsis teologis yang lebih khas sebagai konsep yang telah dipergunakan secara tradisional. Ia mencatat bahwa kata ini telah diparafrasekan sebagai: 1) penyebaran iman; 2) perluasan pemerintahan Allah; 3) pertobatan orang-orang kafir; 4) pendirian jemaat-jemaat baru.[3]



2.2. Misi dalam Perjanjian Lama

Beberapa sarjana teologi menyatakan bahwa mereka menemukan tujuan, berita dan kegiatan misi di dalam Perjanjian Lama. Sedangkan sarjana-sarjana teologi yang lain gagal untuk mendapatkan berita tentang misi di dalam Perjanjian Lama. Hal ini bergantung pada definisi seseorang, tentang misi. Bila misi dimaksudkan sebagai lintasan dari batasan politik dan budaya untuk membawa berita dari Allah kepada mereka yang tidak mengenal tentang Allah yang benar maka dengan pengecualian cerita Yunus, kita tidak akan menemukan banyak tentang misi di dalam Perjanjian Lama Perjanjian Lama belum terdapat penugasan yang tegas untuk melakukan pekabaran keluar terhadap segala bangsa atau bangsa-bangsa lain. Tetapi penulis mempunyai keyakinan yang kuat bahwa di dalam kitab Perjanjian Lama banyak termuat tentang misi yang akan dijelaskan di bawah ini.

Didalam Alkitab Kejadian 12:1-3 menceritakan panggilan Tuhan kepada Abraham. Tiga kata penting yang perlu diperhatikan adalah tinggalkan, dan menjadi berkat. Dari studi kata tinggalkan, pergi dan menjadi berkat ada pesan misi di dalamnya yaitu Abraham dipanggil untuk keluar dan pergi ke tempat bangsa lain dan melalui Abraham semua kaum, dimuka bumi akan mendapat berkat. Berkat yang dimaksud tentulah berkat rohani yaitu mengenal Allah Abraham. Panggilan Abraham menandai titik balik dalam hubungan Allah dengan dunia. Abraham dan Israel tidak dipilih oleh Allah bagi kepentingan mereka sendiri, namun bagi maksud yang jauh lebih luas yaitu keselamatan dunia. Kejadian 3:15 merupakan protoevangelium yaitu janji keselamatan yang disampaikan oleh Allah sendiri. Sejarah penebusan tidak dimulai dengan Adam atau Nuh atau Musa melainkan dimulai oleh Allah sendiri dan puncaknya melalui dan keturunannya secara khusus bangsa, Israel. Misi dalam Perjanjian Lama memiliki sifat Centripetal yang berarti bangsa-bangsa harus datang kepada bangsa Israel untuk memperoleh berita misi dan keselamatan. Hal ini berbeda dengan sifat misi dalam Perjanjian Baru yaitu Centrifugal yang berarti gereja dan orang Kristen harus pergi kepada bangsa-bangsa untuk menyampaikan berita misi keselamatan. Pembebasan umat Israel dari perbudakan di tanah Mesir adalah gambaran misi Allah yang terbesar dalam Perjanjian Lama (Kel. 19:4). Dalam Keluaran 12:38 dijelaskan bahwa banyak orang dari berbagai bangsa keluar dari Mesir dan turut mengikuti bangsa Israel. Ini berarti keselamatan bukan hanya untuk bangsa Israel tetapi berlaku untuk bangsa-bangsa yang lain juga.

Dapat disimpulkan bahwa misi menerobos dan melampaui: ras bangsa, kebudayaan, batas Negara, batasan umur dan golongan. Misi Israel adalah misi yang ditetapkan dan berpusat pada Allah dan misi tersebut kepada bangsa-bangsa yang lain. Bangsa Israel mempunyai fungsi perantara di dalam rencana Allah, ia harus menerima kerajaan, keimaman dan kenabian. Tujuan misi Allah terhadap bangsa-bangsa: Para bangsa tidak ditolak karena Israel dipilih (Yes. 19:24-25)

Mereka dengan taat keselamatan dari Allah supaya dapat memperlihatkan kepada bangsa-bangsa lain siapa Allah Israel. Fungsi perantara itu mempunyai aspek

1. dapat bergabung dengan Israel (Kel. 12:48).

2. Bangsa-bangsa dapat menyaksikan perbuatan-perbuatan Allah didalam Israel (Mzm. 67:2). Dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Lama tidak berisi misi tetapi PerjanjianLama itu sendiri misi di dalam dunia

2.3. Misi dalam Perjanjian Baru

Perintah misi yang agung adalah kata pergi (31) Matius 28:18-20: Pergi, jadikan murid, ajarlah Markus 16:15: Pergi, beritakan kabar baik Lukas 24:47: Pergi, beritakan pertobatan, pengampunan dosa....Yohanes 20:21: Seperti Bapa sudah mengutus Ku, Ku utus kau!.... Kisah Para Rasul 1:8: Kamu akan menjadi saksi-Ku.Puncak kerinduan Allah untuk berkomunikasi dengan manusia diwujudkan dalam kehadiran-Nya sendiri diantara manusia. Ia hadir di dalam inkarnasi Allah menjadi manusia yaitu dalam pribadi Yesus Kristus, Juruselamat dunia. Di dalam doa Tuhan Yesus yang terdapat di dalam Yohanes 15:1-27 mengungkapkan tanggungjawab misi sedunia yang didasarkan pada tiga hubungan: Satu, hubungan orang percaya dengan Yesus (Yoh. 15:1-10) kata kunci: tinggal. Komitmen kepada Ketuhanan Kristus (penyembahan).Dua, hubungan orang percaya dengan sesama orang percaya (Yoh. 15:11-17), kata kunci: saling mengasihi. Komitmen kepada tubuh Kristus (pembangunan). Tiga, hubungan orang percaya dengan dunia (Yoh. 15:18-27), kata kunci bersaksi. Komitmen terhadap misi Kristus, bagi dunia (misi sedunia).

Dalam Perjanjian Baru, misi berpusat pada diri Yesus Kristus dan dilanjutkan kepada murid-murid dan para rasul seperti Paulus dalam kitab Kisah Para Rasul yang adalah buku perjalanan misi. Perintah amanat agung adalah perintah Yesus sendiri sejak jaman gereja mula-mula sampai gereja saat ini, bahkan sampai kedatangan Kristus yang kedua kalinya..

2.4. Pengertian Kontekstualisasi

Kontekstualisasi berasal dari kata dasar “konteks”. KBBI mengartikannya sebagai situasi yang ada hubungannya dengan kejadian. Jika yang dimaksudkan adalah konteks budaya, itu berarti keseluruhan budaya atau situasi non-linguistis tempat sebuah komunikasi terjadi. Kontekstualisasi berarti berhubungan dengan konteks.

Kata kontekstualisasi (contextualitation) berasal dari kata konteks (context) yang diangkat dari kata Latin “contextere” yang berarti menenun atau menghubungkan bersama (menjadikan satu). Konteks adalah suatu kesatuan atau kumpulan kalimat di mana di dalamnya terdapat teks. Di samping itu, penggunaan istilah konteks juga menjelaskan tentang sejarah suatu situasi. Dengan demikian, penggunaan istilah konteks haruslah ditempatkan pada arti yang tepat untuk menjelaskan secara tepat pula.[4]


2.5. Latar Belakang Misi sebagai Konteskstualisasi

Istilah Kontekstualisasi telah digunakan secara populer dalam dunia teologi pada akhir abad ke-20.[5] Kata ini ditambahkan pada perbendaharaan kata dalam bidang misi dan teologi sejak di perkenalkan oleh Theological Education Fund (TEF) pada tahun 1972.[6] Ada kelompok yang mempergunakan dan mempertahankan penggunaan istilah kontekstualisasi. Namun, ada pula yang mempergunakan dan mempertahakan penggunaan istilah lain, seperti teologi lokal, teologi inkutturasi, dan teologi pribumi.[7] Konteks pembicaraan tentang kontekstualisasi dalam diskusi TEF adalah pendidikan teologi di negara-negara Dunia Ketiga.

Namun, para teolog menyadari bahwa ide dari kontekstualisasi itu sendiri sebetulnya sudah ada jauh sebelum TEF bersidang, yaitu terdapat dalam Alkitab. Contohnya adalah inkarnasi Yesus dan pendekatan Paulus pada waktu ia mengkomunikasikan Injil kepada orang bukan Yahudi. Oleh karena itu, para teolog beranggapan bahwa kontekstualisasi hanya merupakan istilah baru dari istilah-istilah yang telah ada dan dipakai sebelumnya. Istilah-istilah itu adalah pribumi, inkulturasi, akomodasi, dan adaptasi.[8]

Meskipun pada awalnya, Gereja menolak kontekstual. Setiap penyimpangan dari apa yang telah ditetapkan oleh suatu kelompok (gereja Roma) dianggap sesat. Bahkan, pada abad ke-16 Katolik menolak sifat Kristen yang ada pada Protestan. Gereja pada umumnya selalu ada dalam suatu proses perubahan. Gereja di masa kini adalah produk dari masa lalu dan benih untuk masa depan.

Karena itu, teologi tidak boleh dilakukan sebagai usaha untuk merekonstrusikan masa lalu yang kuno dan kebenaran-kebenarannya. Sebaliknya teologi adalah refleksi tentang kehidupan dan pengalaman gereja sendiri. Teologi pun dipengaruhi bahkan ditentukan oleh konteks di mana ia berkembang.[9]

2.6. Teologi Kontekstualisasi

Teologi Kontekstual merupakan inkulturasi yang berhubungan dengan pemberdayaan budaya setempat yang relatif tradisional sebagai sarana untuk berkomunikasi tentang kabar sukacita.[10] Allah menyatakan diri-Nya dan berinkarnasi melalui wahyu dalam Alkitab sebagai sang pencipta, sehingga Allah menjadikan kehendak-Nya yang abadi dan menciptakan manusia. Penekanan utamanya adalah Allah merupakan penggerak utama atas kontekstualisasi, dimulai ketika Allah menyatakan diri-Nya dan semuanya yang ada berasal dari-Nya.[11] Pernyataan Allah akan diri-Nya, membangun relasi/hubungan-Nya dengan manusia (objek penerima injil) melalui wahyu. Kontekstualisasi dinyatakan dalam konteks budaya total dari suatu masyarakat yang berkembang oleh kreativitas manusia dan refleksi teologis dinyatakan lewat filter budaya dan akan seimbang dengan pemahaman/penerimaan yang terbungkus dalam kebudayaan. [12] Manusia diciptakan untuk berkreativitas dalam berbudaya dan menjadikan Wahyu Allah sebagai dasarnya. Terdapat dua hal yang dapat dipahami dalam pernyataan tersebut yaitu; hubungan Allah sebagai pencipta dan bertanggungjawab atas penyataan diri-Nya dan manusia yang menerima pernyataan-diri Allah melalui filter kebudayaan.[13]

Dalam pemahamannya, teologi kontekstual memiliki dua sisi, yang pertama; setiap individu berhadapan dengan konteks, budaya dan agama tradisional; di sisi lainnya setiap individu bergumul dengan konteks modernisasi yang menyebabkan perubahan terhadap nilai dan kebiasaan setiap individu. Terdapat beberapa konteks yang mempengaruhi teologi konteksual, diantaranya konteks Alkitab, konteks tradisi sistematis dan konteks kita masa kini.[14] Proses kontekstualisasi terjadi ketika seseorang mampu untuk memposisikan diri ditengah lingkungannya, namun tidak harus berubah total agar menjadi sama dan diterima oleh lingkungannya. Dalam ilmu psikologi, kita tahu bahwa orang yang menolak masa lalu sebetulnya menolak dirinya sendiri dan hal tersebut membuat orang tersebut sulit untuk menghadapi masa depan. Perlunya peneriman diri sendiri dan kemampuan menyesuaikan diri dengan konteks merupakan proses kontekstualisasi, maksudnya ialah kita tidak harus menolak masa lalu, namun menjadikan masa lalu sebagai warisan/tradisi.[15]Adapun unsur-unsur yang selalu tampak dalam kontekstualisasi ialah pernyataan-diri Allah, transformasi dan penghayatan perjanjian berkat Allah yang direfleksikan dari perspektif sudut pandang budaya.[16]

2.7. Kontekstualisasi dalam Alkitab

Kontekstualisasi dalam Alkitab dan prinsip-prinsipnya dijelaskan dan diberikan contoh baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.

2.7.1. Kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama

Dalam Perjanjian Lama sulit ditemukan contoh-contoh komunkasi lintas budaya dalam hal suatu berita keagamaan yang khusus. Namun demikian, tampaknya perjumpaan lintas budaya tidaklah sedikit, misalnya dalam politik (Yosua 9; 1 Raja-raja 15:16-22), agama (Hak. 6:31-32; 1 Raj. 18:1-40; Zef 1: 4-8), perdagangan (2 Taw. 8: 17-18; 9:21; Yeh. 27: 12-25), dan seni (Yeh. 23: 11-21).[17]

Kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama merupakan dasar penting bagi kontekstualisasi Alkitab secara menyeluruh. Kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru adalah kontinuitas kontekstualisasi dalam PL.

Pernyataan diri Allah dalam penciptaan adalah dasar kontekstualisasi. Kejadian 1 dimulai dengan Allah yang menyatakan diri sebagai pencipta. Allah mengambil inisisatif pertama dalam pernyataan diri-Nya kepada dunia. Disini terdapat tekanan utama yaitu bahwa Allahlah penggerak utama kontekstualisasi. Proses kontekstualisasi itu dimulai dari Allah yang menyatakan diri kepada manusia. Dengan kata lain kontekstualisasi yang benar dimulai dengan Allah.

Mandat budaya adalah pengejawantahan kontekstualisasi. Kejadian 1: 28-30 disebut mandat budaya yang memberi kewenangan bagi manusia untuk berbudaya, memenuhi dan menguasai dunia. Dalam hubungan dengan mandat budaya tersebut terdapat gambaran berteologi dalam konteks hanya dapat terjadi bila ada hubungan intim Allah dengan manusia (pengertian sekarang manusia yang telah ditebus). Berteologi dalam konteks menjadi seimbang karena Kejadian 3 memberikan gambaran akibat ketidaktaatan Adam yang membawa putusan moral yang salah dalam upaya berteologi. Jelas bahwa tidak ada putusan moral yang bertanggungjawab bila tidak dimulai dengan Allah (Yoh. 6:44).

Perjanjian berkat Allah adalah dinamika kontekstualisasi Allah mengukuhkan semua hasil ciptaan-Nya dengan berkat-Nya (Kej. 1:28; 2:3). Melihat uraian ini, dapat dikatakan bahwa segala ciptaan Allah dalam setiap konteks sejarah budaya suatu masyarakat dapat merupakan jalan masuk bagi proses kontekstualisasi karena berkat Allah kepada ciptaan-Nya secara umum tetap berlaku (Mat. 5:45). Kejadian 3:15, sebagai Protevangelium (janji keselamatan Allah yang pertama) memberikan jaminan bahwa Allah sendiri secara khusus menyiapkan penyataan diri-Nya yang baru kepada manusia berdosa. Interaksi Allah dengan Habel, Zet, Henokh, Nuh, Abraham dan tokoh saleh lainnya dalam Perjanjian Lama menekankan keajegan dinamika kontekstualisasi Allah.

v Prinsip Kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama

1. Kontekstualisasi dinyatakan dalam konteks budaya total dari suatu masyarakat yang berkembanf oleh kreatifitas manusia.

2. Refleksi teologis dinyatakan lewat filter budaya dan akan seimbang dengan pemahaman atau penerimaan yang dalam kenyataan terbungkus oleh kebudayaan.

3. Bentuk, arti dan fungsi elemen budaya digunakan secara selektif untuk mengekspresikan Firman yang berinkarnasi dan refleksi penghayatan Firman dari orang dalam.

4. Bentuk, arti dan fungsi elemen budaya yang digunakan selalu bersifat kontemporer, actual dan familier dalam suatu konteks budaya pada suatu era sejarah tertentu.

5. Kontekstualisasi yang benar akan membawa perubahan yang seimbang, dimana Firman yang berinkarnasi itu menjadi bagian budaya dan secara mekanis beroperasi dalam kerangka hidup budaya tersebut.

6. Unsur-unsur yang selalu tampak dalam kontekstualisasi ialah penyataan diri Allah, tranformasi dan penghayatan perjanjian berkat Allah.

2.7.2. Kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru

Penjelmaan atau inkarnasi Yesus Kristus merupakan puncak penyataan Allah kepada manusia. Sebenarnya tujuan kontekstualisasi sama dengan tujuan inkarnasi Yesus. Sama seperti Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui kebudayaan Yahudi, demikian juga kita ingin menyatakan Allah kepada suku-suku yang belum mengenal Yesus melalui kebudayaan mereka. Dalam inkarnasi-Nya, manusia dapat melihat dan berjumpa dengan Allah (Yoh. 1:14, 18). Inkarnasi Yesus Kristus menjadi daging sebagai puncak kontekstualisasi Allah di dalam dunia, inkarnasi Allah melalui Firman-Nya ke dalam konteks sejarah budaya manusia seperti yang telah diuraikan sebelumnya dalam Perjanjian Lama.

Salah satu tokoh Perjanjian Baru yang sangat kontekstual adalah Rasul Paulus, seperti yang tertulis di dalam 1 Korintus 9: 19-23 yang mengandung tiga pokok penting.

a. Tujuan kontekstualisasi ialah memenangkan sebanyak mungkin orang (supaya pengijilan lebih berhasil).

b. Pendekatan kontekstualisasi ialah menyesuaiakan diri dengan adat setempat (supaya Injil lebih relevan).

c. Tolak ukur kontekstualisasi ialah Firman Allah (supaya Injil tetap murni).[18]

Berdasarkan 1 Korintus 9:19 disebutkan bahwa tujuan pelayanan misi yang dilakukan oleh Rasul Paulus adalah “supaya bisa memenangkan sebanyak mungkin orang”. Paulus berulang-ulang menyatakan alasannya: ia ingin memenangkan sebanyak mungkin orang, ia ingin mencari yang terhilang, dan menyelamatkan orang yang menuju kebinasaan. Dalam hal ini jelas sekali bahwa Paulus menyesuaikan diri demi keselamatan. Ini menunjukkan bahwa Paulus menyesuaikan diri demi keselamatan. Ini menunjukkan bahwa ayat-ayat ini menyatakan motivasi Paulus dalam penginjilan adalah bagian dari pelayanan misi.

Bentuk nyata pertumbuhan gereja secara kuantitas adalah melalui penginjilan karena penginjilan melahirkan petobat-petobat baru yang menjadi pewaris Kerajaan Allah. Secara aktual dan kenyataan di lapangan, pertumbuhan gereja itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: secara biologis, perpindahan, dan pertobatan (jiwa baru). Dalam konteks misi, pertumbuhan melalui pertobatan inilah yang disebut sebagai dampak dan akibat dari penginjilan.[19]

v Prinsip Kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru

1. Inkarnasi injil dalam konteks haruslah membawa transformasi sebagai dasar penting keansahan kontekstualisasi.

2. Konsep kenosis Yesus Kristus memberi dasar moral bagi setiap pemberita Injil untuk mengambil sikap hamba atau mengosongkan diri agar dapat berkontekstualisas dengan baik.

3. Setiap determinasi kontekstual harus didukung oleh sikap etika kontekstualisasi yang people oriented () untuk menciptakan pendekatan yang alkitabiah kepada konteks dan refleksi iman yang kontekstual alkitabiah.

4. peluang kepada usaha pendekatan diri kepada konteks yang kontekstual yang akhirnya mencipta transformasi dan refleksi yang kontekstual pula dari dalam konteks di mana Injil diberikan.[20]



2.8. Model-model Pendekatan Kontekstualisasi

Model-model pendekatan teologi kontekstualisasi ialah beberapa model penafsiran tentang berteologi dalam konteks yang didasarkan atas prinsip dogmatik tertentu. Model-model pendekatan ini memberikan gambaran umum tentang usaha berteologi dalam konteks yang pernah dibuat. Di samping itu, model-model tersebut menolong kita mengadakan evaluasi tentang sejauh mana suatu pendekatan teologi kontekstualisasi yang alkitabiah dapat dibuat. Ini juga akan menghindarkan kita dari kesalahan-kesalahan yang pernah dan akan timbul nanti”.[21]

Menurut Yakob Tomatala, ada beberapa model berkontekstualisasi, yaitu:

A. Model Akomodasi (Kisah Para Rasul 17:28)

“Akomodasi adalah sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan asli yang dilakukan dalam sikap, kelakuan, dan pendekatan praktis dalam tugas misionaris baik secara teologi maupun secara ilmiah. Obyek akomodasi adalah kehidupan budaya yang menyeluruh dari suatu bangsa baik dari segi fisik, sosial, maupun ideal”. Di sini dapat dilihat bahwa secara holistik keberhasilan model akomodasi ini, sangat ditentukan oleh peran aktif seorang misionaris dalam upaya pendekatan kontekstualisasi Injil. “Dalam proses ini terjadi perpaduan nilai hidup kristiani di mana Kristus menjadi penyempurna dan pelengkap aspirasi budaya. Dengan demikian akan terdapat sikap positif terhadap Injil yang didasarkan atas pandangan bahwa anugrah Allah (Injil) tidak menghancurkan budaya manusia, tetapi justru melengkapi dan menyempurnakan”.[22]





B. Model adaptasi

Ada perbedaan antara model akomodasi dengan model adaptasi ini. Perbedaannya ada pada cara melakukan pendekatan. “Model adaptasi tidak mengasimilasi unsur budaya dalam mengeskpresikan Injil, tetapi menggunakan bentuk dan ide budaya yang dikenal. Contoh yang jelas, Yohanes menggunakan ide logos untuk menjelaskan kebenaran penjelmaan/inkarnasi (Yohanes 1) dan Paulus menggunakan konsep rahasia (II Korintus 3:18). Tujuan adaptasi ialah mengekspresikan dan menerjemahkan Injil dalam istilah setempat (indigenous terms) sehingga menjadi relevan dalam situasi budaya tersebut”.[23] Model adaptasi adalah upaya untuk memaparkan kebenaran tentang Injil dengan memakai bentuk dan gagasan budaya setempat yang dikenal, dipahami, dan dimengerti oleh pendengar Injil.



C. Model prossesio

“Prossesio adalah sikap yang menanggapi kebudayaan secara negative. Proses prossesio terjadi melalui seleksi, penolakan, reinterpretasi dan rededikasi. Kelompok prossesio melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah rusak oleh dosa dan tidak ada kebaikan yang muncul dari dalamnya”.[24] Pendapat ini tidak melihat pernyataan Alkitab secara holistik. Memang manusia sudah berdosa. Namun belum tentu semua budaya yang dihasilkan oleh manusia juga berdosa. Sebab budaya memiliki sisi positif, tidak melulu negatif. Perspektif yang salah terhadap budaya akan menjadi perintang dalam pelaksanaan misi Allah. Oleh sebab itu, model prossesio harus diletakkan di bawah terang firman Allah.



D. Model transformasi

Berkaitan dengan model di atas, Yakob Tomatala mengatakan: “Allah itu di atas budaya, dan melalui budaya itu pula Allah menggunakan elemen-elemen kebudayaan untuk berinteraksi dengan manusia. Bila seseorang dibaharui oleh Allah, maka inti kebudayaannya juga dibaharui (II Korintus 5:17)”.[25] Pemegang otoritas dan kekuasaan tertinggi ialah Allah. Budaya manusia harus tunduk kepada supremasi Allah. Kendati demikian, dalam otoritas dan kedaulatan-Nya, Allah memakai kebudayaan untuk menyatakan kehendak dan kuasa-Nya kepada manusia. Setiap manusia yang mengalami perjumpaan pribadi dengan Allah melalui kebudayaannya, akan mengalami transformasi hidup yang juga meliputi dirinya dan juga budayanya.





E. Model dialektik

Dalam mengulas model di atas, Yakob Tomatala menegaskan: “Ini adalah interaksi dinamis antara teks dengan konteks. Konsep ini didukung oleh perkiraan yang kuat bahwa perubahan pasti ada dalam kebudayaan. Untuk setiap kurun waktu perubahan itu terjadi secara dinamis. Dengan demikian Gereja harus menggunakan peran kenabiannya untuk menganalisis, menginterpretasi, dan menilai setiap keadaan”. [26]Model dialektik menunjukkan bahwa ada komunikasi yang relevan antara teks (Berita Injil atau Kabar Baik) dengan konteks (Manusia Budaya). Di sisi lain, kebudayaan manusia di dalam dirinya punya potensi untuk terbuka terhadap perubahan. Injil yang utuh dan sempurna mampu membaharui kebudayaan yang terbuka terhadap Injil.



III. Kesimpulan

Menurut pendapat Yakob Tomala, mengatakan: “Misi adalah karya Allah yang menghimpun bagi diri-Nya suatu umat yang bersekutu dengan Dia dan menyembah Dia dalam hubungan yang harmonis dan utuh untuk kejayaan Kerajaan Allah. Menurut penulis ini, misi adalah karya Allah. Allah berkarya dalam pengutusan-Nya, yang menghimpun umat-Nya untuk bersekutu, menyembah dan melayani-Nya dalam hubungan yang harmonis bagi kejayaan kerajaan-Nya. Adapun juga Misi digunakan sebagai Kontekstualisasi dimana Istilah Kontekstualisasi telah digunakan secara populer dalam dunia teologi pada akhir abad ke-20. Kata ini ditambahkan pada perbendaharaan kata dalam bidang misi dan teologi sejak di perkenalkan oleh Theological Education Fund (TEF) pada tahun 1972. Ada kelompok yang mempergunakan dan mempertahankan penggunaan istilah kontekstualisasi. Namun, ada pula yang mempergunakan dan mempertahakan penggunaan istilah lain, seperti teologi lokal, teologi inkutturasi, dan teologi pribumi. Konteks pembicaraan tentang kontekstualisasi dalam diskusi TEF adalah pendidikan teologi di negara-negara Dunia Ketiga. Namun, para teolog menyadari bahwa ide dari kontekstualisasi itu sendiri sebetulnya sudah ada jauh sebelum TEF bersidang, yaitu terdapat dalam Alkitab.



IV. Daftar Pustaka

Bosch, David J., Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.

Hessegrave David J. & Rommen Edward, Kontekstualisasi: Makna, Metode, dan Model, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

Singgih, Emanuel Gerrit, Berteologi dalam Konteks, Yogyakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.

Situmorang, Jonar T. H., Strategi Misi Paulus: Mengulas Kontekstualisasi Paulus dalam Pelayanan Lintas Budaya, Yogyakarta: PBMR Andi, 2020.

Theological Education Fund Staff, Ministry in Context: The Third Mandate Programme of The Theological Education Fund, England: Theological Education Fund, 1972.

Tomatala, Yakob Tomatala, Teologi Kontekstual: Suatu Pengantar, Malang: Gandum Mas, 1993.

Tomatala, Yakob, Penginjilan Masa Kini Jilid 2, Malang: Gandum Mas, 1998.

Woga, Edmund, Dasar-dasar Misiologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Sumber Lain







[1] Edmund Woga, Dasar-dasar Misiologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 14.


[2] Yakob Tomala, Penginjilan Masa Kini Jilid 2, (Malang: Gandum Mas, 1998), 27.


[3] David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 1.


[4] Jonar T. H. Situmorang, Strategi Misi Paulus: Mengulas Kontekstualisasi Paulus dalam Pelayanan Lintas Budaya, (Yogyakarta: PBMR Andi, 2020), 133-134.


[5] Yakob Tomatala, Teologi Kontekstual: Suatu Pengantar, (Malang: Gandum Mas, 1993), 2.


[6] Theological Education Fund Staff, Ministry in Context: The Third Mandate Programme of The Theological Education Fund, (England: Theological Education Fund, 1972)


[7] Yakob Tomatala, Teologi Kontekstual: Suatu Pengantar, (Malang: Gandum Mas, 1993), 2.


[8] Theological Education Fund Staff, Ministry in Context: The Third Mandate Programme of The Theological Education Fund, (England: Theological Education Fund, 1972)


[9] http://walanghening.blogspot.com/2012/03/misi-sebagai-teologi-kontekstual.html yang diakses pada tanggal 28 April 2021 pukul 17.00 WIB.


[10] Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks, (Yogyakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 17.


[11] Yakob Tomatala, Teologi Kontekstual: Suatu Pengantar, (Malang: Gandum Mas, 1993), 12


[12] Yakob Tomatala, Teologi Kontekstual: Suatu Pengantar, 18.


[13] Yakob Tomatala, Teologi Kontekstual: Suatu Pengantar, 13.


[14] Yakob Tomatala, Teologi Kontekstual: Suatu Pengantar, 18-19.


[15] Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks, 24-25.


[16] Yakob Tomatala, Teologi Kontekstual: Suatu Pengantar, 18.


[17] David J. Hessegrave & Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna, Metode, dan Model, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 21.


[18] Yakob Tomatala, Teologi Kontekstual: Suatu Pengantar, 31.


[19] Jonar T. H. Situmorang, Strategi Misi Paulus: Mengulas Kontekstualisasi Paulus dalam Pelayanan Lintas Budaya, (Yogyakarta: PBMR Andi, 2020), 149 -151.


[20] Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi, (Malang: Gandum Mas, 2001),31.


[21] Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi, 77.


[22] Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi, 78.


[23] Ibid, 78.


[24] Ibid, 78.


[25] ibid, 78.


[26] ibid, 79.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca selengkapnya disini ya