Pemerintahan dan Pemeliharaan (Providential) dan Pembebasan/Pemilihan (Praedestinasi)

A.    Pemerintahan dan Pemeliharaan (Providential)

B.     Pembebasan/Pemilihan (Praedestinasi)



1.1.Pengertian Providensial

Istilah “providentia” dapat diturunkan dari katakerja providere sebagaimana dipergunakan di dalam Vulgata (terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Latin yang diresmikan oleh Gereja Katolik-Roma). Haruslah kita perhatikan di mana kata itu terdaapat! Yaitu di dalam riwayat tentang Abraham di bukit Moria (lihat Kej 22, terlebih ayat 8, 14). Ayat-ayat tersebut dapat diterjemahka sebagai berikut: “Allah akan menyediakan” (menyelenggarakan supaya ada) anak domba bakal korban bakaran baginya: “Tuhan menyediakan “ (menyelenggarakannya); “akan disediakan” (diselenggarakan) di atas gunung Tuhan itu”. Demikianlah arti “provedentia” menurut riwayat itu: Allah menyediakan seekor anak domba sebagai korban pengganti Ishak! Siapakah tidak teringat kepada Kristus dalam membaca cerita ini?.

Sesungguhnyalah demikian: kepercayaan bahwa Allah memelihara dunia ini dan memerintah atasnya dan bahwa Ia juga menuntun hidup saya sendiri, kepercayaan kepada “providentia” itu tidaklah timbul dari sebab melihat kepada dunia dan hidup saya sendiri, tetapi sebab melihat kepada Kristus! Jika Kristus memasuki dan menguasai hidup kita, maka dengan sukacita kita berseru: Allah yang tidak menyayangkan anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segal sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia (Kristus)? (Roma 8:32). Demikianlah percaya yang sesungguhnya itu kepada “providentia” Allah: oleh sebab di atas bukit Golgota Allah telah menyediakan serta menyelenggarakan adanya Korban, maka karena itu dank arena itu sajalah dapat dan berani saya percaya bahwa Allah juga dapat dan mau menyediakan serta menyelenggarakan segala sesuatu yang lain bagi saya sampai kepada yang kecil-kecil. Kita percaya kepada Allah yang kasihNya yang kudus itu telah dinyatakan di Golgota. Siapa yang telah berjumpa dengan Allah ini, ia mempercayakan dirinya kepada Dia, dengan keyakinan bahwa segala sesuatu akan dibuatNya menjadi baik. Jika kita mencari Kerajaan Allah (artinya jika kewibawaan dan pemerintahan Kristus menjadi realistis di dalam hidup kita sehari-hari), maka ktia percaya bahwa segala sesuatu yang lain itu akan diberikan juga kepada kita (Mat. 6:33). Demikianlah kepercayaan-keprcayaan kepada “providentia” Allah itu!.[1]

Istilah Providensial (pemeliharaan ilahi) yaitu kurang pribadi sifatnya, tidak menunjuk pada seseorang tertentu. Bukan Providensial, melainkan Allah yang memelihara dia dan membimbing dia, dan ia bersyukur karenanya. Kunci dari hidup kerohaniannya ialah rasa syukur pada Allah, Bapa Yesus Krisuts.[2]

1.2. Latar Belakang Providensial

Kekristenan dalam konfrotansinya dengan tradisi, budaya, dan cara ibadah yang lain, tetap tergoyahkan dalam rasa percaya dirinya sebagai pesan yang unik dari Allah untuk umat manusia. Kombinasi antara iman dan dogma yang berbentuk dalam cetakan eskatologi yang bersifat providensial (providential) adalah sebuah kekuatan dahsyat yang menjadi puncak semangat misionaris selama berabad-abad. Abad sekarang ini telah melahirkan banyak perubahan dalam cara pandang Gereja. Kini kita hidup di bawah baying-bayang suatu situasi krisis. Hal ini telah menciptakan suasana kepekaan yang baru mengenai konfrontasi antar agama.[3]

1.3. Ciri-Ciri Providensial

· Rasa puas/cukup (autarkes): kepuasan batin yang bebas dari pengaruh dunia luar (materi); perasaan sejahtera bagaimanapun keadaan di luar.

· Mengapa perlu memiliki autarkes? Sebab lahir maupun mati kita tidak membawa apa-apa.

· Bagi orang beribadah/Kristen, rasa puas memberi keuntungan besar, mencegah ketamakan yang mengundang bencana (menjadi “mahkota” di hati, bukan di kepala).

Contoh rasa puas: Rasul Paulus: Filipi 4:10-13[4]

1.4. Pengertian Praedestinasi

Dalam penentuan Tuhan, termasuk juga penentuan Tuhan tentang orang yang akan percaya, dan oleh karena itu yang juga akan menerima keselamtan. Inilah yang disebut “Praedestinasi”. Jadi praedestinasi adalah penentuan Tuhan tentang siapa yang akan percaya dan selamat dan tentang segala jalan kepada keselamatannya itu. Jadi pertama-tama diakui, bahwa iman bukannya hasil usaha manusia, melainkan karunia dari Tuhan: “tidak ada seorang pun, yang dapat mengaku ‘Yesus adalah Tuhan’, selain oleh Roh Kudus” (1 Kor. 12:13; bnd. Mat 16:17; 2 Ptr 1:1, ‘sudah beroleh iman’ dll). Iman adalah penampakan manifestasi dari pemulihan Tuhan (bnd. Rm. 8:20, 30).

Di dalam Kitab Suci terbaca, bahwa Tuhan memilih di dalam Kristus (Ef. 1:4). Perkataan “di dalam Kristus” ini memang sering sekali terdapat didalam Kitab Suci (mis Rm. 6:11; 8:1 dll) dan maksudnya ialah, bahwa orang percaya “dibawa” oleh Kristus di mana pun Ia dan apa pun yang Dia kerjakan. Jasa-jasa Kristus diperhitungkan juga untuk orang yang percaya. Tetapi juga bahwa orang percaya hanya dapat hidup karena dilihat oleh Tuhan melaui Yesus Kristus. Oleh karena orang percaya “dibawa” oleh Kristus, ia bukan lagi orang yang diancam oleh hukuman. “Di dalam Kristus ia telah diangkat menjadi anak Allah.”[5]

1.5. Latar Belakang Praedestinasi

Seringkali orang bertanya “Apakah aku termasuk orang yang dipilih?” Kemudian ia mencari tanda-tanda atau bukti-bukti, dalam hal ini: apakah hidupnya baik; adakah kejadian-kejadian dalam hidupnya yang menunjuk kesitu dan selanjutnya. Tetapi ia tidak dapat menemukan sesuatu yang dapat menjadi pegangan dan ia menjadi takut. Bagi orang itu praesdestinasi memang merupakan suatu penentuan yang mendatangkan takut.

Tetapi pertanyaan “Apakah aku terpilih?” seharusnya dijawab dengan pertanyaan “Apakah aku percaya?” Kalau seseorang percaya, itulah tanda bahwa ia terpilih, percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamatnya. Dan baginya praedestinasi bukan mendatangkan takut, malahan memberikan penghiburan yang besar, oleh karena ia boleh mengetahui, bahwa Tuhan sudah memulai padanya pekerjaan yang baik itu dan Ia akan menyelesaikan pekerjaan itu juga “sampai kepada hari Kristus Yesus” (Filipi. 1:6). Pegangannya bukan amalnya sendiri, melainkan Tuhan sendiri.

Oleh karena itu praedestiansi seharusnya hanya menjadi bahan pemberitaan di dalam Gereja, yaitu di dalam persekutuan orang suci, orang yang percaya dan oleh karena itu juga yang telah disucikan. Bagi orang yang belum percaya. Pemberitaan harus berisi “Yesus Kristus telah mengerjakan segala sesuatu bagimu! Percayalah!” Dan pemberitaan injil ini harus kita adakan. Tuhan berkenan untuk memakai orang percaya sebagai alat untuk merealisasikan penentuannya. Dalam memberitakan injil kita tidak boleh berpikir tentang praedestinasi. Kita harus melaksanakan perintah Tuhan yang setegas itu. Hal buah pekerjaan ini kita serahkan kepada Tuhan sendiri. Memang dari Dia, dan oleh Dia, tetapi juga: kepada Dialah segala sesuatu. “Bagi dialah kemuliaan selama-lamanya.”[6]

1.6. Ajaran Praedestinasi

Untuk menghakiri pasal tentang pokok-pokok teologi. Calvin ini kita beralih kepada ajaran Calvin tentang praedestinasi. Apa yang dimaksud dengan praedestinasi (bahsa Latin prae-destinatio, penentuan sebelum-nya)? Calvin sendiri mendefenisikan praedestinasi sebagai “keputusan Allah yang kekal yang dengannya Ia menetapkan untuk diri-Nya sendiri, apa yang menurut kehendak-Nya akan terjadi atas setiap orang”. Dalam ajaran tentang praedestinasi dijelaskan bahwa orang percaya hanya diselamatkan karena mereka dipilih oleh Allah untuk diberi keselamatan. Sementara itu dibicarakan juga (tetapi tidak semua teolog yang membahas praedestinasi menekankan segi ini) bahwa ada orang yang ditolak oleh Allah sehingga mereka tidak diselamatkan. Baik pemilihan (electio) maupun penolakan (reprobatio) dibicarakan oleh Calvin dalam ajarannya tentang praedestinas. “Sebab tidak semua orang diciptakan dalam keadaan yang sama; tetapi untuk yang satu ditentukan kehidupan kekal, untuk yang lain hukuman yang abadi”. Dari kutipan terakhir jelas bahwa Calvin mengajarkan apa yang disebut dengan istilah teknis praedestinasi rangkap.

Pendapat yang sering terdengar ialah bahwa ajaran tentang praedestinasi merupakan inti teologi Calvin, bahkan kunci untuk mengerti seluruh “sistem” Calvin. Berhubungan dengan itu ajaran ini dianggap ciri khas utama teologi Calvinis. Oleh karena itu juga teolog-teolog Calvinis yang berpegang dengan setia kepada ajaran guru mereka, merasa terdorong untuk membela ajaran ini mati-matian, sedangkan teolog-teolog yang tidak setuju dengan Calvin suka memilih ajaran ini sebagai sasaran untuk serangan mereka. Timbul pertanyaan, apakah tepat untuk mengatakan bahwa teologi Calvin adalah teologi praedestinasi? Kita cenderung untuk menyimpulkan bahwa ajaran tentang praedestinasi merupakan salah satu ajaran yang terpenting untuk Calvin. Memang Calvin menganggap ajaran ini perlu untuk dibicarakan dan tidak menyetujui penadapat Melanchthon, teman Luther, yang menganjurkan untuk melewatkan ajaran tentang praedestinasi dengan diam-diam saja karena terlalu rumit dan berbahaya untuk dibicarakan. Ia juga tidak segan untuk membela pendapatnya tentang praedestinasi terhadap teolog-teolog yang menolaknya, sehingga ia menulis beberapa tulisan khusus tentang praedestinasi sebagai sanggahan.[7]

1.7. Persoalan Antara Providential dan Praedestinasi

Tentang persoalan yang terjadi, sejak dahulu orang sudah membicarakannya dalam bab mengenai pemilihan oleh Allah. Kata Latin yang dipergunakan dalam hubungan ini ialah praedestinatio (dari katakerja “praedestinare”= menetapkan lebih dahulu). Biarlah kita pergunakan kata asing yang terkenal ini, walaupun mudah menimbulkan salah paham. Dilihat dari sudut bahasa, justru kata Latin ini hampir sama artinya dengan kata Arab “takdir”. Jadi apakah hal itu berarti, bahwa juga terhadap nasib masing-masing manusia di dunia akhirat berlaku apa yang biasanya disebut orang “takdir Allah”?.

Kedua pokok persoalan itulah yang sekedar hendak kita bicarakan dalam bab ini: providential (pemeliharaan dunia serta pemerintahan atasnya oleh Allah) dan praedestinatio (pemilihan oleh Allah). Biasanya kedua soal itu masing-masing dibicarakan dalam dua bab tersendiri, umpamanya dengan menempatkan soal “praedestinatio” yang dalam suatu bab mengenai “musyawarat Allah” yang mendahului ajaran tentang penciptaan alam semesta; lalu soal “providential” itu dibicarakan sesudah bab mengenai penciptaan. Tetapi kedua pokok itu kami gabungkan saja dalam bab ini, antara lain oleh sebab kedua istilah itu segera mengingatkan kita kepada ungkapan “takdir Allah”. Dan justru dari situlah timbul salah-paham yang paling berbahaya bagi kita, yaitu caranya ungkapan “takdir Allah” sehari-hari dipergunakan ataupun disalahgunakan! Makanya perlulah diadakan konfrontasi antara istilah-istilah theologia ini dengan ucapan “takdir Allah”.[8]

1.8. Hubungan Providential dan Praedestinasi

Apabila secara akal-budi,dan lepas dari kepercayaan yang sesungguhnya, kita memikirkan arti “providentia” dan “praedestinasi”, maka segera kita tergelincir ke dalam sikap-hidup yang digambarkan di atas tadi. Tetapi syarat mutlak untuk melakukan dogmatika ialah: bahwa kita memikirkan soal-soal itu di dalam percaya dan dari sudut kepercayaan! Pada hemat kami, sebaiknyalah kita singkirkan saja ungkapan “takdir Allah” serta “kadar Allah” itu dan tidak mempergunakannya lagi dalam terjemahan Alkitab, dalam berkhotbah dan dalam berdogmatika. Kata-kata itu sudah teralmpau merosot arti dan isinya; tidak mengandung apa-apa lagi selain daripada keluhan “apa boleh buat” yang bersifat sedih atau acuh tak acuh. Bertentangan dengan itu haruslah menjadi jelas bagi kita bahwa maksud dan hubungan dari pengertian providential dan praedestinatio ialah justru untuk memberikan kepada kita penghiburan serta kesukaan yang sesungguhnya.[9]

II. Kesimpulan

Istilah “providentia” dapat diturunkan dari katakerja providere sebagaimana dipergunakan di dalam Vulgata (terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Latin yang diresmikan oleh Gereja Katolik-Roma). Kekristenan dalam konfrotansinya dengan tradisi, budaya, dan cara ibadah yang lain, tetap tergoyahkan dalam rasa percaya dirinya sebagai pesan yang unik dari Allah untuk umat manusia. Kombinasi antara iman dan dogma yang berbentuk dalam cetakan eskatologi yang bersifat providensial (providential) adalah sebuah kekuatan dahsyat yang menjadi puncak semangat misionaris selama berabad-abad dan Dalam penentuan Tuhan, termasuk juga penentuan Tuhan tentang orang yang akan percaya, dan oleh karena itu yang juga akan menerima keselamtan. Inilah yang disebut “Praedestinasi”. Jadi praedestinasi adalah penentuan Tuhan tentang siapa yang akan percaya dan selamat dan tentang segala jalan kepada keselamatannya itu.

III. Daftar Pustaka

van Niftrik, G. C & B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008).

Thomas, Elizabeth Kekuatan Serta Penghiburan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999).

J. Griffiths, Paul Kekristenan di Mata Orang Bukan Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990).

Boediprayitno, Pilipus, Menuju Hidup Bijak, (Yogyakarta: PBMR Andi, 2020).

Soedarmo, R, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta: Gunung Mulia, 2009). de Jonge, Christian, Apa Itu Calvinisme?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008)




[1] G.C. van Niftrik & B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), 168


[2] Elizabeth Thomas, Kekuatan Serta Penghiburan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 17


[3] Paul J. Griffiths, Kekristenan di Mata Orang Bukan Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990),412-413


[4] Pilipus Boediprayitno, Menuju Hidup Bijak, (Yogyakarta: PBMR Andi, 2020), 209


[5] R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), 129-130


[6] R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, 130


[7] Christian de Jonge, Apa Itu Calvinisme?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 60


[8] G.C. Niftrik & B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, 169-170


[9] G.C. Niftrik & B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini,

171-172

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca selengkapnya disini ya