wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

KEKRISTENAN DI SIMALUNGUN

 

KEKRISTENAN DI SIMALUNGUN

II.                Pembahasan

2.1.Sejarah Daerah Simalungun

            Perkataan “Simalungun” digunakan sebagai wilayah pemerintahan yakni kabupaten simalungun, maupun sebagai nama suku bangsa yang membedakan dari suku bangsa lainnya. Pada awal abad ke-20 perkataan simalungun digunakan Belanda untuk nama wilayah, yakni “Simeloegoen-Landen” (tanah simalungun) yang meliputi kerajaan-kerajaan Siantar, Tanah Jawa, Panei, Raya, Purba, Silimakuta, dan Dolog Silou. Pada tahun 1865-1866 ketika Belanda mulai menancapkan kuku penjajahannya ke Simalungun dalam ekspedisinya yang pertama ke daerah Simalungun hilir dan selanjutnya mengintensifkan aneksasinya atas daerah yang subur ini.[1] Secara geografis wilayah Simalungun dapat digolongkan atas dua bagian wilayah, yaitu Simalungun Atas (Raya, Purba, Silou, dan Silimakuta) dan Simalungun Bawah (Bandar, Siantar, Panei dan Tanah Jawa). Wilayah Simalungun Atas berupa daerah-daerah yang terdiri dari dataran tinggi hingga ke arah sepanjang danau Toba dan beberapa pegunungan di sebelah Barat Laut danau Toba. Sedangkan wilayah Simalungun Bawah berupa dataran rendah yang terkenal dengan kesuburan tanahnya untuk usaha pertanian, persawahan dan perkebunan.[2]

2.2.Sejarah Kekristenan di Simalungun

            Pengabaran Injil di daerah Simalungun sedikit terlambat dibandingkan daerah-daerah tetangganya seperti Karo (1899) dan Tapanuli (1861). RMG menjadikan Simalungun sebagai daerah penginjilan setelah Angkola, Mandailing dan Tapanuli Utara. [3] Masyarakat Simalungun pada awalnya menganut kepercayaan agama suku dan mereka menyebutnya dengan parbegu atau sipajuh begu-begu. Orang Simalungun percaya bahwa setiap makhluk, tumbuh-tumbuhan atau alat tertentu mempunyai kekuatan gaib.[4] Allah yang dipuja orang Simalungun ialah Naibata, semacam tritunggal yang menguasai bumi (nagori) di atas dan di bawah, serta di tengah. Masyarakat Simalungun sudah percaya bahwa di atas segala sesuatunya di dunia ini, hanya Naibata yang maha kuasa atas seluruh makhluk. Naibata akan memberikan ganjaran yang adil dan setimpal bagi manusia sesuai dengan perilaku yang diperbuatnya. Orang Simalungun pada awalnya percaya Sinumbah adalah roh‟ yang diciptakan oleh Naibata bersama dengan manusia dan dikirimkan ke dunia ini, sedangkan Simagod adalah roh‟ yang sudah mati, maka mereka mengadakan upacara ritual khusus dengan memberikan kurban atau menyatakan nazar atau niatnya kepada sembahannya itu. Bila roh itu menepatinya, maka ia harus menepati janjinya atau nazarnya dengan upacara khusus yang disebut Manganjab Simagod atau Sinumbah. Tradisi Manganjab Simagod ni Panakboru Anggaranim boru Damanik di kolam renang Pamatang di Siantar masih dilakukan pada masa pemerintahan Belanda (1907-1908).[5]

2.3.Masa Hindia Belanda

a.      Pertumbuhan

      Di antara tahun-tahun 1888-1909 berlangsung penertiban wilayah simalungun seiring dengan penaklukan raja-raja simalungun oleh kolonial Belanda. Wilayah simalungun yang pertama dikuasai Belanda ialah Pemantang Siantar pada tahun 1888. Langkah selanjutnya (1891-1905) merupakan gerakan konsolidasi untuk menertibkan daerah jajahan demi kepentingan ekonomi dan politik Belanda di Simalungun. Struktur kemasyarakatan Simalungun yang selanjutnya untuk memperkokoh kekuasaan Belanda di Simalungun dipaksa untuk menerima perjanjian “Korte Verklaring” atau perjanjian pendek pada tahun 1907. Perjanjian itu memuat pernyataan bahwa seluruh wilayah simalungun berada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda, dimana para raja Simalungun tidak diperkenankan mengadakan kontak atau hubungan politik dengan kekuasaan asing serta berjanji untuk taat melaksanakan peraturan dan perintah dari gubernemen.[6]

      Pengkristenan suku Simalungun dalam rangka penginjilan diterima para zendeling Eropa (RMG) yang bekerja di Tapanuli melalui laporan Pdt. H. Guillaume yang sejak tahun 1899-1904 bekerja di Bukum-Tanah Karo. Apabila Guilalume mengikuti rapat pendeta RMG di Tapanuli sekali setahun, beliau sering melintasi sebagian daerah Simalungun Barat dan kadang kala singgah serta bergaul dengan penduduk setempat. Beliau juga mengadakan pembicaraan dengan para pembesar Simalungun seperti tuan Nagasaribu dan tuan Kinalang. Dari situlah Guillaume mengenal keberadaan suku Simalungun dan itu mendorongnya melaporkan tentang suku ini. Dalam laporannya dia meminta kepada badan zending RMG agar segera memberitakan Injil kepada suku Simalungun.[7] Informasi yang diberikan Guillaume tentang Simalungun dan diperkuat oleh pemberitahuan G.K. Simon tentang masuknya Islam di Simalungun tampaknya memberikan pengaruh besar bagi lahirnya keputusan Konferensi Batakmission 1903 di Laguboti untuk memulai pekerjaan zending di Simalungun.[8]

b.      Perkembangan

      Pada tahun 1903 RMG telah memulai kegiatannya di kalangan kaum Batak Simalungun. Permulaanya ialah didirikannya pos pekabaran Injil di Pematang Raya oleh A. Theis. Pada tahun 1904, G.K. simon mendirikan pos Pekabaran Injil di Bandar dan segera pula mulai menerjemahkan karangan-karangan Kristen serta buku-buku sekolah ke dalam Bahasa Batak Simalungun, sebab Bahasa Batak Toba kurang dipahami oleh orang-orang Batak Simalungun.[9] Untuk itu diputuskan agar dilakukan peninjauan ke daerah Simalungun. Demikianlah pada awal tahun 1903. Pdt. G.K. Simon beserta beberapa evangelist Kristen Batak Toba melakukan peninjauan ke Simalungun dengan mengambil lokasi di Pematang Raya sekitarnya. Kehadiran mereka disambut penduduk dengan sikap tidak bersahabat. Namun demikian peninjauan dan perjumpaan ini cukup memberi gambaran bagi G.K. Simon tentang pentingnya pemberitaan injil bagi suku simalungun. Hal itu nampak dalam laporan beliau kepada RMG. Dalam laporannya dia mengatakan “Hendaklah selekas mungin diberitakan Injil Tuhan kepada orang Simalungun karena dari sebelah Timur agama Islam sudah mendesak. Dari sebelah Bandar telah menyebar ke Siantar, dan raja Siantar sendiri telah memeluk agama Islam”. Sebab itu pada tanggal 3-8 Februari 1903 akan dibicarakan pada rapat pemberita injil RMG.[10] Pada tanggal 16 Maret 1903 I.L. Nommensen menerima telegram dari inspektur RMG di Barmen yang berbunyi “Tole, den Timorlanden das Evangelium” yang artinya “Berangkatlah. Beritakanlah Injil ke Tanah Timur” (Simalungun sering disebut Tanah Timur). Dengan diterimanya telegram tersebut segera dipersiapkan pangkalan pekabaran injil bagi suku Simalungun. Pdt. G.K. Simon kembali diberi tugas didampingi Pdt. Meisel. Pada tanggal 3 juni 1903 mereka berangkat ke Tigaras sebab daerah itulah yang akan dijadikan pangkalan yang dimaksud. Atas dasar pertimbangan tersebut maka pematang Raya ditetapkan sebagai pos pekabaran injil. Pos PI ini dibuka tahun 1903 dengan menempatkan Pdt. August Theis sebagai tenaga zendeling RMG di Simalungun. Sekali pun demikian pengkristenan bagi suku Simalungun di daerah yang telah dipengaruhi Islam tetap menjadi perhatian RMG. Demikianlah yang telah dipengaruhi Islam tetap menjadi perhatian RMG. Demikianlah pada tahun 1904 Pos PI dibuka di Bandar dengan menempatkan Pdt. G.K. Simon beserta dua orang pendeta Batak Toba. Namun mengingat jumlah suku Simalungun di wilayah Simalungun atas masih banyak yang perlu dimenangkan ke dalam Injil Kristus, maka pada tahun 1905 pos PI yang baru dibuka di Purbasaribu dan sebagai tenaga zendelingnya adalah Pdt. H. Guillamue. Dengan demikian Ada tiga pos PI yang dibuka RMG mengawali tugas pemberitaan injil di Simalungun. Langkah awal ini menunjukkan perhatian yang cukup serius dari pihak RMG demi perluasan kekristenan di Simalungun.[11]

      Seperti yang telah disebut sebelumnya bahwa pos pekabaran Injil di buka pada tahun 1904 di Bandar Utusan RMG yang melayani di sana ialah Pdt. G.K. Simon dibantu dua orang pendeta Batak Toba yakni Pdt. Jonas Siregar ( bertugas di Dolok Batunanggar) dan Pdt. Martin Nainggolan (bertugas di Hadiran). Selain kedua pendeta tersebut, turut serta beberapa pemuda Kristen Batak Toba yang kalah ujian masuk ke Seminari Sipoholon membantu mereka", Berbeda dengan daerah penginjilan Pematang Raya, maka daerah Bandar sejak tahun 1850 sudah mengalami pengaruh agama Islam . Salah seorang penganjur agama Islam dari suku Simalungun di Bandar ialah Datuk Sahilan Saragih". Untuk membendung percepatan pengaruh agama Islam, G.K. Simon segera mengambil langkah-langkah yang dirasa perlu untuk itu. Di antaranya menambah tenaga penginjil suka rela. Mereka ini umumnya terdiri dari pemuda-pemuda Kristen Batak Toba yang sebelumnya telah bermukim di Bandar Maratur, suatu desa yang jaraknya 5 km dari Bandar, Mereka memperoleh Kursus Agama Kristen selama tiga bulan. Selain itu juga diajarkan pemakaian balasa Simalungun agar mampu memberitakan Injil dalam bahasa tersebut. Untuk melengkapi pelayanannya. G.K. Simon berusah menerjemahkan buku-buku Kristen ke dalam bahasa Simalungun seperti Katekhismus Luther, beberapa cerita Alkitab dan buku pelajaran membaca dan menulis. Namun sampai tahun 1906 belum ada dari orang Simalungun yang dibaptis ke dalam agama Kristen, sementara pada tahun yang sama G.K. Simon meninggalkan Indonesia karena mendadak sakit sehingga terpaksa harus pulang ke Jerman untuk berobat. Setelah Pdt. G.K. Simon kembali ke Jerman maka tugas pekabaran Injil di Bandar dilanjutkan Pdt. Ed. Muller. Namun pada tahun 1907 terjadi perubahan di mana kegiatan ekonomi dan politik Belanda yang selama ini dipusatkan di Bandar kini dipindahkan ke Pematang Siantar. Perpindahan ini sekaligus menjadikan Pematang Siantar sebagai kota yang berkembang dan maju sejak tahun 1907. Di Pematang Siantar, ternyata Ed. Muller bertemu dengan sejumlah besar kaum Kristen Batak Toba yang memulai hidup baru di kota itu. Ed. Muller kini berhadapan dengan tugas yang berat. Di satu pihak perlu mengabarkan Injil bagi suku Simalungun baik di Bandar maupun di Pematang Siantar, semantara di pihak lain perlu menghimpun dan membina kaum Kristen Batak Toba di Pematang Siantar. Dalam prakteknya, meskipun penginjilan terus diupayakan terhadap suku Simalungun akan tetapi penginjilan itu terkesan lamban dan kurang serius. Ed. Muller cenderung mencurahkan waktu dan tenaganya membina kaum Kristen Batak Toba. Demikianlah pada tahun 1907 telah terbentuk satu jemaat tersendiri bagi kaum Kristen Batak Toba di Pematang Siantar.[12]

      Pada tahun 1905 pos pekabara Injil dibuka di Purbasaribu. Utusan RMG yang melayani di sana ialah Pdt. H. Guillaume dan dibantu oleh Gr. Andreas Simangunsong. Sebagaimana biasanya metode penginjilan RMG, maka sekolah zending segera didirikan pada tanggal 10 Juni 1905 di Purbasaribu. Seperti daerah Simalungun lainnya, situasi sosial-politis dan budaya di Purbasaribu kurang mendukung bagi gerakan pengkristenan di daerah itu. Penduduknya. sangat terikat kepada raja, adat istiadat dan agama leluhur. Raja dilihat sebagai simbol kekuatan, kesaktian dan kekuasaan yang dapat memberi keamanan kepada rakyatnya. Namun H. Guillaume tetap bersemangat memberitakan Injil. Dengan ciri khas suaranya yang keras beliau berkhotbah tentang kebenaran Injil Kristus. Dengan rajin beliau mengunjungi satu kampung ke kampung lain dan memanfaatkan "hari pekan atau onan" di Haranggaol untuk memberitakan Injil kepada sejumlah orang yang datang pada hari pekan tersebut. Lonceng gereja (Simalungun: "giring-giring") yang beliau pesan dari Jerman memainkan peranan penting dalam pelayanannya. Terhadap penguasa daerah, Guillaume senantiasa membina hubungan yang baik khususnya dengan raja Purba (Rahalim Purba). Hubungan yang baik ini bahkan ditandai dengan kesediaan raja Purba menyerahkan anaknya yang berumur sepuluh tahun, yakni Mogang Purba, untuk dididik Guillaume.[13]

c. Pergumulan

      Pada tahun-tahun pertama kegiatan Lembaga zendeling RMG di Pematang Raya, para penduduknya menganut agama kafir (sering disebut Sipelebegu) Pdt. August Theis (utusan Lembaga PI RMG) tiba di Pematang Raya pada hari rabu, 2 September 1903. Secara lambat laun beliau memusatkan pelayananya di tengah-tengah suku Simalungun. August Theis memiliki keyakinan dan pengharapan bahwa suatu saat nanti suku Simalungun akan dimenangkan oleh Injil Kristus. Hal itu terutama didasarkan pada firman Tuhan dalam “Yohannes 4:35), yang merupakan ayat harian gereja waktu itu. Dalam melaksanakan tugas pemberitaan injil. August Theis senantiasa membina hubungan yang baik dengan penduduk setempat dan pembesar kerajaan Simalungun. Beliau tidak serta merta mengutuki “agama asli” yang dianut penduduk meskipun secara langsung dia melihat praktek kekafiran yang terjadi di tengah-tengah mereka. Perhatian dan minat orang Simalungun untuk memeluk agama Kristen. Kepatuhan kepada raja, kepercayaan kepada agama asli serta system adat yang dimeliki dirasa masih mampu memberi kebahagiaan dalam hidup mereka. Mereka belum melihat kekristenan sebagai pilihan terbaik dari apa yang sekarang mereka miliki. Meskipun zending menawarkan berbagai manfaat seperti pembukaan sekolah, pemberian obat-obatan dan mendamaikan orang-orang yang bertikaim tetapi semua itu belum mendorong mereka untuk memeluk agama Kristen. Hal yang sama juga terjadi di antara para raja dan pembesar Simalungun. Mereka tidak melihat adanya keuntungan politis yang ditawarkan kekristenan bagi kerajaan mereka seperti yang diberi pihak kolonial Belanda. Di samping itu mereka tidak bersedia meninggalkan kebiasaan yang sudah berlangsung lama seperti poligami dan memiliki budak.

      Namun demikian yang membawa keuntungan bagi August Theis ialah sikap raha Raya (tuan Sumanjan Saragih) yang memberi dukungan bagi kegiatan Pendidikan sekolah. Dukungan itu ditandai dengan pemberian tanah tempat didirikannya Gedung sekolah. Bagi zendeling sendiri, sekolah dipandang sebagai alat untuk menarik penduduk pribumi memeluk agama Kristen. Meskipun lewat jalur ini rupanya tidak segera mempercepat orang Simalungun menjadi Kristen, akan tetapi secara lamban laut beberapa orang Simalungun akhirnya berhasil dibaptis menjadi Kristen. Demikianlah pada tahun 1909 setelah enam tahun August Theis memberitakan injil (1903-1909) berhasil membaptis 24 orang penduduk pribumi simalungun yang sebagian besar terdiri dari anak-anak.[14]

      Simon meninggalkan Sumatera pada tahun 1906, kegiatan penerjemahannya yang sangat penting bagi penyebaran agama Kristen di kalangan kaum Kristen Batak Simalungun itu terbengkalai saja. H. Guillaume yang pada tahun 1905 mendirikan pos p.I. di Pematangpurba, tidak menyadari betapa pentingnya bahasa Batak Simalungun itu untuk pe- nyebaran agama Kristen. Penggantinya, Ed. Müller, yang pada tahun 1907 memindahkan pos p.I. dari Bandar ke Pematangsiantar, ada mengusahakan pencetakan beberapa judul buku sekolah, dia tidak mengembangkan kebijaksanaan berencana berkenaan de- ngan penggunaan bahasa Batak Simalungun dalam lingkungan jema- at dan sekolah. Dia lebih banyak menaruh minat kepada orang Kris- ten Batak Toba yang merantau dari Tapanuli, sehingga pos p.I. itu dalam waktu singkat menjadi jemaat Batak Toba[15]

2.4.Masa Gerakan Nasionalisme di Indonesia

a.      Pertumbuhan

     Usaha dan strategi yang diterapkan para zendeling RMG/Batakmission untuk membawa orang simalungun kepada kekristenan, seraya memerhatikan kaitannya dengan kebudayaan (agama/adat-istiadat) orang Simalungun. Nama-nama zendeling seperti Henri Guillaume, G.K. Simon, Meisel, August Theis, Edward Muller, dan Carl Gabriel cukup menonjol pada periode perintisan ini.[16] Sejak tahun 1910 menandai pertambahan penduduk di simalungun, khususnya di Pematang Siantar, Bandar dan Tanah Jawa yang terdiri dari kuli kontrak dari Jawa dan Cina. Diutamakan ekonomi perkebunan oleh kolonialis Belanda pasca Korte Verklaring menjadi penggerak utama perubahan di Simalungun, khususnya di Simalungun bawah. Masuknya orang jawa ke daerah simalungun dipicu tingginya harga komoditas karet pada tahun 1911-1912 dan berlanjut terus secara bertahap sampai tahun 1920. Pada tahun 1936 buruh Jawa yang datang sebanyak 80.000 jiwa di simalungun.[17] Sejak tahun 1927, penginjilan Methodist kelompok I, yang berkonsentrasi untuk wilayah Jawa dan sekitarnya dipindahkan ke wilayah Sumatera Utara. Pemberhentian penginjilan di wilayah Jawa itu sendiri berlangsung hingga waktu yang cukup lama yaitu hingga tahun 1964.[18]

b.      Perkembangan

     Pada tahun 1908, yakni pada Minggu Advent ke-empat, raja Purba mengadakan upacara kehormatan terhadap dewa-dewa yang disembahnya sebagai acara perpisahan karena raja akan memeluk agama Kristen. Pada perayaan Natal tanggal 24 Desember 1908 beliau mengutarakan isi hatinya kepada Pdt. H. Guillaume: "Saya telah melakukan pesta perpisahan terhadap dewa-dewa kami sebagai persyaratan meninggalkan agama suku, sebab saya dan seluruh keluarga saya akan memeluk agama Kristen" . Namun ternyata raja Purba tidak menepati janjinya hingga Guillaume berangkat ke Eropa pada awal tahun 1909 untuk menjalani cutinya. Dalam melaksanakan tugas penginjilan, Pdt. H. Guillaume kerap kali memberi sesuatu kepada penduduk seperti obat-obatan, makanan dan pakaian. Cara ini dilakukan untuk memberi kesan kepada penduduk bahwa kehadirannya membawa kebaikan, kemajuan dan agama yang benar. Namun cara seperti itu tidak segera mendorong penduduk memeluk agama Kristen. Mereka mau datang ke gereja apabila dilakukan makan bersama. Semua ini mengakibatkan pengkristenan terkesan lamban menghasilkan buahnya. Hingga Guillaume cuti pada awal tahun 1909, belum ada satu orang pun penduduk pribumi yang dibaptis. Selama Guillaume menjalani cuti (1909-1911), tugas pekabaran Injil dilanjutkan Pdt. C. Gabriel. Apa yang telah dirintis Guillaume kini dipetik buahnya oleh C. Gabriel, yakni dengan dibaptisnya seorang penduduk pribumi pada tanggal 19 September 1909 di Purbasaribu. [19]

     Dan serbukti dengan adanya baptisan yang pertama di Rava pada tanggal 24 Desember 1909 terdiri atas 24 murid sekolah. Tidak berlebihan kalau katakan lewat sekolah gang banyak orang Simalungun yang selanjutnya menjadi Kosten. August Theis berbeda sedikit dengan Guillaume sudah memikirkan perlunya kaum perempuan mendapat pelayanan pendidikan. Di Pamatang Raya, Theis mengadakan "la ges" yang khusus mengajarkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan kepada kaum perempuan. Murid-murid perempuan di "laborgs"yang jumlahnya 30 orang dididik oleh isteri Theis dalam keterampilan jahit menjahit yang sangat berguna di rumah tangganya masing-masing. Di Raya Tongah, Theis bersama dengan Guru Jason Saragih membuka sekolah puteri. Theis tidak henti-hentinya mengajar orang Simalungun melalui sekolah, bukan hanya di Raya tetapi hampir ke seluruh Simalungun Hulu bahkan ke daerah Serdang yang penduduknya kebanyakan terdiri dari orang Simalungun yang belum Kristen,  Di Pamatang Raya (pos awal penginjilan yang ditetapkan RMG), gendeling Theis bersama guru guru dari suku bangsa Batak Toba memulai sekolah gending di tempat sementara (mab besar Raya, istana raja) pada 1 Januari 1904 dengan jumlah murid 7 orang. Kemudian di Hitei Urat, Raya Panribuan, Gunung Mariah. Selanjutnya berkembang ke luar daerah Pamatang Raya, seperti Dologsaribu (1 September 1909), Raya Usang (2 September 1905), Bulu Raya (7 Mei 1906), Raya Tongah (5 Oktober 1908), Sinondang (1 Februari 1907), Karahan (4 Januari 1909), Jandi Mauli (1 Desember 1909), Dalig Raya (1 Desember 1910), Pansur Na Pitu/Bah Bulawan (1916), Huta Bayu Raya (1 November 1913) dan Merek Raya (16 Juli 1928). Seluruh usaha Theis ini sangat terbukti menarik minat banyak orang Simalungun, bukan saja kaum laki-laki tetapi juga kaum perempuan mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah dan tidak sedikit di antaranya yang kemudian meminta untuk dibaptis. Setelah bekerja di Raya selama 18 tahun, maka pada 4 April 1921 Theis beserta dengan keluarganya cuti ke Jerman dan tidak kembali lagi ke Simalungun. Peranan Theis dan pendeta-pendeta Jerman maupun Batak Toba dalam pengkristenan yang orang Simalungun kemudian diambil alih oleh orang Simalungun[20]

     Kemudian pada tahun 1914 dua orang lagi dibaptis yakni Luther Purba dan Gideon Purba. Ini merupakan pengkristenan yang lamban sekali, sebab setelah sembilan tahun penginjilan di Purbasaribu (1905-1914) ternyata hanya tiga orang yang berhasil dibaptis. Kelambanan ini tidak terlepas dari sikap para zendeling sendiri yang menggunakan bahasa Batak Toba dalam tugas pelayanannya di tengah-tengah suku Simalungun. Selanjutnya dapat disebut, berhubung karena Seribudolok merupakan pusat kegiatan ekonomi dan politik Belanda ketika itu pihak RMG kemudian berikhtiar untuk memindahkan pos PI dari Purbasaribu ke Seribudolok. RMG melihat potensi yang lebih besar di Seribudolok untuk mempercepat pengkristenan terhadap orang Simalungun. Demikianlah pada tahun 1912 pos PI yang baru dibuka di Seribudolok. Perpindahan ini ternyata merupakan titik permulaan perluasan misi RMG di Simalungun Atas, sebab Seribudolok dijadikan pangkalan PI untuk daerah-daerah lain seperti Nagasaribu, Pematang Purba, Purba Tongah, Sihalpe, Tiga Langgiung dan Huta Raja. Dalam bilangan sampai tahun 1928. jumlah orang Simalungun yang telah dibaptis tercatat 415 orang yang tersebar di 17 desa penginjilan.[21]

 Selanjutnya untuk mempercepat pengkristenan, Ed. Muller mengambil ikhtiar dengan cara memulai dari golongan atas. Anak raja Sang Nawaluh, yakni Waldemar Damanik, setelah menyelesaikan pendidikannya di Purbasaribu tahun 1912, segera diberangkatkan melanjutkan studi ke Seminari Sipoholon. Namun setelah Waldemar Damanik menyelesaikan pendidikannya tahun 1916, pihak kolonial Belanda segera mengangkat beliau menjadi raja Siantar menggantikan ayahnya yang dibuang Belanda ke Bengkalis. Dengan demikian kandaslah harapan Ed. Muller untuk mempercepat pengkristenan bagi suku Simalungun. Meskipun raja Waldemar Damanik beragama Kristen namun pada masa kekuasaannya beliau tidak sempat mempengaruhi kehidupan Gerejawi di Pematang Siantar. Sementara itu di daerah Pematang Raya kekristenan semakin berkembang, bahkan telah ada yang melanjut sekolah ke Narumonda dan Depok. Jumlah gedung sekolah yang didirikan semakin bertambah. Keadaan inilah yang menjadi penyebab utama sehingga Pematang Raya pada gilirannya menjadi pusat gerakan kemandirian kaum Kristen Simalungun.

     Sejak pertengahan tahun 1928 orang Kristen Simalungun mengambil langkah pembenahan yang mendasar, termasuk memobilisasi jemaat untuk pekerjaan pemberitaan Injil. Kehadiran J.Wismar Saragih yang di damping Jaudin Saragih, Jason Saragih dan Kerpanius Purba Semakin menunjukkan kesungguhan upaya pembenahan. Kegiatan yang mencolok adalah didirikannya suatu organisasi yang disbeut “Komite Na Ra Marpodah” (Perkumpulan yang mau memberi nasehat) pada 1928 di Pematang Raya. Disinilah pemuka Kristen Simalungun menemukan tempat bagi penggalakan dan penyeberluasan literature berbahasa Simlaungun.[22] Langkah penting lain yang diambil komite ini adalah penerbitan majalah Sinalsal sejak 1 April 1931.[23] Di Simalungun sendiri Agama Katolik baru datang pada bulan Juli di tahun 1931 yang di bawa oleh pastor Aurelius Kenkers. Pastor Kenkers awalnya ditempatkan di Tanjung Balai dan kemudian dipindahkan di Medan lalu ke Pematang Siantar. Menurut Joosten (2008:126) “Boleh dikatakan, Pastor Aurelius inilah pendiri gereja Katolik Pematang Siantar. Dia mempermandikan orang-orang yang pertama masuk menjadi Katolik dan dia mengangkat katekis yang pertama yaitu: Kenan Hutabarat.Stasi atau Gereja pertama yang didirikan di Siantar adalah Gereja di Laras daerah perkebunan dekat kota Pematang Siantar pada tahun 1931. Menurut penuturan Bapak Simon Saragih dalam wawancara pada tanggal 10 Juni 2016 pastor Aurelius hanya berkarya di Siantar saja dikarenakan kurangnya tenaga Misionaris pada saat itu dan Aurelius beranggapan di Simalungun Atas sepi penduduk dan dia lebih berkonsentrsi di PematangSiantar. Bapak SimonSaragih juga mengatakan Pastor Aurelius akhirnya meminta satu misonaris lagi untuk menyebarkan ajaran Katolik di Simalungun atas dan permintaan itu akhirnya dikabulkan dengan mengirimkan Pastor Elpidius van Duijhoven. Pastor Elpidius sendiri sangat berminat menjadi Misionaris dan ke pedalaman dan Simalungun Atas menjadi tempat yang cocok untuk Pastor Elpidus van Duijhiven menjadi tempat berkarya.[24]

     Sejak terbentuknya badan pengurus sinode HKBP pada tahun 1929, telah dipilih siapa mewakili setiap distrik dalam kepengurusan badan tersebut yang seklaigus juga mewakili etnis di distrik tersebut. Akan halnya etnis Simalungun, sampai tahun 1933 belum ada dari mereka yang menjadi anggota pengurs sinode HKBP. J. Wismar Saragih telah menjadi pendeta sejak tahun 1929 merasa perlu mempertahankan kepentingan etnis Simalungun dalam lingkungan Gereja HKBP sama seperti suku Batak lainnya. Berdasarkan kenyataan di atas, dalam sinode distrik "Simelungun Pesisir Timur" tahun 1933, wakil dari jemaat Pematang Raya dan Seribudolok mengajukan keinginan tentang perlunya mengangkat seorang dari distrik "Simalungun Pesisir Timur" untuk duduk dalam kepengurusan badan sinode HKBP demi terpeliharanya kepentingan etnis Simalungun di lingkungan gereja HKBP Mereka mengatakan, "Dalam badan pengurus sinode HKBP yang baru haruslah ada seorang dari suku Simalungun yang duduk di sana seperti yang terjadi pada Gereja Angkola yang mengutus wakilnya pada badan sinode HKBP. Kita sendiri melihat bahwa kepentingan orang Kristen Batak Toba yang merantau ke Simalungun telah diwakili oleh distrik Silindung, Humbang dan Toba. Maka dari itu kita juga menuntut agar ada yang memahami dan membela kepentingan suku kita. Jadi kami meminta, haruslah ada dari kaum Kristen Simalungun yang duduk dalam pengurus sinode HKBP. Calon untuk itu haruslah dicalonkan oleh Praeses (Pimpinan Distrik) tetapi dipilih oleh sinode distrik". [25] Dalam bilangan pada tahun 1931 orang Kristen Batak Simalungun tidak seberapa banyak, diantara 120.000 orang Batak Simalungun hanya terdapat kira-kira 3.000 orang Kristen, sedangkan jumlah orang Kristen  perantau Batak Toba berjumlah 26.000. Pada tahun 1935 di Raya teradapat 2.150 orang Kristen, sedangkan lima daerah lainnya hanya terapat 56 dan 846 orang Kristen. [26] Pada tahun 1935, J. Wismar Saragih berhasil menyusun kamus kecil bahasa Simlaungun, Partikkian Bahasa Simalungun, yang sebagian besar penjelasannya menggunakan bahasa Melayu. Pada 1936, komite ini menerbitkan karya J. Wismar tersebut. [27]

     Proses kebangkitan nasionalisme kedaerahan dan sukuan yang digerakkan orang Simalungun melalui "Komite Na Ra Marpodah" berarti juga perlawanan terhadap usaha keras Batakmission yang selama ini berlangsung di Simalungun. Hal yang pasti adalah hampir setiap zendeling dan tenaga pribumi dari Tapanuli dipandang orang Simalungun dengan rasa curiga. Apa jadinya jika usaha penginjilan zending Barmen disambut dengan rasa curiga. Namun demikian, kita boleh bersyukur sebab tujuan utama gerakan ini adalah untuk kemajuan pemberitaan Injil dan pendidikan di Simalungun. Namun, kehendak mereka yang memaksa- kan pengunaaan bahasa Simalungun di seluruh jemaat di Tanah Simalungun sulit dimengerti. Akhirnya, Batakmission perlahan-lahan dapat memaklumi cita-cita komite ini sebagai bagian dari usaha mempercepat laju ke- kristenan di Simalungun. Pada perayaan ulang tahun komite ini ke-10 (1938), E. Verwiebe (Ephorus HKBP) dapat berkata: "Saya menyambut gembira usaha orang Simalungun yang memerhatikan dan melestari- kan budaya mereka agar tidak hilang. Oleh karena itu, saya berharap semoga kehadiran sejumlah buku rohani berbahasa Simalungun sungguh-sungguh dapat menjadi sarana untuk meningkatkan pengenalan orang Simalungun akan Injil Kristus yang adalah kekuatan Allah untuk menyelamatkan semua bangsa di dunia. [28] Selanjutnya di daerah Tanah Jawa, Simalungun ada gereja Huria Kristen Indonesia berkedudukan dan berkantor pusat di Jalan Marihat 109-111, Pematang Siantar. HKI adalah gereja-pisahan (Schisma) dari gereja pisahan (schisma) yaitu anak Huria Christen Batak (H.C.B) yang memisahkan dari RMG selaku Pimpinan HKBP pada tanggal 1 April 1927 dan mulai berdiri sendiri pada tanggal 1 Mei 1927. Kesatuan HKI dipulihkan dan pimpinan HKI yang berkantor Pusat di Pematang Siantar diakui oleh semua jemaat. Adapun HKI di daerah Wilayah Simalungun yaitu, Pematang Siantar, Tanah Jawa Hulu, Tanah Jawa Hilir, Tiga Dolok, Parapat Samosir, Perdangangan.[29]

c.       Pergumulan

     Sikap superioritas para zendeling RMG di Simalungun. Dapat dikemukakan bahwa selain faktor sosial politis dan budaya. faktor penghambat lainnya dalam gerakan kekristenan di Simalungun ialah faktor bahasa. Para zendeling terkesan mengabaikan kekayaan budaya Simalungun khususnya bahasa Simalungun dalam memberitakan Injil di tengah-tengah suku Simalungun sendiri. Mereka berpendapat bahwa bahasa Batak Toba tidak jauh berbeda dari bahasa Batak Simalungun sebab kedua suku ini sama-sama berasal dari Samosir. Pendapat tersebut dapat ditemukan dalam catatan L. Bregenstroht yang menyatakan: "Dengan tegas kini dikemukakan bahwa orang Simalungun hampir-hampir bukan orang Batak sejati. Dalam pada itu kampung asal raja Siantar ada di Ambarita, Samosir, yang disebut Lumban Nabolak. Dan orang Raya berasal dari Simanindo, sehingga pada setiap pesta adat mereka diundang raja Simanindo, demikian sebaliknya. Orang Simalungun cukup mengerti bahasa Toba, namun dewasa ini dengan sengaja setiap penyimpangan bahasa dijadikan bahasa pustaha ". Bregenstroth berpijak pada pandangan bahwa kawasan berbahasa Simalungun akan semakin sempit akibat imigrasi spontan dan Tapanuli Utara. sehingga dapat diramalkan bahwa bahasa Simalungun itu tidak akan dapat bertahan lama sebagai bahasa pergaulan.[30]

     Pihak Zending RMG menunjukkan sikap kurang simpatik terhadap usaha-usaha “Komite Na Ra Marpodah” yang diprakarsai oleh J. Wismar Saragih. Sikap kurang simpatik itu tampak ketika RMG berusaha memisahkan J. Wismar saragih dari tengah-tengah sukunya sendiri yakni dengan cara menempatkan beliau menjadii pendeta evangelist di sebelah Selatan danau Toba dan berkedudukan di Taurutng. J.Wismar Saragih menyadari bahwa penempatannyan di daerah yang tidak berbahasa Simalungun betujuan untuk mencegah kelanjutan pemakaian bahasa Simalungun dan berarti merehabilitir kembali pemakaian bahasa Batak Toba di Simalungun[31]

2.5. Masa Jepang

a.     Pertumbuhan

        Pada tanggal 8 Maret 1942 pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Subang. Inilah akhir periode pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, tetapi sekaligus awal dari pemerintahan baru di bawah pemerintahan militer Jepang. Selanjutnya wilayah Sumatera dan Jawa dikuasai oleh Angkatan Darat (Ryukugun), sedangkan  wilayah Kalimantan dan Indonesia Timur dikuasai Angkatan Laut (Kaikigun). Pada 13 Maret 1942 Angkatan Darat Jepang menguasai kota Medan dan 30 Maret 1942 militer Jepang memasuki wilayah Simalungun yang dimulai dari Pematang Siantar di bawah pimpinan Tanaka, Yokosima dan Kondo. Orang-orang Belanda, baik militer maupun pejabat perkebunan serta sipil ditangkap, ditahan bahkan tidak sedikit yang dibunuh. K. Sidjabat melukiskan peristiwa ini antara lain sebagai berikut: Setelah tentera Jepang memasuki Siantar pada tanggal 30 Maret 1942, mereka segera bergerak ke perkebunan Sidamanik. Pada saat itu saya (melihat betapa takutnya orang Belanda terhadap tentera Jepang. Rumah-rumah dinas perkebunan yang dihuni orang Belanda segera dimasuki. Tanpa basa-basi, tentera Jepang yang tubuhnya lebih pendek dari orang Belanda dengan bringas membentak dan menampar orang Belanda di rumah itu. Saya juga melihat beberapa orang Belanda dengan tubuh gemetar bersembah sujud di hadapan tentera Jepang. Salah seorang tuan besar perkebunan bernama Foostel, yang selama ini berlaku kejam terhadap buruh, dianiaya tentera Jepang hingga tewas. Dalam keadaan yang genting ini, beberapa penduduk desa mengambil kesempatan dengan melakukan aksi penjarahan terhadap harta benda tuan besar perkebunan hingga melakukan pelecehan seksual terhadap istri dan putri tuan besar tersebut. Ternyata bukan hanya kami saja yang takut terhadap kekuatan asing, orang Belanda juga takut terhadap kekuatan tentera Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, semua jabatan pemerintahan yang selama ini dipegang orang Belanda dan orang asing segera beralih ke tangan Jepang. Sementara itu untuk pekerjaan perkebunan, beberapa orang Belanda masih dipertahankan tapi sejumlah besar orang Indonesia kini diangkat sebagai pejabat dan tenaga administrasi di kantor--kantor perkebunan. Di Simalungun sendiri, penguasa militer Jepang rnelakukan beberapa perubahan, baik di bidang administrasi pemerintahan maupun peradilan. Dalam susunan pemerintahan militer Jepang, Simalungun menjadi suatu gun (onderafdeling) di bawah kepemimpinan bunshucho (semacam jabatan asisten residen pada masa kolonial Belanda. Raja-raja Simalungun tetap dikukuhkan kedudukan mereka sebagai penguasa tertinggi bagi rakyatnya. Namun untuk beberapa daerah, penguasa Jepang membatasi kekuasaan mereka. Daerah-daerah yang dianggap potensial menghasilkan beras seperti: Pematang Bandar, Perdagangan dan Tanah Jawa kini ditetapkan sebagai wilayah administrasi Jepang yang dipimpin langsung oleh penguasa Jepang. Di bidang hukum peradilan, sebagaimana berlaku pada masa kolonial Belanda, penguasa Jepang memberi kuasa kepada raja-raja Simalungun untuk mengadili penduduk yang bersalah di wilayahnya. Tetapi pengadilan untuk orang Eropa (seperti Belanda, Jerman) dan bangsa Asia yang bukan orang Indonesia (seperti: Cina dan orang Jepang sendiri), penguasa Jepang menerapkan sistem peradilan tersendiri. Pada awal kehadirannya, penduduk menyambut tentera Jepang dengan gembira dan penuh harapan, apalagi Jepang mempropagandakan dirinya sebagai pembawa kebebasan dan kemakmuran. Namun pada perkembangan berikutnya, masa pendudukan Jepang merupakan masa yang hebat dan penuh penderitaan bagi masyarakat Simalungun. Penduduk dipaksa bekerja rodi untuk membangun benteng, jalan raya, dan jembatan demi kepentingan perang Jepang. Di beberapa tempat di Simalungun, baik orang dewasa maupun murid-murid sekolah, dikerahkan menanam beribu-ribu bambu runcing sebagai taktik perang Jepang untuk menjebak tentera payung musuh yang turun dari pesawat. Jepang berharap, jika musuh turun dari pesawat, dengan sendirinya akan tertancap di ujung bambu yang runcing itu. Tidak sedikit pula perempuan Simalungun dijadikan pemuas nafsu tentera Jepang.Itulah sebabnya kekalahan Jepang dari sekutu disambut gembira oleh masyarakat Simalungun.[32]

b.   Perkembangan

        Perkembangan Jemaat Simalungun di Bawah Pendudukan Jepang Sampai Proklamasi Kemerdekaa Republik Indonesia (1942-1945) Setelah melakukan perang urat syaraf (prywar) dengan selebarar-selebaran propaganda anti kolonialisme Barat yang dijatuhkan Jepang da pesawat-pesawat tempur mereka dapatlah direbut simpati rakyat Indonesia bagi tentara Jepang. Maka pada 13 Maret 1942 Jepang masuk kota Medan melalui Batubara di tepi Selat Malaka. Ke daerah Simalungun. Jepang masuk pada Februari 1942 melalui Tanjung Balai dan Pantai Cermin. Kota Saribudolok diduduki Jepang pada 13 Maret 1942. Selama pendudukan Jepang, penderitaan rakyat semakin berat apalagi dengan dikerahkannya "romusha'” (rakyat kerja paksa) membangu fasilitas, sarana dan prasarana perang. Kebutuhan hidup makin lama makin sulit didapat, karena hampir seluruh harta benda dan hasil bumi rakyat diserahkan atau dirampas oleh Jepang. Karena itu, banyaklah rakyat menderita kelaparan dan kedinginan, Gaji guru-guru sekolah banyak yang ditahan, dan kalaupun harus tetap mengajar, hanyalah karena tuntutan idealisme pendidik yang melekat pada guru-guru sekolah," Di mana-mana Jepang melakukan pengawasan yang ketat, khususnya pada hal-hal yang dianggap berbau Barat atau Belanda. Banyak buku berbahasa Inggris atau Belanda yang disita dan dibakar. Jepang juga melarang aktivitas pekabaran Injil dan pengajaran agama Kristen di sekolah rending. Sekolah-sekolah dan gedung gereja banyak yang disita oleh Jepang dan dijadikan markas, malahan gereja HKBP Pearaja, Balige dan Tarutung pernah dijadikan kandang kuda oleh pasukan Jepang.[33]

        Sebagai langkah awal, pelaksanaan kursus dimulai di Pematang Raya pada tahun 1942, saat di mana Jepang menduduki Indonesia dan imbasnya sudah terasa di Simalungun." Kursus itu dimulai Oktober 1942 dengan jumlah peserta 72 orang di bawah bimbingan pendeta Simalungun: J. Wismar Saragih, Kerpanius Purba dan A. Wilmar Saragih. Meski tidak memperoleh honor dari jemaat, ketiganya bersungguh-sungguh menulis buku pelajaran dan mengajarkannya. Pada tahun pertama, buku pelajaran belum berbentuk terbitan, barulah pada Juni 1943 seluruh buku pelajaran diterbitkan "Komite Na ra Marpodah" dan dicetak di Laguboti. Untuk menanggulangi biaya pencetakannya, selain persembahan dari jemaat-jemaat, juga dari hasil penjualan buku dari peserta kursus. Dalam pelaksanaannya, ternyata tidak seluruh peserta berhasil mengikuti kursus tahap pertama ini. Dari 72 peserta, hanya 57 orang yang lulus ujian dan dinyatakan mampu melakukan penginjilan. Dalam tahun-tahun selanjutnya, perkembangan kursus ini tidak hanya ditentukan oleh kesungguhan dan pengabdian ketiga pendeta Simalungun tersebut di atas, tetapi juga oleh sambutan sebagian besar orang Simalungun Kristen. Beberapa jemaat di luar Pematang Raya seperti Seribudolok, Tigarunggu dan Negeridolok menginginkan kursus serupa diselenggarakan di jemaat mereka, terlebih-lebih masih banyak orang Simalungun yang perlu dikristenkan di lingkungan mereka. Tentu sambutan itu menggembirakan J. Wismar Saragih dan kedua rekannya, sebab hal itu menunjukkan besarnya perhatian anggota jemaat memberitakan Injil, apalagi penganjur Katolik Roma sudah menyebar di beberapa tempat di Simalungun, di samping Islam tentunya." Pada hakekatnya, baik J. Wismar maupun kedua rekannya setuju membuka kursus serupa di setiap jemaat induk di bawah bimbingan pendeta setempat. Tetapi mengingat terbatasnya tenaga pendeta, tidaklah mungkin membuka kursus serupa di setiap jemaat induk dalam waktu dekat. Namun untuk memenuhi hasrat jemaat Negeridolok, seraya menunggu pernambahan tenaga pendeta di Simalungun, kursus serupa dibuka di sana pada tahun 1944.[34]

c.    Pergumulan

        Penderitaan yang dialami Gereja pada saat itu. Karena ketatnya pengawasan yang dilakukan Gunseibu dan Kempeitai terhadap aktivitas Gereja, Kongsi Laita terpaksa menghentikan aktifitasnya sementara. Pekabaran Injil yang selama Kongsi Laita giat digalakkan ke seluruh huta-buta di Simalungun berhenti. " Menyikapi fenomena ini, pendeta-pendeta Simalungun seperti Pdt. J. Wismar Saragih melancarkan metode baru dalam rangka aktivitas gen ding di Simalungun yang tidak boleh berhenti. Mengingat ketatnya penga wasan Gunseibu, oleh Pdt. J. Wismar dibentuklah suatu gerakan pekabaran Injil yang lebih terfokus pada pembekalan kaum awam. Mereka dibekali dengan pengetahuan Alkitab dan dogma kekristenan tentang keselamatan dalam Kristus Yesus dan metode-metode penginjilan yang kontekstual bagi saudara-saudara Simalungunnya. Untuk itu dibentuklah Pargoeroe Saksi Ni Kristoes di Pamatang Raya yang rutin mengadakan kursus dan penelaahan Alkitab kepada seluruh orang Kristen yang berminat menjadi penginjil selama satu tahun. Dan dengan kelihaiannya Pdt. J. Wismar dan tokoh-tokoh Kristen Simalungun berhasil melahirkan dan menggem bleng 1700 orang gerdeling orang Simalungun dari 1943-1952.[35]

2.6.Masa Orde Lama

a.      Pertumbuhan

Sinode Godang HKBP pada 30 Oktober-4 November 1950 di Sipoholon telah memberi status distrik tersendiri untuk Simalungun dengan nama HKBP Simalungun. Dan ini sebenarnya belum memuaskan orang Kristen Simalungun, sebab wilayah kerjanya terbatas. [36] Salah satu perselisihan faham di antara Kantor Pusat HKBP Pearadja-Tarutung dengan Distrik Simalungun mengenai penempatan ketujuh calon pendeta (Simalungun) yang baru lulus dalam Kursus pendeta yang diselenggarakan di Pematang-Raja itu menyebabkan pemisahan organisatoris separuh jemaat Simalungun dari HKBP. Pada tanggal 5 Oktober 1952 Sinode Distrik Simalungun menyatakan diri sebagai Synode HKBP Simalungun dan memilih seorang Wakil- Ephorus dan Sekretaris Jenderal sendiri. [37] Apa yang diputuskan sinode dalam “istimewa”. Distrik simlungun tidak lah mudah diterima HKBP. Dalam sinode godang HKBP tanggal 26-28 November 1952 diseminari oleh sipoholon diputuskan: 1. Segera Kerksbentur HKBP mengadakan pertemuan dengan pengurus harian distrik simalungun. 2. Hal-hal yang berhubungan bantuan dari luar negeri untuk sementara ditunda simalungun. 3. Semua pendeta simalungun masuk ke HKBP. Dari keputusan tersebut dapat dipahami bahwa pihak HKBP sama sekali tidak setuju dengan keputusan yang diambil distrik simalungun.[38] Dalam sinode godang HKBP 1953 diberitakan bahwa HKBP telah menerima HKBP Simalungun sejak januari 1953. Warga jemaat warga simalungun menyikapi dengan rasa gembira peristiwa itu dengan spontantitas dengan memberi dana maupun perlengkapan kantor pusat di simalungun hal ini diungkapkan laporan Pdt. J Wismar pada sinode bolon HKBP Simalungun tanggal 05-06 Desember 1953 di Pematang Siantar.[39]

b.      Perkembangan

      Menyambut momentum yang sangat berharga maka pada 2 september 1953 HKBP Simalungun merayakan Jubelium 50 tahun pekabaran injil di Simalungun di Pematang Raya. Hampir seluruh jemaat di Simalungun mengahadiri Jubelium, khususnya jemaat-jemaat di resort Raya.[40] Dalam kurun waktu 1953-1957, para pengerja Simalungun Kristen masih dapat menikmati hasil perjuangannya memperoleh otonomi secara administratif dalam tubuh HKBP kendati beberapa di antaranya yang mencermati adanya sisi kelemahan dari otonomi ini mulai resah. Bahkan pada Sinode Bolon HKBP Simalungun (selanjutnya: HKBPS) tanggal 26-30 April 1960 di Pematang Siantar, A. Wilmar Saragih (Sekretaris Jenderal HKBPS) masih menekankan perlunya menjaga dan meningkatkan hubungan yang baik antara HKBPS dan HKBP. Tetapi setahun kemudian, tepatnya pada Sinode Bolon HKBPS 11-15 April 1961, di antara materi sinode yang dibicarakan terdapat pokok bahasan perihal peninjauan kembali kedudukan HKBPS dalam HKBP[41]. Dalam laporannya Pdt Willmar mengatakan “keadaan dan perkembangan HBKP Simalungun sampai 1960 memperlihatkan kemajuan yang sangat berarti sekali baik dalam bilangan maupun dalam keuangan. Dalam bilangan, tercatat 23 orang pendeta, 8 evangelist, 14 Bihelbrouw, 49.283 anggota jemaat, 4.219 calon baptis, 150 jemaat, 5 orang pegawai kantor pusat, 36 sekolah rakyat, 7 sekolah lanjutan pertama, I sekolah lanjutan atas dan 1 rumah sakit”[42]          Pada tanggal 30 Maret 1962 beberapa anggota kerksbentur HKBP simalungun mengadakan pertemuan dengan Ephorus HKBP di pearaja untuk menyampaikan keinginan Gereja Simalungun yang berdiri sendiri. Pertemuan ini ternyata memberi langkah maju. Pihak HKBP secara terbuka mau memahami apa yang di cita-citakan kaum Kristen Simalungun. Keputusan yang diambil dari pertemuans itu ialah bahwa keinginan jemaat Simalungun untuk berdiri sendiri akan dibicarakan pada Rapat Majelis Pusat HKBP bulan juni 1962 dan diharapkan dihadiri oleh utusan dari HKBP Simalungun. Dalam sinode bolon HKBP Simalungun 10-14 April 1962 di Pematang Siantar, yakni menjelang dilaksanakan rapat Majelis Pusat HKBP di atas, diskusi-diskusi berkenan dengan kemandirian itu kembali menjadi topic yang hangat diperbincangkan para peserta sinode. Walaupun pihak HKBP sudah mulai terbuka terhadap keinginan kemandirian tersebut, namun sebagian peserta Sinode Bolon memerlukan kepastian keterbukaan HKBP itu.[43] Sinode bolon HKBP Simalungun memutuskan memberi wewenang kembali pada Kerksbentur HKBP Simalungun agar mempertimbangkan dan melakukan persiapan yang mantap agar HKBP Simalungun dapat mandiri tahun 1962. Untuk itu segera dikirim surat kepada Ephorus HKBP Justin Sihombing berkenan dengan aspirasi orang Kristen Simalungun ini. Sebagaimana disepakati kedua belak pihak, tanggal peresmian HKBPS menjadi GKPS akan diadakan bertepatan dengan tanggal permulaan pekabaran injil di Simalungun, 2 September. Namun, berhubung 1 September 1963 jatuh pada hari minggu, disepakati untuk melaksanakan hari bersejarah itu pada kebaktian Minggu di HKBPS, Jln. Sudirman PematangSiantar. Didahului pembacaan sejarah ringkas HKBPS oleh Pdt. J. Wismar Saragih dan dilanjutkan dengan pidato penerimaan “panjaeon” dari pihak HKBPS yang dibacakan Pdt. Jenus Purba Siboro. Terhadap warga GKPS, Ephorus Pdt. Jenus Purba Siboro mengimbau agar meneruskan pekerjaan perluasaan Kerajaan Allah di Simalungun, karena pekerjaan itu merupakan tanggung jawab seluruh orang Kristen Simalungun. Untuk hal di atas, ada sejumlah wilayah yang dianggap mendesak untuk pekabaran injil, misalnya di wilayah serdang, dari perhitungan Pematang Purba diperkirakan 5,160 orang Simalungun di Sedang Hulu, sebanyak 5000 masih menganut kepercayaan lama 70%, sedangkan penganut Islam sekitar 80 orang/15 % dan sisanya menganut agama Kristen sebanyak 80 orang/ 18%.[44]

      Dengan demikian pada tahun 1964 itu, yang a.l. melarang pembentukan organisas atau lembaga yang bertentangan dengan Peraturan HKBP begitu juga bubarnya Panitya Kerdja Chusus (PKC) Sinode Godang HKBP 1964 dan Dewan Koordinasi Patotahon HKBP, tidak menyurutkan gerakan yang sudah semakin marak dan berkobar di sejumah warga dan pelayan HKBP. Mereka tidak bersedia lagi berada di bawah kepemimpinan Pucuk Pimpinan HKBP. Pada tanggal 15 Agustus 1964, sementara rapat PKC yang kisruh itu berlangsung di Medan, sejumlah warga dan pelayan yang sudah menyatakan diri memisahkan diri dari HKBP berhimpun di Pematangsiantar dan sepakat untuk membentuk organisasi gereja yang baru, tanpa sempat berkomunikasi dengan mereka yang ada di Medan. Namun nama gereja yang baru itu belum disepakati; ada yang mengusulkan Gereja Kristen Nommensen, Gereja Kristen Lutheri, dsb. Keesokan harinya, Minggu 16 Agustus 1964, para pendukung pembentukan gereja yang baru itu datang dari berbagai penjuru (a.l. dari Medan, Kisaran dan Tanah Jawa-Simalungun) dan berkumpul bersama teman-teman seperjuangan di Pematang Siantar. Pada hari minggu 23 Agustus diadakanlah kebaktian pertama yang menggunakan nama gereja yang baru ini, dengan meminjam tempat di Gereja Bala Keselamatan, Jalan Merdeka Pematang Siantar, dipimpin oleh calon pendeta Basatua Parsaulian Siregar S.Th. Pada hari minggu 30 Agustus 1964 diadakan kebaktian GKPI yang kedua, di perkarangan rumah dr. Luhut Lumbantobing, Jl. Simarito no 6 Pematangsiantar (a.l. karena pihak Bala Keselamatan tidak mengizinkan lagi menggunakan Gedung gereja di Jl. Merdeka), juga dipimpin oleh B.P. Siregar. Pada kebaktian ini hadir juga beberapa Pendeta dan calon Pendeta yang kemudian menjadi Pendeta GKPI, yaitu: Pdt. Dr Andar L. Tobing, Pdt. L. Tambunan, O. Siahaan S.Th. Bakkara S. Th dan G.O.P Manurung. Tanggal pembentukan pengurus sementara ini (30 Agustus 1964) kemudian disepakati sebagai tangal lahir GKPI. Sedangkan pesta peresmian berdirinya GKPI baru dilangsungkan pada hari minggu 1 November 1964, juga bertempat di jalan Simarito No 6 Pematangsiantar, dipimpin Pdt. Dr. Andar L. Tobing, dan dihadiri ribuan warga masyakarat Kristen dari berbagai penjuru Sumatra Utara.[45]

c.       Pergumulan

       Pdt. A. Wilmar Saragih juga melaporkan beberapa hambatan yang dialami HKBP Simalungun Beliau melaporkan: "Sejak tahun 1959- 1960 kita merasakan kemelut sebab masalah sosial yang terjadi Sumatera Utara yang memberi dampak terhadap kehidupan Gereja kita dan masyarakat Simalungun. Peristiwa yang paling memperihatinkan terjadi di jemaat Sibuntuon Resort Panei Huluan di mana Pdt. Williamer Saragih, St. Jamintua dan mantri Lerman Purba mati terbunuh pada bulan Agustus 1959. Kita tidak tahu kapan keamanan dapat pulih kembali di Sibuntuon. Penduduk di sana masih hidup dalam ketakutan. Demikian juga di Sidamnik dan Tigabolon. Banvak anggota jemaat pergi mengungsi sehingga sering hali ibadah Minggu tersendat-sendat dan sekolah-sekolah tidak berjalan sebagaimana mestinva. Hal vang sama juga terjadi Mereka Raya, Rava Kahean dan Negeridolok. Banyak anggota jemaat pergi mengungsi karena ketakutan atas kegiatan PRRI daerah itu. Akibatnya hari ruya gerejani seperti Natal dan kebuktian minggu praktis terganggu. Namun demikian kemelut itu tidak sampai mematahkan harapan dan semangat mereka untuk melanjutkan lugas-tuigas Gereja dan tugas pemberitaan Injil"[46]  

2.7.Masa Orde Baru

a.      Pertumbuhan

      Dalam peranan oikumenenya, GKPS sudah sejak awal menunjuk kah partisipasi dan sumbangsihnya. Walau dalam usia yang relatif muda sejak diresmikannya GKPS pada 1 September 1963, wawasan oikumenis itu sudah tertanam semasih orang Kristen Simalungun berada di bawah payung organisasi HKBP. Partisipasi kongkrit GKPS dalam kegiatan oikumene dinyatakan dalam keikutsertaan GKPS dalam sidang-sidang, kerjasama, pertukaran tenaga gerejawi serta perkunjungan-perkunjungan baik dalam maupun luar negeri. Di tingkat lokal GKPS aktif di kepengurusan Badan Kerjasama Antar Gereja (BKAG), dan Lembaga Komunikasi Sejahtera (LKS) di Pematangsiantar yang berupaya mengkomunikasikan Injil lewat publikası dan siaran radio. Di tingkat regional, GKPS ikut menggagasi terbentuknya Dewan Gereja-gereja Wilayah yang kini bernama PGI Wilayah.[47]

b.      Perkembangan

      Sampai 1980, tata ibadah GKPS mengikuti urutan tata ibadah HKBP. Namun setelah 1980, GKPS melakukan pembaruan tata ke baktiannya. Nyanyian yang pada awalnya ditempatkan sebagai urutan pertama diganti dengan votum dan introitus, Hal ini karena ada kesan bahwa nyanyian pada awal liturgi itu lebih berupa persiapan menunggu kehadiran warga jemaat. Perubahan lainnya adalah di hapusnya nyanyian pada saat memberi persembahan. Persembahan menjadi unsur liturgi tersendiri dan disampaikan setelah khotbah. Dalam hal penyampaian warta jemaat, GKPS menempatkannya setelah kebaktian ditutup dengan pemberkatan." Ada hal penting lain yang perlu dicatat dalam pembaruan liturgi ini. Sejak 1978, GKPS menerima ketiga jenis Pengakuan Iman, yaitu Apostolicum, Niceanum, dan Athanasianum. Ketiga jenis pengakuan iman ini tidak asing lagi bagi warga GKPS sebab sudah sering dipakai secara berganti-gantian. Karena tata kebaktian Minggu memperlihatkan dialog antara Allah dan jemaat-Nya di sepanjang konteksnya, GKPS menyusun tata kebaktian Minggu yang terdiri dari 3 bentuk, yakni "Model A", "Model B", dan Model C". Sampai 1990, ketiga model tata kebaktian ini dipergunakan di GKPS.[48]

c.       Pergumulan

      Ketika pecah G 30-S/PKI pada 30 September 1965 dengan terbunuhnya petinggi-petinggi militer di Jakarta, muncullah gerakan gerakan anti-PKI yang memburu dan membunuh orang-orang yang dianggap terlibat dan simpatisan PKT. Ada juga dari antara warga jemaat dan anggota majelis jemaat GKPS yang karena diduga memiliki hubungan. dengan PKI mendapat perlakuan yang tidak enak dari gerakan-gerakan anti PKI. Dari jajaran pemerintah dan militer ada anjuran agar warga jemaat dan majelis jemaat yang terlibat diperiksa oleh Gereja. Pimpinan Pusat GKPS dalam hal ini menyikapinya dengan kehati-hatian. Kepada pendeta-pendeta resort diarahkan agar mengutamakan tindakan pastoral ketimbang "penghukuman" kepada warga jermaat atau majelis jemaat yang terlibat. Untuk itu, di resort-resort dan jemaat ditetapkan, bagi warga jemaat yang terlibat akan digembalakan oleh pendeta resort atau majelis jemaat sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh majelis Jemaat. Sedangkan pimpinan majelis jemaat yang terlibat untuk sementara dinonaktifkan dari tugas jabatannya, dalam arti tidak diperkenankan melaksanakan tugas struktural dan fungsionalnya di dalam ibadah atau kegiatan gerejawi. Keputusan ini memang memberatkan bagi GKPS, tetapi dengan sentimen anti PKI yang begitu besar, GKPS terpaksa mematuhi anjuran pemerintah.[49]

2.8.Masa Reformasi Sampai Sekarang

a.      Pertumbuhan

      Untuk mengenang 100 tahun Injil di Simalungun dirayakanla Jubileum 100 Tahun Injil di Simalungun dalam skala yang besar dan meria di tiga tempat perayaan, yaitu Pematang Raya (2 September 2003 Pematangsiantar (7 September 2003) dan Jakarta (21 September 2003). Dalam visi dan misinya perhelatan akbar Jubileum 100 Tahun Ini di Simalungun mengacu pada tema sentral GKPS periode 2000-200 "Yesus adalah Terang Dunia" (Yoh 8:12). Adapun visi dan misinya adala sebagai berikut:

Visi:

1. GKPS Pembawa kabar sukacita dari Tuhan, Raja Gereja ke tengal tengah dunia.

2. Bertumbuhnya semangat baru sehingga semakin dikuatkan da

dikokohkan dalam memasuki abad baru pelayanan GKPS.

3. Warga jemaat semakin dewasa dan terus bertumbuh dalam ima aktif berperan sebagai garam dan terang dunia, sadar dan mamp membaca tanda-tanda zaman.

4. Sumber daya manusia (SDM) Simalungun meningkat, seca khusus pelayan Firman, demi tercapainya pelayanan Gereja ya berkualitas.

Missi Jubileum:

1. Menyatakan rasa syukur dan sukacita atas kasih Tuhan Allah (di dalam Anak-Nya Yesus Kristus) melalui pemberitaan Injil kesela matan di Simalungun yang telah satu abad lamanya.

2. Menelusuri dan menghayati sejarah perjalanan, penyebaran dan perkembangan Injil di Simalungun, khususnya sejarah GKPS, seba gai bagian dari sejarah Gereja Tuhan di dunia ini dalam rangka pelestarian, pewarisan semangat gending dan pengembangan pekabaran Injil.

3. Memenuhi panggilan dan suruhan Gereja: bersaksi, bersekutu dan melayani dengan pendewasaan dan pertumbuhan iman jemaat dan pengabdian nyata Gereja dalam kehidupan masyarakat, di Sima lungun khususnya, di Indonesia umumnya.

4. Mengkaji dampak dan dinamika erjumpaan ke-Simalun un-an dengan kekristenan selama kurun waktu 100 tahun silam dan mengindentifikasi serta memanfaatkan momentum yang ada untuk akselerasi pemantapan konsep diri dan aktualisasi jati din orang dan suku bangsa Simalungun sebagai suatu bagian dari bangsa Indonesia ke depan di abad globalisasi dan dalam milenium baru.[50]

b.      Perkembangan

      Keadaaan GKPS Sekarang. Setelah seratus tahun pekabaran Injil di Simalungun yang kemudian melahirkan GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) anggota jemaat GKPS ada sebanyak 202.560 jiwa yang dilayani, 5.560 sintua, 4.867 syamas, 158 pendeta, dan 83 penginjil. Delapanpuluh dua persen warga jemaat GKPS tinggal di pedesaan dan delapanbelas persen tinggal di perkotaan. Saat ini GKPS mempunyai 587 jemaat (Kuria) yang terbagi dalam 97 resort di 7 wilayah koordinasi yang disebut distrik, dan 4 distrik sebelumnya pada tahun 2000."[51] Sesuai dengan data Biro Pusat Statistik Kabupaten Simalungun jumlah gereja di Kabupaten Simalungun hingga tahun ini sudah mencapai 1.246 gereja, terdiri dari 1.047 gereja Protestan dan 197 gereja Katolik. Sedangkan di Kota Pematangsiantar, jumlah gereja mencapai 288 unit, terdiri dari 189 gereja Protestan dan 29 gereja Katolik. Sedangkan jumlah umat Kristen di Kabupaten Simalungun mencapai 379.900 jiwa, terdiri dari 308.840 jiwa warga Protestan (termasuk GKPS) dan 71.160 jiwa warga Katolik. Sedangkan jumlah umat Katolik di Kota Pematangsiantar mencapai 129.624 jiwa, terdiri dari Protestan sekitar 113.259 jiwa dan Katolik sekitar 16.365 jiwa.[52]

c.       Pergumulan

      Di tengah euforia reformasi, sentimen-sentimen berbalut agama menimbulkan ekses yang cukup memprihatinkan. Pada malam Natal 2001 beberapa gereja di Indonesia dibom oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Gereja-gereja GKPS di Medan dan Pematangsiantar tidak luput dari hantaman bom yang dipasang oleh orang tak dikenal. Pada malam Natal 2001, GKPS Teladan dikirimi paket "parcel Natal" (yang isinya bom) oleh pihak yang disamarkan identitasnya, namun tidak sampai meledak. Kiriman parcel ini nyaris merenggut nyawa Praeses Distrik II (Medan) Pdt. Belman Purba Dasuha. Di Pematangsiantar kirim an "parcel natal" malahan sampai meledak dan menghancurkan rumah dinas pendeta GKPS resort Siantar I pada 24 Desember 2001. Namun dalam peristiwa nahas ini, Pdt. El Imanson Sumbayak dan keluarga tid mengalami cedera.[53]

III.             Kesimpulan         

      Awalnya RMG mengenal Simalungun dari laporan ekspedisi pejabat-pejabat kolonial Belanda. Laporan-laporan tersebut rata-rata mengkhawatirkan resistensi suku Simalungun dan derasnya pengaruh Islam ke kawasan Simalungun Bawah (Asahan Hulu dan Tanah Djawa) yang sebenarnya dipicu oleh anggota aneksasi Belanda terhadap kawasan dalam kerajaan-kerajaan Simalungun yang membikin sentimen negatif dari orang Simalungun terhadap orang Eropa. Dalam perkembangannya, para zendeling berusaha untuk semakin mengakrabkan diri dengan orang Simalugun dan menghapuskan kesan asing. Salah satunya adalah memberikan siluah (upeti) disetiap kunjungan mereka. Dimana para zendeling atau para misionaris khususnya Agust Theis juga pernah menguyah sirih, walaupun dalam hatinya menolak, untuk menunjukkan sikap bersahabat Menunjukkan sikap bersahabat dan menjalin hubungan baik merupakan usaha untuk menunjang keberhasilan penginjilan. Namun, amat disayangkan bahwa para zendeling masih melihat orang-orang Simalungun menggunakan kacamata budaya Barat, sehingga mereka terus mendorong orang Simalungun agar sama seperti orang Barat. Sehingga dalam kekristenan di simalungun ini hasil penginjilan di tanah Simalungun terlihat dari lahirnya gereja – gereja yang ada sebagai bukti perjuangan dari missionari para zendeling, dan juga dari masyarakat Simalungun itu sendiri, seperti: aliran Katolik (Aurelius Kenkers dan zendeling lainnya yang turut membantu) seperti gereja GKPI dan juga GKPS yang Manjae dari HKBP.

IV.             Daftar Pustaka

Aritonang, Jan S. Yubileum 50 Tahun GKPI, Tinjauan Sejarah dan Pandangan Ke      depan, Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI, 2014

Damanik, Jan J, dalam buku Kristus Di Tengah-Tengah Suku Simalungun, Jakarta, GKPS Cengkareng, 2002

Damanik, Jan J, Dari Ilah menuju Allah, Yogyakarta: Andi, 2016

Damanik, Jan. J, salib dan sirih, Jakarta: Sardo Sarana Media, 2009

Hutauruk, J.R, Kemandirian Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993

Hutauruk, J.R, Sejarah Pengabaran Injil Sampai Tahun 1931 di Tanah Batak dalam

Hidup Dalam Kristus (II), Pematangsiantar: DGI Wilayah Sumut-Aceh, 1981

Lempp, Walter, Benih Yang Tumbuh XII, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi          Dewan Gereja-Gereja di Indonesia

P. Dasuha, Juandaha Raya & Marthin Lukito Sinaga, Tole Den Timorlanden Das Evangelium “Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun 2 September     1903-2003”, (Pematang Siantar: Kolportase GKPS, 2003

Puteri Hijau, Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 6 No. 1, Januari 2021

Simanjuntak, Batara Sangti, Sejarah Batak, Balige: Karl Sianipar Co, 1977

Tambak T. B. A. Purba, Sejarah Simalungun, Pematangsiantar:  Percetakan HKBP, 1982

Sumber Lain:

https://123dok.com/document/7qvlnvly-pembentukan-dan-perkembangan-gereja-methodist-indonesia-pematang-siantar.html,

https://www.medialintassumatera.com/2021/08/catatan-118-tahun-injil-di-simalungun.html?m=1,  



                [1] Juandaha Raya P. Dasuha & Marthin Lukito Sinaga, Tole Den Timorlanden Das Evangelium “Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun 2 September 1903-2003”, (Pematang Siantar: Kolportase GKPS, 2003), 9-11. 

[2] Jan J. Damanik, dalam buku Kristus Di Tengah-Tengah Suku Simalungun, (Jakarta, GKPS Cengkareng, 2002), 7.

                [3] J.R. Hutauruk, Sejarah Pengabaran Injil Sampai Tahun 1931 di Tanah Batak dalam Hidup Dalam Kristus (II), (Pematangsiantar: DGI Wilayah Sumut-Aceh, 1981), 50

[4] Tambak T. B. A. Purba, Sejarah Simalungun, (Pematangsiantar:  Percetakan HKBP, 1982), 133.

[5] Batara Sangti Simanjuntak, Sejarah Batak, (Balige: Karl Sianipar Co, 1977), 166.

                [6] Jan J. Damanik, Kristus di Tengah-Tengah Suku Simalungun, (Jakarta: Cv. Mulya Sari, 2002), 14.  

                [7] Jan J. Damanik, Kristus di Tengah-Tengah Suku Simalungun, 23.

                [8] Jan J. Damanik, Dari Ilah menuju Allah, (Yogyakarta: Andi, 2016), 135.  

                [9] J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 149-150. 

                [10]  Jan J. Damanik, Kristus di Tengah-Tengah Suku Simalungun, 24.

                [11] Jan J. Damanik, Kristus di Tengah-Tengah Suku Simalungun, 25-28. 

[12]Jan J. Damanik, Kristus di Tengah-Tengah Suku Simalungun, 35-36.

[13] Jan J. Damanik, Kristus di Tengah-Tengah Suku Simalungun, 35-36.

                [14] Jan J. Damanik, Kristus di Tengah-Tengah Suku Simalungun, 27-28. 

[15] J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 150

                [16] Jan J. Damanik, Dari Ilah menuju Allah, 145.

                [17]  Juandaha Raya P. Dasuha & Marthin Lukito Sinaga, Tole Den Timorlanden Das Evangelium “Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun 2 September 1903-2003”, 75-76.

                [18] https://123dok.com/document/7qvlnvly-pembentukan-dan-perkembangan-gereja-methodist-indonesia-pematang-siantar.html, diaskes pada tanggal 27 April 2022, Pada pukul 15:11 Wib. 

[19] Jan J. Damanik, Kristus di Tengah-Tengah Suku Simalungun,

[20] Juandaha Raya P. Dasuha & Marthin Lukito Sinaga, Tole Den Timorlanden Das Evangelium “Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun 2 September 1903-2003”,  167

[21] Jan J. Damanik, Kristus di Tengah-Tengah Suku Simalungun, 36-37.

[22] Jan J. Damanik, Dari Ilah menuju Allah, (Yogyakarta: Andi, 2016), 197-198

[23]Jan J. Damanik, Dari Ilah menuju Allah, (Yogyakarta: Andi, 2016), 202

                [24] Puteri Hijau, Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 6 No. 1, Januari 2021, Hlm 77-78. 

[25] Jan J. Damanik, Kristus di Tengah-Tengah Suku Simalungun, 59.

[26]J.R Hutauruk, Kemandirian Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 151.

[27] Jan J. Damanik, Dari Ilah menuju Allah, (Yogyakarta: Andi, 2016), 204

[28] Jan J. Damanik, Dari Ilah menuju Allah, (Yogyakarta: Andi, 2016), 205-206.

[29]Walter Lempp,  Benih Yang Tumbuh XII, (Jakarta:Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-Gereja di Indonesia, )231-238

[30] Jan J. Damanik, Kristus di Tengah-Tengah Suku Simalungun, 37-38

[31] Jan J. Damanik, Kristus di Tengah-Tengah Suku Simalungun, 46-47.

                [32]  Jan J. Damanik, Salib dan Sirih, (Jakarta: Sardo Sarana Media, 2009), 52-54

                [33]  Juandaha Raya P. Dasuha & Marthin Lukito Sinaga, Tole Den Timorlanden Das Evangelium “Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun 2 September 1903-2003”, 212-213.

[34]Jan. J. Damanik, salib dan sirih, (Jakarta: Sardo Sarana Media, 2009), 189-190

                [35]  Juandaha Raya P. Dasuha & Marthin Lukito Sinaga, Tole Den Timorlanden Das Evangelium “Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun 2 September 1903-2003”, 213.

[36] Juandaha Raya P. Dasuha & Marthin Lukito Sinaga, Tole Den Timorlanden Das Evangelium “Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun 2 September 1903-2003”, 224.

[37] Walter Lempp,  Benih Yang Tumbuh XII, (Jakarta:Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-Gereja di Indonesia, ) 54.

[38] Jan J. Damanik, Kristus ditengah-tengah Suku Simalungun, 75

[39]  Jan J. Damanik, Kristus ditengah-tengah Suku Simalungun, 77

[40] Juandaha Raya P. Dasuha & Marthin Lukito Sinaga, Tole Den Timorlanden Das Evangelium “Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun 2 September 1903-2003”, 240

[41] Jan J. Damanik, Salib dan Sirih, (Jakarta: Sardo Sarana Media, 2009), 219.

[42] Jan J. Damanik, Kristus ditengah-tengah Suku Simalungun, 81.

[43]  Jan J. Damanik, Kristus ditengah-tengah Suku Simalungun, 93.

[44]  Juandaha Raya P. Dasuha & Marthin Lukito Sinaga, Tole Den Timorlanden Das Evangelium “Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun 2 September 1903-2003”, 251-258.

                [45] Jan S. Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI, Tinjauan Sejarah dan Pandangan Ke depan, (Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI, 2014), 61-63. 

[46] Jan J. Damanik, Kristus ditengah-tengah Suku Simalungun, 81-82.

                [47] Jan J. Damanik, Salib dan Sirih, 269. 

                [48] Jan J. Damanik, Dari Ilah menuju Allah, 373. 

                [49]  Juandaha Raya P. Dasuha & Marthin Lukito Sinaga, Tole Den Timorlanden Das Evangelium “Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun 2 September 1903-2003”, 280-281.

                [50]  [50]  Juandaha Raya P. Dasuha & Marthin Lukito Sinaga, Tole Den Timorlanden Das Evangelium “Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun 2 September 1903-2003”, 286-287.

                [51]  Juandaha Raya P. Dasuha & Marthin Lukito Sinaga, Tole Den Timorlanden Das Evangelium “Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun 2 September 1903-2003”, 287.

                [52] https://www.medialintassumatera.com/2021/08/catatan-118-tahun-injil-di-simalungun.html?m=1, diaskes pada tanggal 27 April 2022, pada pukul 15:13 Wib. 

                [53]  Juandaha Raya P. Dasuha & Marthin Lukito Sinaga, Tole Den Timorlanden Das Evangelium “Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun 2 September 1903-2003”, 281-282.

Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Mundosaragi
Total Pageviews