Misi Gereja yang terbuka Lintas Agama
Misi Gereja yang terbuka Lintas Agama
I. Pendahuluan
Gereja tidak akan luput dari perjumpaan agama-agama lain, khususnya di Indonesia. Tugas misipner gereja bukanlah menaruh keprihatinan terhadap dirinya sendiri tetapi gereja hadir bagi orang lain. Pada kesempatan kali ini kami akan memaparkan hasil sajian kami yaitu gereja yang terbuka lintas agama semoga dapat menambah wawasan kita bersama Tuhan Yesus Memberkati.
II. Pembahasan
2.1. Pengertian Gereja
Kata Gereja berasal dari bahasa Yunani yaitu ekklesia. Dalam bahasa Portugis, yaitu igreja. Kata Yunani yang diterjemahkan menjadi gereja itu, terdiri dari dua suku kata, yaitu ek, yang artinya keluar, dan kaleo yang artinya saya memanggil. Maka gereja kemudian didefinisikan sebagai, kumpulan orang yang dipanggil untuk kemudian diutus ke luar untuk menyatakan kasih Allah kepada dunia. ada juga defenisi lain gereja yaitu gereja ada karena Allah memanggilnya. Itu berarti keberadaan gereja tidak bergantung pada orang-orang yang terhimpun di dalamnya, melainkan pada Allah. Gereja itu dipahami bukan pertama-tama sebagai gedungnya, melainkan manusia yang menjalani kehidupannya sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.[1]
2.2. Misi dalam Perjanjian Lama
a. Universalisme
Universalisme-keselamatan dibentangkan dalam beberapa kitab lain seperti Rut, Yunusda apa yang biasanya disebut Deutero-Yesaya (= Yes 40-55). Kitab Rut meriwayatkan bagaimana seorang perempuan asing (Moab) mengaku percaya kepada Allah Israel, menjadi nenek raja Daud (bnd. Mat 1:5). Kitab Yunus dengan tegas menentang sikap partikularisme (= pembatasan keselamatan itu kepada diri sendiri saja). Dalam bentuk perumpamaan, kitab Yunus mau memberi ingat kepada orang-orang Yahudi yang berada dalam pembuangan bahwa mereka tidak boleh menjadi suatu rintangan antara Yahwe dan orang-orang kafir (bangsa-bangsa lain). Yunus (=Israel) dipanggil untuk menyatakan rahmat Yahwe terhadap Niniwe (= dunia kafir). Biarpun pemilihan atas Israel membawa penderitaan sampai maut sekalipun, tetapi justru itulah yang menjadi kesaksian tentang cintakasih Allah.). bahwa wilayah kekuasaan TUHAN meliputi seluruh bumi, barulah diakui oleh umat Israel, tetapi kelak akan diakui oleh umat manusia: itulah harapan Perjanjian Lama.
b. Eskhatologia
Pada tempatnya juga menyebutkan Mzm 87 di sini yang mengemukakan Sion (= Yerusalem) selaku pusat dunia, di mana tercatat oleh Allah kelahiran orang-orang dari segala bangsa. Mereka itu mendapat hak kewarganegaraannya di sana dan menjadi anggota-anggota umat TUHAN. Ayat 5 dalam terjemahan Yunani (Septuaginta) berbunyi: “Sion disebut ibu...”. Orang-orang kafir (bangsa-bangsa lain, yang bukan-Israel) dihitung dan diakui sebagai warga-warga Sion. Inkorporasi (ditampung) ke dalam tubuh Israel. “Sion adalah ibu sekalian orang yang mengaku Yahwe selaku Bapa; bukan saja orang Yahudi dari diaspora dan para proselitt, melainkan juga keseluruhan bangsa-bangsa.
Bukanlah Israel yang bertindak, bukanlah bangsa-bangsa yang bertindak, tetapi Allah sendirilah yang bertindak terhadap Israel dalam pusat sejarah dan pusat dunia, dan dengan jalan demikian segala bangsa akan datang untuk melihat dan akhirnya untuk disangkut-pautkan dalam drama-keselamatan. Bukanlah Israel yang dipanggil menjadi saksi, tetapi bangsa-bangsa menyaksikan apa yang terjadi di Israel, sehingga mereka menjadi irihati dan mencari Tuhan Israel.
c. Masadepan Mesianis
Pada pembahasan PL ini dapat kita katakan bahwa Israel mempunyai fungsi perantara di dalam rencana Allah. Ia harus menerima dengan taat keselamatan yang dari Allah, janjiNya dan hukumNya, supaya dapat memperlihatkan kepada bangsa-bangsa lain,siapa Allah Israel. Fungsinya tidak lain daripada menjadi daya-penarik. Fungsi perantara itu mempunyai aspek kerajaan, keimaman dan kenabian. Ketiga-tiganya terdapat dalam Yes 2:2-5.
a. Yerusalem/Israel menunjuk kepada pemerintahan Yahwe sebagai Raja dunia. Dia menghendaki theokrasi yang universil, sehingga perang akan terhenti dan keadilan antar-bangsa terjamin.
b. Dari Sion akan keluar undang-undang (= Torah, pengajaran, petunjuk dari TUHAN). Dari dahulukala kepada pekerjaan keimaman termasuk juga penyataan/penyampaian Torah (bnd. Ul 17). Disini Israel akan mengajar bangsa-bangsa tentang kehendak Allah, setelah ia sendiri belajar-melalui banyak penderitaan!- menempuh jalan Yahwe.
c. Dan firman TUHAN adalah dari Yerusalem. Para nabi Israel dipanggil untuk menyampaikan firman TUHAN, baik ke dalam maupun ke luar. Malahan hakekat Israel adalah profetis. Atau seperti yang dikatakan K.Barth: “Sejarah Israel seluruhnya merupakan nubuat universil”. Artinya bahwa segenap eksistensi Israel berfungsi sebagai kesaksian tentang tindakan Allah dan reaksi manusia terhadapnya, tentang campurtangan Allah dalam hidup manusia, sehingga menjadi sejarah keselamatan.
Perjanjian Lama memberitakan pengharapan bahwa bangsa-bangsa akan datang menuju ke pusat, dengan perantaraan Israel selaku raja, imam dan nabi dalam pelayanan TUHAN: dikonkritkan dalam pengharapan Mesias yang mendatangkan masadepan yang gilang-gemilang atas Israel dan segala bangsa.[2]
2.3.Visi dan Misi Gereja
2.3.1. Bidang kebudayaan
Di tengah-tengah perkembangan di bidang kebudayaan, konsultasi sukabumi menghimbau gereja-gereja, untuk bersikap kritis dalam menentukan pilihanya. Selaku orang Kristen, kita berfungsi untuk memberikan sumbangan Kristen, yang bertitik tolak dari iman Kristen, agar kebudayaan bangsa Indonesia dapat memiliki nilai yang berintegrita. Nilai yang berintigritas ini, didasari atas firman Tuhan yang secara kritis berbicara kepada setiap bentuk kebudayaan.
Kejadian 4:11 berbicara tentang jatuhnya manusia ke dalam dosa. Kisah ini memberikan petunjuk kepada kita, bahwa dalam perkembangan kebudayaan, manusia dapat saja terjebak dalam perangkap yang sama. Oleh sebab itu, bentuk-bentuk kebudayaan yang indah hendaknya dapat menjadi sarana, di mana kita beribadah kepada Tuhan dengan hikmat.[3]
Terlebih dimasarakat Batak Toba, kebudayaan terlihat di dalam kehidupan sehari hari yaitu ―adat‖ yang merupakan nilai tertinggi dalam kehidupannya. Lebih terima mereka dikatakan tidak beragama daripada tidak beradat. Kita dapat menjalankan misi lewat kebudayaan, bukan mememrangi kebudayaan. Rasul paulus memberitakan Injil Kerajaan Allah melalui kebudayaan (2 Kor4:7). Melalui kebudayaan yang sangat dijungjung tinggi oleh masyarakat desa ini maka strategi misi yang dapat dilakukan secara khusus pada masyarakat batak Toba yag ada dipedesaan adalah: Pertama, Melakukan pendekatan kepada masyarakat desa secara langsung melalu adat istiadat seperti: pergi kepesta, martarombo, sebab tarombo merupakan sarana kekeluargaan sebab marga saling berkaitan satu sama lain khususya dikalangan orang batak. L. Nommensen yang sudah mempunyai strategi misi penginjilan awal yang ingin menjangkau orang batak secara perorangan melihat kebudayaan orang batak toba yang hidup berkelompok menurut marga, mengubah strategina dengan meningkatkan strategi yang mengedepankan konversi golongan baik keluarga (meliputi keseluruhan anggota keluarga dalam satu kesatuan) atau keseluruhan kelompok kepada iman Kristen. Kelompok sebagai pendekatan misi memiliki hubungan yang erat dengan filosofi ―Dalihan Natolu‖ hal ini berarti bahwa orang Batak akan sukar menolak pengaruh dari hula-hula, dongan tubu, dan boru. Seorang Batak akan sulit menolak permintaan hula-hula, termasuk hal ini dalam masalah kepercayaan. Jika orang Batak mempunyai hula-hula yang mendapatkan suatu hal yang baru dalam hidupnya, maka hal itu akan secara cepat meluas pada keluarga besar suami anakanaknya. Hal ini masih tetap berlaku sampai sekarang ini. Oleh karena itu tarombolah salah satu pendekatan yang dapat dipakai seorang misi dipedesaan. Kedua, Membuat sanggar musik tradisional khususnya bagi pemuda pemudi yang adal dipedesaan. Ketiga, Menjalin kebersamaan dan solidaritas dengan masyarakat desa dengan mengembangkan kebudayaan gotong royong. Melalui pendekatan ini, ketika kehadiran seorang misionaris sudah dapat diterima oleh masyarakat desa dan dapat menjadi pengaruh didesa tersebut maka Injil Kerajaan Allah akan lebih mudah diberitakan secara berlahann-lahan.[4]
2.3.2. Bidang Ekonomi
Situasi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia di bidang ekonomi adalah, system ekonomi yang terpimpin, dalam suatu masyarakat sosialis berdasarkan Pancasila. Konsultasi Sukabumi mencatat, bahwa akibat terjadinya inflasi dan birokrasi, serta penyalahgunaan kekuasaan, maka ekonomi Indonesia pada waktu itu mengalami kondisi yang cukup parah. Tantangan ini, mendorong gereja-gereja yang hadir dalam konsultasi itu, untuk mengusahakan sistem-sistem yang baru, berdasarkan fungsinya sebagai garam dan terang di tengah-tengah masyarakat. Dari seksi ekonomi yang bertugas untuk membahas serta merumuskan apa tugas gereja, kita simpulkan lima program pokok yaitu:
1. Supaya ditingkatkan pembangunan sektor masyarakat desa. Gereja supaya membina semangat gotong royong dalam usaha pertanian.
2. Di bidang perdagangan, diserukan agar para pedangang dan pengusaha Kristen bekerja sama dalam partisipasi memperluas eksport. Tapi juga serentak membantu menyelesaikan ketegangan yang terdapat antara negara-negara maju dan negara-negara sedang berkembang.
3. Dalam lapangan monetor dan perbankan, agar orang Kristen menjauhkan dirinya dari tindakan koruptif, serta usaha mencari keuntungan pribadi. Orang Kristen supaya mengadakan simpanan dan membantu lembaga sosial.
4. Menghadapi proses perkembangan di bidang industri dan modernisasi, orang Kristen dapat memanfaatkannya secara maksimal dalam usaha pembangunan nasional. Khususnya dalam lingkungan pabrik, supaya disediakan tenaga pembina atau pendeta yang bertanggung jawab bagi pembinaan kaum buruh pabrik ataupun industri.
5. Persoalan kepadatan penduduk juga menjadi perhatian yang serius dari konsultasi. Diusulkan agar gereja-gereja sepenuhnya membantu dalam usaha “transmigrasi” agar tercipta keseimbangan dan pemerataan dari penduduk diseluruh Indonesia, guna mencegah terjadinya ledakan penduduk di suatu tempat.[5]
Jika dikaitkan dengan tugas pokok gereja yakni memberitakan Injil Kerajaan Allah yang membebaskan masyarakat desa yang miskin maka strategi yang dapat dilakukan adalah membebaskan mereka dari kemiskinan seperti: Pertama, Masyarakat desa yang mayoritas pertanian, maka pembinaan pertanian dapat dilakukan seperti membuat penuluhan pertanian dengan menghadirkan nara sumber yang dapat memberi sumbangsi pemikiran bagaimana bercocok tanam yang baik sehingga dapat menghasilkan yang lebih baik, sehingga ekonomi kan otomatis meningkat. Kedua, Membuka koperasi desa yang menyediakan alat alat pertanian seperti: pupuk, bibit pertanian , cangkul, dan alat pertanian lainnya dengan harga yang terjangkau masyarakat. Ketiga, Menyediakan dana pertanian berupa simpan pinjam dengan bunga yang rendah dimana tidak memberatkan masyarakat desa tersebut dengan catatan kalau sudah panen dibayar kepada koperasi tersebut. Keempat, Untuk mengatasi situasi masyarakat desa yang relatif miskin kita dapat meningkatkan sumberdaya manusia. Ada banyak usaha yang dapat dikerjakan oleh gereja dengan meningkatkan sumber daya manusia sumbangsih gereja dengan meningkatkan SDM akan memberikan dampak positif bagi gereja itu sendiri, hal ini dikarenakan di masa depan gereja dapat menggunakan hasil-hasil peningkatan sumberdaya manusia dengan tujuan untuk kepentingan pelayanan46 Dengan melibatkan dan mengembangkan suberdaya manusia ini lewat pelatihanpelatihan kerja, dapat meningkatkan ekonomi masyarakat desa. Apabila kebutuhan jasmaninya sudah tercukupi maka dengan terbuka akan menerima Injil Kerajaan Allah yang diberitakan seorang misionaris. Apabila gereja dekat dengan pergumulan dan pengharapan rakyat, maka tri tugas gereja- Koinonia, Marturia dan Diakonia- dapat ditranformasikan, sehingga bersangkut-paut dengan pergumulan dan pengharapan rakyat. Jika keadaan ekonomi masyarakat desa sudah meningkat maka mereka akan merasakan bahwa ada yang memperdulikan mereka.Keadaan seperti ini maka seorang misi dapat memberitakan Injil Kerajaan Allah. Tuhan Yesus sangat perhatian dengan orang yang miskin. Dia lahir ditengah tengah keluarga bawah. Meskipun Yesus itu from above, tetapi pelayananya Ia mulai from below. Ia sendiri selalu mengingatkan murid-murid bahwa orang orang miskin selalu ada padamu. Dengan dasar ini lah Kerajaan Allah perlu ditancapkan bagi masyarakat desa yang kondisi ekonominya menegah kebawah.[6]
2.3.3. Bidang Politik
Dalam usaha membahas peranan gereja di bidang politik, konsultasi kembali menegaskan kesimpulan-kesimpulan dari hasil konsultasi DGI di Lawang pada tahun 1957. Lawang telah merumuskan rangkaian pemikiran Kristen. Salah satu konstasi dari pemikiran tersebut berbunyi “dalam bidang politik, hendaknya pelayanan Kristen berusaha untuk menciptakan dan memelihara keseimbangan antara kuasa, keadilan, dan kasih, selaku aspek-aspek syaloom Kerajaan Allah dalam sistem pemerintahan apa pun juga. Posisi orang Kristen, sebagaimana yang diungkapkan baik oleh konsultasi Lawang, maupun yang dikokohkan lagi oleh konsultasi Sukabumi ialah “berdiri di atas semua kepentingan politik”. Orang Kristen hendaknya tidak boleh memihak kepada salah satu sistem atau partai tertentu.
2.3.4. Bidang pendidikan
Problema besar yang dihadapi oleh gereja adalah kurikulum pendidikan yang memerlukan perbaikan. Oleh karena itu ditinjau dari perspektif Kristen, pendidikan itu adalah pemulihan manusia pada statusnya yang semula, yang diperbarui oleh Yesus Kristus. Gereja dipanggil untuk mendidik warganya kea rah kedewasaan rohaniah dan jasmaniah dalam rangka pembaruan masyarakat yang adil dan makmur. Ia harus mengusahakan pola-pola yang baru, serta inovatif dalam sistem kurikulum, termasuk usaha-usaha pasca buta aksara.
Untuk mengusahakan pola baru itu, diusulkan agar dibentuk suatu biro pusat penyelidikan paedegogik. Dalam rangka ini, kepada guru-guru sekolah, termasuk guru agama, supaya mendapat perlengkapan, agar dapat diusahakan suatu strategi sentral. Yakni suatu strategi pelayanan Kristen dalam bidang pendidikan untuk seluruh bangsa Indonesia yang sedang berada kepada bangsa revolusi.[7]
2.4.Pendekatan terhadap Agama
2.4.1. Dialog sebagai Wacana Kehidupan
Dialog antar agama-agama memang berbeda dengan sharing oikumenis. Setiap agama, terlebih-lebih agama-agama dunia, merupakan suatu tatanan atau kosmos yang memiliki landasan tersendiri. Namun itu tidak boleh menjadi alasan untuk menghambat dialog. Masalah sebenarnya sama sekali bukan terletak pada dialog itu sendiri, melainkan kecenderungan “relativisme” beberapa pemikir Kristen. . Tujuan dialog bukan untuk memenangkan kebenaran dari salah satu pihak tetapi membangun komunitas dialogis. Jadi, dialog bukan upaya untuk menaklukkan orang beragama lain atau menguasai mereka yang berbeda keyakinan, tetapi suatu sikap keterbukaan agar relasi-relasi antar manusia dimungkinkan.
Di Indonesia pada zaman Soeharto (1967-1989), dialog antar agama merupakan kegiatan eliter. Maksudnya, dialog boleh saja diselenggarakan di ranah akademis atau kaum intelektual. Sampai sekarang mata pelajaran wajib pendidikan agama di sekolah-sekolah jarang dimanfaatkan untuk saling memperkenalkan siswa dari berbagai agama. Alhasil: prasangka-prasangka dibiarkan merajalela, remaja dan pemuda tidak dibina dalam hal toleransi lintas agama, dan tidak dilengkapi dengan suatu metode serta pengalaman nyata dalam hal berkomunikasi antar agama.[8]
2.4.2. Strategi Ganda menjadi Gereja Misioner
Di Indonesia, dan sebenarnya di mana-mana di dunia yang semakin menjadi “desa global" ini, gereja missioner harus mengkonsolidasikan kekuatannya dan sekaligus membuka diri terhadap lingkungannya. Itu berarti, mau tidak mau jemaat harus membangun hubungan dan kerja sama dengan jemaat-jemaat Kristen tetangga (Prostestan, Katolik, Pentakosta dll). Ada tiga alasan yang menjadi hambatan mengapa ada jemaat yang jarang siap atau rela melibatkan diri dalam dialog dengan agama-agama lain.
1. Kurangnya visi dan pemahaman bahwa oikumene dan dialog merupakan bagian integral dari amanat Tuhan Yesus Kristus yang wajib dilaksanakan oleh Gereja. Oikumene dan dialog masih dianggap “exotis”, hal sampingan, ataupun suatu aktivis saja.
2. Ada banyak prasangka dan kekuatiran terhadap oikumene dan dialog. Yaitu prasangka karena ada kecurigaan bahwa gereja atau agama lain bisa menyalahgunakan kesempatan itu untuk “mencuri domba” (menghasut). Kekuatiran akan terjadi “reativisme” atau pendekatan gereja pada agama lain bisa mengganggu kerukunan yang sudah mapan.
3. Dalam kebanyakan jemaat tidak ada orang yang memprakarsai oikumene dan dialog. Pendeta sering beralasan terlalu sibuk dengan pelayanan pokok, dan penatua serta diakon berdalih tidak sanggup, sedangkan pemuda-pemudi tidak dipercayai bisa sendiri berdialog bila tidak difasilitasi oleh majelis.
Gereja-gereja seharusnya memproritaskan kembali oikumene sebagai sebuah perjuangan untuk mewujudkan keesaan gereja, bukan secara organisatoris, melainkan dalam arti “saling menerima, saling mengakui”. Visi persatuan dan kerja sama antara gereja-gereja (Yohanes 17:21) ini harus dipadukan dan diselaraskan dengan suatu kesaksian akan kasih Allah yang lintas budaya dan agama. Dialog membuka wacana kehidupan, baik secara local maupun sampai ke ujung-ujung bumi (Matius 28:19). Dalam dialog kita sanggup mengerti diri sendiri dan sesama. Dalam dialog kita bisa menjadi pembawa damai (Matius 5:9), dialog mencegah kebencian dan membangun peradaban dunia ini.[9]
2.4.3. Dialog Agama Agama
Dialog antar agama diharapkan dapat membuka jalan dalam relasi dan interaksi agama. Di dalam relasi dan interaksi itu misi bisa mendapatkan tempatnya. Pengalaman di Indonesia menunjukkan adanya kepedulian untuk menjalin relasi antar agama. Hubungan dialogis dilakukan dalam berbagai tingkat dan melalui berbagai cara. Dialog itu terjadi ketika pihak-pihak saling terbuka dan menerima serta bekerja sama untuk membangun komunitas cinta kasih. Dialog antar agama dapat menjadi aktivitas missioner spesifik yang melengkapi pewartaan dan pembentukan komunitas.[10]
2.5.Gereja Lintas Agama
Gereja mempunyai keharusan untuk mewartakan Injil kepada semua orang agar kebenaran Allah semakin dipahami dan dihidupi. Karena memahami perintah Kristus ini dan menyadari bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mendengarkan Injil (kabar sukacita Allah), maka Injil itu harus diwartakan. Namun, didasarkan pada pemahaman akan kompleksitas situasi yang beragam. Gereja mewartakan Injil dengan penuh hormat dan kasih, mengenal situasi pendengarnya, serta tetap memperhatikan kebebasan. Iman selalu mengandaikan jawaban bebas dari setiap individu. Gereja mewartakan Injil dengan penuh hormat dan kasih, mengenal situasi pendengarnya, serta tetap memperhatikan kebebasan. Iman selalu mengandaikan jawaban bebas dari setiap individu.[11] Menurut kami, Gereja yang terbuka lintas agama adalah Gereja yang berjiwa inklusif sekaligus misioner, karena kemauan gereja untuk membuka dirinya dipengaruhi oleh perspektif teologisnya terhadap agama-agama lain. Oleh karena itu perlu dipahami apa itu yang dimaksud dengan inklusif.
Inklusif berarti orang Kristen mengakui, bahwa tanda-tanda Allah dan Roh Kudus, hadir dalam agama-agama lain, sehingga orang beragama lain juga dapat diselamatkan oleh Yesus. Agama-agama lain adalah jalan-jalan persiapan untuk keselamatan melalui Yesus Kristus. Saat ini Dewan Gereja Sedunia mempunyai hampir pandangan yang sama dengan model inklusif di atas bahwa keselamatan adalah milik Allah.[12] Dalam dialog yang paling dalam, di mana mitra benar mencoba mengerti satu sama lain sepenuhnya, juga akan menjadi jelas bahwa di antara doktrin-doktrin agama terjadi perbedaan inti yang tidak dapat diatasi atau dijembatani. Maka dalam dialog juga terjadi penderitaan karena mitra-mitra dialog merasa perbedaan-perbedaan inti itu. Untuk mengatasi hal itu, sikap saling menghormati, saling menghargai sangatlah dibutuhkan. Maka dialog tidak merupakan semacam pertandingan di mana satu partai menang dan yang lain kalah, tetapi benar-benar pertemuan antara manusia yang mencoba untuk mengerti satu sama lain, bahkan dengan semua perbedaan. Walaupun banyak perbedaan dari segi doktrin agama, manusia dengan latar belakang berbeda dapat saling mendorong dan membantu untuk membangun satu masyarakat yang lebih baik, lebih adil, dan berdamai.[13]
2.6.Implementasi Gereja yang Terbuka Lintas Agama
Misalnya. Kegiatan GKJW dalam Membangun Dialog dengan Umat Islam. Kegiatan GKJW dalam membangun dialog dengan umat Islam sangat bervariasi. Antara lain: mengadakan pasar murah menjelang hari raya Idhul Fitri di desa-desa yang masyarakatnya masih hidup dibawah standard kecukupan. Peningkatan ekonomi warga pedesaan. Pelayanan kesehatan gratis. Pelayanan HIV-Aids. Pelayanan Advokasi bagi buruh-buruh migrant. Ada banyak yang dilakukan oleh GKJW dalam membangun dialog dengan umat Islam tetapi hanya dua kegiatan saja yang justru menjadi titik awal berbagai kegiatan dialog antar umat beragama. Pertama adalah kegiatan silatuhrahmi kepada tokoh-tokoh agama, baik dikalangan akademis, organisasi keagamaan, maupun para Kyai di pondok-pondok Pesantren dan membaurnya seluruh warga GKJW di tengah-tengah masyarakat. Kegiatan non formal seperti ini sangat penting karena melalui kegiatan ini timbul rasa saling percaya dan keterbukaan satu dengan yang lainnya. Dengan adanya keterbukaan dan saling percaya ini menjadi pintu masuk untuk menciptakan berbagai kegiatan bersama. Kedua adalah kegiatan “Pro Existensi” yang muncul pada tahun 1991. Kegiatan ini dipelopori oleh Pdt. Prof. Dr. Sri Wismoadi Wahono. Inti dari kegiatan ini adalah masalah saling menerima dan terbuka terhadap keberadaan agama lain.[14]
2.7.Teologi Misi dan Teologi Agama-Agama
Teologi misi dan teolog agama-agama yang berorientasi pada konsepsi misi Allah dalam dunia muncul mula-mula dalam pemikiran P.D. Devanandan. Dalam pemikirannya, Allah yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus adalah Tuhan dunia, Tuhan atas kosmos. Oleh karena penebusan kristus memiliki dimensi kosmis, ia berpendapat bahwa keselamatan yang tersedia dalam kristus tidak hanya ditemukan di dalam kekristenan tetapi juga didalam agama-agama lain dan kebudayaan-kebudayaan asli. Secara teologis ia membenarkan pendapat bahwa perubahan-perubahan cepat yang menandai era baru dia asia masa kini adalah “Produk dari kegiatan Allah dalam sejarah manusia dan dalam dunia alam ini” dan diatas semuanya iya berpendapat bahwa era baru itu adalah juga tanda dari kedatangan Kristus dalam mana “dunia dan segala isinya dijadikan baru”.
Pada tingakat tertentu D.T. Niles juga sejalan dengan Devandan. Menanggapi kenyataan asia Niles menyugukan suatu tantangan dan visi kepada banyak teolog asia untuk mengambangkan teologi yang bercorak asia.Dalam kaitan ini, iya berpendapat bahwa pada zaman kolonial misi Kristen lebih banyak didasarkan pada corak barat pada lain pihak asia hanya dianggap sebagai suatu tempat bermisi. Diatas semua yang baru disebutkan, misi haruslah dipahami dalam rangka kegiatan Allah dalam menyatakan dirinya dan keselamatan. Dengan kata lain, kegiatan misioner gereja hendaknya hanya dalam rangka partisipasinya di dalam misi atau kegiatan Allah dalam dunia ini.[15]
2.8.Sikap terhadap Agama-Agama Non-Kristen
Agama-agama non Kristen dapat saja menampilkan catatan yang mengesankan dalam nilai-nilai psikologis, budaya, dan lain-lainnya. Kekristenan dalam lembaga keagamaan yang historis sepenuhnya bersifat manusiawi, artinya, suatu kombinasi antara unsur-unsur yang agung, yang hina dana yang dapat ditoleransi. Ada banyak unsur dimana kekristenan didalam perwujudan historis lebih unggul dari pada agama agama lain; tetapi tentang unsur-unsur lainnya yang sama juga dapat dikatakan menyangkut agama-agama non kristen. Satu-satunya yang menakjubkan tentang kekristenan sebagai suatu realitas historis dan empirik, yang membedakannya dengan agama-agama lain ialah kritik dirinya yang radikal sebagai salah satu ciri khas utamanya, karena penyataan didalam kristus yang dinyatakannya membangun keunggulan kehendak Allah yang kudus dan hakikatnya sebagai keunggulan yang mutlak atas semua kehidupan termasuk kekristenan yang historis.[16]
III. Kesimpulan
Missiologi dalam bahasa inggris Mission yang berarti karya Allah (God’s Mission) atau tugas yang diberikan kepada kita. Yaitu segenap kegiatan gereja dalam mewartakan kabar kesukaan. Dalam pendekatan terhadap agama dibutuhan adanya dialog agama. Bukan untuk memenangkan kebenaran dari salah satu pihak tetapi membangun komunitas dialogis yaitu suatu sikap keterbukaan agar relasi-relasi antar manusia dimungkinkan. Gereja yang terbuka lintas agama adalah Gereja yang berjiwa inklusif sekaligus misioner, karena kemauan gereja untuk membuka dirinya dipengaruhi oleh perspektif teologisnya terhadap agama-agama lain. Inklusif dalam hal ini berarti orang Kristen mengakui, bahwa tanda-tanda Allah dan Roh Kudus, hadir dalam agama-agama lain, sehingga orang beragama lain juga dapat diselamatkan oleh Yesus. Agama-agama lain adalah jalan-jalan persiapan untuk keselamatan melalui Yesus Kristus.
IV. Daftar Pustaka
Dubut, Darius, Martin L. Sinaga & Sulaiman Manguling, Ruth Wangkai, Yohanis Panggalo, Uwe Hummel. Elizabet Marantika, Einar M. Sitompul, Padmono Sk, Misi Baru Dalam Kemajemukan: Teologi Lintas-Iman dan Lintas-Budaya. Sulawesi Utara: UKIT PRESS, 2018.
Erari, Karel Phil, Supaya Engkau Membuka Belenggu Kemiskinan, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,1999), 19-21.
Hariprabowo, Y., Misi Gereja di Tengah Pluralitas Agama dan Budaya, dalam “Orientasi Baru”, Vol. 18, No. 1, April 2009. Yogyakarta: Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma.
Jong, Kees de, Hidup Rukun Sebagai Orang Kristen. Spritualitas dari Theologi Religionum, dalam: “Gema Teologi" , Vol. 30, No. 2, Oktober 2006. Yogyakarta: Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana.
Junge, Martin, Tuhoni Telaumbanua , Misi: Dari Mana-mana ke Mana-mana. Nias: STT BNKP Sundermann, 2012.
Kuiper, Arie De, Missiologia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018.
Larosa, Arliyanus, Misi Sosial Gereja. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2001.
Siwu, Richard A. D., Misi Dalam Pandangan Ekumenikal Dan Evagelikal Asia. Jakarta: Gunung Mulia, 1996.
Thomas, Norman E.. Teks-Teks Klasik Tentang Misi & Kekristenan Sedunia. Jakrata: Gunung Mulia, 2019.
Sumber Lain Grecetinovitria Merliana Butar-butar, “Strategi Misi Pedesaan yang Relevan dan Alkitabiah di Kabupaten Toba Samosir”, dalam
[1] Arliyanus Larosa, Misi Sosial Gereja, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2001), 8-9.
[2] Arie De Kuiper, Missiologia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 18-27.
[3] Karel Phil Erari, Supaya Engkau Membuka Belenggu Kemiskinan, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,1999), 19.
[4] Grecetinovitria Merliana Butar-butar, “Strategi Misi Pedesaan yang Relevan dan Alkitabiah di Kabupaten Toba Samosir”, dalam file:///C:/Users/acer/Downloads/47-135-1-PB.pdf, diakses pada 03 Mar. 21, pukul 15.53 WIB.
[5] Karel Phil Erari, Supaya Engkau Membuka Belenggu Kemiskinan, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,1999), 20-21.
[6] Grecetinovitria Merliana Butar-butar, “Strategi Misi Pedesaan yang Relevan dan Alkitabiah di Kabupaten Toba Samosir”, dalam file:///C:/Users/acer/Downloads/47-135-1-PB.pdf, diakses pada 03 Mar. 21, pukul 16.18 WIB.
[7] Karel Phil Erari, Supaya Engkau Membuka Belenggu Kemiskinan, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,1999), 19-21.
[8] Darius Dubut, Martin L. Sinaga & Sulaiman Manguling, Ruth Wangkai, Yohanis Panggalo, Uwe Hummel. Elizabet Marantika, Einar M. Sitompul, Padmono Sk, Misi Baru Dalam Kemajemukan: Teologi Lintas-Iman dan Lintas-Budaya, (Sulawesi Utara: UKIT PRESS, 2018), 206-209.
[9] Darius Dubut, Martin L. Sinaga & Sulaiman Manguling, Ruth Wangkai, Yohanis Panggalo, Uwe Hummel. Elizabet Marantika, Einar M. Sitompul, Padmono Sk, Misi Baru Dalam Kemajemukan: Teologi Lintas-Iman dan Lintas-Budaya, (Sulawesi Utara: UKIT PRESS, 2018), 211-214.
[10] Y. Hariprabowo, Misi Gereja di Tengah Pluralitas Agama dan Budaya, dalam “Orientasi Baru”, Vol. 18, No. 1, April 2009, (Yogyakarta: Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma), 39-40.
[11] Y. Hariprabowo, Misi Gereja di Tengah Pluralitas Agama dan Budaya, dalam “Orientasi Baru”, Vol. 18, No. 1, April 2009, (Yogyakarta: Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma), 33.
[12] Kees de Jong, Hidup Rukun Sebagai Orang Kristen. Spritualitas dari Theologi Religionum, dalam: “Gema Teologi" , Vol. 30, No. 2, Oktober 2006, (Yogyakarta: Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana), 4.
[13] Kees de Jong, Hidup Rukun sebagai Orang Kristen. Spiritualitas dari Theologi Religionum, dalam “Gema Teologi”, Vol. 30, No. 2, Oktober 2006, (Yogyakarta: Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana), 5-6.
[14] Martin Junge, Tuhoni Telaumbanua , Misi: Dari Mana-mana ke Mana-mana, (Nias: STT BNKP Sundermann, 2012), 103-104.
[15] Richard A. D. Siwu, Misi Dalam Pandangan Ekumenikal Dan Evagelikal Asia, (Jakarta: Gunung Mulia, 1996), 213-214.
[16] Norman E. Thomas. Teks-Teks Klasik Tentang Misi & Kekristenan Sedunia, (Jakrata: Gunung Mulia, 2019), 383.