wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

KEKRISTENAN DI TANAH BATAK

   

KEKRISTENAN DI TANAH BATAK

II.      Pembahasan

2.1.  Kehidupan Tanah Batak Sebelum Mengenal Kekristenan

2.1.1.      Sistem Kepercayaan

Berbicara tentang sistem kepercayaan, kehidupan agama bangsa Batak sebelum masuknya kekristenan adalah sebagai berikut: Dalam buku yang ditulis oleh Bungaran Antonius Simanjuntak disampaikan bahwa ada beraneka ragam kepercayaan yang dianut oleh bangsa Batak diantaranya seperti kepercayaan Animisme, Dinamisme, dan Magis. Ada banyak nama dewa atau begu (setan) yang disembah, seperti begu jau (dewa yang tidak dikenal orang), begu antuk (dewa yang memukul kepala seseorang sebelum ia mati), begu Siherut (dewa yang membuat orang kurus atau tinggal kulit).[1] Kemudian selain kepercayaan-kepercayaan itu, bangsa Batak juga memiliki konsep tentang satu wujud tertinggi; sang pencipta alam semesta yang mereka namakan Debata Asiasi/ Debata Mulajadi na Bolon. Setelah Debata Asiasi menciptakan alam semesta, dia menyerahkan kepada ketiga anaknya, Batara Guru, Soripada, dan Mangana Bulan. Penduduk di sekitar berupaya menyenangkan hati para dewa tersebut dengan mempersembahkan kurban[2].

Selain itu orang Batak membagi eksistensi (kehidupan) dalam tiga tingkat atau dunia. Dunia atas adalah kerajaan Dewata Tertinggi,  Mula jadi Na Bolon, dan roh-roh nenek moyang yang sudah meninggal. Kemudian dunia tengah adalah gelanggang untuk kegiatan manusia dan dunia bawah tempat tinggal untuk para hantu dan setan.[3] Hampir setiap langkah dan usaha dalam hidup manusia Batak pada waktu itu dikuasai oleh aturan-aturan adat dan agama yang keras sekali. Mulai dari lahirnya seorang anak, dan menjadi kanak-kanak, pemuda atau gadis-gadis, kemudian kawin dan menjadi dewasa dan akhirnya menjadi orang tua, lansia dan meninggal. Semuanya itu dijalani dengan penuh “ritual-ritual” atau upacara-upacara agama dan adat yang diharuskan agar bisa selamat dan jangan ada gannguan dari begu-begu atau dewa-dewa yang murka dan bisa membinasakan setiap orang. Inilah yang menjadi keyakin dan kepercayaan di tanah batak sebelum masuknya kekristenan. [4]

2.1.2.      Sistem Sosial Ekonomi

Terkait tentang keadaan sosial ekonomi di tanah Batak adalah bahwa pada zaman itu penghidupan sehari-hari mereka adalah dari bercocok tanam, berhewan dan berdagang. Bekerja di sawah sudah dikenal orang yang memberikan hasil padi dan beras. Adapun hasil dari berladang itu diantaranya jagung, ketela, tembakau, kacang dan lain-lain. kemudian dari peternakan yaitu ayam, babi, kerbau, lembu, kuda dan kambing. Daging ini diberikan dan diperjual belikan di pasar. Pada hari-hari tertentu orang-orang datang ke pasar untuk menjual atau membeli keperluan sehari-hari seperti beras, garam, ayam, ikan dan tembakau, serta kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Perselisihan-perselisihan pada hari itu dihentikan. Setiap orang dapat datang ke pasar dengan tidak gangguan. Raja-raja bertemu di pasar dan saling bertukar tembakau, seperti para ibu bertukar tukar sirih. Tetapi penghidupan yang tenag ini sering kali diganggu oleh permusuhan-permusuhan yang timbul antara kampung dengan kampung. Pembunuhan mengakibatkan pembalasan dendam yang berlarut-larut sampai turun-temurun. Orang-orang dari kampung yang dimusuhi disergap dan dibawa ke kampung sebagai tahanan. Orang-orang tawanan itu mengalami nasib yang sangat malang sekali. Tangan dan kaki dibelenggu dan di ikat detengah-tengah halaman kampung. Dagingnya dipotong-potong dan dibakar untuk dimakan oleh orang-orang yang berkuasa atasnya. Dalam kesakitan yang luar biasa, orang-orang tawanan ini akhirnya menemui ajalnya ditengah-tengah sorak-sorai dari orang-orang yang menangkapnya. [5]

2.1.3.      Kebudayaan

Bangso batak atau masyarakat batak ini adalah adalah salah satu suku di Indonesia yang dikenal dengan adat dan budaya yang mereka miliki sendiri. Mereka selalu setia dan terus menerus mempertahankan kebudayaannya, mereka memegang teguh tradisi dan adat, karena adat dan tradisi itu sama sekali tidak berlawanan dengan keimanan mereka, bahkan mampu memperkuat kebersamaan dan mempertebal rasa kepedulian di antara sesama warga Batak sendiri.[6] Orang Batak telah mempunyai aksaranya sendiri dan telah bisa menulis pada daun lontar dan kulit kayu. Raja-raja banyak mengeluarkan uang untuk membeli dan membacanya. Buku-buku Pustaka memuat aturan-aturan melihat bulan dan hari baik, serta bermacam-macam obat dan keterangan-keterangan mengenai adat istiadat, selain itu dalam buku itu terdapat juga cerita-cerita dan perumpamaan-perumpamaan.[7] Memang hampir semua roda kehidupan bangso batak ditata dan dikenakan aturan-aturan adat yang kuat, aturan tersebut adalah adat dan budaya yang bersifat mengayomi semua warganya, sehingga terpelihara kebersamaan yang aman.[8]

2.2. Masa Sebelum Hindia Belanda

Apabila berbicara tentang awal masuknya kekeristenan di tanah batak tentu peran para missionaris tidak dapat dihiraukan karena faktanya para missionaris adalah merupakan bagian yang turut berperan penting pada proses masuknya kekristenan di tanah Batak. Dalam buku yang berjudul “Tuhan Menyertai Umatnya” yang diterbitkan oleh Kantor pusat HKBP, disampaikan bahwa bangsa Belanda cukup sibuk mengurus urusan politik dan ekonominya di daerah jajahannya Indonesia yang pada akhir abad XIX dan awal XX sudah menduduki seluruh daerah Indonesia sekarang. Pemerintah Belanda dan gereja di Belanda tidak pernah bermaksud menjadikan Tanah Batak menjadi daerah pewartaan Injil.

Dalam proses persebaran agama Kristen di tanah Batak, yang mengawali persebaran agama itu adalah pewartaan Injil oleh para missionaris Jerman sejak tahun 1861. Orang Batak mengenal dan menerima Injil dari mereka, sesudah beberapa lama curiga dan ingin menolak mereka sebab disangka mata-mata musuh dan yang akan melakukan perbuatan jahat. Dengan melihat cara kedatangan mereka yang tidak akan mendirikan suatu perusahaan  dagang atau suatu negara penjajah, maka beberapa pengetua desa atau raja menginjinkan mereka tinggal di tengah-tengah mereka, memberikan mereka tinggal di tengah-tengah mereka, memberikan pertapakan membangun rumah peribadatan yang baru. Rumah ibadat pada mulanya dipakai sekaligus menjadi ruangan belajar membaca dan berhitung. Mereka yang sakit diberikan pengobatan dan kepada penduduk secara pribadi-pribadi didekati untuk memberikan bimbingan pencegahan penyakit seperti kolera, disentri yang hampir satu kali dalam lima (5) tahun berjangkit dan mengakibatkan kematian bagi banyak orang. Kebersihan rumah, halaman dan desa juga termasuk perhatian para missionaris, sehingga Injil itu diwartakan melalui perkataan dan perbuatan. Injil itu diwartakan melalui perkatakaan dan perbuatan. Injil itu merupakan panggilan bagi setiap orang Batak yang mendengar kata dan melihat.[9]

1.      Nathan Ward, Evans, dan Richard Burton

Dalam buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjuntak tentang penginjilan di tanah Batak atau tano Batak disampaikan bahwa pada periode 1820-1870, sering disebut periode masuknya Injil ketanah Batak. Sudah ada berita tersebar di Dunia Eropa tentang adanya bangsa Batak yang masih dalam kegelapan. Sehingga Negara Eropa melihat itu sebagai sasaran penginjilan yang harus mereka laksanakan.

Misi pertama yang mengunjungi Tapanuli adalah datangnya penginjil utusan Pekabaran Injil dari gereja baptis dari negara Inggris. Pada tahun 1820 tiga utusan pekabaran Injil gereja Baptis Inggris adalah penginjilan pertama ke tanah Batak, yaitu Nathan Ward, Evans, dan Richard Burton.[10] Mereka berasal dari Baptist Mission Society Of England. Masing-masing mereka adalah adalah orang-orang yang memiliki keahlian di bidangnya masing-masing:

1.    Richard Burton: Seorang ahli bahasa dan ilmu bangsa: yang nantinya dalam missinya Burton menerjemahkan hampir separuh dari Kitab Suci King James ke dalam tulisan tangan Batak.

2.    Nathaniel Ward: Seorang ahli dalam ilmu kesehatan ditunjuk untuk menyelidiki wabah cholera yang telah berjangkit di Silindung dan Toba.

3.    Evans: Ditunjuk untuk mendirikan sekolah-sekolah sekitar Tapian Nauli.[11]

Misi utamanya adalah mengunjungi kawasan Bengkulu untuk menjumpai Raffles, penguasa Inggris di kawasan Sumatera dan Semenanjung Malaya. Kemudian Raffles menyarankan supaya mereka pergi ke Utara, ke daerah tempat tinggal suku Batak, yang masih kafir di kawasan Tapanuli.[12] Raffles adalah wakil Inggris setempat yang dengan kuat mendorong usaha-usaha penginjilan di kalangan orang Batak.[13]

Kemudian selanjutnya Nathan Ward dan Richard Burton menuruti Petunjuk Raffles, mereka melaksanakan perjalannya menuju kawasan Tapanuli, walaupun informasi yang mereka dapat tentang tanah Batak ini adalah masih sangat ala kadarnya. Mereka pergi ke Utara, awalnya mereka bekerja di pesisir, sekitar Sibolga dan Barus. Kemudian tahun 1824 mereka sudah siap menjelajah tanah Batak.[14] Setelah meninggalkan Sibolga, mereka berjalan ke pedalaman sepanjang sungai “Tappanooly” (Tapanuli), tinggal di kampung-kampung Batak di sepanjang perjalanan. Kepada mereka ditunjukkan setiap sopan-santun sebagai tamu-tamu yang dihormati. Ketika mereka tiba di lembah Silindung pada tanggal 4 Mei 1824, dengan kelompok raja-raja dari suatu ekspedisi perdagangan, mereka disambut dengan sangat ramah. Mereka mendapat undangan dari seseorang raja dari lembah itu untuk menginap di rumahnya, dan tinggal di sana sampai tanggal 11 Mei, ketika kemudian mereka kembali ke Sibolga. Orang-orang batak disana lebih bersifat ingin-tahu daripada bermusuhan. Orang-orang asing itu selalu di iringi oleh sejumlah besar orang banyak dan mereka dapat berkhotbah kepada beberapa ribu orang batak pada paling sedikit satu kesempatan. Karena wabah cholera masih mengganas di Toba, dan karena mereka diterima dengan begitu ramah di Silindung, karena sebagaimana yang telah disampaikan bahwa salah satu dari missionaris ini yakni, Nathaniel Ward: Seorang ahli dalam ilmu kesehatan ditunjuk untuk menyelidiki wabah kholera yang telah berjangkit di Silindung dan Toba. Jadi karena mereka diterima dengan begitu ramah di Silindung mereka membatalkan rencana mereka semula untuk mengunjungi Danau Toba.[15]

Namun perjalan penginjilan mereka terhenti ketika terjadi salah paham dengan penduduk. Penduduk salah menafsirkan Injil tersebut yang mengatakan kerajaan mereka harus menjadi lebih kecil, seperti anak kecil, tetapi kerajaan Tuhan Yesus harus semakin besar. Penduduk setempat tidak suka akan hal ini, mereka merasakan bukan harus semakin kecil, melainkan maju dan semakin besar. Kesalahpahaman itu mengakibatkan penduduk memutuskan untuk mengusir para penginjil tersebut. Pengusiran dilakukan pada tahun 1824 juga. Pengusiran tersebut dilakukan dengan cara damai, para penginjil kembali pulang ke Inggris.[16]

2.      Munson dan Leyman

Walaupun penginjilan yang pertama yang dilakukan telah berhenti, tetapi berita tentang tanah Batak sudah semakin meluas hingga ke negara-negara Eropa dan Amerika. Para pengurus gereja Kristiani di negara Eropa dan Amerika, tetap peduli dan selalu membicarakan daerah “kegelapan iman Kristus itu”. Mereka rindu mengajarkan dan menyebarkan ajaran dan firman Tuhan.

Sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1834, American Board Of Commissioners for Foreign Mission di Boston mengutus dua orang penginjil ke tanah Batak, yaitu Munson dan Leyman. Mereka berdua adalah merupakan penginjil dari gereja Kongregationalis Amerika. Mereka memasuki Pulau Andalas atau Pulau Sumatera dan mereka tiba di Sibolga pada tanggal 17 Juni 1834. Mereka tiba di sana dengan baik-baik, dan menetap beberapa hari di Sibolga. Kemudian pada tanggal 23 Juni 1834 mereka berangkat menuju kawasan rura Silindung. Dalam perjalanan, ketika tiba di pinggir Lembah Silindung, malam hari 28 Juni 1834 mereka dihadang, ditangkap, dan dibunuh di dekat Lobu Pining. Pembunuh penginjil tersebut adalah Raja Panggalamei (raja di Pintubosi yang tinggal di Singkak) bersama dengan rakyatnya.[17]

Sebenarnya, tujuan kedua missionaris ini adalah ke Nias, namun pada saat itu ada keadaan alam dengan ombak yang sangat deras di lautan menuju Nias sehingga tidak memungkinkan mereka berlayar kesana. Keadaan alam tidak memungkinkan mereka ke Nias sehingga mereka mengalihkan tujuan perjalanan ke daratan arah timur, naik ke bukit menuju ke tanah Batak. Jadi, missionaris ini terkesan kurang memiliki kesiapan karean pengubahan tujuan yang tidak terduga.

Ditambah lagi, pada saat itu keadaan memang sedang tidak sepenuhnya aman dilatar-belakangi oleh peristiwa perang Paderi dari Minangkabau, ditambah lagi para raja-raja tanah Batak, dituntut untuk melukan tanggung jawab pengawasan, jadi karena Munson dan Lyman mencurigakan bagi mereka maka mereka ditangkap dan terbunuh mengenaskan pada 28 Juni 1834.[18]

3.      Para Ilmuan ke Tanah Batak

Tahun 1836 Franz Wilhem Junghuhn menerima tugas mengadakan peelitian di Hindia Belanda, tanah Batak, sebelum dianeksasi sebagai daerah kolonial Belanda. Dengan demikian, Kolonial Belanda tidak (atau belum) mempunyai rencana konkrit tentang suku Batak. Namun demikian agaknya Kolonial Belanda telah mempunyai rencana di masa depan tentang tanah Batak, sehingga perlu ditugaskan berbagai ilmuwan, seperti ahli hukum adat, tatanan sosial-geografis, untuk mengadakan penelitian kepada bangsa dan tanah Batak. Dari hasil penelitiannya, Junghuhn mengusulkan agar tanah Batak tidak perlu dianeksasi menjadi daerah kolonial Belanda, tetapi perlu dikirimkan para missionaris, agar penduduk Batak menganut kepercayaan kekristenan. Menurutnya, masyarakat Batak dalam arti pola pikir dan pandangan hidup tidak begitu jauh berbeda dengan masyarakat Belanda atau Eropa. Jadi, suku Batak diharapkan dapat lebih cepat maju dan menjadi partner berpikir di sana. Lima belas tahun kemudian, Lembaga Alkitab Belanda mengutus ilmuan Herman Neubronner van der Tuuk (1824-1894).[19]

Van der Tuuk adalah orang Barat pertama yang melakukan penelitian ilniah tentang bahasa Batak, Lampung, Kawi dan Bali. Ia adalah orang Eropa pertama yang menatap Danau Toba dan bertemu dengan Si Singamangaraja.[20] Ia mengadakan penelitian ke Tanah Batak selama delapan tahun (1849-1857). Ia tinggal di Barus, dengan maksud agar mempunyai akses lebih cepat ke Humbang dan Bakara. Kemudian beliau melakukan penelitian. Tujuan penelitian itu adalah untuk mengetahui berbagai hal, yaitu tentang bahasa, pola kehidupan masyarakat batak dan kehidupan sosial dan budaya di daerah jajahan, dalam rangka penerjemahan Alkitab. Salah satu hasil penelitiannya adalah tentang tata bahasa batak Toba. [21]

Hasil penelitian dan tulisan-tulisan Junghuhn dan Van der Tuuk tadi selanjutnya dimanfaatkan oleh para penginjil yang datang kemudian.[22]

2.2.1.      Pertumbuhan Pada Sebelum Masa Hindia Belanda

Apabila berbicara tentang pertumbuhan apa yang terjadi pada masa para Missionaris ini, barangkali ada kebingungan karena pada masa ini kita melihat bahwa seperti yang dijelaskan di kedua misi yang dilakukan, hasilnya tidak begitu memuaskan bahkan misi kedua oleh Munson dan Layman dapat terbilang gagal, karena seperti yang disampaikan dalam buku “Konsepku Membangun Bangso Batak” bahwa Munson dan Lyman dalam misinya hanya berlangsung sepuluh hari, belum memberitakan Injil sama sekali, belum memberitakan berita kesematan manusia, mereka telah dibunuh tanpa alasan manusiawi.

Namun yang penting adalah bahwa dari apa yang telah dilakukan para Missioner ini benih pekabaran injil telah tertabur di tanah Batak. Tubuh jasmani Layman dan Munson, menjadi penyubur  keimanan di tanah Batak kepada Yesus Kristus, yang di kemudian harinya terbukti dan dibuktikan oleh kasih karunia Tuhan semata.[23]

Pertumbuhan yang nyata terlihat dari buah ketekunan dan dedikasi yang tinggi dari pewarta injil yang pertama-tama itu. Dalam tempo 20 tahun daerah Silindung sudah menjadi daerah Kristen. Sehingga pada waktu pemerintahan Belanda mulai menduduki setengah daerah Silindung tahun 1878 penduduk yang telah Kristen itu melihat kedatangan Belanda hanya sebagai penguasa duniawi dan bukan pembawa agama baru, artinya mereka yang di tanah Batak tidak lagi memandang agama Kristen sebagai agama baru.[24]

Selain itu yang paling jelas dapat dilihat terkait pertumbuhan kekristenan adalah pada tahun 1857 Gerrit Van Asselt, yang diutus oleh sebuah perkumpulan penginjilan (zending) di kota kecil Ermelo (Belanda) tiba di sipirok-Angkola. Sambil bekerja di perkebunan dan kilang kopi, Van Asselt bersama beberapa penginjil lain yang menyusul dan bergabung dengan melakukan karya penginjilan di tengah masyarakat yang sebagian besar sudah menganut agama Islam. Tanggal 31 Maret 1861 Van Asselt membabtis dua orang Batak pertama, yakni Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon, pemberian nama baptis Kristen. Walaupun orang yang diijili atau di kristenkan itu tidak banyak dan cakupan kegiatan mereka masih terbatas, namun karya dan pengabdian mereka menjadi awal perkembangan yang baik bagi gereja di Tanah Batak. [25]

2.2.2.      Perkembangan Pada Sebelum Masa Hindia Belanda

Perkembangan paling nyata yang dapat dilihat adalah dari pemikiran orang di tanah Batak yang mana: terlihat dari buah ketekunan dan dedikasi yang tinggi dari pewarta injil yang pertama-tama itu, suatu titik gerakan awal mulai terasa, mula-mula di daerah Silindung (Kabupaten Tapanuli Utara yang ibukotanya adalah tarutung yang sekaran). Raja Pontas Lumbantobing, Raja Musa Hutahuruk dan Raja-raja lainnya melihat kesempatan yang tidak mungkin disia-siakan melalui agama Kristen yang dibawa para missionaris, apabila orang Batak ingin hidup bebas dari kuasa-kuasa kejahatan yang mencekam hidup orang Batak pada saat itu. Itu artinya mereka menganggap kekristenan itu mampu melepaskan mereka dari kejahatan-kejahatan terkhusus tentang kegelapan agama mereka sebelumnya.[26]

2.2.3.      Pergumulan Pada Sebelum Masa Hindia Belanda

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan diatas bahwa sebelum masuknya kekristenan ke tanah Batak, ada beraneka-ragam agama yang dianut bangsa Batak. Banyak terjadi penyembahan berhala pada benda-benda, karena mereka menganggap bahwa ada dewa-dewa ditiap-tiap benda tersebut yang berkuasa atas hidup manusia. Selain itu tradisi mereka yang sangat mengerikan yaitu tidak segan-segan menganiaya orang yang dianggap musuh, tangan dan kakinya di belenggu dan di ikat di tengah-tengah halaman kampung. Dagingnya dipotong-potong dan dibakar untuk di makan oleh orang-orang yang berkuasa atasnya, seperti yang telah dijelaskan di awal tentang kehidupan orang di tanah Batak ini sebelum kekristenan masuk.[27]

Selain itu, pada masa lampau orang Batak tidak suka terhadap orang luar yang bola matanya putih menurut orang Batak (Barat/ sibottar mata), karena mereka dianggap sebagai penjajah. Selain itu, ada paham bagi bangsa Batak yang hidup sebelum abad 19, bahwa orang yang berada di luar bangsa Batak adalah musuh. Alasannya adalah karena masa itu sering terjadi perang diantara suku-suku, bahkan perang antara sesama bangsa Batak yang berlainan desa, dan yang berbeda agama atau kepercayaan.[28] Salah satu alasan yang juga yang melatarbelakangi kecurigaan kepada orang asing adalah terjadinya perang paderi di Minangkabau yang menyerang suku Batak dalam kurun waktu 1824-1834. Khususnya serangan yang dipimpin Tuanku Rao tahun 1825-1829. Inilah juga yang menjadi latar belakang terbunuhnya dua missionaris yakni Munson dan Layman. Oleh karena itu, tanpa bermaksud membenarkan peristiwa pembunuhan dari Amerika itu, situasi dan kondisi sosial politik turut melatar-belakangi peristiwa tersebut.[29]

2.3. Kekristenan Pada Abad 19-20 Masa Hindia Belanda

Untuk daerah di Tanah Batak lembaga pekaran injil yang hadir adalah RMG (Rheinische Missionsgessellschaft) yang terbentuk pada tanggal 23 September 1828 selaku penggabungan beberapa badan PI di Jerman, seperti "Elberfelder Missionsgesellschaft" yang berdiri pada tahun 1799 dan "Barmer Missionsgesellschaft" yang didirikan tahun 1818, dan yang selama itu merupakan badan pembantu utama dari Basler Mission di Swiss. Berbeda dengan badan-badan PI yang ada di Belanda, maka RMG ini mengandung unsur Luther' dan unsur 'Uniert' dalam dirinya. Badan ini menerima tenaga-tenaga dari semua persekutuan di Jerman. Walaupun sebagian besar adalah berasal dari aliran gereja kesatuan, tetapi unsur Luther tetap ada yang kemudian diperkenalkan di Indonesia. Daerah kerja mereka di Indonesia: Kalimantan, Tapanuli (Sumatra Utara), Nias, Mentawai dan Enggano.[30]

Suatu ketika, Dr. Friederich Fabri (1824-1891), direktur Rheinische Mission-Gesselschaft (RMG) mengadakan lawatan ke Belanda, secara kebetulan menemukan buku karya van der Tuuk tersebut. Dia kemudian mencari tahu tentang penulisnya, dan konon bertemu secara langsung dengan van der Tuuk di Belanda, Dr. Fabri tertarik dengan adanya informasi tentang suku batak itu. Atas kunjungan Dr. Fabri sebagai direktur RMG, ia juga berunding dengan Pastor Wittenven pemimpin Zending kerk Ermelo. Hasilnya, ada beberapa orang missionaris utusan Zendingkerk Ermelo yang sedang bekerja di Tanah Batak diserahkan untuk bergabung dengan para missionaris RMG.[31]

RMG adalah kesatuan atau gabungan dari paham Lutheran dan Calvinis. Karena itu nanti di dalam berbagai kegiatan para missionaris RMG kombinasi kedua aliran ini cukup terlihat, baik dalam pengajaran, penerapan peraturan dan disiplin, maupun dalam peribadatan.

2.3.1.      Pertumbuhan

Dalam masa Hindia Belanda, adapun pertumbuhan yang dapat dilihat pada penyebaran injil ke tanah Batak adalah sebagai berikut: ke empat zendeling atau misionaris yang dikirim RMG adalah Van Asselt, Betz, Klammer, dan Heine. Berkumpul di Sipirok tanggal 7 Oktober 1861, sekaligus melakukan pembagian tugas dan wilayah. Tanggal ini kemudian ditetapkan HKBP sebagai tanggal lahirnya. Menyusul keempat penginjil itu, RMG mengutus ratusan penginjil. Yang paling sering diingat dan dihormati masyarakat Batak Kristen adalah Ingwer Ludwig Nommensen, yang tiba di tanah Batak pada Mei 1862. Nommensen segera disusul sejumlah besar penginjil utusan RMG, laki-laki dan perempuan, sehingga wilayah penginjilan (termasuk pendidikan, kesehatan, pertanian, dan pertukangan) dan pembentukan jemaat baru secara bertahap diperluas hingga ke Humbang, Toba, Samosir, menyusul Dairi dan Sumatera Timur. Tentu tidak hanya penginjil asal Eropa (terutama Belanda dan Jerman) itu yang berkarya, sejumlah tenaga pribumi yang dididik di sekolah-sekolah khusus untuk menjadi pengerja gereja mulai dari sekolah kateket di Parau Sorat sejak 1868, seminari Pansur Napitu sejak 1877 (didahului oleh Sikola Mardalan-dalan), seminari Sipoholon sejak 1901 hingga Seminari Narumonda sejak 1907. Terdapat juga sejumlah raja atau pemuka masyarakat yang peranan mereka dalam pengembangan gereja tidak  boleh diabaikan. Nama-nama mereka diantaranya adalah: Raja Pontas Batak Lumbantobing, Raja Ompu Bata Tahan Siahaan, Ompu Baligadosi Sihombing, Aman Dari Lumbantobing, dan Raja Ompu Manahara Hutauruk.[32]

Setelah kedudukan Nommensen semakin kuat dan dukungan pemerintah Belanda semakin nyata terhadap pengamanan di Silindung. Setelah itu semakin pesatlah pekerjaan penginjilan Nommensen di Silindung. Setelah lembah Silindung dan daerah sekitarnya sudah di injili dan di tobatkan, maka lembah Silindung merupakan pusat pekabaran Injil di tanah Batak. Di Pansur Napitu didirikan sekolah guru, untuk menjadi guru agama dan guru sekolah.[33]

1866 adalah tahun penentuan bagi kelangsungan hidup orang Kristen di Silindung dan pertumbuhan persekutuan Kristen di Silindung. Jumlah orang Kristen Batak pada tahun itu sudah mencapai angka 52, bahkan Johannes mencatat pada laporanya 1 November 1866 sudah 75 orang. Selain itu terdapat sejumlah kateket, yaitu para calon baptis yang sedang menunggu masa baptisan mereka, setelah usai mengikuti katekisasi yang berisi pengetahuan isi Alkitab dan etika alkitabiah Kristen, khususnya berdasarkan dasa titah. Bagi Nommensen, pembabtisan 20 orang pada 22 Juli 1866 adalah pertanda kemenangan kabar baik tentang Yesus Kristus di tengah banyak ancaman dan bahaya dari pihak-pihak yang masih menolak kehadiran Nommensen dan kaum Kristen pribumi itu. Nommensen masih melakukan baptisan kudus bagi Sembilan orang pada 14 Oktober 1866, dan mereka yang sudah berencana untuk membentuk keluarga baru diberi pemberkatan nikah pada malam harinya, antara lain Jakobus dengan Lina, Jakob dengan Sipora, dan Jonathan dengan Achsa.[34]

Statistik perkembangan jumlah orang Kristen di tanah Batak sejak 1861-1881:[35]

Tahun

1861

1867

1868

1870

1871

1877

1880

1881

Jumlah

2

115

728

849

1.250

2.173

4.956

5.988

 

2.3.2.      Perkembangan

Perkembangan yang terjadi pada masa ini adalah juga karena sejumlah langkah dan strategi dari RMG untuk menata Huria Batak yang memang sedang berkembang pesat itu. Adapun langkah yang dilakukan adalah:

1.      Mendirikan sekolah dan mengembangkan usaha pendidikan yang menyatu dengan Jemaat, di mana ada jemaat di situ ada sekolah. Bahkan kemudian ada sejumlah sekolah yang tidak langsung terikat kepada suatu jemaat. Selama  80 tahun kiprahnya, Batakmission menyelenggarakan ratusan sekolah dari tingkat dasar hingga lanjutan (umum maupun kejuruan) dan menghasilkan puluhan ribu orang Batak yang terdidik dan yang pada gilirannya, selain di lingkungan gereja, mendapat pekerjaan dan jabatan yang baik di kalangan pemerintah maupun swasta.

2.      Menata organisasi lewat penyusunan Tata Jemaat dan Tata Gereja, yang di dalamnya ditetapkan juga sejumlah jabatan gerejawi. Dimulai dengan Tata jemaat (Gemeinde Ordnung) 1866, dilanjutkan dengan Tata Gereja (Kirchen Ordnung) 1881, Huria Batak (selanjutnya HKBP) beberapa kali menata organisasi dan jabatan gereja dan merevisi tata gerejanya (belakangan disebut Aturan dan Peraturan). Tata Jemaat dan Tata Gereja ini di satu sisi memberi tempat bagi tokoh-tokoh masyarakat lokal (a.l. raja-raja dan pangituai ni huta diangkat menjadi sintua) tetapi di sisi lain bersifat sentralistik dan memusatkan kekuasaan pada Ephorus sebagai Pucuk Pimpinan.”

3.      Penataan ibadah dengan menyusun dan menghimpun sejumlah Tata Ibadah di dalam buku Agenda dan menyediakan Buku Ende Huria. Buku Agenda ini merupakan saduran dari Agenda di gereja Protestan di Jerman pada abad ke-19, yang disesuaikan di sana-sini dengan konteks dan kebutuhan gereja di Tanah Batak. Pada abad ke-20 gereja di Jerman mengubah tata ibadah di Agenda abad ke-19 itu, tetapi gereja-gereja Batak setia mempertahankannya. Khusus Buku Ende Huria, kemudian dilengkapi dengan Haluaon na Gok.” [36]

2.3.3.      Pergumulan

Pergumulan yang dihadapi oleh para pembawa Injil ke Tanah Batak Ingwer Ludwig Nommensen, yang tiba di tanah Batak Mei 1862. Nommensen memulai kegiatan penginjilannya di Barus; tetapi karena sambutan masyarakat  yang sudah mayoritas islam disana kurang positif  dan banyak yang bukan orang Batak, maka pada akhir 1862 ia pindah ke sipirok , bergabung dengan Klammer. Hal yang sama dihadapinya disana, sehingga pada akhir 1863 ia-atas izin pemerintah Hindia-Belanda, memasuki daerah Silindung yang penduduknya masih beragama suku, walaupun kawasan itu masih termasuk kawasan yang “merdeka” (Onafhankelijk). [37]

Selain itu yang menjadi pergumulan adalah kehadiran para zendeling di tanah Batak tentu tidak disetujui Sisingamangaraja XII yang menggantikan ayahnya tahun 1867 yang beranggapan bahwa zending adalah wahana dan alat pemerintah untuk menguasai daerah Batak. Mereka merasa terancam dengan kehadiran para Zending, sehingga hal ini membuat Sisingamangaraja XII mengambil tindakan untuk memaklumkan perang terhadap pihak Belanda tahun 1877, ia telah melancarkan perang urat syaraf melalui beberapa anak buahnya yang mengunjungi pusat pasar tradisional yaitu Onan Sitahuru di Silindung sejak awal Januari 1878 yang telah menyebarkan berita bahwa ia dan seluruh pasukan acehnya akan membunuh orang Eropa dan orang-orang Kristen di kalangan penduduk. Berita itu cukup merepotkan para penginjil Eropa dan juga orang-orang Kristen pribumi di Silindung dan Sipoholon, sehingga Nommensen sempat mengirim utusannya kepada residen sebagai penguasa tertinggi untuk seluruh wilayah Tapanuli yang terletak di Sibolga untuk memberitahukan berita ancaman Sisingamangaraja tersebut.[38]

2.4. Kekristenan Pada Masa Gerakan Nasionalisme Di Indonesia

Apa sebenarnya yang melatarbelakangi gerakan Nasionalisme di Indonesia? Sejarah latar belakang gerakan nasionalisme mencatat banyak gereja Era kolonialisme dipimpin oleh missionaris-missionaris Eropa, sedangkan pendeta-pendeta pribumi jumlahnya terbatas hanya pembantu mereka saja. Sebab itulah ketidakmampuan Gereja-gereja permulaan itu untuk menjawab tantangan zaman baru, tetapi tidak mengahalangi anggota-anggota secara perorangan untuk menggabungkan diri pada gerakan nasionalisme. [39] Sejalan dengan itu mengenai kesadaran nasionalisme yang mulai ada di hati masyarakat Indonesia. Munculnya gerakan-gerakan nasionalisme pada abad ke-19 dipicu oleh semangat anti-kolonialisme yang berkepanjangan.[40]

2.4.1.      Pertumbuhan

Pada Masa Nasionalisme Indonesia, pertumbuhan dari gereja itu dapat terlihat dengan jelas. Gerakan-gerakan pekabarn Injil yang dilakukan oleh kaum awam yang sungguh-sungguh bertobat dan menerima Injil sebagai pedoman hidup baru bagi mereka. Justru mereka itulah yang mengambil prakarsa  bekerjasama dengan para missionaris dalam menunaikan tugas kesaksian gereja. Missionaris-missionaris kemudian mulai minta bantuan dari rekan-rekan pribumi untuk melakukan pekabaran injil kepada suku bangsa mereka sendiri. Proses itu nampak dalam periode 1930-1941. Mission Methodist Amerika N.Z.G, dan N.Z.V. dan badan-badan zending lainnya mulai melihat pentingnya peranan rekan-rekan pribumi itu dalam usaha bersama dibidang pekabaran Injil. Dari sinilah mulai nampak suatu fase pekabaran injil yang baru. Pertumbuhan dan perkembangan mulai tersa dan nyata dari kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh gereja.  Secara umum daerah pekabaran Injil sudah dapat meluas. Kemudian juga terjadilah pembentukan gereja-gereja yang diatur oleh bangsa sendiri. Ditanah batak itu gereja yang berdiri itu adalah HKI.[41]

·         Horea Christen Batak (HChB)

Sejak tahun 1907 sudah ada jemaat yang didirikan oleh RMG (Reinsche Mission Gesellschaft) di Pematang Siantar dan Jemaat ini menjadi pusat utama para missionaris RMG di Sumatera Timur. Akan teteapi, warga jemaat banyak yang bersebar di sekitar pinggiran kota Pematang Siantar yang jaraknya kurang lebih 4km dari gereja ini dan F. Sutan Malu Penggabean adalah salah satu dari antaranya. Mempertimbangkan sulitnya menjangkau Gereja Pematang Siantar dengan berjalan kaki, maka F. Sutan Malu Panggabean (yang adalah lulusan sekolah Seminari Sipaholon tahun 1909) mengusulkan agar didirikan satu jemaat baru di Pantoan. Usul ini ditolak oleh Pdt. R. Scheneider (Missionaris RMG) di Pematang Siantar. Sejalan dengan lahirnya hari kebangkitan Nasional melalui pendidiran Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dan didorong oleh keinginan kemandirian Gereja dari RMG serta penolakan mendirikan jemaat baru di Pantoan Oleh Missionaris RMG di Pematang Siantar adalah menjadi salah satu alasan untuk mendirikan satu gereja baru di Pantoan yang disebut Hoeria Christen Batak (HChB). [42]

Sebenarnya, sejak tahun 1927, F. P. Sutan Malu sudah mulai melakukan kebaktian minggu di rumahnya di daerah Pantoan Pematang Siantar. Akan tetapi baru pada tanggal 1 April 1927 membuat surat permohohan resmi kepada pemerintah, alasan utama mendirikan Gereja ini. Sabutan masyarakat Kristen Batak terhadap HChB di Pematang Siantar dan sekitarnya sangat luar biasa. Dalam kurun waktu yang relative singkat yaitu pada tahun 1927-1930 terdapat 5 jemaat dengan 220 kepal keluarga dan pada tahun 1933-1935 jumlahnya sudah mencapai lebih dari 170 jemaat. Gereja HChB sudah menyebar sampai ke daerah Deli Serdang, Tapanuli di daerah Humbang, Sipahutar, Pangaribuan, Silindung sekitarnya, Patene Porsea atau Toba Holbung, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan sekitarnya. Demikianlah pada tanggal 5 Agustus tahun 1928 oleh 123 orang warga jemaat RMG mendirikan salah satu jemaat baru di Medan yang di sebut “Hoeria Christen Batak Medan Parjolo” (HChB Medan I).[43] Pemerintah Belanda sangat hati-hati dan telitih mengikuti perkembangan Hoeria Christen Batak. Kehati-hatian mereka didasarkan kepada kenyataan tersebarnya diseluruh Indonesia gerakan kemerdekaan Indonesia. Dimana-mana didirikan orang Taman Siswa yang dianggap sebagai lembaga nasional yang menyebar luaskan gerakan Nasionalisme.[44]

2.4.2.      Perkembangan

Perkembangan yang terjadi adalah bahwa kesadaran gereja akan pengenalan dirinya dalam rangka pergerakan nasionalisme yang sedang berkobar di pelbagai daerah dalam tahun 1930-1941 terjadilah serentetan peristiwa pendewasaan jemaat-jemaat Tuhan di Indonesia. Seperti Gereja-gereja HKBP, GKE, GKP, GKI Jabar dan beberapa gereja lainnya. Selain itu juga ada dua faktor yang membuat gereja-gereja mulai memahami dan mengenal diri dalam rangka perjuangan nasionalisme yang sedang hebatnya berkobar dimana-mana pada saat ini. kedua faktor yang ternyata sangat menentukan wajah dan karekter kehidupan kekristenan di Indonesia itu memungkinkan terjaminnya hak hidup gereja-gereja.[45]

2.4.3.      Pergumulan

Berbicara tentang pergumulan dari pada masa ini pergumulan tidak begitu terasa dalam pekabaran Injil karena, akibat pengaruh nasionalisme dalam ilmu pekabaran injil, para zendeling pada umumnya dan tenaga RMG pada khususnya memberi penilaian yang lebih positif.[46] Tetapi apabila melihat dari respon Belanda, mereka merasa gelisah akibat dari gerakan Nasionalisme yang terjadi. Sampai mereka merupakan siasat “devide et impera untuk menghalang-halangi pergerakan nasionalisme yang terjadi. Kemudian dibentuk lagi Voksraad pada tahun 1918 oleh pihak Belanda untuk membujuk pemimpin nasional agar mau berkompromi dengan pihak penjajah. Dimana pergerakan-pergerakan melawan penjajah Belanda segera timbul pada tahun 1920an dalam bentuk konfrontansi fisik, sekalipun perlawanan-perlawanan bersenjata dari rakyat Indonesia itu dapat digagalkan Belanda.[47]

2.5. Kekristenan Pada Masa Jepang

Runtuhnya kekuasaan pemerintah kolonial Hindia-Belanda, akibat serangan dan pendudukan tentara Jepang, berdampak besar terhadap hubungan antara penganut agama-agama yang ada dengan pemerintah.

Pendudukan Jepang atas Indonesia bukanlah sebuah peristiwa yang mendadak. Sudah sejak akhir abad ke-19 pemerintah Jepang mengambil langkah tertentu dan melakukan berbagai kegiatan untuk meluaskan kekuasaannya ke seluruh Asia Timur dan Tenggara (termasuk Indonesia). Sementara sudah sejak akhir 1930-an kekuatan pemerintah Hindia-Belanda sudah semakin merosot akibat berbagai faktor, antara lain kian gencarnya gerakan-gerakan dan partai-partai berskala nasional memperlihatkan sikap anti penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia atau paling tidak “Indonesia berparlemen”.

Sejak tanggal 7 Desember 1941 pasukan udara Jepang menyerang Pearl Harbour di Pasifik maupun pulau Luzon di Filipina. Walaupun belum ada serangan ke Hindia Belanda, namun pada tanggal 8 Desember 1941 pemerintah Hindia Belanda mengikuti jejak sekutu-sekutunya menyatakan perang terhadap Jepang. Sejak 10 Januari 1942 penyerbuan Jepang kepada Indonesia dimulai. Setelah sekian banyak lokasi diduduki tentara Jepang, maka pada tanggal 08 Maret 1942 pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, subang, dan Gubernur Jendral Tjaarda van Starkenborgh-Stachouwer ditawan. Inilah akhir riwayat pemerintahan Hindia-Belanda dan awal pemerintahan baru di bawah pemerintah militer Jepang. Selanjutnya wilayah Sumatera dan Jawa dikuasai oleh Angkatan Darat (Ryukugun), sedangkan Kalimantan dan Indonesia Timur dikuasai Angkatan Laut (Kaigun).[48]

      Umumnya anggota gereja tidak dapat membayangkan bahwa kekuasaaan Jepang akan segera berakhir di Indonesia melihat ketangkasan dan kelihaian mereka di tengah-tengah penduduk desa yang hanya dapat mematuhi peraturan dan tindakan mereka yang sangat keras. Sebab dalam tempo tiga tahun (1942-1945) Jepang telah berhasil menanamkan pendidikan ala Jepang termasuk bahasa Jepang di tengah-tengah anak-anak yang belajar di sekolah. Mereka dapat meyakinkan penduduk bahwa mereka bukan orang kulit putih tetapi orang Asia sama seperti orang Batak. Mereka datang untuk membebaskan orang-orang Asia dari  penjajahan bangsa Barat, sebab itu siapa yang membenci orang Jepang berarti orang yang tidak suka kemerdekaan.[49]

2.5.1.      Pertumbuhan

 Pada masa Jepang, walaupun begitu banyak pergumulan yang terjadi di tanah Batak maupun di Indonesia , tetapi justru pergumulan-pergumulan itu membuat masyarakat batak yang telah memiliki benih kekristenan semakin berkembang terkhusus tentang pola berpikirnya, dan tentu saja perkembangan berpikir itu akhirnya mampu menghadirkan pertumbuhan secara kuantitas dalam masyarakat tanah Batak. Pada masa ini HKBP telah membenahi diri kedalam sehingga tetap sadar akan kerawanan situasi yang oleh kesilapan sedikit dapat menghancurkan jemaat dan gereja. Segala kepentingan pribadi dan golongan dijauhkan, baik di kalangan pengerja gereja maupun dikalangan anggota jemaat. Setiap pemilihan di dalam masyarakat dan gereja  selalu dapat membawa perselisihan bahkan perpecahan. Tetapi sinode Agung tahun 1942 dan rapat-rapat jemaat dan distrik yang mendahuluinya berjalan tanpa ada penonjolan golongan atau pribadi.

Pdt. Justin Sihombing terpilih dalam sinode Agung tersebut menjadi pimpinan HKBP, yang disebut Voorzitter dan kemdian disebut Ephorus. Beliau telah menggembalakan HKBP sebagai Ephorus sampai tahun 1962. Pada akhir tahun 1942 diperkirakan jumlah anggota HKBP telah mencapai 475.000 jiwa. Pendeta HKBP 68 orang, tetapi kebanyakan dari guru-guru telah meninggalkan pelayanan dalam jemaat, dan hanya melayani bidang sekolah yang telah diambil alih oleh pemerintah militer Jepang. Gedung gereja tempat ibadah diperkirakan mancapai 800 buah. [50]

2.5.2.      Perkembangan

Banyaknya pergumulan yang dialami oleh masyarakat tanah Batak, justru membuat mereka menjadi jauh lebih berkembang. Dalam situasi demikian, gereja memberi suara penggembalaan kepada anggota jemaat dan pengurus jemaat agar tetap menggantungkan diri kepada kuasa Tuhan Allah yang mengatur jalan sejarah dunia ini.Tuhan menetapkan agar setiap orang patuh kepada pemerintah itu pada hakekatnya selalu bertugas untuk mencari kebaikan rakyatnya. Melalui penderitaan itu, justru membuat mereka semakin berserah pada kuasa Tuhan.[51] Pengalaman yang menimpa gereja di masa pendudukan Jepang ini telah menempa gereja menjadi lebih dewasa. Ia menjadi dewasa melalui penderitaan, tekanan, hambatan, serta segala macam pembatasan yang dikenakan pada gereja, tidak berhasil melumpuhkan gereja itu. Meskipun ditindas tetapi tidak terjepit, habis akal namun tidak putus asa, dianiaya tetapi tidak ditinggalkan oleh Tuhannya. Sebaliknya gereja menjadi lebih sadar akan hakekat keberadannya di dalam dunia ini, lebih mengerti tugas dan panggilannya lebih berani mengabarkan Injil. Kehadiran para pendeta Jepang juga membuka horizon baru. Bila sebelumnya Indonesia hanya mengenal gereja-gereja sahabat di Eropa dan Amerika, kini mereka sadar bahwa juga di Asia terdapat gereja Tuhan yang hidup yang bersedia menanggung beban sesama. Artinya justru karena pergumulan-pergumulan itulah pemikiran di tanah Batak justru semakin terbuka khususnya tentang kekristenan itu. Kumpulan-kumpulan dan pemahaman Alkitab berkembang dan hidup di mana-mana. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia yang dilarang oleh Jepang, secara sembunyi-sembunyi terus mengadakan kegiatan mereka, dengan menyelenggarakan kelompok doa, pemahaman Alkitab dan kelompok diskusi. Hari doa mahasiswa sedunia mereka rayakan secara rahasia. Pengalaman gereja di masa pendudukan Jepang ini telah dipakai oleh Tuhan untuk mempersiapkan gereja di Indonesia memasuki babak baru dalam sejarah yang lebih hebat lagi periode perang kemerdekaan.[52]

Dalam pendudukan militer Jepang di Tapanuli, gereja belajar untuk lebh dekat kepada Tuhan Allah dank arena itu belajar selalu mengesampingkan kekuatan diri sendiri dan lebih mengakui bahwa gereja itu bukan perkumpulan satu suku atau bangsa, tetapi perkumpulan/ persekutuan orang-orang yang percaya, yang terbuka bagi segala orang di dunia ini yang bisa timbul tenggelam seperti kuasa Belanda yang berabad-abad tiba-tiba dapat berakhir dengan pendudukan penguasa baru yaitu Jepang.[53]

2.5.3.      Pergumulan

Masa pendudukan Jepang dapat terbilang cukup singkat tetapi pergumulan yang dialami sebagai dampak dari pendudukan Jepang ini juga tidak bisa dianggap remeh, karena pada faktanya banyak pergumulan yang dialami secara khusus dalam hal ini, bagi masyarakat di tanah Batak. Masa pendudukan Jepang yang relatif singkat telah menorehkan pengalaman penuh luka bagi komunitas kekerabatan Batak dan komunitas kekerabatan Batak dan komunitas Kristen Batak. Setiap penduduk yang dianggap tidak tunduk kepada Jepang menghadapi berbagi tindakan kekerasan secara sewenang-wenang. Pasukan Jepang memaksa penduduk harus menyerahkan beras kepada mereka sehingga penduduk jadi sering makan gadong (ubi). Pendidikan diubah dengan mengutamakan pelajaran bahasa Jepang dan mengindoktrinasi penduduk untuk menyembah kaisar Jepang. [54]

Sebelum jauh berbicara tentang pergumulan-pergumulan berat yang dialami di tanah batak, barangkali dapat dilihat juga bahwa pada masa Jepang ini, kehidupan gerejani mengalami ke-tawaran, terjadi peristiwa tawarnya kehidupan gerejani. Ada beberapa hal yang harus disebutkan yang merupakan pendorong tawarnya kehidupan gerejani pada masa ini.Yang pertama ialah yang bersumber dari pemerintah Jepang sendiri dan yang kedua bersumber dari keadaan setempat.Bangsa Jepang kebanyakan mempunyai kepercayaan campuran antara kepercayaan Budha dan pendewaan nenek moyang. Kekurangan sandang pangan juga memicu kelemahan iman yang semuanya itu dikuasai oleh pemerintah Jepang.Puncak penderitaan itu mengakibatkan kendornya usaha tokoh-tokoh gerejani didaerah dan pusat.Tokoh-tokoh yang berpenghasilan dari gaji bulanan lah yang paling banyak menderita.Mereka ini sering sekali kembali bertani untuk mempertahankan hidupnya.[55]

Dalam proses pengabaran Injil pada masa Jepang, dapat dilihat begitu banyak pergumulan yang dialami oleh masyarakat di Tanah Batak. Pendudukan tentara Jepang di Tapanuli terjadi pada pertengahan bulan Maret 1942. Jepang segera mengambil alih pemerintahan Belanda di Tapanuli. Orang Belanda termasuk pendeta Belanda ditangkap. Setiap penduduk dan kumpulan-kumpulan, termasuk gereja diperingatkan oleh pemerintah militer Jepang agar jangan memberi kecurigaan, artinya di sini jangan mencampuri urusan politik yang mengurangi kekuasaan Jepang. Di tengah-tengah ketakutan yang melanda penduduk, gereja juga terpaksa menerima tindakan-tindakan Jepang yang sudah berlawanan dengan dasar gereja;

a)      Semua sekolah dan rumah sakit dikuasai oleh pemerintah militer Jepang.

b)      Semua guru dipaksa menjadi pegawai negeri pemerintah militer Jepang.

c)      Kebaktian gereja pada hari minggu dipaksa menjadi sarana propaganda mensukseskan perang Asia Timur Raya.

d)     Beberapa pendeta ditangkap dan dipenjarakan sebab khotbahnya yang tidak sesuai dengan keinginan pemerintah Jepang.

e)      Ribuan pemuda Kristen Batak dijadikan tentera dan  banyak yang tidak diketahui kemana rimbanya.

f)       Penghasilan rakyat yang hanya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti padi dan ternak dipaksa dikumpulkan ke gudang tentera Jepang, sehingga rakyat dipaksa hanya untuk makan ubi kayu.

g)      Pengajaran agama dilarang diberikan dalam sekolah sebagai mata pelajaran.[56]

Selain itu secara jelas juga dapat dilihat bahwa pada masa penjajahan Jepang, gereja mengalami tekanan dan pergumulan yang sangat berat:

1.      Penyitaan Harta Milik Gereja

Hampir di seluruh Indonesia gereja mengalami hal-hal yang sama, banyak sekali harta milik gereja disita oleh pemerintah Jepang dan dijadikan milik kerajaan, seperti gedung-gedung gereja pun yang disita. Malahan ada gedung gereja yang dipergunakan selaku markas besar tentara seperti di Banjarmasin. Peristiwa itu merupakan pelajaran sejarah yang cukup pahit. Karena pada waktu itu sebagian besar dari badan zending belum sempat mengalihkan secara hukum seluruh harta milik gereja yang masih atas nama mereka kepada badan hukum gereja. Hal ini membuat cukup alasan bagi pemerintah Jepang untuk menyita semua harta milik yang masih atas nama zending ataupun badan pemerintah Belanda, karena dianggap milik musuh yang sudah kalah. 

2.      Tekanan dan Pembatasan Gerak Oleh Pemerintahan Pendudukan Jepang

Tindakan-tindakan politis yang dilakukan oleh pihak Jepang ialah mengkikis habis semua ikatan dan simpati terhadap pihak Belanda. Salah satu cara yang dipakai ialah membabat semua golongan intelektual dan menguasai rakyat Indonesia. Sehubungan dengan cara tersebut, cukup banyak kaum intelektual Kristen baik sebagai tokoh gereja maupun selaku tokoh masyarakat yang ikut menjadi kurban dibunuh oleh Jepang, dengan tuduhan melakukan kegiatan mata-mata untuk Belanda. Pada waktu itu kaum terpelajar Kristen secara presentase cukup banyak dibandingkan dengan golongan lain. Ini disebabkan pada umumnya, sekolah-sekolah yang diusahakan oleh pihak zending/ gereja cukup banyak tersebar diseluruh wilayah Indonesia.

Pada masa ini orang Kristen umumnya dicurigai dan difitnah selaku kaki tangan Belanda, sehingga korban-korban yang jatuh tidak sedikit jumlahnya. Pada masa kedatangan tentara Jepang, memang masih terdapat peraturan-peraturan ataupun tata gereja yang masih ditulis dalam bahasa Belanda, sehingga mudah sekali dituduh sebagai kaki tangan Belanda. Pimpinan gereja kemudian berusaha secara cepat menterjemahkan peraturan dan ketentuan-ketentuan tersebut ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah masing-masing. Tindakan lainnya dari pihak pemerintah pendudukan adalah larangan berkumpul dan berapat yang juga dikenakan pada perhimpunan ibadah orang Kristen. Pada waktu permulaan memang gereja mengalami kesulitan berat, terutama menghadapi larangan beribadah di rumah-rumah gereja.

3.      Tekanan dan Tantangan dari Golongan Islam

Gereja-gereja di Indonesia dan umat Kristen pada masa pendudukan Jepang ini harus pula menghadapi tekanan dan tantangan dari golongan Islam yang pada saat ini mendapat “perlindungan” dari pemerintah militer Jepang. Mereka melancarkan tuduhan bahwa agama Kristen itu adalah agama Belanda dan oleh karena itu orang-orang Kristen dan gereja-gereja dituduh sebagai mata-mata Belanda. Tuduhan seperti itu telah menimbulkan kekacauan dan kegelisahan di kalangan umat Kristen. Gereja-gereja di Indonesia adalah gereja nasional dan orang Kristen Indonesia berkewajiban membela bangsanya. Walaupun umat Kristen di Indonesia telah memperlihatkan sikap nasional dalam melawan kekuasaan kolonial baik Belanda maupun Jepang, mereka tidak luput dari tekanan dan tantangan dari pihak Islam. Perang “Jihad” yang digerakkan oleh kaum Islam pada tahun 1942 telah menimbulkan kerugian-kerugian materil maupun spiritual pada gereja-gereja dan umat Kristen di Jawa. Pengalaman gereja dalam hubungannya dengan pihak umat beragama yang lain, khususnya Islam dalam periode ini, telah ikut membantu gereja untuk menjadi lebih dewasa serta lebih sungguh-sungguh menempatkan dirinya sebagai bagian yang melayani di tengah-tengah masyarakat bangsa.[57]

2.6. Kekristenan Pada Masa Indonesia Merdeka

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan bangsa Indonesia ke seluruh mengetahuinya. Sebab dari pertengahan Agustus-September1945 apapun yang terjadi di luar Tapanuli tidak dapat diketahui oleh penduduk. Alat-alat media, radio dan telepon berada di tangan pemerintah militer Jepang, dan semua radio penduduk disita. Namun dari gerak-gerik tentara Jepang nampak sesuatu yang tidak beres pasti terjadi. Tanpa dirasakan jumlah mereka berkurang dari hari ke hari. Sewaktu kabar tentang kemerdekaan bangsa Indonesia telah di dengar di tengah-tengah desa di Tapanuli, maka seluruh penduduk membuang rasa takut yang selama ini mencekam mereka.[58]

2.6.1.      Pertumbuhan

Dalam rangka menggalakkan revolusi kemerdekaan, rakyat Indonesia membentuk organisasi pemudanya. Umat Kristen membentuk Partai Kristen Indonesia (PKI) dan dirobah kemudian menjadi Parkindo. Namun pimpinan gereja tidak memaksa anggotanya memasuki partai Kristen Indonesia itu. Kepada warga gereja diberi kebebasan memilih aliean politiknya yang sesuai dengan kehendaknya masing-masing. [59]

2.6.2.      Perkembangan

Dalam masa Indonesia merdeka ini terlihat perjuangan dari masyarakat Tanah Batak rakyat yang selama ini merupakan budak dan sapi perahan Jepang segera bangkit. Gerakan mobilisasi umum dengan mudah menggerakkan rakyat yang sudah galak itu untuk merebut kekuasaan dari Jepang. Hal yang serupa itu terjadi juga di Sumatera Utara di tempat-tempat kedudukan Jepang. Tidak terkira banyaknya pemuda Kristen yang turut mengambil bagian dalam perampasan kekuasaan dan senjata dari jepang.[60]

2.6.3.      Pergumulan

Berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada masa Jepang dimana pergumulan yang terjadi justru memperkuat perkembangan pada pemikiran masyarakat Batak yang semakin mengandalkan Tuhan. Pada masa Indonesia Merdeka ini justru dengan adanya kemerdekaan itu, ada anggapan bahwa seolah-olah ada gejala bahwa merdeka pada waktu itu berarti bebas melakukan kehendak dan golongan sendiri. Hal ini nampak dalam aliran “revolusi sosial” yang mulai bergerak di daerah Sumatera Timur (Simalungun) sejak bulan Maret 1946.

Aliran tersebut menunjukkan kekerasan dan tindakan yang tidak berperikemanusiaan kepada keluarga-keluarga sultan dan raja-raja yang memang pada waktu itu telah melepaskan diri dari kekuasaan mereka atas daerah-daerah istimewa secara de facto.

Aksi gerakan ini (revolusi sosial) sempat merembes ke pulau Samosir pada bulan Mei 1946. Hampir seluruh raja dan pengawai ditangkap dan dipenjarakan di tangsi pangururan.

Selain itu terjadi juga perang saudara dan agressi Belanda, puncak penderitaan penduduk pada masa perang saudara antara beberapa barisan tentera yang muncul di Tapanuli, yaitu barisan Harimauliar, tentara si Raja, tentara si Bejo, Benteng dan lain-lain. Citra keagamaan yang mereka anut (Kristen dan Islam) sama sekali pudar. Gereja yang pada hakekatnya bertugas untuk memberitakan Injil, tidak dapat lagi berkembang secara bebas.

Agressi Belanda I dan II (1947-1949) yang juga sampai di Tapanuli telah menambahkan kekacauan penderitaan masyarakat dan gereja. Gereja harus melayani jemaatnya di dalam dua daeah yang berbeda. Satu di daerah kekuasaan republik Indonesia, dan yang lain dapat direbut oleh pemerintah Belanda (tentara sekutu). Dalam hal ini HKBP diujulagi secara hakikatnya sebagai gereja, yang harus bediri ditengah-tengah bangsa Indonesia yang melalui masa peralihan. Tidak mungkin bagi pucuk pimpinan HKBP untuk mengadakan kunjungan ke jemaat-jemaat sebab perhubungan lalu lintas antara daerah-daerah yang dikuasai oleh pemerintahan yang berbeda pada waktu itu sangat sulit. [61]

2.7. Kekristenan Pada Masa Orde Lama

2.7.1.      Pertumbuhan

Tahun 1955 diadakan Pemilihan Umum yang pertama bagi rakyat dan bangsa Indonesia yang memberi kesempatan baik bagi warga gereja HKBP untuk menggunakan haknya ikut dalam pemilihan. Pengalaman yang pertama ini dapat untuk menilai kehidupan gereja yang berada di tengah-tengah masyarakat dan bangsa Indonesia. Karena mereka diberi kebebasan memilih calon-calon yang menjadi anggota badan legislatif dan eksekutif sesuai dengan pandangan mereka. Umat Kristen yang berhak memilih DPR di Sumatera Utara ada dekitar 400.000 orang dan dari antara mereka ada sejumlah 294.000 orang yang memilih Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Perkembangan Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh kebanyakan umat Kristen Sumut belum dapat dibayangkan bahayanya bagi masyarakat, bangsa dan gereja.

Tetapi HKBP selaku satu gereja yang mendukung azas Ketuhanan Yang Maha Esa yang ada dalam Pancasila dan UUD 1945, telah memberi peringatan bagi warganya akan bahaya PKI sebagai satu gerakan yang anti agama yang tidak mengaku adanya Tuhan Allah Pencipta. Sepanjang tahun 1950-an HKBP tanggap akan bahaya dari ideologi komunisme PKI. Bagi mereka yang pindah dari Tapanuli ke daerah-daerah di Sumatera Timur, bimbingan demikian sangat penting, terutama bagi mereka yang dalam hidupnya pertama kali bertemu dengan segala macam bujukan PKI. Sehingga pernah terjadi kericuhan dan penyelewengan dalam jemaat oleh mereka yang sudah masuk anggota PKI, di mana mereka selaku pimpinan jemaat setempat membuat keputusan-keputusan tanpa sepengetahuan  Pendeta.

HKBP menyadari keterbatasan kedudukannya sebagai satu lembaga agama terhadap warga gereja yang bebas memilih partai-partai yang pada waktu itu legal berdiri di Indonesia termasuk PKI. Tetapi dari sudut iman Kristen, HKBP merasa bertanggungjawab atas kekeliruan ideologi komunisme PKI, sehingga HKBP harus menunjukkan sikap tegas terhadap ideologi tersebut. Dalam pesan khusus dari Sinode Agung 1956, HKBP menghimbau agar anggota jemaat HKBP terutama para pengerja gereja menjauhkan diri dari ajaran komunisme. HKBP sudah bersedia menerima akibat apapun yang akan terjadi dari PKI terhadap HKBP. Kembali penduduk Sumatera Utara termasuk anggota jemaat HKBP di Tapanuli merasakan ketegangan yang terjadi antara PRRI dan Pemerintah R.I. serta menderita akibat dari kekacauan dan hura-hura tersebut. Dalam situasi yang demikian HKBP merasa terdorong untuk menyampaikan hasratnya kepada Presiden R.I. agar secepat mungkin mengatasi dan menyelesaikan kemelut-kemelut dan kegentingan-kegentingan. HKBP memberanikan diri melakukannya atas dasar kasih dan cinta sesuai dengan dasar Agama dan kehendak Tuhan.

Kepada seluruh umat HKBP disampaikan oleh Pucuk Pimpinan HKBP suatu pesan penggembalaan untuk meneliti dalam bidang kerohanian sebab musabab dari kekeruhan yang dialami pada masa itu serta mengajak seluruh umat untuk berpaling kembali kepada Tuhan Yesus Juruselamat dunia. HKBP bergumul pada waktu itu untuk dapat menjelaskan bahwa suara bangsa (darah) jangan disamakan dengan suara Tuhan. Karena pendapat ini bisa saja dianut oleh warga gereja yang bertugas pada pihak masing-masing yang sedang bermusuhan. Di antara mereka mungkin terjadi pergumulan antara semangat kebangsaan yang bersifat kesukuan dengan kebangsaan Indonesia atau Nasional. Pada waktu itu bisa saja keduanya dipertentangkan. Dalam situasi yang demikian HKBP lebih sunguh-sungguh membenahi diri akan kedudukannya sebagai gereja yang tidak usah terikat kepada salah satu sentiment di atas. Kepada para pendeta diberi bimbingan agar mereka berkhotbah hanya karena Kristus dan pelayanan khotbah mencakup pelayanan dalam gereja, dunia, bangsa dan Negara.[62]

2.7.2.      Perkembangan

Kegiatan-kegiatan masyarakat dalam usaha mengemban tugas di lapangan ekonomi dan politik tetap diikuti dan didoakan HKBP agar mencapai hasil yang dapat dikecap seluruh lapisan masyarakat. Bagi HKBP keterlibatan di bidang masyarakat dianggap sesuatu tugas baru yang memerlukan dasar pemikiran teologis dan Alkitabiah dan untuk itu perlu dibentuk satu komisi tentang soal masyarakat demi menegakkan kebenaran di tengah-tengah masyarakat. Juga mempelajari Undang-undang Perkawinan yang berlaku bagi warga Negara Indonesia. Pemahaman mereka terhadap kekristenan itu sudah mengalami perkembangan, mereka juga mulai memakai pedoman Alkitab. Dan ini hal yang baik.[63]

2.7.3.      Pergumulan

Tentang apa yang menjadi pergumulan pada masa orde lama dijelaskan demikan bahwa: pada masa Orde Lama (1950-1966) banyak terjadi pergolakan politik, antara lain munculnya pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang oleh pemerintahan pusat RI di Jakarta dicap sebagai pemberontak. Cukup banyak warga dan pelayan HKBP bergabung ke dalam PRRI. Bahkan dikalangan PRRI diselenggarakan juga peribadahan dan kursus bagi para calon pelayan gereja yang waktu itu masih mendaku sebagai bagian dari HKBP. Di tengah kegaduhan politik yang diakibatkan oleh pengambilalihan Irian Barat oleh pemerintah RI melalui aksi Trikora (Tri Komando Rakyat) tahun 1962-1963 dan “ganyang Malaysia” melalui aksi Dwikora (Dwi Komando Rakyat) 1964-1965, kekuatan partai dan ideologi komunis semakin kuat. Baik di dalam aksi trikora dan Dwikora maupun di dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) terdapat juga sejumlah warga dan pelayan gereja termasuk HKBP. Gejolak yang diakibatkan oleh aksi-aksi politik ini sedikit banyak berdampak juga di dalam kehidupan bergereja. Ada saja kalangan tertentu di dalam gereja memperlakukan gereja sebagai panggung politik dan menjalankan aksinya seperti di dunia politik. Akibatnya tuduhan-tuduhan berbau politik juga terdengar dilingkungan gereja. Ketika GKPI baru berdiri, misalnya ada saja kalangan tertentu yang memelesetkannya menjadi GKPI. Pejabat pemerintah yang ikut dilibatkan dalam menangani gejolak di HKBP sejak 1962 juga sering bertindak dengan gaya politikus dan memperlakukan gereja sebagai objek politik.[64]

2.7.4.      Berdirinya GKPI

Gereja ini merupakan hasil perpecahan dalam tubuh HKBP pecah pada sinode godang HKBP, Oktober 1962 di Sipoholon. Terdapat beberapa kelompok yang tidak puas dengan kehidupan HKBP dan Universitas HKBP Nomensen. Mereka ingin mengadakan pembaharuan dalam tubuh HKBP. Konflik tidak dapat diperdamaikan sehingga kelompok yang tidak puas mengadakan ibadah sendiri.[65] Minggu 16 Agustus 1964, para pendukung pembentukan gereja yang baru itu datang dari berbagai penjuru (Medan, Kisaran dan Tanah Jawa- Simalungun) dan berkumpul bersama teman-teman seperjuangan di Pematangsiantar. Mereka semula sendiri-sendiri, kemudian bergabung – berkumpul di rumah Dr. Andar L. Tobing dan Dr. Sutan M. Hutagalung, sekaligus meminta pendapat dari kedua tokoh ini mengenai rencana pembentukan organisasi gereja yang baru.

Pada awalnya Dr. Andar L. Tobing menolak rencana itu dengan berkata: “Pemisahan diri dari suatu gereja, untuk mendirikan suatu gereja yang baru, tidak sesuai dengan dogma dan hukum theologia. Tubuh Kristus adalah tunggal (satu) dan tidak dapat dipecah-pecahkan.” Selanjutnya beliau berkata : “Belum ada suatu alasan yang kuat buat memisahkan diri dari HKBP”.  Dr. Sutan M. Hutagalung mengemukakan sikap dan pandangan yang pada prinsipnya sama. Pendek kata, sampai waktu itu kedua tokoh ini belum menyetujui pembentukan organisasi gereja yang baru baru. Kendati demikian, mereka yang datang dan berkumpul di Pematangsiantar itu tidak membatalkan maksud dan niat untuk mendirikan organisasi gereja yang baru. Mereka sebagian besar adalah warga gereja kemudian sepakat bahwa gereja yang baru itu diberi nama Gereja Kristen Protestan Indonesia, disingkat GKPI. Rencana pembentukan gereja baru ini, berikut nama yang disepakati, dikukuhkan dengan sebuah doa yang dipimpin oleh salah seorang peserta tertua pada pertemuan tanggal 16 Agustus, di rumah Dr. Andar L. Tobing: “Ya Allah, Bapa kami, bila rencana kami untuk mendirikan gereja yang baru ini sesuai dengan kehendak-Mu, berilah kami bimbingan dan berkat yang penuh. Tetapi bila rencana kami ini bertentangan dengan kehendak-Mu, kami mohon supaya dicegah segera” Pada hari Minggu 23 Agustus 1964 diadakanlah kebaktian pertama yang menggunakan nama gereja yang baru ini, dengan meminjam tempat di Gereja Bala Keselamatan, Jalan Merdeka Pematangsiantar, dipimpin oleh calon Pendeta Besatua Parsaulian Siregar, S. Th. Pada waktu itu diedarkan juga formulir isian berisi pernyataan menjadi anggota GKPI, setelah lebih dulu didoakan oleh seorang hadirin yang tertua. Pada hari Minggu 30 Agustus 1964 diadakan kebaktian GKPI yang kedua, di pekarangan rumah dr. Luhut Lumbantobing, Jl, Simarito no. 6 Pematangsiantar, karena pihak Bala Keselamatan tidak mengizinkan lagi menggunakan gedung gereja. Pada kebaktian ini hadir juga beberapa Pendeta dan calon Pendeta yang kemudian menjadi Pendeta GKPI, yaitu: Pdt. Dr. Andar L. Tobing, Pdt. L. Tambunan, O. Siahaan S. Th, M. Bakara, S. Th, dan G. O. P. Manurung.

Setelah kebaktian, disusunlah pengurus sementara GKPI. Tanggal pembentukan sementara ini (30 Agustus 1964) kemudian disepakati sebagai tanggal lahir GKPI, pesta peresmian berdirinya GKPI baru dilangsungkan pada hari minggu 1 November 1964, juga bertempat di Jalan Simarito no 6 Pematangsiantar, dipimpin Pdt. Dr. Andar L. Tobing, dan dihadiri ribuan warga masyarakat Kristen dari berbagai penjuru Sumatera Utara. Sehari sebelum peresmian- yakni pada tanggal bersejarah, Hari Reformasi 31 Oktober- diadakan musyawarah pertama GKPI (belum disebut sebagai Sinode Am) yang dihadiri oleh utusan dari 35 jemaat yang sudah terbentuk selama dua bulan pertama. Musyawarah ini menghasilkan kesepakatan tentang konsep Tata Gereja, penyempurnaan pengurus sementara, dan waktu penyelenggaraan Sinode Am yang pertama. Melihat proses berdirinya GKPI ini, dapat dikemukakan perbandingan: sama seperti Martin Luther pada awal abad ke-16 dan John Wesley pada abad ke-18, demikian juga kedua tokoh yang kemudian menjadi pimpinan GKPI pada separo masa GKPI, yaitu: Pdt. Dr. Andar Marisi Lumbantobing dan Pdt. Dr. Sutan Mahara Hutagalung, semula tidak menghendaki pembentukan organisasi gereja baru. Tetapi mereka dipaksa oleh sejarah, didesak oleh sejumlah tokoh dan warga gereja, yang sudah bertekat bulat meninggalkan HKBP dan membentuk gereja baru, untuk menerima pembentukan gereja baru itu dan memimpinnya. Dengan kata lain, mirip juga dengan peristiwa proklamasi kemerdekaan RI, proklamasi berdirinya GKPI tidak pernah direncanakan dan dipersiapkan sejak jauh hari melainkan dengan tiba-tiba digerakkan oleh iman yang haus akan pelayanan Yesus Kristus ditengah iklim situasi yang sulit.[66] 

 

2.8. Kekristenan Pada Masa Orde Baru

2.8.1.      Pertumbuhan

Pada masa orde baru terjadi pertumbuhan dalam hal pembangunan. Walaupun pembangunan di HKBP yang terjadi selama dua dasawarsa terakhir sempat di bumbui beberapa peristiwa yang mengganggu pembangunan itu, kalau dia hanya melihat dan ingin menikmati hasil pembangunan secara material, maka akan cepat timbul keresahan, kecemburuan dan ketidakjujuran. anatar warga Indonesia sendiri. Namun dalam situasi yang demikian HKBP selalu gereja Tuhan yang berdiri di Indonesia tidak mungkin lepas dari gelombang turun naiknya pembangunan itu.[67]

Pada tahun 1969 dengan tenaga dan peralatan yang masih minim, kegiatan sending dimulai membangkitkannya, dijejaki hubungan kepada jemaat-jemaat, membuat tulisan-tulisan pada majalah Immanuel, surat Parsaoran wanita dan brosur-brosur sending. Perkunjungan ke daerah sending makin banyak dilaksanakan disertai penelitian. Pada tahun 1970, diterbitkan alat mass media sending “berita zending HKBP”. Pada tahun 1972, ada 17 orang yang menerima beasiswa dari departemen sending. Pengembangan daerah-daerah pelayanan. Pada tanggal 2 November 1974 dilaksanakan Pesta Jubileum Sending HKBP yang ke-75 di kompleks Hermon, Pematangsiantar. Pada tanggal 5 Pebruari 1978, HKBP menjadikan daerah sending Mentawai mandiri menjadi satu gereja dengan nama Gereja Protestan Mentawai (GKPM). Sejak tahun 1979, kegiatan sending semakin maju sejajar dengan perkembangan jaman. Pengembangan di daerah sending yang baru semakin bertambah, demikian juga daerah transmigrasi. Untuk melayani kegiatan yang semakin bertambah itu, pada tahun 1981 dilaksanakan Up Grading untuk meningkatkan pengetahuan dan mutu pengerja sending. Ke jemaat-jemaat dilaksanakan penerangan melalui evangelisasi. Kolportase sending semakin ditingkatkan. Dijejaki untuk mendirikan poliklinik dan gereja di Janji Marapot, Pulo Samosir. Anak-anak yang melanjutkan sekolah dari daerah sending diberikan beasiswa. Pada bulan Februari 1982, berdirilah HKBP Salaon Samosir dan bulan Maret 1982 di Janji Marapot, di mana pada waktu itu dilaksanakan Pembaptisan Massal. Pada tahun 1984 dilayani juga daerah transmigrasi di Pasir Pangarayan Provinsi Riau. Awal tahun 1985, di Aek Bontar (dekat HKBP Tonduhan) Ressort Tanah Jawa telah dibaptiskan sebanyak 81 orang yang datang dari agama Pelbegu. Mereka telah mendirikan gedung gereja yang sederhana.[68]

Peristiwa G.30 S. PKI selain memabawa dampak bagi pergumulan kekritenan tetapi juga mendorong banyak orang berbondong-bondong menjadi Kristen. Selain itu pertiwa yang terjadi adalah Soeharto menggantikan Soekarno. Kemudia Gereja mendukung konsep pembangunan Orde Baru lewat Pelpem/Parpem, dan Golkar sebagai kekuatan politik utama mendapat dukungan dari sebagian besar orang Kristen.[69]

2.8.1.1. GKPA

Organisasi gereja ini secara resmi didirikan pada tanggal 26 Oktober 1975 ketika memperoleh otonomi dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), dengan nama HKBP-A. Pada tahun 1988 bergabung dengan "Gereja Protestan Angkola (GPA)", dan mulai mengambil nama "Gereja Kristen Protestan Angkola". GKPA melayani masyarakat Batak Angkola dalam bahasa daerah mereka.Dinyatakan dalam tujuan pelayanannya sebagai "menguatkan Kekristenan dalam lingkungan Islam" dengan upaya mempererat saling pengertian dan toleransi yang baik di antara umat Kristen dan Islam. Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA) telah berdiri sendiri dan diakui Pemerintah sesuai dengan Surat Pengakuan Departemen Agama Republik Indonesia No. 1 Ket/413/159277.Tgl.19 Oktober 1997 dan No. 75.Tgl.10 Maret 1988 serta No. 21 tahun 1995 berdasarkan UU no.8/1985 Tambahan Berita Negara R.I No.17 Tanggal 26/2-1999.GKPA berbentuk Badan Hukum yang berdiri sendiri, diawalnya bertempat kedudukan di Sipirok kemudian tahun 1987 (masa Orde Baru) pindah ke Padang Sidimpuan, Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. [70]

2.8.1.2. GKPPD

Jemaat awal GKPPD (Gereja Kristen Pak-Pak Dairi) terbentuk sebagai hasil zending HKBP yang mengutus Pdt. Samuel Pangabean mengabarkan Injil di tanah Pak-Pak pada 7 september 1905. Ibadah perdana diadakan di rumah keluarga Raja Sibayak Pakasior Manik di desa Kuta Usang Suak Pegangan. Pada 3 Maret 1963 berdiri HKBP Simerkata Pakpak-Sumbul, yang kelak menjadi gereja Pakpak yang berdiri sendiri, dimekarkan dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Pada 20 Oktober 1990 diadakan sidang penetapan nama, penetapan aturan-aturan gereja di HKBP Simerkata Pakpak-Sumbul. Peresmian GKPPD sebagai suatu sinode gereja yang mandiri dilaksanakan di Medan pada tanggal 25 Agustus 1991 dengan Pdt. E. J. Solin Sebagai Bishopdan St. Sakkap Manik sebagai pelaksana Harian, dan diakui pemerintah Indonesia melalui keputusan Dirjen Bimas Kristen Protestan Departemen Agama Republik Indonesia No: F/Kep/Hk.005/22/740/1996 tanggal 22 Maret 1996. Masuk menjadi anggota PGI wilayah Sumut melalui keputusan No. 183/K/PGIWSU/IV1996 tanggal 17 April 1996. Masuk angota PGI melalui keputusan no.139/PGI-IX/SKEP/1997 tanggal 13 November 1997. Menjadi anggota World Lutheran Federation (WLF) Geneva tanggal 21 Juni 2000.[71]

2.8.2.      Perkembangan

Perkembangan yang dapat dilihat adalah bahwa dari masyarakat Indonesia pada akhir-akhir ini diminta agar ikut mensukseskan trilogi kerukunan umat beragama, yaitu:

a. kerukunan dalam satu-satu agama

b. kerukunan antar umat beragama, dan

c. kerukunan antara umat beragama dan Pemerintah

Trilogi kerukunan di atas telah dipergumulkan oleh Sinode Agung 1981. Dalam pengkajian sejarah, maka dalam trilogi yang pertama itu, yaitu tentang kerukunan dalam satu-satu agama, di dalamnya telah termasuk kerukunan dalam satu-satu gereja. Dan jika demikian halnya, maka kita sebaiknya mengkaji sejarah HKBP, apakah trilogi kerukunan itu menjadi kenyataan pada dua dasawarsa terakhir ini. [72]

Perkembangan misi Batak 1932-1942 melangkah dengan cepat sekali, lebih bersifat ekspansif dari pada intensif, walaupun pendidikan guru dan katekis tetap sangat dipentingkan. Supaya karya misi mendalam diusahakan penerbitan macam-macam; katekismus, buku khotbah bagi para pemimpin umat, dan buku nyanyian.[73] Sampai sekarang tidak ada lagi hambatan untuk mengembangkan kegiatan diakonia. Kegiatan diakonia sebelum 1971 masih mencakup bidang kesehatan. Tetapi sejak tahun 1971 dipisahkan. Misalnya, panti Karya Hephata Laguboti. Di mana, ditempat ini dilayani para tunanetra (buta), lumpuh, dungu, tunagrahita (rusak mental), ekolem (ekonomi lemah) dan orang jompo (tua). Mereka dibina dalam kerohanian dengan mengadakan kebaktian pagi dan malam yang dibawakan oleh pemimpin kebaktian dan ibu asrama, bekerjasama dengan diakones dan pendeta HKBP Ressort Laguboti Habinsaran.[74]

Untuk kembali kepada cara kerja yang gerejani itu, maka HKBP telah memilih pengerja gereja melalui Sinode Agung 1978 (28 Okt. 4 Nop. 1978) dan Sinode Agung 1981. Pucuk pimpinan HKBP bersama-sama pimpinan gereja-gereja Sumut telah mengadakan penampungan sementara bagi mereka dengan memberikan pelayanan penggembalaan dari kuliah-kuliah darurat di luar kampus Fak. Teologi hingga Ephorus HKBP pada tanggal 11 April 1978 meresmikan berdirinya Sekolah Tinggi Theologi HKBP (STT HKBP) dalam satu upacara gerejani.[75]

2.8.3.      Pergumulan

Pergumulan gereja-gereja Protestan di awal pemerintahan Orde Baru berorientasi pada konsekuensi berpindahnya agama. Meresponi akan perpindahan agama tersebut, Muslim mendesak pemerintah menyelenggarakan Musyawarah Antar Umat Beragama antara pemimpin-pemimpin Muslim dan Kristen dengan Menteri Agama sebagai moderator. Membela kelompok Islam, konsultasi itu, yang diadakan pada 30 November, 1967, bertujuan mengeluarkan pernyataan bersama yang menyatakan .bahwa:

1.      Setiap kelompok religius harus membatasi kegiatan-kegiatan religiusnya pada lingkungannya sendiri

2.      Tidak boleh ada kelompok religius yang mencoba atau berusaha untuk mengubah seseorang yang sudah mempunyai agama untuk berpindah

Agama yang lain.

      Baik Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) maupun Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI) menolak menandatangani pernyataan bersama tersebut, karena larangan perpindahan agama bagi mereka yang sudah beragama, seperti ditegaskan T.B. Simatupang yang mewakili DGI, bertentangan dengan perintah Alkitab untuk menyebarkan Injil ke seluruh umat.[76]

      Selain itu yang juga menjadi pergumulan adalah adanya gerakan komunisme yang atheis dan gerakan separatism. Yang muncul pada masa ini, Situasi yang mengawali masa pelayanan HKBP dalam 20 tahun berakhir ini (1966-1986) telah dipantulkan oleh isi Sinode Agung HKBP tanggal 6-12  November 1966 yaitu situasi yang memperihatinkan, sebab kemelut dalam tubuh HKBP, Bangsa dan negara Indonesia. HKBP pada tahun 1966 melalui Berita Tahunan Ephorus 1996 menggambarkan situasi ini sebagai masa “pencobaan” (tingki parungkilon) yang telah diarungi sejak tahun 1940, yaitu sejak HKBP lepas dari kepemimpinan Badan Pekabaran Injil luar negeri (RMG dan BNZ). Masa pencobaan tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1963-1965. Ephorus HKBP pada waktu itu melihat dua kekuatan yang merongrong HKBP yaitu gerakan komunisme yang atheis dan gerakan separatism. Gerakan komunisme telah memperalat gerakan separatism. Namun hal itu kurang dibarengi penjelasan yang lebih jauh sehingga sulit untuk meyakinkan orang yang belum terlibat langsung dalam masa pencobaan tersebut. Tapi dapat diduga, sesudah 20 tahun berlalu betapa rawannya situasi masyarakat, bangsa dan gereja (agama) pada tahun 1966 yang diakibatkan pemberontakan kaum komunis Indonesia, baik di desa maupun di kota-kota besar. Tekanan mental dari pihak komunis Indonesia (PKI) cukup berat menimpa masyarakat banyak. Penduduk yang diwajibkan menggali lobang dipekarangan masing-masing telah mengundang kekuatiran masyarakat apa gunanya nanti. Kehadiran tokoh-tokoh PKI menimbulkan rasa benci dan bermusuhan secara terselubung dari pihak anggota jemaat yang mempertahankan keyakinannya secara Kristen. Pada pihak lain proses pembasmian pembrontakan golongan PKI sejak akhir 1965 menimbulkan ekses-ekses yang pada saat itu tidak terelakkan, seperti ekses dalam bentuk balas dendam yang kebanyakan tidak berkaitan langsung dengan G.30 S. PKI meneriakkan kata “indikasi”sudah cukup membawa lawan ke penjara atau ke liang kubur”. Ekses-ekses sampingan itu sangat mengganggu kerukunan hidup dalam gereja dan masyarakat, di maan setiap orang takut kalau-kalau dia menjadi sasaran “indikasi” golongan komunisme Indonesia (PKI). Kekuatiran yang demikian cukup lama mengganggu kerukunan hidup masyarakat dan gereja. [77]

Menjelang memasuki era industrialisasi dan modern, pada tahun 1987 HKBP mengalami pergumulan yang hebat akibat bencana gempa bumi yang mengguncang daerah Tapanuli Utara. Bencana tersebut merupakan ujian berat bagi HKBP. Puluhan ribu masyarakat di darah Silindung terpaksa hidup ditenda pengungsian karena rumah mereka roboh diguncang gempa bumi. Suatu tantangan bagi HKBP saat itu adalah bagaimana memulihkan iman dan pengharapan baru warga jemaat yang menjadi korban bencana. Di tengah-tengah situasi itu, HKBP juga mulai mengalami kerikil-kerikil yang mengganggu berbagai usaha memperbaiki kehidupan spiritual dan sosial jemaatnya. Beberapa persoalan internal yang terjadi dalam tubuh HKBP secara umum dapat dipahami sebagai wujud keterbatasan HKBP untuk menata, mengorganisir secara kritis dan dinamis didalam kerangka mencapai konsensus dan tujuan damai. Dalam konteks sedemikian, HKBP terjebak ke dalam “konflik internal”. Konflik tersebut, yaitu :

a.       Ketidakpuasan terhadap Praktik Ibadah Penginjilan TEN

Setelah pemungutan suara pada Sinode Godang 1986, terpilih menjadi Ephorus HKBP periode 1987-1992 adalah Pdt. Dr. S.A.E. Nababan dan sekjen adalah Pdt. O.P.T. Simorangkir. Selama periode ini banyak program kerja yang dilaksanakan untuk memajukan HKBP menghadapi era Industrialisasi. Pada kurun waktu ini pula banyak pendeta HKBP yang mengikuti program studi pasca sarjana di bidang teologi dan bidang studi lainnya. Bahkan sudah dicanangkan program memperbaharui Tata Gereja dan Konfesi HKBP. Namun sejak pertengahan 1987 mulai muncul konflik internal di HKBP karena pimpinan HKBP merestui safari penginjilan Tim Evangelisasi Nehemia (TEN) dari Jakarta ke Tapanuli. Sekelompok kecil pendeta HKBP yang dianamai “kelompok sebelas” mengkrirtisi kehadiran dan cara pelaksanaan ibadah TEN yang dinilai bernuansa “kharismatik”. Penilaian tersebut disebar-luaskan melalui buku yang mereka terbitkan dengan judul Quo Vadis HKBP. Isi buku itu dianggap terlalu menyalahkan pimpina HKBP sehingga dibicarakan dalam rapat majelis pusat HKBP tanggal 24-26 Oktober 1988 dan Sinode Godang HKBP tanggal 10-15 Nopember 1988. Hasil Sinode Godag memberi sanksi terhadap “kelompok sebelas” dengan memberhentikan mereka dari jabatan Pendeta. Tetapi konflik internal HKBP semakin menajam karena kemitraan kerja diantara Ephorus dan Sekjen saat itu tidak terjalin secara baik. Konflik semakin memanas pada akhir periode kepemimpina HKBP 1987-1992.

b.      Kegagalan Sinode Godang HKBP 1992 Memilih Pimpinan Baru

Pada sinode godang HKBP, 23-28 Nopember 1992, direncanakan memilih pimpinan baru periode 1992-1998. Proses pemilihan Ephorus dan Sekjen itu berlangsung dalam suasana tidak kondusif dan kacau sehingga menemui jalan buntu dan gagal. Sejak saat itu terdapat dua kelompok yang berbeda sikap dikalangan para pelayan dan jemaat HKBP. Pertama, kelompok yang menamakan diri sebagai pro Aturan-Peraturan HKBP, yang kedua, kelompok yang pro Sindode Godang Istimewa, 11-13 Februari 1993 (Sinode Godang bentukan Pemerintah). Menpan pada saat itu, T.B. Silalahi berupaya menyelesaikan konflik HKBP dengan mempertemukan Pdt. Dr. S.A.E. Nababan, LLD dan Pdt. Dr. P.W.T. Simanjuntak. Hasil pertemuan mereka mewujudkan beberapa butir kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh yang bersangkutan pada Juni 1994, kesepakatan itu berisikan bahwa pihak Pdt. S.A.E. Nababan mendukung keputusan pemerintah dengan mengakui Pdt. Dr. P.W.T. Simanjuntak sebagai Ephorus dan memberi kesempatan kepadanya untuk memimpin HKBP dengan rukun dan damai. Tetapi isi kesepakatn bersama itu, tidak dilaksanakan dan konflik internal HKBP pun terus berlanjut hingga Sinode Godang HKBP pada 18-20 Desember 1998.[78]

2.9. Kekristenan Pada Masa Reformasi

Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pada pertengahan tahun 1998 ternyata membawa dampak yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Reformasi bukan hanya terjadi pada pemerintahan saja tapi juga terhadap konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945. Reformasi konstitusi berlangsung melalui beberapa kali amandemen UUD 1945 sehingga membawa perubahan yang sangat besar bagi hukum nasional dan hal tersebut bermakna pula pada; adanya pengakuan prinsip supremasi hukum, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam UUD 1945, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, dan adanya jaminan keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.[79]

2.9.1.      Pertumbuhan

Sekedar gambaran seperti ditulis dalam buku lampiran “Implikasi SKB 1969 dan Perber 2008” (Yapama 2006), dalam 32 tahun atau 270 bulan (Maret 1967 Mei 1998) masa pemerintahan Soeharto, terdapat 456 gereja ditutup paksa, dirusakkan ataupun dibakar. Di masa pemerintahan BJ. Habibie angka pengerusakannya sangat fantastis. Hanya dalam 17 bulan (Mei 1998-Oktober 1999) masa pemerintahannya 156 buah gereja dirusakkan. Jaman Abdurrahman Wahid-tokoh antar agama yang sangat menjunjung kebebasan beragama diskriminasi masyarakat terhadap penganut Kristen ternyata tak surut juga. Terbukti selama 33 bulan (Oktober 1998-Juli 2001) pemerintahaannya, 232 buah gereja jadi korban. Di jaman presiden wanita Megawati Soekarnoputri yang berjumlah 38 Bulan (Juli 2001-September 2004), terdapat 92 gereja dikorbankan. Sementara dalam era kepemimpinan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat Susilo Bambang Yudhoyono, dari Oktober 2004 hingga Desember 2007 (38 bulan) sudah 108 gereja ditutup secara paksa.[80] Sesuai dengan tuntutan reformasi, pada masa era reformasi dilakukan perubahan dengan mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijakan baru, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial-budaya dalam rangka menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan demokratis. Perubahan baru tersebut sesuai dengan tuntutan reformasi yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan di Indonesia baik dalam bidang ekonomi maupun politik.[81]

Jika dilihat dari bidang keagamaan, dengan adanya krisis moneter maka gereja-gereja semakin bersatu. Keadaan masa kini memberi peluang bagi gereja untuk mengembangkan pelayanannya tidak hanya menyangkut pembinaan rohani dan penyelenggaraan ibadah yang bersifat ritual seremonial, melainkan juga melakukan hal-hal yang inovatif. Misalnya penyelenggaraan program, pembinaan warga gereja di bidang sosial-politik, memprakarsai proyek-proyek pertanian dengan metode pengolahan dan pemupukan yang baru, menyelenggarakan atau mengubah usaha pendidikan kepada bentuk-bentuk dan produk-produk yang lebih relevan dengan kebutuhan real, terutama dalam menghadapi keadaan krisis ini.[82]

2.9.2.      Perkembangan

Berdirinya gereja di berbagai wilayah di Indonesia salah satunya Sumatera mendorong munculnya gereja suku atau gereja daerah dan jugagereja-gereja bersifat umum meningkatkan nilai oikumene. Dan gereja semakin tersebar di Nusantara seperti perintah Tuhan Yesus dalam Markus 16:15 “lalu ia berkata kepada mereka: pergilah keseluruh dunia beritakanlah Injil ke semua mahluk”. Indonesia negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku, budaya dan bahasa sehingga setiap gereja dalam cara melayani dan bertumbuh berbeda-beda. [83]

Plurarisme di Indonesia semakin mencuat ke permukaan dalam era keterbukaan ini menjafi tantangan tertentu bagi gereja.Argument mayoritas-minoritas sering digunakan untuk memperoleh hak istimewa bagi yang mayoritas, dan yang minoritas harus rela memenuhi syarat tertentu.Menyikapi itu sudah bukan rahasia lagi kalangan politisi memanfaatkan isu-isu keagamaan untuk menggalang kekuatan.Yang diakat bukan tema kebersamaan, kerukunan, dan toleransi tetapi kebenaran masing-masing.Dalam era reformasi ini gereja perlu mendorong warga jemaat agar aktif membina hubungan yang baik dengan orang yang berbeda agama, mencermati kecenderungan politik, tegaknya HAM, dan supremasi hukum. Gereja harus sadar bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat yang semakin terbuka itu .salah satu contoh kasus adalah peranan HKBP dalam menyikapi masalah PT. Inti Indorayon utama (IIU, atau sering dikenal hanya sebagai “Indorayon”). Sejak awal kehadirannya pemerintah daerah menilainya sebagai penggerak yang dapat memulihkan ekonomi tanpa mempertimbangkan keselamatan lingkungan hidup termasuk manusia yang tinggal di sekitarnya.Kenyataanya Indorayon menghadirkan berbagai kesulitan bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya yang mayoritas Lutheran.Juga pada kasus Inalum. Karena kurang jelasnya sikap HKBP mengenai hal itu, maka beberapa pemuda HKBP bergabung dengan pelayan idealis GKPS, GKPI, HKI dan GBKP membentuk LSM yang diberi nama “Kelompok Studi pengembangan Prakarsa Masyarakat”.[84]

2.9.3.      Pergumulan[85]

Pada tahun 1992-1998 merupakan masa terkelam dalam sejarah perkembangan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Hal inijugalah yang melatarbelakangi gerakan Setia Sampai Akhir (SSA). HKBP merupakan organisasi keagamaan terbesar ketiga di Indonesia dan gereja protestan dengan jemaat terbanyak di Asia Tenggara Hingga tahun 2021, anggota jemaat HKBP yang tersebar di seluruh dunia mencapai 6,5 juta jiwa. Kepemimpinan Ephorus HKBP, yang pada masa itu dipilih 6 tahun sekali, secara tidak langsung memimpin jutaan jemaat HKBP di seluruh dunia. Adanya perubahan kepemimpinan tentu mengusik sejumlah besar warga HKBP.

Kericuhan diawali 1,5 tahun sejak Pdt. S.A.E Nababan dilantik sebagai Ephorus. Pada tanggal 24 Mei 1988 terbit buku yang berjudul “Parmaraan di HKBP” (Bahaya di HKBP). Konon buku ini disebarkan ke 2.300 gereja HKBP di seluruh Indonesia. Sampul buku ini menarik perhatian umat karena terdapat gambar salib yang hampir ambruk yang bertuliskan quo vadis HKBP. Buku ini disusun oleh Ds. P. M. Sihombing mantan Sekjen HKBP sebelum periode Nababan. Isinya antara lain menuduh Nababan menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan HKBP. Salah satunya adalah gerakan evangelisasi yang dikoordinasikan sejak Oktober 1987. Gerakan ini sendiri merupakan gerakan internal mengkristenkan kembali orang Kristen yang bermula di antara warga HKBP dari Jakarta.

Keberatan 38 pendeta yang menulis buku itu antara lain, tim evangelisasi itu beranggotakan juga sejumlah pendeta yang ditahbiskan gereja. Disebutkan adanya tuduhan pembaptisan yang dilakukan di permandian sambil telanjang dan adanya penyembuhan penyakit yang dilakukan oleh anggota tim dengan jenis kelamin laki-laki atas pasien wanita yang berduaan di dalam kamar. Dalam sinode Godang HKBP ke-49 diputuskan kelompok Sihombing tidak dapat memberikan bukti dari buku tersebut karena itu mereka dianggap telah menyebarkan fitnah. Selanjutnya kedelapan pendeta pengikut Sihombing itu pun dipecat dari jabatannya. Akan tetapi belakangan diketahui bahwa Sihombing tidak pernah dimintai bukti dan tidak pernah diundang dalam  Sinode Godang. Karena itu Sihombing dan pengikutnya mengadu ke Menaker saat itu Cosmas Batubara. Cosmas Batubara kemudian menyurati Ephorus pada tanggal 16 Mei 1990 dan menyebutkan bahwa pemecatan tersebut batal demi hukum. Ada yang menyebutkan bahwa isu tersebut dilontarkan karena Sihombing dikalahkan oleh Nababan pada pemilihan Ephorus sebelumnya. Sihombing membantahnya.

Pada Juli 1990, Ephorus memecat sejumlah pejabat antara lain termasuk rektor UHN Prof. Dr. Amudi Pasaribu dan sejumlah pengurus yayasan. Itu sebabnya timbul demonstrasi mahasiswa yang menuntut Nababan mundur. Demonstrasi berjalan agak keras sehingga menimbulkan kebakaran di laboratorium. Karenanya izin Sinode Godang Juli 1990 mendadak dibatalkan oleh Kapolri berdasarkan rekomendasi Bakorstanasda Sumatera Utara padahal 100-an utusan dari berbagai wilayah di Indonesia sudah mulai berdatangan.

Bakorstanasda Sumbagut kemudian menangguhkan pula Sinode Godang HKBP yang rencananya dilaksanakan tanggal 1-7 Agustus 1990 di kompleks Universitas HKBP Nommensen, Pematang Siantar.

Pada tahun 1998, Pdt. J.R. Hutauruk kemudian dipilih sebagai Pejabat Ephorus dengan tugas menyelenggarakan rekonsiliasi selambat-lambatnya enam bulan sejak dipilih. Tidak lama setelahnya pada tanggal 26 Oktober–1 November 1998 diselenggarakan Sinode Godang ke-54 di Pematang Siantar / Balige. Pada tanggal 17 November 1998, Ephorus Pdt. S.A.E. Nababan dan Pejabat Ephorus Pdt. J.R. Hutauruk menandatangani surat pernyataan bersama rekonsiliasi di Gereja HKBP Sudirman Medan, untuk menyelenggarakan Sinode Godang Rekonsiliasi pada tanggal 18–20 Desember. Sinode Godang Rekonsiliasi kemudian dilakukan di Kompleks FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar. Pada saat itu terpilih Pdt. J.R. Hutauruk sebagai Ephorus dan Pdt. W.T.P. Simarmata sebagai Sekretaris Jenderal HKBP.

III.   Kesimpulan

Sebelum masuknya kekristenan ke tanah Batak,  ada banyak keberagaman kepercayaan yang dianut oleh mereka khususnya tentang penyembahan-penyembahan pada benda, tumbuhan dan lainnya. Banyak kekerasan yang juga terjadi demi mempertahankan apa yang dianggap mereka benar, penyiksaan bahkan pembunuhan dilakukan kepada orang-orang yang dianggap musuh. Adat dan tradisi begitu melekat pada diri mereka. Tetapi semua itu mampu berubah ke arah yang lebih baik. Di mulai dari datangnya para missionaris untuk menyampaikan pekabaran Injil, lalu disusul dengan tokoh-tokoh lainnya. Masa Hindia-Belanda, masa nasionalisme Indonesia, masa Jepang, masa Indonesia Merdeka, masa orde lama,  masa orde baru, hingga masa reformasi. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di setiap masa baik pertumbuhan, perkembangan dan pergumulan yang terjadi justru membuat kekristenan di tanah Batak menuju pendewasaan iman percaya. Demikianlah kekristenan itu hadir di tanah Batak sampai saat ini.

Daftar Pustaka

Aritonang Jan S., Yubileum 50 Tahun GKPI, Pematangsiantar: Kolportase GKPI, 2014

End Th. Van Den, dkk., Ragi Cerita 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018

End Th. Van den, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012

Hutahuruk J.R, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober 1861-1986, Tarutung: Kantor

Pusat HKBP, 1986

Hutauruk J.R. Dkk, Raja Pontas Lumbantobing, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013

Hutauruk J.R., Lahir Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, Tarutung: Kantor Pusat HKBP,

2011

Joseph Bobby, Tabloid Reformata, Jakarta :Yayasan Pelayanan Media Antiokhia YAPAMA,

2008

Kweniawan Ronald, dkk., Buku Siswa Sejarah Gereja, Jakarta: Kementrian Agama Republik

Indonesia, 2019

Lumbantobing Darwin, Tumbuh Lokal Berbuah Universal, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018

Panitia Distrik IX Perayaan Jubileum 100 Tahun HKBP, Seratus Tahun Kekristinan Dalam

Sejarah Rakyat Batak, Jakarta: Panitia Distrik IX, 1961

Panitia Injil Jubileum 125 Tahun HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, Tarutung: Kantor Pusat

HKBP, 1986

Pedersen Paul Bodboldt, Daerah Batak Dan Jiwa Protestan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975

Saragi Makmur, Dkk., Bapa Berpijar Jubelium 80 Tahun HKI, Pematangsiantar: Huria Kristen

Indonesia, 2007

Simanjuntak Bungaran Antonius, Konsepku Membangun Bangso Batak, Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor, 2012

Simatupang T.B., Iman Kristen dan Pancasila, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985

Simatupang T.B., The Fallacy of a Myth, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995

Sitorus T. J., dkk, Sejarah Huria Kristen Indonesia Pematang Siantar: Kolportase H.K.I, 1978

Sitorus T.J., Sejarah Huria Kristen Indonesia, Pematangsiantar: Kolportase HKI, 1978

Supriatna Nana, Sejarah Untuk Kelas XII Sekolah Menengah Atas, Bandung: Grafindo, 2006

Ukur F. & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, Jakarta: Lembaga Pendidikan dan Studi DGI, 1979

Wellem F. D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009

Yawangoe Andres A., Agama dan Kerukunan, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2002

Sumber Lain

Krisis HKBP 1992-1998, Terdapat Dalam:

https://id.wikipedia.org/wiki/Krisis_HKBP_1992-1998

Jurnal, http://e-journal.uajy.ac.id/3562/2/1HK08728.pdf

https://sejarahGKPA-blogspot.com/

https://id.m.wikipedia.org/gkppd//, 

Gambaran Umum Indonesia Pada Masa Orde Baru, Terdapat dalam:

http://sttjaffray.ac.id/images/stories/KEKRISTENAN_01.pdf

 

 

 

 

 



[1] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), 176-177.

[2] J.R. Hutahuruk, dkk., Raja Pontas Lumbantobing, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 23-24

[3] Paul Bodboldt Pedersen, Daerah Batak Dan Jiwa Protestan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), 18

[4] Panitia Distrik IX Perayaan Jubileum 100 Tahun HKBP, Seratus Tahun Kekristinan Dalam Sejarah Rakyat Batak, (Jakarta: Panitia Distrik IX, 1961), 29

 

[5] Panitia Distrik IX Perayaan Jubileum 100 Tahun HKBP, Seratus Tahun Kekristinan Dalam Sejarah Rakyat Batak, (Jakarta: Panitia Distrik IX, 1961), 28-29

[6] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), 176

[7] Panitia Distrik IX Perayaan Jubileum 100 Tahun HKBP, Seratus Tahun Kekristinan Dalam Sejarah Rakyat Batak, (Jakarta: Panitia Distrik IX, 1961), 29

[8] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), 177

[9] Panitia Injil Jubileum 125 Tahun HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 18-19

[10]  Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), 186

[11] Paul Bodboldt Pedersen, Darah Batak Dan Jiwa Protestan, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1975), 45-46

[12] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), 187

[13] Paul Bodboldt Pedersen, Darah Batak Dan Jiwa Protestan, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1975), 45

[14] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), 187

[15]  Paul Bodboldt Pedersen, Darah Batak Dan Jiwa Protestan, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1975), 46

[16]  Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), 187

[17] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), 188

[18] Darwin Lumbantobing, Tumbuh Lokal Berbuah Universal, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 195

[19] Darwin Lumbantobing, Tumbuh Lokal Berbuah Universal, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 196

[20] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012),  ,188

[21] Darwin Lumbantobing, Tumbuh Lokal Berbuah Universal, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 197-198

[22] Jan S. Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI, (Pematangsiantar: Kolportase GKPI, 2014), 13

[23] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), 188 

[24] Panitia Injil Jubileum 125 Tahun HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 19

[25] Jan S. Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI, (Pematangsiantar: Kolportase GKPI, 2014), 14

[26] Panitia Injil Jubileum 125 Tahun HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 19

[27] Panitia Distrik IX Perayaan Jubileum 100 Tahun HKBP, Seratus Tahun Kekristinan Dalam Sejarah Rakyat Batak, (Jakarta: Panitia Distrik IX, 1961), 27-29

[28]  Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), 176

[29] Darwin Lumbantobing, Tumbuh Lokal Berbuah Universal, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 195

[30]. F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta: Lembaga Pendidikan dan Studi DGI, 1979), 489.

[31]  Darwin Lumbantobing, Tumbuh Lokal Berbuah Universal, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 199

[32] Jan S. Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI, (Pematangsiantar: Kolportase GKPI, 2014), 19-20

[33] T.J. Sitorus, Sejarah Huria Kristen Indonesia, (Pematangsiantar: Kolportase HKI, 1978), 6.

[34] J.R. Hutauruk Dkk, Raja Pontas Lumbantobing, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 75-76.

[35] J.R. Hutauruk Dkk, Raja Pontas Lumbantobing, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 120.

[36] Jan S. Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI, (Pematangsiantar: Kolportase GKPI, 2014), 20-21

[37] Jan S. Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI, (Pematangsiantar: Kolportase GKPI, 2014), 18

[38]  J.R. Hutauruk, Lihatlah lading-ladang yang menguning, (Depok: HKBP Distrik VIII Jawa Kalimantan, 2011), 43.

[39] T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 23

[40] Andres A. Yawangoe, Agama dan Kerukunan, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2002), 10-11

[41]  F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta: Lembaga Pendidikan dan Studi DGI, 1979), 497-506

[42] Makmur Saragi, Dkk., Bapa Berpijar Jubelium 80 Tahun HKI, (Pematangsiantar: Huria Kristen Indonesia, 2007), 7

[43]Makmur Saragih, H.V. Sianturi, Baja Berpijar Jubileum 80 Tahun HKI (Pematang Siantar: Huria Kristen Indonesia, 2007), 4-5.

[44] T. J. Sitorus, dkk, Sejarah Huria Kristen Indonesia (Pematang Siantar: Kolportase H.K.I, 1978), 49.

[45] F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta: Lembaga Pendidikan dan Studi DGI, 1979), 506

[46] Th. Van Den End, dkk., Ragi Cerita 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 305

[47]  F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta: Lembaga Pendidikan dan Studi DGI, 1979), 39

 

[48] Jan Sihar Situmorang, Sejarah Perjumpaan Kristen Dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004), 209-211

[49] J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober 1861-1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 37-38.

[50] Panitia Injil Jubileum 125 Tahun HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 39-40

[51]  Panitia Injil Jubileum 125 Tahun HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 38

[52] F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta: Lembaga Pendidikan dan Studi DGI, 1979), 507-512.

[53] Panitia Injil Jubileum 125 Tahun HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 38 

[54] J.R. Hutauruk Dkk, Raja Pontas Lumbantobing, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 52.

[55] T.J. Sitorus, Sejarah Huria Kristen Indonesia, (Pematangsiantar: Kolportase HKI, 1978), 118.

[56]  Panitia Injil Jubileum 125 Tahun HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 37-38

 

[57] Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Joang, Laporan Nasional Survai Menyeluruh Gereja di Indonesia, 507-512.

[58]  Panitia Injil Jubileum 125 Tahun HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 40

[59] T.J. Sitorus, Sejarah Huria Kristen Indonesia, (Pematangsiantar: Kolportase HKI, 1978), 125

[60]  T.J. Sitorus, Sejarah Huria Kristen Indonesia, (Pematangsiantar: Kolportase HKI, 1978), 124

 

[61]  Panitia Injil Jubileum 125 Tahun HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 42

[62]  J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober 1861-1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 48-51.

[63] J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober 1861-1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 48-51.

 

[64] Jan. S. Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI, (Pematang Siantar: Kolportase GKPI, 2014), 29-30.

[65] F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 131.

[66] Jan S. Aritonang, Yubileum 50 tahun GKPI, (Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI, 2011), 59-65

[67] J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober 1861-1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 126

[68] J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober 1861-1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 148-151.

[69] Gambaran Umum Indonesia Pada Masa Orde Baru, Terdapat dalam: http://sttjaffray.ac.id/images/stories/KEKRISTENAN_01.pdf, diakses pada 06 April 2022, pada pukul 15.58 WIB.

[70] https://sejarahGKPA-blogspot.com/Diakses25Februari2020pukul 15.20.20WIB

[71] https://id.m.wikipedia.org/gkppd//,  diakses pada 2 Maret 2020 pukul 20.08.  WIB.

[72] J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober 1861-1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 127.

[73] Th. Van den End, Ragi Carita 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 449-450.

[74] J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober 1861-1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 163.

[75] J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober 1861-1986, 130-131.

[76] T.B. Simatupang, The Fallacy of a Myth (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), 199

[77] J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober 1861-1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 126

[78] J.R. Hutauruk, Lahir Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2011), 331-334.

[79] Jurnal, http://e-journal.uajy.ac.id/3562/2/1HK08728.pdf, Diakses pada tanggal 23 November 2021, Pukul 16:36 Wib, Hal 1-2.

[80] Bobby Joseph, Tabloid Reformata, (Jakarta :Yayasan Pelayanan Media Antiokhia (YAPAMA), 2008), 3.

[81] Nana Supriatna, Sejarah Untuk Kelas XII Sekolah Menengah Atas(Bandung: Grafindo, 2006), 22.

[82] Jan. S. Aritonang, Belajar Memahami di Tengah Realitas(Bandung: Jurnal Info-Media, 2007), 130.

[83] Ronald Kweniawan, dkk., Buku Siswa Sejarah Gereja, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2019),  126

[84] Mangisi S. E. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther, 273-274.

[85]  Krisis HKBP 1992-1998, Terdapat Dalam: https://id.wikipedia.org/wiki/Krisis_HKBP_1992-1998, Diakses pada tanggal 04 April 2022, Pada pukul 17.07 WIB.


Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Mundosaragi
Total Pageviews