KEKRISTENAN DI TANAH BATAK
II.
Pembahasan
2.1. Kehidupan Tanah Batak Sebelum Mengenal
Kekristenan
2.1.1.
Sistem
Kepercayaan
Berbicara
tentang sistem kepercayaan, kehidupan agama bangsa Batak sebelum masuknya kekristenan
adalah sebagai berikut: Dalam buku yang ditulis oleh Bungaran Antonius
Simanjuntak disampaikan bahwa ada beraneka ragam kepercayaan yang dianut oleh
bangsa Batak diantaranya seperti kepercayaan Animisme, Dinamisme, dan Magis.
Ada banyak nama dewa atau begu (setan)
yang disembah, seperti begu jau (dewa
yang tidak dikenal orang), begu antuk (dewa
yang memukul kepala seseorang sebelum ia mati), begu Siherut (dewa yang membuat orang kurus atau tinggal kulit).[1] Kemudian selain
kepercayaan-kepercayaan itu, bangsa Batak juga memiliki konsep tentang satu
wujud tertinggi; sang pencipta alam semesta yang mereka namakan Debata Asiasi/
Debata Mulajadi na Bolon. Setelah Debata Asiasi menciptakan alam semesta, dia
menyerahkan kepada ketiga anaknya, Batara Guru, Soripada, dan Mangana Bulan.
Penduduk di sekitar berupaya menyenangkan hati para dewa tersebut dengan
mempersembahkan kurban[2].
Selain
itu orang Batak membagi eksistensi (kehidupan) dalam tiga tingkat atau dunia.
Dunia atas adalah kerajaan Dewata Tertinggi,
Mula jadi Na Bolon, dan roh-roh nenek moyang yang sudah meninggal.
Kemudian dunia tengah adalah gelanggang untuk kegiatan manusia dan dunia bawah
tempat tinggal untuk para hantu dan setan.[3] Hampir setiap langkah dan
usaha dalam hidup manusia Batak pada waktu itu dikuasai oleh aturan-aturan adat
dan agama yang keras sekali. Mulai dari lahirnya seorang anak, dan menjadi
kanak-kanak, pemuda atau gadis-gadis, kemudian kawin dan menjadi dewasa dan
akhirnya menjadi orang tua, lansia dan meninggal. Semuanya itu dijalani dengan
penuh “ritual-ritual” atau upacara-upacara agama dan adat yang diharuskan agar
bisa selamat dan jangan ada gannguan dari begu-begu atau dewa-dewa yang murka
dan bisa membinasakan setiap orang. Inilah yang menjadi keyakin dan kepercayaan
di tanah batak sebelum masuknya kekristenan. [4]
2.1.2.
Sistem
Sosial Ekonomi
Terkait
tentang keadaan sosial ekonomi di tanah Batak adalah bahwa pada zaman itu
penghidupan sehari-hari mereka adalah dari bercocok tanam, berhewan dan
berdagang. Bekerja di sawah sudah dikenal orang yang memberikan hasil padi dan
beras. Adapun hasil dari berladang itu diantaranya jagung, ketela, tembakau,
kacang dan lain-lain. kemudian dari peternakan yaitu ayam, babi, kerbau, lembu,
kuda dan kambing. Daging ini diberikan dan diperjual belikan di pasar. Pada
hari-hari tertentu orang-orang datang ke pasar untuk menjual atau membeli
keperluan sehari-hari seperti beras, garam, ayam, ikan dan tembakau, serta
kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Perselisihan-perselisihan
pada hari itu dihentikan. Setiap orang dapat datang ke pasar dengan tidak
gangguan. Raja-raja bertemu di pasar dan saling bertukar tembakau, seperti para
ibu bertukar tukar sirih. Tetapi penghidupan yang tenag ini sering kali
diganggu oleh permusuhan-permusuhan yang timbul antara kampung dengan kampung.
Pembunuhan mengakibatkan pembalasan dendam yang berlarut-larut sampai
turun-temurun. Orang-orang dari kampung yang dimusuhi disergap dan dibawa ke
kampung sebagai tahanan. Orang-orang tawanan itu mengalami nasib yang sangat
malang sekali. Tangan dan kaki dibelenggu dan di ikat detengah-tengah halaman
kampung. Dagingnya dipotong-potong dan dibakar untuk dimakan oleh orang-orang
yang berkuasa atasnya. Dalam kesakitan yang luar biasa, orang-orang tawanan ini
akhirnya menemui ajalnya ditengah-tengah sorak-sorai dari orang-orang yang
menangkapnya. [5]
2.1.3.
Kebudayaan
Bangso batak
atau masyarakat batak ini adalah adalah salah satu suku di Indonesia yang
dikenal dengan adat dan budaya yang mereka miliki sendiri. Mereka selalu setia
dan terus menerus mempertahankan kebudayaannya, mereka memegang teguh tradisi
dan adat, karena adat dan tradisi itu sama sekali tidak berlawanan dengan
keimanan mereka, bahkan mampu memperkuat kebersamaan dan mempertebal rasa kepedulian
di antara sesama warga Batak sendiri.[6] Orang Batak telah
mempunyai aksaranya sendiri dan telah bisa menulis pada daun lontar dan kulit
kayu. Raja-raja banyak mengeluarkan uang untuk membeli dan membacanya. Buku-buku
Pustaka memuat aturan-aturan melihat bulan dan hari baik, serta bermacam-macam
obat dan keterangan-keterangan mengenai adat istiadat, selain itu dalam buku
itu terdapat juga cerita-cerita dan perumpamaan-perumpamaan.[7] Memang hampir semua roda
kehidupan bangso batak ditata dan dikenakan aturan-aturan adat yang kuat,
aturan tersebut adalah adat dan budaya yang bersifat mengayomi semua warganya,
sehingga terpelihara kebersamaan yang aman.[8]
2.2.
Masa Sebelum Hindia Belanda
Apabila
berbicara tentang awal masuknya kekeristenan di tanah batak tentu peran para
missionaris tidak dapat dihiraukan karena faktanya para missionaris adalah
merupakan bagian yang turut berperan penting pada proses masuknya kekristenan
di tanah Batak. Dalam buku yang berjudul “Tuhan Menyertai Umatnya” yang
diterbitkan oleh Kantor pusat HKBP, disampaikan bahwa bangsa Belanda cukup
sibuk mengurus urusan politik dan ekonominya di daerah jajahannya Indonesia
yang pada akhir abad XIX dan awal XX sudah menduduki seluruh daerah Indonesia sekarang.
Pemerintah Belanda dan gereja di Belanda tidak pernah bermaksud menjadikan
Tanah Batak menjadi daerah pewartaan Injil.
Dalam
proses persebaran agama Kristen di tanah Batak, yang mengawali persebaran agama
itu adalah pewartaan Injil oleh para missionaris Jerman sejak tahun 1861. Orang
Batak mengenal dan menerima Injil dari mereka, sesudah beberapa lama curiga dan
ingin menolak mereka sebab disangka mata-mata musuh dan yang akan melakukan
perbuatan jahat. Dengan melihat cara kedatangan mereka yang tidak akan
mendirikan suatu perusahaan dagang atau
suatu negara penjajah, maka beberapa pengetua desa atau raja menginjinkan
mereka tinggal di tengah-tengah mereka, memberikan mereka tinggal di
tengah-tengah mereka, memberikan pertapakan membangun rumah peribadatan yang
baru. Rumah ibadat pada mulanya dipakai sekaligus menjadi ruangan belajar
membaca dan berhitung. Mereka yang sakit diberikan pengobatan dan kepada
penduduk secara pribadi-pribadi didekati untuk memberikan bimbingan pencegahan
penyakit seperti kolera, disentri yang hampir satu kali dalam lima (5) tahun
berjangkit dan mengakibatkan kematian bagi banyak orang. Kebersihan rumah,
halaman dan desa juga termasuk perhatian para missionaris, sehingga Injil itu
diwartakan melalui perkataan dan perbuatan. Injil itu diwartakan melalui
perkatakaan dan perbuatan. Injil itu merupakan panggilan bagi setiap orang
Batak yang mendengar kata dan melihat.[9]
1.
Nathan
Ward, Evans, dan Richard Burton
Dalam
buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjuntak tentang
penginjilan di tanah Batak atau tano Batak
disampaikan bahwa pada periode 1820-1870, sering disebut periode masuknya Injil
ketanah Batak. Sudah ada berita tersebar di Dunia Eropa tentang adanya bangsa
Batak yang masih dalam kegelapan. Sehingga Negara Eropa melihat itu sebagai
sasaran penginjilan yang harus mereka laksanakan.
Misi
pertama yang mengunjungi Tapanuli adalah datangnya penginjil utusan Pekabaran
Injil dari gereja baptis dari negara Inggris. Pada tahun 1820 tiga utusan
pekabaran Injil gereja Baptis Inggris adalah penginjilan pertama ke tanah
Batak, yaitu Nathan Ward, Evans, dan Richard Burton.[10] Mereka berasal dari
Baptist Mission Society Of England. Masing-masing mereka adalah adalah
orang-orang yang memiliki keahlian di bidangnya masing-masing:
1. Richard
Burton: Seorang ahli bahasa dan ilmu bangsa: yang nantinya dalam missinya
Burton menerjemahkan hampir separuh dari Kitab Suci King James ke dalam tulisan
tangan Batak.
2. Nathaniel
Ward: Seorang ahli dalam ilmu kesehatan ditunjuk untuk menyelidiki wabah
cholera yang telah berjangkit di Silindung dan Toba.
3. Evans:
Ditunjuk untuk mendirikan sekolah-sekolah sekitar Tapian Nauli.[11]
Misi
utamanya adalah mengunjungi kawasan Bengkulu untuk menjumpai Raffles, penguasa
Inggris di kawasan Sumatera dan Semenanjung Malaya. Kemudian Raffles
menyarankan supaya mereka pergi ke Utara, ke daerah tempat tinggal suku Batak,
yang masih kafir di kawasan Tapanuli.[12] Raffles adalah wakil
Inggris setempat yang dengan kuat mendorong usaha-usaha penginjilan di kalangan
orang Batak.[13]
Kemudian
selanjutnya Nathan Ward dan Richard Burton menuruti Petunjuk Raffles, mereka
melaksanakan perjalannya menuju kawasan Tapanuli, walaupun informasi yang
mereka dapat tentang tanah Batak ini adalah masih sangat ala kadarnya. Mereka
pergi ke Utara, awalnya mereka bekerja di pesisir, sekitar Sibolga dan Barus.
Kemudian tahun 1824 mereka sudah siap menjelajah tanah Batak.[14] Setelah meninggalkan
Sibolga, mereka berjalan ke pedalaman sepanjang sungai “Tappanooly” (Tapanuli),
tinggal di kampung-kampung Batak di sepanjang perjalanan. Kepada mereka
ditunjukkan setiap sopan-santun sebagai tamu-tamu yang dihormati. Ketika mereka
tiba di lembah Silindung pada tanggal 4 Mei 1824, dengan kelompok raja-raja
dari suatu ekspedisi perdagangan, mereka disambut dengan sangat ramah. Mereka
mendapat undangan dari seseorang raja dari lembah itu untuk menginap di
rumahnya, dan tinggal di sana sampai tanggal 11 Mei, ketika kemudian mereka
kembali ke Sibolga. Orang-orang batak disana lebih bersifat ingin-tahu daripada
bermusuhan. Orang-orang asing itu selalu di iringi oleh sejumlah besar orang
banyak dan mereka dapat berkhotbah kepada beberapa ribu orang batak pada paling
sedikit satu kesempatan. Karena wabah cholera masih mengganas di Toba, dan
karena mereka diterima dengan begitu ramah di Silindung, karena sebagaimana
yang telah disampaikan bahwa salah satu dari missionaris ini yakni, Nathaniel
Ward: Seorang ahli dalam ilmu kesehatan ditunjuk untuk menyelidiki wabah kholera
yang telah berjangkit di Silindung dan Toba. Jadi karena mereka diterima dengan
begitu ramah di Silindung mereka membatalkan rencana mereka semula untuk
mengunjungi Danau Toba.[15]
Namun
perjalan penginjilan mereka terhenti ketika terjadi salah paham dengan
penduduk. Penduduk salah menafsirkan Injil tersebut yang mengatakan kerajaan
mereka harus menjadi lebih kecil, seperti anak kecil, tetapi kerajaan Tuhan
Yesus harus semakin besar. Penduduk setempat tidak suka akan hal ini, mereka merasakan
bukan harus semakin kecil, melainkan maju dan semakin besar. Kesalahpahaman itu
mengakibatkan penduduk memutuskan untuk mengusir para penginjil tersebut.
Pengusiran dilakukan pada tahun 1824 juga. Pengusiran tersebut dilakukan dengan
cara damai, para penginjil kembali pulang ke Inggris.[16]
2.
Munson
dan Leyman
Walaupun
penginjilan yang pertama yang dilakukan telah berhenti, tetapi berita tentang
tanah Batak sudah semakin meluas hingga ke negara-negara Eropa dan Amerika.
Para pengurus gereja Kristiani di negara Eropa dan Amerika, tetap peduli dan
selalu membicarakan daerah “kegelapan iman Kristus itu”. Mereka rindu
mengajarkan dan menyebarkan ajaran dan firman Tuhan.
Sepuluh
tahun kemudian, yaitu tahun 1834, American Board Of Commissioners for Foreign Mission
di Boston mengutus dua orang penginjil ke tanah Batak, yaitu Munson dan Leyman.
Mereka berdua adalah merupakan penginjil dari gereja Kongregationalis Amerika.
Mereka memasuki Pulau Andalas atau Pulau Sumatera dan mereka tiba di Sibolga
pada tanggal 17 Juni 1834. Mereka tiba di sana dengan baik-baik, dan menetap
beberapa hari di Sibolga. Kemudian pada tanggal 23 Juni 1834 mereka berangkat
menuju kawasan rura Silindung. Dalam
perjalanan, ketika tiba di pinggir Lembah Silindung, malam hari 28 Juni 1834
mereka dihadang, ditangkap, dan dibunuh di dekat Lobu Pining. Pembunuh
penginjil tersebut adalah Raja Panggalamei (raja di Pintubosi yang tinggal di
Singkak) bersama dengan rakyatnya.[17]
Sebenarnya,
tujuan kedua missionaris ini adalah ke Nias, namun pada saat itu ada keadaan
alam dengan ombak yang sangat deras di lautan menuju Nias sehingga tidak
memungkinkan mereka berlayar kesana. Keadaan alam tidak memungkinkan mereka ke
Nias sehingga mereka mengalihkan tujuan perjalanan ke daratan arah timur, naik
ke bukit menuju ke tanah Batak. Jadi, missionaris ini terkesan kurang memiliki
kesiapan karean pengubahan tujuan yang tidak terduga.
Ditambah
lagi, pada saat itu keadaan memang sedang tidak sepenuhnya aman
dilatar-belakangi oleh peristiwa perang Paderi dari Minangkabau, ditambah lagi
para raja-raja tanah Batak, dituntut untuk melukan tanggung jawab pengawasan,
jadi karena Munson dan Lyman mencurigakan bagi mereka maka mereka ditangkap dan
terbunuh mengenaskan pada 28 Juni 1834.[18]
3.
Para
Ilmuan ke Tanah Batak
Tahun
1836 Franz Wilhem Junghuhn menerima tugas mengadakan peelitian di Hindia
Belanda, tanah Batak, sebelum dianeksasi sebagai daerah kolonial Belanda.
Dengan demikian, Kolonial Belanda tidak (atau belum) mempunyai rencana konkrit
tentang suku Batak. Namun demikian agaknya Kolonial Belanda telah mempunyai
rencana di masa depan tentang tanah Batak, sehingga perlu ditugaskan berbagai ilmuwan,
seperti ahli hukum adat, tatanan sosial-geografis, untuk mengadakan penelitian
kepada bangsa dan tanah Batak. Dari hasil penelitiannya, Junghuhn mengusulkan
agar tanah Batak tidak perlu dianeksasi menjadi daerah kolonial Belanda, tetapi
perlu dikirimkan para missionaris, agar penduduk Batak menganut kepercayaan
kekristenan. Menurutnya, masyarakat Batak dalam arti pola pikir dan pandangan
hidup tidak begitu jauh berbeda dengan masyarakat Belanda atau Eropa. Jadi,
suku Batak diharapkan dapat lebih cepat maju dan menjadi partner berpikir di
sana. Lima belas tahun kemudian, Lembaga Alkitab Belanda mengutus ilmuan Herman
Neubronner van der Tuuk (1824-1894).[19]
Van
der Tuuk adalah orang Barat pertama yang melakukan penelitian ilniah tentang
bahasa Batak, Lampung, Kawi dan Bali. Ia adalah orang Eropa pertama yang
menatap Danau Toba dan bertemu dengan Si Singamangaraja.[20] Ia mengadakan penelitian
ke Tanah Batak selama delapan tahun (1849-1857). Ia tinggal di Barus, dengan
maksud agar mempunyai akses lebih cepat ke Humbang dan Bakara. Kemudian beliau
melakukan penelitian. Tujuan penelitian itu adalah untuk mengetahui berbagai
hal, yaitu tentang bahasa, pola kehidupan masyarakat batak dan kehidupan sosial
dan budaya di daerah jajahan, dalam rangka penerjemahan Alkitab. Salah satu
hasil penelitiannya adalah tentang tata bahasa batak Toba. [21]
Hasil
penelitian dan tulisan-tulisan Junghuhn dan Van der Tuuk tadi selanjutnya
dimanfaatkan oleh para penginjil yang datang kemudian.[22]
2.2.1.
Pertumbuhan
Pada Sebelum Masa Hindia Belanda
Apabila
berbicara tentang pertumbuhan apa yang terjadi pada masa para Missionaris ini,
barangkali ada kebingungan karena pada masa ini kita melihat bahwa seperti yang
dijelaskan di kedua misi yang dilakukan, hasilnya tidak begitu memuaskan bahkan
misi kedua oleh Munson dan Layman dapat terbilang gagal, karena seperti yang
disampaikan dalam buku “Konsepku Membangun Bangso Batak” bahwa Munson dan Lyman
dalam misinya hanya berlangsung sepuluh hari, belum memberitakan Injil sama
sekali, belum memberitakan berita kesematan manusia, mereka telah dibunuh tanpa
alasan manusiawi.
Namun
yang penting adalah bahwa dari apa yang telah dilakukan para Missioner ini
benih pekabaran injil telah tertabur di tanah Batak. Tubuh jasmani Layman dan
Munson, menjadi penyubur keimanan di
tanah Batak kepada Yesus Kristus, yang di kemudian harinya terbukti dan
dibuktikan oleh kasih karunia Tuhan semata.[23]
Pertumbuhan
yang nyata terlihat dari buah ketekunan dan dedikasi yang tinggi dari pewarta
injil yang pertama-tama itu. Dalam tempo 20 tahun daerah Silindung sudah
menjadi daerah Kristen. Sehingga pada waktu pemerintahan Belanda mulai
menduduki setengah daerah Silindung tahun 1878 penduduk yang telah Kristen itu
melihat kedatangan Belanda hanya sebagai penguasa duniawi dan bukan pembawa
agama baru, artinya mereka yang di tanah Batak tidak lagi memandang agama
Kristen sebagai agama baru.[24]
Selain
itu yang paling jelas dapat dilihat terkait pertumbuhan kekristenan adalah pada
tahun 1857 Gerrit Van Asselt, yang diutus oleh sebuah perkumpulan penginjilan
(zending) di kota kecil Ermelo (Belanda) tiba di sipirok-Angkola. Sambil
bekerja di perkebunan dan kilang kopi, Van Asselt bersama beberapa penginjil
lain yang menyusul dan bergabung dengan melakukan karya penginjilan di tengah
masyarakat yang sebagian besar sudah menganut agama Islam. Tanggal 31 Maret
1861 Van Asselt membabtis dua orang Batak pertama, yakni Simon Siregar dan
Jakobus Tampubolon, pemberian nama baptis Kristen. Walaupun orang yang diijili
atau di kristenkan itu tidak banyak dan cakupan kegiatan mereka masih terbatas,
namun karya dan pengabdian mereka menjadi awal perkembangan yang baik bagi
gereja di Tanah Batak. [25]
2.2.2.
Perkembangan
Pada Sebelum Masa Hindia Belanda
Perkembangan
paling nyata yang dapat dilihat adalah dari pemikiran orang di tanah Batak yang
mana: terlihat dari buah ketekunan dan dedikasi yang tinggi dari pewarta injil
yang pertama-tama itu, suatu titik gerakan awal mulai terasa, mula-mula di
daerah Silindung (Kabupaten Tapanuli Utara yang ibukotanya adalah tarutung yang
sekaran). Raja Pontas Lumbantobing, Raja Musa Hutahuruk dan Raja-raja lainnya
melihat kesempatan yang tidak mungkin disia-siakan melalui agama Kristen yang
dibawa para missionaris, apabila orang Batak ingin hidup bebas dari kuasa-kuasa
kejahatan yang mencekam hidup orang Batak pada saat itu. Itu artinya mereka
menganggap kekristenan itu mampu melepaskan mereka dari kejahatan-kejahatan
terkhusus tentang kegelapan agama mereka sebelumnya.[26]
2.2.3.
Pergumulan
Pada Sebelum Masa Hindia Belanda
Berdasarkan
apa yang telah dijelaskan diatas bahwa sebelum masuknya kekristenan ke tanah
Batak, ada beraneka-ragam agama yang dianut bangsa Batak. Banyak terjadi
penyembahan berhala pada benda-benda, karena mereka menganggap bahwa ada
dewa-dewa ditiap-tiap benda tersebut yang berkuasa atas hidup manusia. Selain
itu tradisi mereka yang sangat mengerikan yaitu tidak segan-segan menganiaya
orang yang dianggap musuh, tangan dan kakinya di belenggu dan di ikat di
tengah-tengah halaman kampung. Dagingnya dipotong-potong dan dibakar untuk di
makan oleh orang-orang yang berkuasa atasnya, seperti yang telah dijelaskan di
awal tentang kehidupan orang di tanah Batak ini sebelum kekristenan masuk.[27]
Selain
itu, pada masa lampau orang Batak tidak suka terhadap orang luar yang bola
matanya putih menurut orang Batak (Barat/ sibottar
mata), karena mereka dianggap sebagai penjajah. Selain itu, ada paham bagi
bangsa Batak yang hidup sebelum abad 19, bahwa orang yang berada di luar bangsa
Batak adalah musuh. Alasannya adalah karena masa itu sering terjadi perang
diantara suku-suku, bahkan perang antara sesama bangsa Batak yang berlainan
desa, dan yang berbeda agama atau kepercayaan.[28] Salah satu alasan yang
juga yang melatarbelakangi kecurigaan kepada orang asing adalah terjadinya
perang paderi di Minangkabau yang menyerang suku Batak dalam kurun waktu
1824-1834. Khususnya serangan yang dipimpin Tuanku Rao tahun 1825-1829. Inilah
juga yang menjadi latar belakang terbunuhnya dua missionaris yakni Munson dan
Layman. Oleh karena itu, tanpa bermaksud membenarkan peristiwa pembunuhan dari
Amerika itu, situasi dan kondisi sosial politik turut melatar-belakangi
peristiwa tersebut.[29]
2.3.
Kekristenan Pada Abad 19-20 Masa Hindia Belanda
Untuk
daerah di Tanah Batak lembaga pekaran injil yang hadir adalah RMG (Rheinische
Missionsgessellschaft) yang terbentuk pada tanggal 23 September 1828 selaku
penggabungan beberapa badan PI di Jerman, seperti "Elberfelder
Missionsgesellschaft" yang berdiri pada tahun 1799 dan "Barmer
Missionsgesellschaft" yang didirikan tahun 1818, dan yang selama itu
merupakan badan pembantu utama dari Basler Mission di Swiss. Berbeda dengan
badan-badan PI yang ada di Belanda, maka RMG ini mengandung unsur Luther' dan
unsur 'Uniert' dalam dirinya. Badan ini menerima tenaga-tenaga dari semua
persekutuan di Jerman. Walaupun sebagian besar adalah berasal dari aliran
gereja kesatuan, tetapi unsur Luther tetap ada yang kemudian diperkenalkan di
Indonesia. Daerah kerja mereka di Indonesia: Kalimantan, Tapanuli (Sumatra
Utara), Nias, Mentawai dan Enggano.[30]
Suatu
ketika, Dr. Friederich Fabri (1824-1891), direktur Rheinische
Mission-Gesselschaft (RMG) mengadakan lawatan ke Belanda, secara kebetulan
menemukan buku karya van der Tuuk tersebut. Dia kemudian mencari tahu tentang
penulisnya, dan konon bertemu secara langsung dengan van der Tuuk di Belanda,
Dr. Fabri tertarik dengan adanya informasi tentang suku batak itu. Atas
kunjungan Dr. Fabri sebagai direktur RMG, ia juga berunding dengan Pastor
Wittenven pemimpin Zending kerk Ermelo. Hasilnya, ada beberapa orang
missionaris utusan Zendingkerk Ermelo yang sedang bekerja di Tanah Batak
diserahkan untuk bergabung dengan para missionaris RMG.[31]
RMG
adalah kesatuan atau gabungan dari paham Lutheran dan Calvinis. Karena itu
nanti di dalam berbagai kegiatan para missionaris RMG kombinasi kedua aliran
ini cukup terlihat, baik dalam pengajaran, penerapan peraturan dan disiplin,
maupun dalam peribadatan.
2.3.1.
Pertumbuhan
Dalam
masa Hindia Belanda, adapun pertumbuhan yang dapat dilihat pada penyebaran
injil ke tanah Batak adalah sebagai berikut: ke empat zendeling atau misionaris
yang dikirim RMG adalah Van Asselt, Betz, Klammer, dan Heine. Berkumpul di
Sipirok tanggal 7 Oktober 1861, sekaligus melakukan pembagian tugas dan
wilayah. Tanggal ini kemudian ditetapkan HKBP sebagai tanggal lahirnya. Menyusul
keempat penginjil itu, RMG mengutus ratusan penginjil. Yang paling sering
diingat dan dihormati masyarakat Batak Kristen adalah Ingwer Ludwig Nommensen,
yang tiba di tanah Batak pada Mei 1862. Nommensen segera disusul sejumlah besar
penginjil utusan RMG, laki-laki dan perempuan, sehingga wilayah penginjilan
(termasuk pendidikan, kesehatan, pertanian, dan pertukangan) dan pembentukan
jemaat baru secara bertahap diperluas hingga ke Humbang, Toba, Samosir,
menyusul Dairi dan Sumatera Timur. Tentu tidak hanya penginjil asal Eropa
(terutama Belanda dan Jerman) itu yang berkarya, sejumlah tenaga pribumi yang
dididik di sekolah-sekolah khusus untuk menjadi pengerja gereja mulai dari
sekolah kateket di Parau Sorat sejak 1868, seminari Pansur Napitu sejak 1877
(didahului oleh Sikola Mardalan-dalan),
seminari Sipoholon sejak 1901 hingga Seminari Narumonda sejak 1907. Terdapat
juga sejumlah raja atau pemuka masyarakat yang peranan mereka dalam
pengembangan gereja tidak boleh
diabaikan. Nama-nama mereka diantaranya adalah: Raja Pontas Batak Lumbantobing,
Raja Ompu Bata Tahan Siahaan, Ompu Baligadosi Sihombing, Aman Dari
Lumbantobing, dan Raja Ompu Manahara Hutauruk.[32]
Setelah
kedudukan Nommensen semakin kuat dan dukungan pemerintah Belanda semakin nyata
terhadap pengamanan di Silindung. Setelah itu semakin pesatlah pekerjaan
penginjilan Nommensen di Silindung. Setelah lembah Silindung dan daerah
sekitarnya sudah di injili dan di tobatkan, maka lembah Silindung merupakan
pusat pekabaran Injil di tanah Batak. Di Pansur Napitu didirikan sekolah guru,
untuk menjadi guru agama dan guru sekolah.[33]
1866
adalah tahun penentuan bagi kelangsungan hidup orang Kristen di Silindung dan
pertumbuhan persekutuan Kristen di Silindung. Jumlah orang Kristen Batak pada
tahun itu sudah mencapai angka 52, bahkan Johannes mencatat pada laporanya 1
November 1866 sudah 75 orang. Selain itu terdapat sejumlah kateket, yaitu para
calon baptis yang sedang menunggu masa baptisan mereka, setelah usai mengikuti
katekisasi yang berisi pengetahuan isi Alkitab dan etika alkitabiah Kristen,
khususnya berdasarkan dasa titah. Bagi Nommensen, pembabtisan 20 orang pada 22
Juli 1866 adalah pertanda kemenangan kabar baik tentang Yesus Kristus di tengah
banyak ancaman dan bahaya dari pihak-pihak yang masih menolak kehadiran
Nommensen dan kaum Kristen pribumi itu. Nommensen masih melakukan baptisan
kudus bagi Sembilan orang pada 14 Oktober 1866, dan mereka yang sudah berencana
untuk membentuk keluarga baru diberi pemberkatan nikah pada malam harinya,
antara lain Jakobus dengan Lina, Jakob dengan Sipora, dan Jonathan dengan
Achsa.[34]
Statistik
perkembangan jumlah orang Kristen di tanah Batak sejak 1861-1881:[35]
Tahun |
1861 |
1867 |
1868 |
1870 |
1871 |
1877 |
1880 |
1881 |
Jumlah |
2 |
115 |
728 |
849 |
1.250 |
2.173 |
4.956 |
5.988 |
2.3.2.
Perkembangan
Perkembangan
yang terjadi pada masa ini adalah juga karena sejumlah langkah dan strategi
dari RMG untuk menata Huria Batak yang memang sedang berkembang pesat itu. Adapun
langkah yang dilakukan adalah:
1. Mendirikan
sekolah dan mengembangkan usaha pendidikan yang menyatu dengan Jemaat, di mana
ada jemaat di situ ada sekolah. Bahkan kemudian ada sejumlah sekolah yang tidak
langsung terikat kepada suatu jemaat. Selama
80 tahun kiprahnya, Batakmission menyelenggarakan ratusan sekolah dari
tingkat dasar hingga lanjutan (umum maupun kejuruan) dan menghasilkan puluhan
ribu orang Batak yang terdidik dan yang pada gilirannya, selain di lingkungan
gereja, mendapat pekerjaan dan jabatan yang baik di kalangan pemerintah maupun
swasta.
2. Menata
organisasi lewat penyusunan Tata Jemaat dan Tata Gereja, yang di dalamnya
ditetapkan juga sejumlah jabatan gerejawi. Dimulai dengan Tata jemaat (Gemeinde
Ordnung) 1866, dilanjutkan dengan Tata Gereja (Kirchen Ordnung) 1881, Huria
Batak (selanjutnya HKBP) beberapa kali menata organisasi dan jabatan gereja dan
merevisi tata gerejanya (belakangan disebut Aturan dan Peraturan). Tata Jemaat
dan Tata Gereja ini di satu sisi memberi tempat bagi tokoh-tokoh masyarakat
lokal (a.l. raja-raja dan pangituai ni
huta diangkat menjadi sintua) tetapi di sisi lain bersifat sentralistik dan
memusatkan kekuasaan pada Ephorus sebagai Pucuk Pimpinan.”
3. Penataan
ibadah dengan menyusun dan menghimpun sejumlah Tata Ibadah di dalam buku Agenda dan menyediakan Buku Ende Huria. Buku Agenda ini
merupakan saduran dari Agenda di
gereja Protestan di Jerman pada abad ke-19, yang disesuaikan di sana-sini
dengan konteks dan kebutuhan gereja di Tanah Batak. Pada abad ke-20 gereja di
Jerman mengubah tata ibadah di Agenda abad ke-19 itu, tetapi gereja-gereja
Batak setia mempertahankannya. Khusus
Buku Ende Huria, kemudian dilengkapi dengan Haluaon na Gok.” [36]
2.3.3.
Pergumulan
Pergumulan
yang dihadapi oleh para pembawa Injil ke Tanah Batak Ingwer Ludwig Nommensen,
yang tiba di tanah Batak Mei 1862. Nommensen memulai kegiatan penginjilannya di
Barus; tetapi karena sambutan masyarakat
yang sudah mayoritas islam disana kurang positif dan banyak yang bukan orang Batak, maka pada
akhir 1862 ia pindah ke sipirok , bergabung dengan Klammer. Hal yang sama
dihadapinya disana, sehingga pada akhir 1863 ia-atas izin pemerintah
Hindia-Belanda, memasuki daerah Silindung yang penduduknya masih beragama suku,
walaupun kawasan itu masih termasuk kawasan yang “merdeka” (Onafhankelijk). [37]
Selain
itu yang menjadi pergumulan adalah kehadiran para zendeling di tanah Batak
tentu tidak disetujui Sisingamangaraja XII yang menggantikan ayahnya tahun 1867
yang beranggapan bahwa zending adalah wahana dan alat pemerintah untuk
menguasai daerah Batak. Mereka merasa terancam dengan kehadiran para Zending,
sehingga hal ini membuat Sisingamangaraja XII mengambil tindakan untuk
memaklumkan perang terhadap pihak Belanda tahun 1877, ia telah melancarkan
perang urat syaraf melalui beberapa anak buahnya yang mengunjungi pusat pasar
tradisional yaitu Onan Sitahuru di
Silindung sejak awal Januari 1878 yang telah menyebarkan berita bahwa ia dan
seluruh pasukan acehnya akan membunuh orang Eropa dan orang-orang Kristen di
kalangan penduduk. Berita itu cukup merepotkan para penginjil Eropa dan juga
orang-orang Kristen pribumi di Silindung dan Sipoholon, sehingga Nommensen
sempat mengirim utusannya kepada residen sebagai penguasa tertinggi untuk
seluruh wilayah Tapanuli yang terletak di Sibolga untuk memberitahukan berita
ancaman Sisingamangaraja tersebut.[38]
2.4.
Kekristenan Pada Masa Gerakan Nasionalisme Di Indonesia
Apa
sebenarnya yang melatarbelakangi gerakan Nasionalisme di Indonesia? Sejarah
latar belakang gerakan nasionalisme mencatat banyak gereja Era kolonialisme dipimpin
oleh missionaris-missionaris Eropa, sedangkan pendeta-pendeta pribumi jumlahnya
terbatas hanya pembantu mereka saja. Sebab itulah ketidakmampuan Gereja-gereja
permulaan itu untuk menjawab tantangan zaman baru, tetapi tidak mengahalangi
anggota-anggota secara perorangan untuk menggabungkan diri pada gerakan
nasionalisme. [39]
Sejalan dengan itu mengenai kesadaran nasionalisme yang mulai ada di hati
masyarakat Indonesia. Munculnya gerakan-gerakan nasionalisme pada abad ke-19
dipicu oleh semangat anti-kolonialisme yang berkepanjangan.[40]
2.4.1.
Pertumbuhan
Pada
Masa Nasionalisme Indonesia, pertumbuhan dari gereja itu dapat terlihat dengan
jelas. Gerakan-gerakan pekabarn Injil yang dilakukan oleh kaum awam yang
sungguh-sungguh bertobat dan menerima Injil sebagai pedoman hidup baru bagi
mereka. Justru mereka itulah yang mengambil prakarsa bekerjasama dengan para missionaris dalam
menunaikan tugas kesaksian gereja. Missionaris-missionaris kemudian mulai minta
bantuan dari rekan-rekan pribumi untuk melakukan pekabaran injil kepada suku
bangsa mereka sendiri. Proses itu nampak dalam periode 1930-1941. Mission
Methodist Amerika N.Z.G, dan N.Z.V. dan badan-badan zending lainnya mulai
melihat pentingnya peranan rekan-rekan pribumi itu dalam usaha bersama dibidang
pekabaran Injil. Dari sinilah mulai nampak suatu fase pekabaran injil yang
baru. Pertumbuhan dan perkembangan mulai tersa dan nyata dari kemajuan-kemajuan
yang dicapai oleh gereja. Secara umum
daerah pekabaran Injil sudah dapat meluas. Kemudian juga terjadilah pembentukan
gereja-gereja yang diatur oleh bangsa sendiri. Ditanah batak itu gereja yang
berdiri itu adalah HKI.[41]
·
Horea Christen Batak (HChB)
Sejak
tahun 1907 sudah ada jemaat yang didirikan oleh RMG (Reinsche Mission Gesellschaft) di Pematang Siantar dan Jemaat ini
menjadi pusat utama para missionaris RMG di Sumatera Timur. Akan teteapi, warga
jemaat banyak yang bersebar di sekitar pinggiran kota Pematang Siantar yang
jaraknya kurang lebih 4km dari gereja ini dan F. Sutan Malu Penggabean adalah
salah satu dari antaranya. Mempertimbangkan sulitnya menjangkau Gereja Pematang
Siantar dengan berjalan kaki, maka F. Sutan Malu Panggabean (yang adalah
lulusan sekolah Seminari Sipaholon tahun 1909) mengusulkan agar didirikan satu
jemaat baru di Pantoan. Usul ini ditolak oleh Pdt. R. Scheneider (Missionaris
RMG) di Pematang Siantar. Sejalan dengan lahirnya hari kebangkitan Nasional
melalui pendidiran Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dan didorong oleh
keinginan kemandirian Gereja dari RMG serta penolakan mendirikan jemaat baru di
Pantoan Oleh Missionaris RMG di Pematang Siantar adalah menjadi salah satu
alasan untuk mendirikan satu gereja baru di Pantoan yang disebut Hoeria
Christen Batak (HChB). [42]
Sebenarnya, sejak tahun 1927, F. P. Sutan Malu sudah
mulai melakukan kebaktian minggu di rumahnya di daerah Pantoan Pematang
Siantar. Akan tetapi baru pada tanggal 1 April 1927 membuat surat permohohan
resmi kepada pemerintah, alasan utama mendirikan Gereja ini. Sabutan masyarakat
Kristen Batak terhadap HChB di Pematang Siantar dan sekitarnya sangat luar
biasa. Dalam kurun waktu yang relative singkat yaitu pada tahun 1927-1930
terdapat 5 jemaat dengan 220 kepal keluarga dan pada tahun 1933-1935 jumlahnya
sudah mencapai lebih dari 170 jemaat. Gereja HChB sudah menyebar sampai ke
daerah Deli Serdang, Tapanuli di daerah Humbang, Sipahutar, Pangaribuan,
Silindung sekitarnya, Patene Porsea atau Toba Holbung, Tapanuli Selatan,
Tapanuli Tengah, dan sekitarnya. Demikianlah pada tanggal 5 Agustus tahun 1928 oleh
123 orang warga jemaat RMG mendirikan salah satu jemaat baru di Medan yang di
sebut “Hoeria Christen Batak Medan Parjolo” (HChB Medan I).[43]
Pemerintah Belanda sangat hati-hati dan telitih mengikuti perkembangan Hoeria
Christen Batak. Kehati-hatian mereka didasarkan kepada kenyataan tersebarnya
diseluruh Indonesia gerakan kemerdekaan Indonesia. Dimana-mana didirikan orang
Taman Siswa yang dianggap sebagai lembaga nasional yang menyebar luaskan
gerakan Nasionalisme.[44]
2.4.2.
Perkembangan
Perkembangan
yang terjadi adalah bahwa kesadaran gereja akan pengenalan dirinya dalam rangka
pergerakan nasionalisme yang sedang berkobar di pelbagai daerah dalam tahun
1930-1941 terjadilah serentetan peristiwa pendewasaan jemaat-jemaat Tuhan di
Indonesia. Seperti Gereja-gereja HKBP, GKE, GKP, GKI Jabar dan beberapa gereja
lainnya. Selain itu juga ada dua faktor yang membuat gereja-gereja mulai
memahami dan mengenal diri dalam rangka perjuangan nasionalisme yang sedang
hebatnya berkobar dimana-mana pada saat ini. kedua faktor yang ternyata sangat
menentukan wajah dan karekter kehidupan kekristenan di Indonesia itu
memungkinkan terjaminnya hak hidup gereja-gereja.[45]
2.4.3.
Pergumulan
Berbicara
tentang pergumulan dari pada masa ini pergumulan tidak begitu terasa dalam
pekabaran Injil karena, akibat pengaruh nasionalisme dalam ilmu pekabaran
injil, para zendeling pada umumnya dan tenaga RMG pada khususnya memberi
penilaian yang lebih positif.[46] Tetapi apabila melihat
dari respon Belanda, mereka merasa gelisah akibat dari gerakan Nasionalisme
yang terjadi. Sampai mereka merupakan siasat “devide et impera” untuk
menghalang-halangi pergerakan nasionalisme yang terjadi. Kemudian dibentuk lagi
Voksraad pada tahun 1918 oleh pihak Belanda untuk membujuk pemimpin nasional
agar mau berkompromi dengan pihak penjajah. Dimana pergerakan-pergerakan
melawan penjajah Belanda segera timbul pada tahun 1920an dalam bentuk
konfrontansi fisik, sekalipun perlawanan-perlawanan bersenjata dari rakyat
Indonesia itu dapat digagalkan Belanda.[47]
2.5.
Kekristenan Pada Masa Jepang
Runtuhnya
kekuasaan pemerintah kolonial Hindia-Belanda, akibat serangan dan pendudukan
tentara Jepang, berdampak besar terhadap hubungan antara penganut agama-agama
yang ada dengan pemerintah.
Pendudukan
Jepang atas Indonesia bukanlah sebuah peristiwa yang mendadak. Sudah sejak
akhir abad ke-19 pemerintah Jepang mengambil langkah tertentu dan melakukan
berbagai kegiatan untuk meluaskan kekuasaannya ke seluruh Asia Timur dan
Tenggara (termasuk Indonesia). Sementara sudah sejak akhir 1930-an kekuatan
pemerintah Hindia-Belanda sudah semakin merosot akibat berbagai faktor, antara
lain kian gencarnya gerakan-gerakan dan partai-partai berskala nasional
memperlihatkan sikap anti penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
atau paling tidak “Indonesia berparlemen”.
Sejak
tanggal 7 Desember 1941 pasukan udara Jepang menyerang Pearl Harbour di Pasifik
maupun pulau Luzon di Filipina. Walaupun belum ada serangan ke Hindia Belanda,
namun pada tanggal 8 Desember 1941 pemerintah Hindia Belanda mengikuti jejak
sekutu-sekutunya menyatakan perang terhadap Jepang. Sejak 10 Januari 1942
penyerbuan Jepang kepada Indonesia dimulai. Setelah sekian banyak lokasi
diduduki tentara Jepang, maka pada tanggal 08 Maret 1942 pemerintah Hindia
Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, subang, dan Gubernur Jendral Tjaarda
van Starkenborgh-Stachouwer ditawan. Inilah akhir riwayat pemerintahan
Hindia-Belanda dan awal pemerintahan baru di bawah pemerintah militer Jepang.
Selanjutnya wilayah Sumatera dan Jawa dikuasai oleh Angkatan Darat (Ryukugun), sedangkan Kalimantan dan
Indonesia Timur dikuasai Angkatan Laut (Kaigun).[48]
Umumnya anggota gereja tidak dapat membayangkan bahwa
kekuasaaan Jepang akan segera berakhir di Indonesia melihat ketangkasan dan
kelihaian mereka di tengah-tengah penduduk desa yang hanya dapat mematuhi
peraturan dan tindakan mereka yang sangat keras. Sebab dalam tempo tiga tahun
(1942-1945) Jepang telah berhasil menanamkan pendidikan ala Jepang termasuk
bahasa Jepang di tengah-tengah anak-anak yang belajar di sekolah. Mereka dapat
meyakinkan penduduk bahwa mereka bukan orang kulit putih tetapi orang Asia sama
seperti orang Batak. Mereka datang untuk membebaskan orang-orang Asia dari penjajahan bangsa Barat, sebab itu siapa yang
membenci orang Jepang berarti orang yang tidak suka kemerdekaan.[49]
2.5.1.
Pertumbuhan
Pada masa Jepang, walaupun begitu banyak
pergumulan yang terjadi di tanah Batak maupun di Indonesia , tetapi justru pergumulan-pergumulan
itu membuat masyarakat batak yang telah memiliki benih kekristenan semakin
berkembang terkhusus tentang pola berpikirnya, dan tentu saja perkembangan
berpikir itu akhirnya mampu menghadirkan pertumbuhan secara kuantitas dalam
masyarakat tanah Batak. Pada masa ini HKBP telah membenahi diri kedalam
sehingga tetap sadar akan kerawanan situasi yang oleh kesilapan sedikit dapat
menghancurkan jemaat dan gereja. Segala kepentingan pribadi dan golongan
dijauhkan, baik di kalangan pengerja gereja maupun dikalangan anggota jemaat.
Setiap pemilihan di dalam masyarakat dan gereja
selalu dapat membawa perselisihan bahkan perpecahan. Tetapi sinode Agung
tahun 1942 dan rapat-rapat jemaat dan distrik yang mendahuluinya berjalan tanpa
ada penonjolan golongan atau pribadi.
Pdt.
Justin Sihombing terpilih dalam sinode Agung tersebut menjadi pimpinan HKBP,
yang disebut Voorzitter dan kemdian disebut Ephorus. Beliau telah
menggembalakan HKBP sebagai Ephorus sampai tahun 1962. Pada akhir tahun 1942
diperkirakan jumlah anggota HKBP telah mencapai 475.000 jiwa. Pendeta HKBP 68
orang, tetapi kebanyakan dari guru-guru telah meninggalkan pelayanan dalam
jemaat, dan hanya melayani bidang sekolah yang telah diambil alih oleh
pemerintah militer Jepang. Gedung gereja tempat ibadah diperkirakan mancapai
800 buah. [50]
2.5.2.
Perkembangan
Banyaknya
pergumulan yang dialami oleh masyarakat tanah Batak, justru membuat mereka
menjadi jauh lebih berkembang. Dalam situasi demikian, gereja memberi suara
penggembalaan kepada anggota jemaat dan pengurus jemaat agar tetap
menggantungkan diri kepada kuasa Tuhan Allah yang mengatur jalan sejarah dunia
ini.Tuhan menetapkan agar setiap orang patuh kepada pemerintah itu pada
hakekatnya selalu bertugas untuk mencari kebaikan rakyatnya. Melalui penderitaan
itu, justru membuat mereka semakin berserah pada kuasa Tuhan.[51] Pengalaman yang menimpa gereja di masa pendudukan
Jepang ini telah menempa gereja menjadi lebih dewasa. Ia menjadi dewasa melalui
penderitaan, tekanan, hambatan, serta segala macam pembatasan yang dikenakan
pada gereja, tidak berhasil melumpuhkan gereja itu. Meskipun ditindas tetapi
tidak terjepit, habis akal namun tidak putus asa, dianiaya tetapi tidak
ditinggalkan oleh Tuhannya. Sebaliknya gereja menjadi lebih sadar akan hakekat
keberadannya di dalam dunia ini, lebih mengerti tugas dan panggilannya lebih
berani mengabarkan Injil. Kehadiran para pendeta Jepang juga membuka horizon
baru. Bila sebelumnya Indonesia hanya mengenal gereja-gereja sahabat di Eropa
dan Amerika, kini mereka sadar bahwa juga di Asia terdapat gereja Tuhan yang
hidup yang bersedia menanggung beban sesama. Artinya justru karena
pergumulan-pergumulan itulah pemikiran di tanah Batak justru semakin terbuka
khususnya tentang kekristenan itu. Kumpulan-kumpulan dan pemahaman Alkitab
berkembang dan hidup di mana-mana. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia yang
dilarang oleh Jepang, secara sembunyi-sembunyi terus mengadakan kegiatan
mereka, dengan menyelenggarakan kelompok doa, pemahaman Alkitab dan kelompok
diskusi. Hari doa mahasiswa sedunia mereka rayakan secara rahasia. Pengalaman
gereja di masa pendudukan Jepang ini telah dipakai oleh Tuhan untuk
mempersiapkan gereja di Indonesia memasuki babak baru dalam sejarah yang lebih
hebat lagi periode perang kemerdekaan.[52]
Dalam pendudukan militer Jepang di Tapanuli, gereja
belajar untuk lebh dekat kepada Tuhan Allah dank arena itu belajar selalu
mengesampingkan kekuatan diri sendiri dan lebih mengakui bahwa gereja itu bukan
perkumpulan satu suku atau bangsa, tetapi perkumpulan/ persekutuan orang-orang
yang percaya, yang terbuka bagi segala orang di dunia ini yang bisa timbul
tenggelam seperti kuasa Belanda yang berabad-abad tiba-tiba dapat berakhir
dengan pendudukan penguasa baru yaitu Jepang.[53]
2.5.3.
Pergumulan
Masa
pendudukan Jepang dapat terbilang cukup singkat tetapi pergumulan yang dialami
sebagai dampak dari pendudukan Jepang ini juga tidak bisa dianggap remeh,
karena pada faktanya banyak pergumulan yang dialami secara khusus dalam hal
ini, bagi masyarakat di tanah Batak. Masa pendudukan Jepang yang relatif
singkat telah menorehkan pengalaman penuh luka bagi komunitas kekerabatan Batak
dan komunitas kekerabatan Batak dan komunitas Kristen Batak. Setiap penduduk
yang dianggap tidak tunduk kepada Jepang menghadapi berbagi tindakan kekerasan
secara sewenang-wenang. Pasukan Jepang memaksa penduduk harus menyerahkan beras
kepada mereka sehingga penduduk jadi sering makan gadong (ubi). Pendidikan diubah dengan mengutamakan pelajaran
bahasa Jepang dan mengindoktrinasi penduduk untuk menyembah kaisar Jepang. [54]
Sebelum
jauh berbicara tentang pergumulan-pergumulan berat yang dialami di tanah batak,
barangkali dapat dilihat juga bahwa pada masa Jepang ini, kehidupan gerejani
mengalami ke-tawaran, terjadi peristiwa tawarnya kehidupan gerejani. Ada beberapa
hal yang harus disebutkan yang merupakan pendorong tawarnya kehidupan gerejani
pada masa ini.Yang pertama ialah yang bersumber dari pemerintah Jepang sendiri
dan yang kedua bersumber dari keadaan setempat.Bangsa Jepang kebanyakan
mempunyai kepercayaan campuran antara kepercayaan Budha dan pendewaan nenek
moyang. Kekurangan sandang pangan juga memicu kelemahan iman yang semuanya itu
dikuasai oleh pemerintah Jepang.Puncak penderitaan itu mengakibatkan kendornya
usaha tokoh-tokoh gerejani didaerah dan pusat.Tokoh-tokoh yang berpenghasilan
dari gaji bulanan lah yang paling banyak menderita.Mereka ini sering sekali
kembali bertani untuk mempertahankan hidupnya.[55]
Dalam
proses pengabaran Injil pada masa Jepang, dapat dilihat begitu banyak
pergumulan yang dialami oleh masyarakat di Tanah Batak. Pendudukan tentara
Jepang di Tapanuli terjadi
pada pertengahan bulan Maret 1942. Jepang
segera mengambil alih pemerintahan Belanda di Tapanuli. Orang Belanda termasuk
pendeta Belanda ditangkap. Setiap penduduk dan kumpulan-kumpulan, termasuk
gereja diperingatkan oleh pemerintah militer Jepang agar jangan memberi
kecurigaan, artinya di sini jangan mencampuri urusan politik yang mengurangi
kekuasaan Jepang. Di tengah-tengah ketakutan yang melanda penduduk, gereja juga
terpaksa menerima tindakan-tindakan Jepang yang sudah berlawanan dengan dasar
gereja;
a)
Semua sekolah dan rumah sakit dikuasai
oleh pemerintah militer Jepang.
b)
Semua guru dipaksa menjadi pegawai negeri
pemerintah militer Jepang.
c)
Kebaktian gereja pada hari minggu dipaksa
menjadi sarana propaganda mensukseskan perang Asia Timur Raya.
d)
Beberapa pendeta ditangkap dan
dipenjarakan sebab khotbahnya yang tidak sesuai dengan keinginan pemerintah
Jepang.
e)
Ribuan pemuda Kristen Batak dijadikan
tentera dan banyak yang tidak diketahui
kemana rimbanya.
f)
Penghasilan rakyat yang hanya dapat
memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti padi dan ternak dipaksa dikumpulkan ke
gudang tentera Jepang, sehingga rakyat dipaksa hanya untuk makan ubi kayu.
g)
Pengajaran agama dilarang diberikan dalam
sekolah sebagai mata pelajaran.[56]
Selain
itu secara jelas juga dapat dilihat bahwa pada masa penjajahan Jepang, gereja mengalami tekanan dan pergumulan yang sangat
berat:
1.
Penyitaan
Harta Milik Gereja
Hampir
di seluruh Indonesia gereja mengalami hal-hal yang sama, banyak sekali harta
milik gereja disita oleh pemerintah Jepang dan dijadikan milik kerajaan,
seperti gedung-gedung gereja pun yang disita. Malahan ada gedung gereja yang
dipergunakan selaku markas besar tentara seperti di Banjarmasin. Peristiwa itu
merupakan pelajaran sejarah yang cukup pahit. Karena pada waktu itu sebagian
besar dari badan zending belum sempat mengalihkan secara hukum seluruh harta
milik gereja yang masih atas nama mereka kepada badan hukum gereja. Hal ini
membuat cukup alasan bagi pemerintah Jepang untuk menyita semua harta milik
yang masih atas nama zending ataupun badan pemerintah Belanda, karena dianggap
milik musuh yang sudah kalah.
2.
Tekanan
dan Pembatasan Gerak Oleh Pemerintahan Pendudukan Jepang
Tindakan-tindakan
politis yang dilakukan oleh pihak Jepang ialah mengkikis habis semua ikatan dan
simpati terhadap pihak Belanda. Salah satu cara yang dipakai ialah membabat
semua golongan intelektual dan menguasai rakyat Indonesia. Sehubungan dengan
cara tersebut, cukup banyak kaum intelektual Kristen baik sebagai tokoh gereja
maupun selaku tokoh masyarakat yang ikut menjadi kurban dibunuh oleh Jepang,
dengan tuduhan melakukan kegiatan mata-mata untuk Belanda. Pada waktu itu kaum
terpelajar Kristen secara presentase cukup banyak dibandingkan dengan golongan
lain. Ini disebabkan pada umumnya, sekolah-sekolah yang diusahakan oleh pihak
zending/ gereja cukup banyak tersebar diseluruh wilayah Indonesia.
Pada
masa ini orang Kristen umumnya dicurigai dan difitnah selaku kaki tangan Belanda,
sehingga korban-korban yang jatuh tidak sedikit jumlahnya. Pada masa kedatangan
tentara Jepang, memang masih terdapat peraturan-peraturan ataupun tata gereja
yang masih ditulis dalam bahasa Belanda, sehingga mudah sekali dituduh sebagai
kaki tangan Belanda. Pimpinan gereja kemudian berusaha secara cepat
menterjemahkan peraturan dan ketentuan-ketentuan tersebut ke dalam bahasa
Indonesia atau bahasa daerah masing-masing. Tindakan lainnya dari pihak
pemerintah pendudukan adalah larangan berkumpul dan berapat yang juga dikenakan
pada perhimpunan ibadah orang Kristen. Pada waktu permulaan memang gereja
mengalami kesulitan berat, terutama menghadapi larangan beribadah di
rumah-rumah gereja.
3.
Tekanan
dan Tantangan dari Golongan Islam
Gereja-gereja
di Indonesia dan umat Kristen pada masa pendudukan Jepang ini harus pula
menghadapi tekanan dan tantangan dari golongan Islam yang pada saat ini
mendapat “perlindungan” dari pemerintah militer Jepang. Mereka melancarkan
tuduhan bahwa agama Kristen itu adalah agama Belanda dan oleh karena itu
orang-orang Kristen dan gereja-gereja dituduh sebagai mata-mata Belanda.
Tuduhan seperti itu telah menimbulkan kekacauan dan kegelisahan di kalangan
umat Kristen. Gereja-gereja di Indonesia adalah gereja nasional dan orang Kristen
Indonesia berkewajiban membela bangsanya. Walaupun umat Kristen di Indonesia
telah memperlihatkan sikap nasional dalam melawan kekuasaan kolonial baik
Belanda maupun Jepang, mereka tidak luput dari tekanan dan tantangan dari pihak
Islam. Perang “Jihad” yang digerakkan oleh kaum Islam pada tahun 1942 telah
menimbulkan kerugian-kerugian materil maupun spiritual pada gereja-gereja dan
umat Kristen di Jawa. Pengalaman gereja dalam hubungannya dengan pihak umat
beragama yang lain, khususnya Islam dalam periode ini, telah ikut membantu
gereja untuk menjadi lebih dewasa serta lebih sungguh-sungguh menempatkan
dirinya sebagai bagian yang melayani di tengah-tengah masyarakat bangsa.[57]
2.6.
Kekristenan Pada Masa Indonesia Merdeka
Pada
tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia. Kemerdekaan bangsa Indonesia ke seluruh mengetahuinya. Sebab dari
pertengahan Agustus-September1945 apapun yang terjadi di luar Tapanuli tidak
dapat diketahui oleh penduduk. Alat-alat media, radio dan telepon berada di
tangan pemerintah militer Jepang, dan semua radio penduduk disita. Namun dari
gerak-gerik tentara Jepang nampak sesuatu yang tidak beres pasti terjadi. Tanpa
dirasakan jumlah mereka berkurang dari hari ke hari. Sewaktu kabar tentang
kemerdekaan bangsa Indonesia telah di dengar di tengah-tengah desa di Tapanuli,
maka seluruh penduduk membuang rasa takut yang selama ini mencekam mereka.[58]
2.6.1.
Pertumbuhan
Dalam
rangka menggalakkan revolusi kemerdekaan, rakyat Indonesia membentuk organisasi
pemudanya. Umat Kristen membentuk Partai Kristen Indonesia (PKI) dan dirobah
kemudian menjadi Parkindo. Namun pimpinan gereja tidak memaksa anggotanya
memasuki partai Kristen Indonesia itu. Kepada warga gereja diberi kebebasan
memilih aliean politiknya yang sesuai dengan kehendaknya masing-masing. [59]
2.6.2.
Perkembangan
Dalam
masa Indonesia merdeka ini terlihat perjuangan dari masyarakat Tanah Batak
rakyat yang selama ini merupakan budak dan sapi perahan Jepang segera bangkit.
Gerakan mobilisasi umum dengan mudah menggerakkan rakyat yang sudah galak itu
untuk merebut kekuasaan dari Jepang. Hal yang serupa itu terjadi juga di
Sumatera Utara di tempat-tempat kedudukan Jepang. Tidak terkira banyaknya
pemuda Kristen yang turut mengambil bagian dalam perampasan kekuasaan dan
senjata dari jepang.[60]
2.6.3.
Pergumulan
Berbanding
terbalik dengan apa yang terjadi pada masa Jepang dimana pergumulan yang
terjadi justru memperkuat perkembangan pada pemikiran masyarakat Batak yang
semakin mengandalkan Tuhan. Pada masa Indonesia Merdeka ini justru dengan
adanya kemerdekaan itu, ada anggapan bahwa seolah-olah ada gejala bahwa merdeka
pada waktu itu berarti bebas melakukan kehendak dan golongan sendiri. Hal ini
nampak dalam aliran “revolusi sosial” yang mulai bergerak di daerah Sumatera
Timur (Simalungun) sejak bulan Maret 1946.
Aliran
tersebut menunjukkan kekerasan dan tindakan yang tidak berperikemanusiaan
kepada keluarga-keluarga sultan dan raja-raja yang memang pada waktu itu telah
melepaskan diri dari kekuasaan mereka atas daerah-daerah istimewa secara de
facto.
Aksi
gerakan ini (revolusi sosial) sempat merembes ke pulau Samosir pada bulan Mei
1946. Hampir seluruh raja dan pengawai ditangkap dan dipenjarakan di tangsi pangururan.
Selain
itu terjadi juga perang saudara dan agressi Belanda, puncak penderitaan
penduduk pada masa perang saudara antara beberapa barisan tentera yang muncul
di Tapanuli, yaitu barisan Harimauliar, tentara si Raja, tentara si Bejo,
Benteng dan lain-lain. Citra keagamaan yang mereka anut (Kristen dan Islam)
sama sekali pudar. Gereja yang pada hakekatnya bertugas untuk memberitakan
Injil, tidak dapat lagi berkembang secara bebas.
Agressi
Belanda I dan II (1947-1949) yang juga sampai di Tapanuli telah menambahkan
kekacauan penderitaan masyarakat dan gereja. Gereja harus melayani jemaatnya di
dalam dua daeah yang berbeda. Satu di daerah kekuasaan republik Indonesia, dan
yang lain dapat direbut oleh pemerintah Belanda (tentara sekutu). Dalam hal ini
HKBP diujulagi secara hakikatnya sebagai gereja, yang harus bediri ditengah-tengah
bangsa Indonesia yang melalui masa peralihan. Tidak mungkin bagi pucuk pimpinan
HKBP untuk mengadakan kunjungan ke jemaat-jemaat sebab perhubungan lalu lintas
antara daerah-daerah yang dikuasai oleh pemerintahan yang berbeda pada waktu
itu sangat sulit. [61]
2.7.
Kekristenan Pada Masa Orde Lama
2.7.1.
Pertumbuhan
Tahun
1955 diadakan Pemilihan Umum yang pertama bagi rakyat dan bangsa Indonesia yang
memberi kesempatan baik bagi warga gereja HKBP untuk menggunakan haknya ikut
dalam pemilihan. Pengalaman yang pertama ini dapat untuk menilai kehidupan
gereja yang berada di tengah-tengah masyarakat dan bangsa Indonesia. Karena
mereka diberi kebebasan memilih calon-calon yang menjadi anggota badan
legislatif dan eksekutif sesuai dengan pandangan mereka. Umat Kristen yang
berhak memilih DPR di Sumatera Utara ada dekitar 400.000 orang dan dari antara
mereka ada sejumlah 294.000 orang yang memilih Partai Kristen Indonesia
(Parkindo). Perkembangan Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh kebanyakan umat
Kristen Sumut belum dapat dibayangkan bahayanya bagi masyarakat, bangsa dan
gereja.
Tetapi
HKBP selaku satu gereja yang mendukung azas Ketuhanan Yang Maha Esa yang ada
dalam Pancasila dan UUD 1945, telah memberi peringatan bagi warganya akan
bahaya PKI sebagai satu gerakan yang anti agama yang tidak mengaku adanya Tuhan
Allah Pencipta. Sepanjang tahun 1950-an HKBP tanggap akan bahaya dari ideologi
komunisme PKI. Bagi mereka yang pindah dari Tapanuli ke daerah-daerah di
Sumatera Timur, bimbingan demikian sangat penting, terutama bagi mereka yang
dalam hidupnya pertama kali bertemu dengan segala macam bujukan PKI. Sehingga
pernah terjadi kericuhan dan penyelewengan dalam jemaat oleh mereka yang sudah
masuk anggota PKI, di mana mereka selaku pimpinan jemaat setempat membuat
keputusan-keputusan tanpa sepengetahuan
Pendeta.
HKBP
menyadari keterbatasan kedudukannya sebagai satu lembaga agama terhadap warga
gereja yang bebas memilih partai-partai yang pada waktu itu legal berdiri di
Indonesia termasuk PKI. Tetapi dari sudut iman Kristen, HKBP merasa
bertanggungjawab atas kekeliruan ideologi komunisme PKI, sehingga HKBP harus
menunjukkan sikap tegas terhadap ideologi tersebut. Dalam pesan khusus dari
Sinode Agung 1956, HKBP menghimbau agar anggota jemaat HKBP terutama para
pengerja gereja menjauhkan diri dari ajaran komunisme. HKBP sudah bersedia
menerima akibat apapun yang akan terjadi dari PKI terhadap HKBP. Kembali
penduduk Sumatera Utara termasuk anggota jemaat HKBP di Tapanuli merasakan
ketegangan yang terjadi antara PRRI dan Pemerintah R.I. serta menderita akibat
dari kekacauan dan hura-hura tersebut. Dalam situasi yang demikian HKBP merasa
terdorong untuk menyampaikan hasratnya kepada Presiden R.I. agar secepat
mungkin mengatasi dan menyelesaikan kemelut-kemelut dan kegentingan-kegentingan.
HKBP memberanikan diri melakukannya atas dasar kasih dan cinta sesuai dengan
dasar Agama dan kehendak Tuhan.
Kepada
seluruh umat HKBP disampaikan oleh Pucuk Pimpinan HKBP suatu pesan
penggembalaan untuk meneliti dalam bidang kerohanian sebab musabab dari
kekeruhan yang dialami pada masa itu serta mengajak seluruh umat untuk
berpaling kembali kepada Tuhan Yesus Juruselamat dunia. HKBP bergumul pada
waktu itu untuk dapat menjelaskan bahwa suara bangsa (darah) jangan disamakan
dengan suara Tuhan. Karena pendapat ini bisa saja dianut oleh warga gereja yang
bertugas pada pihak masing-masing yang sedang bermusuhan. Di antara mereka
mungkin terjadi pergumulan antara semangat kebangsaan yang bersifat kesukuan
dengan kebangsaan Indonesia atau Nasional. Pada waktu itu bisa saja keduanya
dipertentangkan. Dalam situasi yang demikian HKBP lebih sunguh-sungguh
membenahi diri akan kedudukannya sebagai gereja yang tidak usah terikat kepada
salah satu sentiment di atas. Kepada para pendeta diberi bimbingan agar mereka berkhotbah
hanya karena Kristus dan pelayanan khotbah mencakup pelayanan dalam gereja,
dunia, bangsa dan Negara.[62]
2.7.2.
Perkembangan
Kegiatan-kegiatan
masyarakat dalam usaha mengemban tugas di lapangan ekonomi dan politik tetap
diikuti dan didoakan HKBP agar mencapai hasil yang dapat dikecap seluruh
lapisan masyarakat. Bagi HKBP keterlibatan di bidang masyarakat dianggap
sesuatu tugas baru yang memerlukan dasar pemikiran teologis dan Alkitabiah dan
untuk itu perlu dibentuk satu komisi tentang soal masyarakat demi menegakkan
kebenaran di tengah-tengah masyarakat. Juga mempelajari Undang-undang
Perkawinan yang berlaku bagi warga Negara Indonesia. Pemahaman mereka terhadap
kekristenan itu sudah mengalami perkembangan, mereka juga mulai memakai pedoman
Alkitab. Dan ini hal yang baik.[63]
2.7.3.
Pergumulan
Tentang
apa yang menjadi pergumulan pada masa orde lama dijelaskan demikan bahwa: pada
masa Orde Lama (1950-1966) banyak terjadi pergolakan politik, antara lain
munculnya pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang oleh
pemerintahan pusat RI di Jakarta dicap sebagai pemberontak. Cukup banyak warga
dan pelayan HKBP bergabung ke dalam PRRI. Bahkan dikalangan PRRI
diselenggarakan juga peribadahan dan kursus bagi para calon pelayan gereja yang
waktu itu masih mendaku sebagai bagian dari HKBP. Di tengah kegaduhan politik
yang diakibatkan oleh pengambilalihan Irian Barat oleh pemerintah RI melalui
aksi Trikora (Tri Komando Rakyat) tahun 1962-1963 dan “ganyang Malaysia”
melalui aksi Dwikora (Dwi Komando Rakyat) 1964-1965, kekuatan partai dan
ideologi komunis semakin kuat. Baik di dalam aksi trikora dan Dwikora maupun di
dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) terdapat juga sejumlah warga dan pelayan
gereja termasuk HKBP. Gejolak yang diakibatkan oleh aksi-aksi politik ini sedikit
banyak berdampak juga di dalam kehidupan bergereja. Ada saja kalangan tertentu
di dalam gereja memperlakukan gereja sebagai panggung politik dan menjalankan
aksinya seperti di dunia politik. Akibatnya tuduhan-tuduhan berbau politik juga
terdengar dilingkungan gereja. Ketika GKPI baru berdiri, misalnya ada saja
kalangan tertentu yang memelesetkannya menjadi GKPI. Pejabat pemerintah yang
ikut dilibatkan dalam menangani gejolak di HKBP sejak 1962 juga sering
bertindak dengan gaya politikus dan memperlakukan gereja sebagai objek politik.[64]
2.7.4.
Berdirinya
GKPI
Gereja ini merupakan hasil perpecahan dalam tubuh HKBP
pecah pada sinode godang HKBP, Oktober 1962 di Sipoholon. Terdapat beberapa
kelompok yang tidak puas dengan kehidupan HKBP dan Universitas HKBP Nomensen.
Mereka ingin mengadakan pembaharuan dalam tubuh HKBP. Konflik tidak dapat
diperdamaikan sehingga kelompok yang tidak puas mengadakan ibadah sendiri.[65]
Minggu 16 Agustus 1964, para pendukung pembentukan gereja yang baru itu datang
dari berbagai penjuru (Medan, Kisaran dan Tanah Jawa- Simalungun) dan berkumpul
bersama teman-teman seperjuangan di Pematangsiantar. Mereka semula
sendiri-sendiri, kemudian bergabung – berkumpul di rumah Dr. Andar L. Tobing
dan Dr. Sutan M. Hutagalung, sekaligus meminta pendapat dari kedua tokoh ini
mengenai rencana pembentukan organisasi gereja yang baru.
Pada awalnya Dr. Andar L. Tobing menolak rencana itu
dengan berkata: “Pemisahan diri dari suatu gereja, untuk mendirikan suatu
gereja yang baru, tidak sesuai dengan dogma dan hukum theologia. Tubuh Kristus
adalah tunggal (satu) dan tidak dapat dipecah-pecahkan.” Selanjutnya beliau
berkata : “Belum ada suatu alasan yang kuat buat memisahkan diri dari
HKBP”. Dr. Sutan M. Hutagalung
mengemukakan sikap dan pandangan yang pada prinsipnya sama. Pendek kata, sampai
waktu itu kedua tokoh ini belum menyetujui pembentukan organisasi gereja yang
baru baru. Kendati demikian, mereka yang datang dan berkumpul di
Pematangsiantar itu tidak membatalkan maksud dan niat untuk mendirikan
organisasi gereja yang baru. Mereka sebagian besar adalah warga gereja kemudian
sepakat bahwa gereja yang baru itu diberi nama Gereja Kristen Protestan
Indonesia, disingkat GKPI. Rencana pembentukan gereja baru ini, berikut nama
yang disepakati, dikukuhkan dengan sebuah doa yang dipimpin oleh salah seorang
peserta tertua pada pertemuan tanggal 16 Agustus, di rumah Dr. Andar L. Tobing:
“Ya Allah, Bapa kami, bila rencana kami untuk mendirikan gereja yang baru ini
sesuai dengan kehendak-Mu, berilah kami bimbingan dan berkat yang penuh. Tetapi
bila rencana kami ini bertentangan dengan kehendak-Mu, kami mohon supaya
dicegah segera” Pada hari Minggu 23 Agustus 1964 diadakanlah kebaktian pertama
yang menggunakan nama gereja yang baru ini, dengan meminjam tempat di Gereja
Bala Keselamatan, Jalan Merdeka Pematangsiantar, dipimpin oleh calon Pendeta
Besatua Parsaulian Siregar, S. Th. Pada waktu itu diedarkan juga formulir isian
berisi pernyataan menjadi anggota GKPI, setelah lebih dulu didoakan oleh
seorang hadirin yang tertua. Pada hari Minggu 30 Agustus 1964 diadakan
kebaktian GKPI yang kedua, di pekarangan rumah dr. Luhut Lumbantobing, Jl,
Simarito no. 6 Pematangsiantar, karena pihak Bala Keselamatan tidak mengizinkan
lagi menggunakan gedung gereja. Pada kebaktian ini hadir juga beberapa Pendeta
dan calon Pendeta yang kemudian menjadi Pendeta GKPI, yaitu: Pdt. Dr. Andar L.
Tobing, Pdt. L. Tambunan, O. Siahaan S. Th, M. Bakara, S. Th, dan G. O. P.
Manurung.
Setelah kebaktian, disusunlah pengurus sementara GKPI.
Tanggal pembentukan sementara ini (30 Agustus 1964) kemudian disepakati sebagai
tanggal lahir GKPI, pesta peresmian berdirinya GKPI baru dilangsungkan pada
hari minggu 1 November 1964, juga bertempat di Jalan Simarito no 6
Pematangsiantar, dipimpin Pdt. Dr. Andar L. Tobing, dan dihadiri ribuan warga
masyarakat Kristen dari berbagai penjuru Sumatera Utara. Sehari sebelum
peresmian- yakni pada tanggal bersejarah, Hari Reformasi 31 Oktober- diadakan
musyawarah pertama GKPI (belum disebut sebagai Sinode Am) yang dihadiri oleh
utusan dari 35 jemaat yang sudah terbentuk selama dua bulan pertama. Musyawarah
ini menghasilkan kesepakatan tentang konsep Tata Gereja, penyempurnaan pengurus
sementara, dan waktu penyelenggaraan Sinode Am yang pertama. Melihat proses
berdirinya GKPI ini, dapat dikemukakan perbandingan: sama seperti Martin Luther
pada awal abad ke-16 dan John Wesley pada abad ke-18, demikian juga kedua tokoh
yang kemudian menjadi pimpinan GKPI pada separo masa GKPI, yaitu: Pdt. Dr.
Andar Marisi Lumbantobing dan Pdt. Dr. Sutan Mahara Hutagalung, semula tidak
menghendaki pembentukan organisasi gereja baru. Tetapi mereka dipaksa oleh
sejarah, didesak oleh sejumlah tokoh dan warga gereja, yang sudah bertekat
bulat meninggalkan HKBP dan membentuk gereja baru, untuk menerima pembentukan
gereja baru itu dan memimpinnya. Dengan kata lain, mirip juga dengan peristiwa
proklamasi kemerdekaan RI, proklamasi berdirinya GKPI tidak pernah direncanakan
dan dipersiapkan sejak jauh hari melainkan dengan tiba-tiba digerakkan oleh
iman yang haus akan pelayanan Yesus Kristus ditengah iklim situasi yang sulit.[66]
2.8.
Kekristenan Pada Masa Orde Baru
2.8.1.
Pertumbuhan
Pada
masa orde baru terjadi pertumbuhan dalam hal pembangunan. Walaupun pembangunan
di HKBP yang terjadi selama dua dasawarsa terakhir sempat di bumbui beberapa
peristiwa yang mengganggu pembangunan itu, kalau dia hanya melihat dan ingin
menikmati hasil pembangunan secara material, maka akan cepat timbul keresahan,
kecemburuan dan ketidakjujuran. anatar warga Indonesia sendiri. Namun dalam
situasi yang demikian HKBP selalu gereja Tuhan yang berdiri di Indonesia tidak
mungkin lepas dari gelombang turun naiknya pembangunan itu.[67]
Pada
tahun 1969 dengan tenaga dan peralatan yang masih minim, kegiatan sending
dimulai membangkitkannya, dijejaki hubungan kepada jemaat-jemaat, membuat
tulisan-tulisan pada majalah Immanuel, surat Parsaoran wanita dan brosur-brosur
sending. Perkunjungan ke daerah sending makin banyak dilaksanakan disertai
penelitian. Pada tahun 1970, diterbitkan alat mass media sending “berita
zending HKBP”. Pada tahun 1972, ada 17 orang yang menerima beasiswa dari
departemen sending. Pengembangan daerah-daerah pelayanan. Pada tanggal 2
November 1974 dilaksanakan Pesta Jubileum Sending HKBP yang ke-75 di kompleks
Hermon, Pematangsiantar. Pada tanggal 5 Pebruari 1978, HKBP menjadikan daerah
sending Mentawai mandiri menjadi satu gereja dengan nama Gereja Protestan
Mentawai (GKPM). Sejak tahun 1979, kegiatan sending semakin maju sejajar dengan
perkembangan jaman. Pengembangan di daerah sending yang baru semakin bertambah,
demikian juga daerah transmigrasi. Untuk melayani kegiatan yang semakin
bertambah itu, pada tahun 1981 dilaksanakan Up Grading untuk meningkatkan
pengetahuan dan mutu pengerja sending. Ke jemaat-jemaat dilaksanakan penerangan
melalui evangelisasi. Kolportase sending semakin ditingkatkan. Dijejaki untuk
mendirikan poliklinik dan gereja di Janji Marapot, Pulo Samosir. Anak-anak yang
melanjutkan sekolah dari daerah sending diberikan beasiswa. Pada bulan Februari
1982, berdirilah HKBP Salaon Samosir dan bulan Maret 1982 di Janji Marapot, di
mana pada waktu itu dilaksanakan Pembaptisan Massal. Pada tahun 1984 dilayani
juga daerah transmigrasi di Pasir Pangarayan Provinsi Riau. Awal tahun 1985, di
Aek Bontar (dekat HKBP Tonduhan) Ressort Tanah Jawa telah dibaptiskan sebanyak
81 orang yang datang dari agama Pelbegu. Mereka telah mendirikan gedung gereja
yang sederhana.[68]
Peristiwa
G.30 S. PKI selain memabawa dampak bagi pergumulan kekritenan tetapi juga
mendorong banyak orang berbondong-bondong menjadi Kristen. Selain itu pertiwa
yang terjadi adalah Soeharto menggantikan Soekarno. Kemudia Gereja mendukung
konsep pembangunan Orde Baru lewat Pelpem/Parpem, dan Golkar sebagai kekuatan
politik utama mendapat dukungan dari sebagian besar orang Kristen.[69]
2.8.1.1. GKPA
Organisasi
gereja ini secara resmi didirikan pada tanggal 26 Oktober 1975 ketika
memperoleh otonomi dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), dengan nama
HKBP-A. Pada tahun 1988 bergabung dengan "Gereja Protestan Angkola
(GPA)", dan mulai mengambil nama "Gereja Kristen Protestan
Angkola". GKPA melayani masyarakat Batak Angkola dalam bahasa daerah
mereka.Dinyatakan dalam tujuan pelayanannya sebagai "menguatkan
Kekristenan dalam lingkungan Islam" dengan upaya mempererat saling
pengertian dan toleransi yang baik di antara umat Kristen dan Islam. Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA)
telah berdiri sendiri dan diakui Pemerintah sesuai dengan Surat Pengakuan
Departemen Agama Republik Indonesia No. 1 Ket/413/159277.Tgl.19 Oktober 1997
dan No. 75.Tgl.10 Maret 1988 serta No. 21 tahun 1995 berdasarkan UU no.8/1985
Tambahan Berita Negara R.I No.17 Tanggal 26/2-1999.GKPA berbentuk Badan Hukum
yang berdiri sendiri, diawalnya bertempat kedudukan di Sipirok kemudian tahun
1987 (masa Orde Baru) pindah ke Padang Sidimpuan, Tapanuli Selatan, Provinsi
Sumatera Utara, Indonesia. [70]
2.8.1.2. GKPPD
Jemaat awal GKPPD (Gereja Kristen Pak-Pak Dairi)
terbentuk sebagai hasil zending HKBP yang mengutus Pdt. Samuel Pangabean
mengabarkan Injil di tanah Pak-Pak pada 7 september 1905. Ibadah perdana
diadakan di rumah keluarga Raja Sibayak Pakasior Manik di desa Kuta Usang Suak
Pegangan. Pada 3 Maret 1963 berdiri HKBP Simerkata Pakpak-Sumbul, yang kelak
menjadi gereja Pakpak yang berdiri sendiri, dimekarkan dari Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP). Pada 20 Oktober 1990 diadakan sidang penetapan nama,
penetapan aturan-aturan gereja di HKBP Simerkata Pakpak-Sumbul. Peresmian GKPPD
sebagai suatu sinode gereja yang mandiri dilaksanakan di Medan pada tanggal 25
Agustus 1991 dengan Pdt. E. J. Solin Sebagai Bishopdan St. Sakkap Manik sebagai
pelaksana Harian, dan diakui pemerintah Indonesia melalui keputusan Dirjen
Bimas Kristen Protestan Departemen Agama Republik Indonesia No:
F/Kep/Hk.005/22/740/1996 tanggal 22 Maret 1996. Masuk menjadi anggota PGI
wilayah Sumut melalui keputusan No. 183/K/PGIWSU/IV1996 tanggal 17 April 1996.
Masuk angota PGI melalui keputusan no.139/PGI-IX/SKEP/1997 tanggal 13 November
1997. Menjadi anggota World Lutheran Federation (WLF) Geneva tanggal 21 Juni
2000.[71]
2.8.2.
Perkembangan
Perkembangan
yang dapat dilihat adalah bahwa dari masyarakat Indonesia pada akhir-akhir ini
diminta agar ikut mensukseskan trilogi kerukunan umat beragama, yaitu:
a.
kerukunan dalam satu-satu agama
b.
kerukunan antar umat beragama, dan
c.
kerukunan antara umat beragama dan Pemerintah
Trilogi kerukunan di atas telah dipergumulkan oleh Sinode Agung
1981. Dalam pengkajian sejarah, maka dalam trilogi yang pertama itu, yaitu
tentang kerukunan dalam satu-satu agama, di dalamnya telah termasuk kerukunan
dalam satu-satu gereja. Dan jika demikian halnya, maka kita sebaiknya mengkaji
sejarah HKBP, apakah trilogi kerukunan itu menjadi kenyataan pada dua dasawarsa
terakhir ini. [72]
Perkembangan
misi Batak 1932-1942 melangkah dengan cepat sekali, lebih bersifat ekspansif
dari pada intensif, walaupun pendidikan guru dan katekis tetap sangat
dipentingkan. Supaya karya misi mendalam diusahakan penerbitan macam-macam;
katekismus, buku khotbah bagi para pemimpin umat, dan buku nyanyian.[73] Sampai sekarang tidak ada
lagi hambatan untuk mengembangkan kegiatan diakonia. Kegiatan diakonia sebelum
1971 masih mencakup bidang kesehatan. Tetapi sejak tahun 1971 dipisahkan.
Misalnya, panti Karya Hephata Laguboti. Di mana, ditempat ini dilayani para
tunanetra (buta), lumpuh, dungu, tunagrahita (rusak mental), ekolem (ekonomi
lemah) dan orang jompo (tua). Mereka dibina dalam kerohanian dengan mengadakan
kebaktian pagi dan malam yang dibawakan oleh pemimpin kebaktian dan ibu asrama,
bekerjasama dengan diakones dan pendeta HKBP Ressort Laguboti Habinsaran.[74]
Untuk
kembali kepada cara kerja yang gerejani itu, maka HKBP telah memilih pengerja
gereja melalui Sinode Agung 1978 (28 Okt. 4 Nop. 1978) dan Sinode Agung 1981.
Pucuk pimpinan HKBP bersama-sama pimpinan gereja-gereja Sumut telah mengadakan
penampungan sementara bagi mereka dengan memberikan pelayanan penggembalaan
dari kuliah-kuliah darurat di luar kampus Fak. Teologi hingga Ephorus HKBP pada
tanggal 11 April 1978 meresmikan berdirinya Sekolah Tinggi Theologi HKBP (STT
HKBP) dalam satu upacara gerejani.[75]
2.8.3.
Pergumulan
Pergumulan
gereja-gereja Protestan di awal pemerintahan Orde Baru berorientasi pada
konsekuensi berpindahnya agama. Meresponi akan perpindahan agama tersebut,
Muslim mendesak pemerintah menyelenggarakan Musyawarah Antar Umat Beragama
antara pemimpin-pemimpin Muslim dan Kristen dengan Menteri Agama sebagai
moderator. Membela kelompok Islam, konsultasi itu, yang diadakan pada 30
November, 1967, bertujuan mengeluarkan pernyataan bersama yang menyatakan
.bahwa:
1. Setiap
kelompok religius harus membatasi kegiatan-kegiatan religiusnya pada
lingkungannya sendiri
2. Tidak
boleh ada kelompok religius yang mencoba atau berusaha untuk mengubah seseorang
yang sudah mempunyai agama untuk berpindah
Agama yang lain.
Baik
Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) maupun Majelis Agung Wali Gereja
Indonesia (MAWI) menolak menandatangani pernyataan bersama tersebut, karena
larangan perpindahan agama bagi mereka yang sudah beragama, seperti ditegaskan
T.B. Simatupang yang mewakili DGI, bertentangan dengan perintah Alkitab untuk
menyebarkan Injil ke seluruh umat.[76]
Selain
itu yang juga menjadi pergumulan adalah adanya gerakan komunisme yang atheis
dan gerakan separatism. Yang muncul pada masa ini, Situasi yang mengawali masa
pelayanan HKBP dalam 20 tahun berakhir ini (1966-1986) telah dipantulkan oleh
isi Sinode Agung HKBP tanggal 6-12
November 1966 yaitu situasi yang memperihatinkan, sebab kemelut dalam
tubuh HKBP, Bangsa dan negara Indonesia. HKBP pada tahun 1966 melalui Berita
Tahunan Ephorus 1996 menggambarkan situasi ini sebagai masa “pencobaan” (tingki
parungkilon) yang telah diarungi sejak tahun 1940, yaitu sejak HKBP lepas dari
kepemimpinan Badan Pekabaran Injil luar negeri (RMG dan BNZ). Masa pencobaan
tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1963-1965. Ephorus HKBP pada waktu itu
melihat dua kekuatan yang merongrong HKBP yaitu gerakan komunisme yang atheis
dan gerakan separatism. Gerakan komunisme telah memperalat gerakan separatism.
Namun hal itu kurang dibarengi penjelasan yang lebih jauh sehingga sulit untuk
meyakinkan orang yang belum terlibat langsung dalam masa pencobaan tersebut.
Tapi dapat diduga, sesudah 20 tahun berlalu betapa rawannya situasi masyarakat,
bangsa dan gereja (agama) pada tahun 1966 yang diakibatkan pemberontakan kaum
komunis Indonesia, baik di desa maupun di kota-kota besar. Tekanan mental dari
pihak komunis Indonesia (PKI) cukup berat menimpa masyarakat banyak. Penduduk
yang diwajibkan menggali lobang dipekarangan masing-masing telah mengundang
kekuatiran masyarakat apa gunanya nanti. Kehadiran tokoh-tokoh PKI menimbulkan
rasa benci dan bermusuhan secara terselubung dari pihak anggota jemaat yang
mempertahankan keyakinannya secara Kristen. Pada pihak lain proses pembasmian
pembrontakan golongan PKI sejak akhir 1965 menimbulkan ekses-ekses yang pada
saat itu tidak terelakkan, seperti ekses dalam bentuk balas dendam yang
kebanyakan tidak berkaitan langsung dengan G.30 S. PKI meneriakkan kata
“indikasi”sudah cukup membawa lawan ke penjara atau ke liang kubur”.
Ekses-ekses sampingan itu sangat mengganggu kerukunan hidup dalam gereja dan
masyarakat, di maan setiap orang takut kalau-kalau dia menjadi sasaran
“indikasi” golongan komunisme Indonesia (PKI). Kekuatiran yang demikian cukup
lama mengganggu kerukunan hidup masyarakat dan gereja. [77]
Menjelang
memasuki era industrialisasi dan modern, pada tahun 1987 HKBP mengalami
pergumulan yang hebat akibat bencana gempa bumi yang mengguncang daerah
Tapanuli Utara. Bencana tersebut merupakan ujian berat bagi HKBP. Puluhan ribu
masyarakat di darah Silindung terpaksa hidup ditenda pengungsian karena rumah
mereka roboh diguncang gempa bumi. Suatu tantangan bagi HKBP saat itu adalah
bagaimana memulihkan iman dan pengharapan baru warga jemaat yang menjadi korban
bencana. Di tengah-tengah situasi itu, HKBP juga mulai mengalami kerikil-kerikil
yang mengganggu berbagai usaha memperbaiki kehidupan spiritual dan sosial
jemaatnya. Beberapa persoalan internal yang terjadi dalam tubuh HKBP secara
umum dapat dipahami sebagai wujud keterbatasan HKBP untuk menata, mengorganisir
secara kritis dan dinamis didalam kerangka mencapai konsensus dan tujuan damai.
Dalam konteks sedemikian, HKBP terjebak ke dalam “konflik internal”. Konflik
tersebut, yaitu :
a. Ketidakpuasan
terhadap Praktik Ibadah Penginjilan TEN
Setelah
pemungutan suara pada Sinode Godang 1986, terpilih menjadi Ephorus HKBP periode
1987-1992 adalah Pdt. Dr. S.A.E. Nababan dan sekjen adalah Pdt. O.P.T.
Simorangkir. Selama periode ini banyak program kerja yang dilaksanakan untuk
memajukan HKBP menghadapi era Industrialisasi. Pada kurun waktu ini pula banyak
pendeta HKBP yang mengikuti program studi pasca sarjana di bidang teologi dan
bidang studi lainnya. Bahkan sudah dicanangkan program memperbaharui Tata
Gereja dan Konfesi HKBP. Namun sejak pertengahan 1987 mulai muncul konflik
internal di HKBP karena pimpinan HKBP merestui safari penginjilan Tim
Evangelisasi Nehemia (TEN) dari Jakarta ke Tapanuli. Sekelompok kecil pendeta
HKBP yang dianamai “kelompok sebelas” mengkrirtisi kehadiran dan cara
pelaksanaan ibadah TEN yang dinilai bernuansa “kharismatik”. Penilaian tersebut
disebar-luaskan melalui buku yang mereka terbitkan dengan judul Quo Vadis HKBP.
Isi buku itu dianggap terlalu menyalahkan pimpina HKBP sehingga dibicarakan
dalam rapat majelis pusat HKBP tanggal 24-26 Oktober 1988 dan Sinode Godang
HKBP tanggal 10-15 Nopember 1988. Hasil Sinode Godag memberi sanksi terhadap
“kelompok sebelas” dengan memberhentikan mereka dari jabatan Pendeta. Tetapi
konflik internal HKBP semakin menajam karena kemitraan kerja diantara Ephorus
dan Sekjen saat itu tidak terjalin secara baik. Konflik semakin memanas pada
akhir periode kepemimpina HKBP 1987-1992.
b. Kegagalan
Sinode Godang HKBP 1992 Memilih Pimpinan Baru
Pada
sinode godang HKBP, 23-28 Nopember 1992, direncanakan memilih pimpinan baru
periode 1992-1998. Proses pemilihan Ephorus dan Sekjen itu berlangsung dalam
suasana tidak kondusif dan kacau sehingga menemui jalan buntu dan gagal. Sejak
saat itu terdapat dua kelompok yang berbeda sikap dikalangan para pelayan dan
jemaat HKBP. Pertama, kelompok yang menamakan diri sebagai pro Aturan-Peraturan
HKBP, yang kedua, kelompok yang pro Sindode Godang Istimewa, 11-13 Februari
1993 (Sinode Godang bentukan Pemerintah). Menpan pada saat itu, T.B. Silalahi
berupaya menyelesaikan konflik HKBP dengan mempertemukan Pdt. Dr. S.A.E.
Nababan, LLD dan Pdt. Dr. P.W.T. Simanjuntak. Hasil pertemuan mereka mewujudkan
beberapa butir kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh yang bersangkutan
pada Juni 1994, kesepakatan itu berisikan bahwa pihak Pdt. S.A.E. Nababan
mendukung keputusan pemerintah dengan mengakui Pdt. Dr. P.W.T. Simanjuntak
sebagai Ephorus dan memberi kesempatan kepadanya untuk memimpin HKBP dengan
rukun dan damai. Tetapi isi kesepakatn bersama itu, tidak dilaksanakan dan
konflik internal HKBP pun terus berlanjut hingga Sinode Godang HKBP pada 18-20
Desember 1998.[78]
2.9.
Kekristenan Pada Masa Reformasi
Gerakan reformasi yang terjadi di
Indonesia pada pertengahan tahun 1998 ternyata membawa dampak yang sangat besar
bagi bangsa Indonesia. Reformasi bukan hanya terjadi pada pemerintahan saja
tapi juga terhadap konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945. Reformasi konstitusi
berlangsung melalui beberapa kali amandemen UUD 1945 sehingga membawa perubahan
yang sangat besar bagi hukum nasional dan hal tersebut bermakna pula pada;
adanya pengakuan prinsip supremasi hukum, dianutnya prinsip pemisahan dan
pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam UUD 1945,
adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia, adanya prinsip peradilan yang bebas
dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, dan
adanya jaminan keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan
wewenang oleh pihak yang berkuasa.[79]
2.9.1.
Pertumbuhan
Sekedar gambaran seperti ditulis dalam buku lampiran “Implikasi SKB 1969
dan Perber 2008” (Yapama 2006), dalam 32 tahun atau 270 bulan (Maret 1967 Mei
1998) masa pemerintahan Soeharto, terdapat 456 gereja ditutup paksa, dirusakkan
ataupun dibakar. Di masa pemerintahan BJ. Habibie angka pengerusakannya sangat
fantastis. Hanya dalam 17 bulan (Mei 1998-Oktober 1999) masa pemerintahannya
156 buah gereja dirusakkan. Jaman Abdurrahman Wahid-tokoh antar agama yang
sangat menjunjung kebebasan beragama diskriminasi masyarakat terhadap penganut
Kristen ternyata tak surut juga. Terbukti selama 33 bulan (Oktober 1998-Juli
2001) pemerintahaannya, 232 buah gereja jadi korban. Di jaman presiden wanita
Megawati Soekarnoputri yang berjumlah 38 Bulan (Juli 2001-September 2004),
terdapat 92 gereja dikorbankan. Sementara dalam era kepemimpinan presiden yang
dipilih langsung oleh rakyat Susilo Bambang Yudhoyono, dari Oktober 2004 hingga
Desember 2007 (38 bulan) sudah 108 gereja ditutup secara paksa.[80] Sesuai dengan tuntutan reformasi, pada masa era
reformasi dilakukan perubahan dengan mengeluarkan berbagai peraturan dan
kebijakan baru, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial-budaya dalam
rangka menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan
demokratis. Perubahan baru tersebut sesuai dengan tuntutan reformasi yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan di Indonesia baik dalam
bidang ekonomi maupun politik.[81]
Jika dilihat dari bidang keagamaan, dengan adanya
krisis moneter maka gereja-gereja semakin bersatu. Keadaan masa kini memberi
peluang bagi gereja untuk mengembangkan pelayanannya tidak hanya menyangkut pembinaan
rohani dan penyelenggaraan ibadah yang bersifat ritual seremonial, melainkan
juga melakukan hal-hal yang inovatif. Misalnya penyelenggaraan program,
pembinaan warga gereja di bidang sosial-politik, memprakarsai proyek-proyek
pertanian dengan metode pengolahan dan pemupukan yang baru, menyelenggarakan
atau mengubah usaha pendidikan kepada bentuk-bentuk dan produk-produk yang
lebih relevan dengan kebutuhan real, terutama dalam menghadapi keadaan krisis
ini.[82]
2.9.2.
Perkembangan
Berdirinya
gereja di berbagai wilayah di Indonesia salah satunya Sumatera mendorong
munculnya gereja suku atau gereja daerah dan jugagereja-gereja bersifat umum
meningkatkan nilai oikumene. Dan gereja semakin tersebar di Nusantara seperti
perintah Tuhan Yesus dalam Markus 16:15 “lalu ia berkata kepada mereka:
pergilah keseluruh dunia beritakanlah Injil ke semua mahluk”. Indonesia negara
kepulauan yang terdiri dari beragam suku, budaya dan bahasa sehingga setiap
gereja dalam cara melayani dan bertumbuh berbeda-beda. [83]
Plurarisme
di Indonesia semakin mencuat ke permukaan dalam era keterbukaan ini menjafi
tantangan tertentu bagi gereja.Argument mayoritas-minoritas sering digunakan
untuk memperoleh hak istimewa bagi yang mayoritas, dan yang minoritas harus
rela memenuhi syarat tertentu.Menyikapi itu sudah bukan rahasia lagi kalangan
politisi memanfaatkan isu-isu keagamaan untuk menggalang kekuatan.Yang diakat
bukan tema kebersamaan, kerukunan, dan toleransi tetapi kebenaran
masing-masing.Dalam era reformasi ini gereja perlu mendorong warga jemaat agar
aktif membina hubungan yang baik dengan orang yang berbeda agama, mencermati
kecenderungan politik, tegaknya HAM, dan supremasi hukum. Gereja harus sadar
bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat yang semakin terbuka itu .salah
satu contoh kasus adalah peranan HKBP dalam menyikapi masalah PT. Inti
Indorayon utama (IIU, atau sering dikenal hanya sebagai “Indorayon”). Sejak
awal kehadirannya pemerintah daerah menilainya sebagai penggerak yang dapat
memulihkan ekonomi tanpa mempertimbangkan keselamatan lingkungan hidup termasuk
manusia yang tinggal di sekitarnya.Kenyataanya Indorayon menghadirkan berbagai
kesulitan bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya yang mayoritas
Lutheran.Juga pada kasus Inalum. Karena kurang jelasnya sikap HKBP mengenai hal
itu, maka beberapa pemuda HKBP bergabung dengan pelayan idealis GKPS, GKPI, HKI
dan GBKP membentuk LSM yang diberi nama “Kelompok Studi pengembangan Prakarsa
Masyarakat”.[84]
2.9.3.
Pergumulan[85]
Pada
tahun 1992-1998 merupakan masa terkelam dalam
sejarah perkembangan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Hal
inijugalah yang melatarbelakangi gerakan Setia Sampai Akhir (SSA). HKBP
merupakan organisasi keagamaan terbesar ketiga di Indonesia dan
gereja protestan dengan jemaat terbanyak di Asia Tenggara Hingga
tahun 2021, anggota jemaat HKBP yang tersebar di seluruh dunia mencapai
6,5 juta jiwa. Kepemimpinan Ephorus HKBP, yang pada masa itu dipilih 6 tahun
sekali, secara tidak langsung memimpin jutaan jemaat HKBP di seluruh dunia.
Adanya perubahan kepemimpinan tentu mengusik sejumlah besar warga HKBP.
Kericuhan
diawali 1,5 tahun sejak Pdt. S.A.E Nababan dilantik sebagai Ephorus.
Pada tanggal 24 Mei 1988 terbit buku yang berjudul “Parmaraan di HKBP” (Bahaya
di HKBP). Konon buku ini disebarkan ke 2.300 gereja HKBP di seluruh Indonesia.
Sampul buku ini menarik perhatian umat karena terdapat gambar salib yang
hampir ambruk yang bertuliskan quo vadis HKBP. Buku ini disusun oleh Ds. P. M. Sihombing mantan
Sekjen HKBP sebelum periode Nababan. Isinya antara lain menuduh Nababan
menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan HKBP. Salah satunya adalah
gerakan evangelisasi yang dikoordinasikan sejak Oktober 1987. Gerakan
ini sendiri merupakan gerakan internal mengkristenkan kembali orang Kristen yang
bermula di antara warga HKBP dari Jakarta.
Keberatan
38 pendeta yang menulis buku itu antara lain, tim evangelisasi itu
beranggotakan juga sejumlah pendeta yang ditahbiskan gereja.
Disebutkan adanya tuduhan pembaptisan yang dilakukan di permandian
sambil telanjang dan adanya penyembuhan penyakit yang dilakukan oleh anggota
tim dengan jenis kelamin laki-laki atas pasien wanita yang berduaan di dalam
kamar. Dalam sinode Godang HKBP ke-49 diputuskan kelompok Sihombing tidak dapat
memberikan bukti dari buku tersebut karena itu mereka dianggap telah
menyebarkan fitnah. Selanjutnya kedelapan pendeta pengikut Sihombing itu pun
dipecat dari jabatannya. Akan tetapi belakangan diketahui bahwa Sihombing tidak
pernah dimintai bukti dan tidak pernah diundang dalam Sinode Godang.
Karena itu Sihombing dan pengikutnya mengadu ke Menaker saat
itu Cosmas Batubara. Cosmas Batubara kemudian menyurati Ephorus pada
tanggal 16 Mei 1990 dan menyebutkan bahwa pemecatan tersebut batal demi hukum. Ada
yang menyebutkan bahwa isu tersebut dilontarkan karena Sihombing dikalahkan
oleh Nababan pada pemilihan Ephorus sebelumnya. Sihombing membantahnya.
Pada
Juli 1990, Ephorus memecat sejumlah pejabat antara lain termasuk rektor UHN Prof.
Dr. Amudi Pasaribu dan sejumlah pengurus yayasan. Itu sebabnya timbul
demonstrasi mahasiswa yang menuntut Nababan mundur. Demonstrasi berjalan agak
keras sehingga menimbulkan kebakaran di laboratorium. Karenanya izin Sinode
Godang Juli 1990 mendadak dibatalkan oleh Kapolri berdasarkan rekomendasi
Bakorstanasda Sumatera Utara padahal 100-an utusan dari berbagai wilayah di
Indonesia sudah mulai berdatangan.
Bakorstanasda
Sumbagut kemudian menangguhkan pula Sinode Godang HKBP yang rencananya
dilaksanakan tanggal 1-7 Agustus 1990 di kompleks Universitas HKBP Nommensen,
Pematang Siantar.
Pada tahun 1998, Pdt. J.R. Hutauruk kemudian
dipilih sebagai Pejabat Ephorus dengan tugas menyelenggarakan rekonsiliasi
selambat-lambatnya enam bulan sejak dipilih. Tidak lama setelahnya pada tanggal
26 Oktober–1 November 1998 diselenggarakan Sinode Godang ke-54 di Pematang
Siantar / Balige. Pada tanggal 17 November 1998, Ephorus Pdt. S.A.E.
Nababan dan Pejabat Ephorus Pdt. J.R. Hutauruk menandatangani surat pernyataan
bersama rekonsiliasi di Gereja HKBP Sudirman Medan, untuk menyelenggarakan
Sinode Godang Rekonsiliasi pada tanggal 18–20 Desember. Sinode Godang
Rekonsiliasi kemudian dilakukan di Kompleks FKIP Universitas HKBP
Nommensen Pematangsiantar. Pada saat itu terpilih Pdt. J.R. Hutauruk
sebagai Ephorus dan Pdt. W.T.P. Simarmata sebagai Sekretaris Jenderal
HKBP.
III.
Kesimpulan
Sebelum masuknya kekristenan ke tanah Batak, ada banyak keberagaman kepercayaan yang
dianut oleh mereka khususnya tentang penyembahan-penyembahan pada benda,
tumbuhan dan lainnya. Banyak kekerasan yang juga terjadi demi mempertahankan
apa yang dianggap mereka benar, penyiksaan bahkan pembunuhan dilakukan kepada
orang-orang yang dianggap musuh. Adat dan tradisi begitu melekat pada diri
mereka. Tetapi semua itu mampu berubah ke arah yang lebih baik. Di mulai dari
datangnya para missionaris untuk menyampaikan pekabaran Injil, lalu disusul
dengan tokoh-tokoh lainnya. Masa Hindia-Belanda, masa nasionalisme Indonesia, masa
Jepang, masa Indonesia Merdeka, masa orde lama, masa orde baru, hingga masa reformasi.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di setiap masa baik pertumbuhan, perkembangan
dan pergumulan yang terjadi justru membuat kekristenan di tanah Batak menuju
pendewasaan iman percaya. Demikianlah kekristenan itu hadir di tanah Batak
sampai saat ini.
Daftar
Pustaka
Aritonang Jan S., Yubileum 50 Tahun GKPI, Pematangsiantar:
Kolportase GKPI, 2014
End Th. Van Den, dkk., Ragi Cerita 2, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2018
End Th. Van den, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012
Hutahuruk J.R, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober
1861-1986, Tarutung: Kantor
Pusat
HKBP, 1986
Hutauruk J.R. Dkk, Raja Pontas Lumbantobing, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2013
Hutauruk J.R., Lahir Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus,
Tarutung: Kantor Pusat HKBP,
2011
Joseph
Bobby, Tabloid Reformata, Jakarta :Yayasan
Pelayanan Media Antiokhia YAPAMA,
2008
Kweniawan Ronald, dkk., Buku Siswa Sejarah Gereja, Jakarta:
Kementrian Agama Republik
Indonesia,
2019
Lumbantobing Darwin, Tumbuh Lokal Berbuah Universal, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2018
Panitia Distrik IX
Perayaan Jubileum 100 Tahun HKBP, Seratus
Tahun Kekristinan Dalam
Sejarah Rakyat Batak, Jakarta:
Panitia Distrik IX, 1961
Panitia Injil Jubileum
125 Tahun HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya,
Tarutung: Kantor Pusat
HKBP,
1986
Pedersen Paul Bodboldt, Daerah Batak Dan Jiwa Protestan,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975
Saragi Makmur, Dkk., Bapa Berpijar Jubelium 80 Tahun HKI, Pematangsiantar:
Huria Kristen
Indonesia,
2007
Simanjuntak Bungaran
Antonius, Konsepku Membangun Bangso
Batak, Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor,
2012
Simatupang T.B., Iman Kristen dan Pancasila, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1985
Simatupang T.B., The
Fallacy of a Myth, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995
Sitorus
T. J., dkk, Sejarah Huria Kristen
Indonesia Pematang Siantar: Kolportase H.K.I, 1978
Sitorus T.J., Sejarah Huria Kristen Indonesia,
Pematangsiantar: Kolportase HKI, 1978
Supriatna Nana, Sejarah Untuk Kelas XII Sekolah Menengah Atas,
Bandung: Grafindo, 2006
Ukur F. & F.L.
Cooley, Jerih dan Juang, Jakarta:
Lembaga Pendidikan dan Studi DGI, 1979
Wellem
F. D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009
Yawangoe Andres A., Agama dan Kerukunan, Jakarta: BPK-Gunung
Mulia, 2002
Sumber
Lain
Krisis HKBP 1992-1998,
Terdapat Dalam:
https://id.wikipedia.org/wiki/Krisis_HKBP_1992-1998
Jurnal,
http://e-journal.uajy.ac.id/3562/2/1HK08728.pdf
https://sejarahGKPA-blogspot.com/
https://id.m.wikipedia.org/gkppd//,
Gambaran Umum Indonesia
Pada Masa Orde Baru, Terdapat dalam:
http://sttjaffray.ac.id/images/stories/KEKRISTENAN_01.pdf
[1] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), 176-177.
[2] J.R. Hutahuruk, dkk., Raja Pontas Lumbantobing, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2018), 23-24
[3] Paul Bodboldt Pedersen, Daerah Batak Dan Jiwa Protestan,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), 18
[4] Panitia Distrik IX Perayaan
Jubileum 100 Tahun HKBP, Seratus Tahun
Kekristinan Dalam Sejarah Rakyat Batak, (Jakarta: Panitia Distrik IX,
1961), 29
[5] Panitia Distrik IX Perayaan
Jubileum 100 Tahun HKBP, Seratus Tahun
Kekristinan Dalam Sejarah Rakyat Batak, (Jakarta: Panitia Distrik IX,
1961), 28-29
[6] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), 176
[7] Panitia Distrik IX Perayaan
Jubileum 100 Tahun HKBP, Seratus Tahun
Kekristinan Dalam Sejarah Rakyat Batak, (Jakarta: Panitia Distrik IX,
1961), 29
[8] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), 177
[9] Panitia Injil Jubileum 125 Tahun
HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung:
Kantor Pusat HKBP, 1986), 18-19
[10]
Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku
Membangun Bangso Batak, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), 186
[11] Paul Bodboldt Pedersen, Darah Batak Dan Jiwa Protestan,
(Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1975), 45-46
[12] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor, 2012), 187
[13] Paul Bodboldt Pedersen, Darah Batak Dan Jiwa Protestan,
(Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1975), 45
[14] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor, 2012), 187
[15]
Paul Bodboldt Pedersen, Darah
Batak Dan Jiwa Protestan, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1975), 46
[16]
Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku
Membangun Bangso Batak, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), 187
[17] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor, 2012), 188
[18] Darwin Lumbantobing, Tumbuh Lokal Berbuah Universal,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 195
[19] Darwin Lumbantobing, Tumbuh Lokal Berbuah Universal,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 196
[20] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012),
,188
[21] Darwin Lumbantobing, Tumbuh Lokal Berbuah Universal,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 197-198
[22] Jan S. Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI,
(Pematangsiantar: Kolportase GKPI, 2014), 13
[23] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor, 2012), 188
[24] Panitia Injil Jubileum 125 Tahun
HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung:
Kantor Pusat HKBP, 1986), 19
[25] Jan S. Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI,
(Pematangsiantar: Kolportase GKPI, 2014), 14
[26] Panitia Injil Jubileum 125 Tahun
HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung:
Kantor Pusat HKBP, 1986), 19
[27] Panitia Distrik IX Perayaan
Jubileum 100 Tahun HKBP, Seratus Tahun
Kekristinan Dalam Sejarah Rakyat Batak, (Jakarta: Panitia Distrik IX,
1961), 27-29
[28]
Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku
Membangun Bangso Batak, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), 176
[29] Darwin Lumbantobing, Tumbuh Lokal
Berbuah Universal, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 195
[30]. F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta: Lembaga
Pendidikan dan Studi DGI, 1979), 489.
[31]
Darwin Lumbantobing, Tumbuh Lokal Berbuah Universal, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2018), 199
[32] Jan S. Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI,
(Pematangsiantar: Kolportase GKPI, 2014), 19-20
[33] T.J. Sitorus, Sejarah Huria Kristen Indonesia, (Pematangsiantar: Kolportase HKI,
1978), 6.
[34] J.R. Hutauruk Dkk, Raja Pontas Lumbantobing, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2013), 75-76.
[35] J.R. Hutauruk Dkk, Raja Pontas Lumbantobing, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2013), 120.
[36] Jan S. Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI,
(Pematangsiantar: Kolportase GKPI, 2014), 20-21
[37] Jan S. Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI,
(Pematangsiantar: Kolportase GKPI, 2014), 18
[38]
J.R. Hutauruk, Lihatlah
lading-ladang yang menguning, (Depok: HKBP Distrik VIII Jawa Kalimantan,
2011), 43.
[39] T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1985), 23
[40] Andres A. Yawangoe, Agama dan Kerukunan, (Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2002), 10-11
[41]
F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih
dan Juang, (Jakarta: Lembaga Pendidikan dan Studi DGI, 1979), 497-506
[42] Makmur Saragi, Dkk., Bapa Berpijar Jubelium 80 Tahun HKI, (Pematangsiantar:
Huria Kristen Indonesia, 2007), 7
[43]Makmur
Saragih, H.V. Sianturi, Baja Berpijar
Jubileum 80 Tahun HKI (Pematang Siantar: Huria Kristen Indonesia, 2007),
4-5.
[44] T. J. Sitorus,
dkk, Sejarah Huria Kristen Indonesia
(Pematang Siantar: Kolportase H.K.I, 1978), 49.
[45] F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta: Lembaga
Pendidikan dan Studi DGI, 1979), 506
[46] Th. Van Den End, dkk., Ragi Cerita 2, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2018), 305
[47]
F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih
dan Juang, (Jakarta: Lembaga Pendidikan dan Studi DGI, 1979), 39
[48] Jan Sihar Situmorang, Sejarah Perjumpaan Kristen Dan Islam di
Indonesia, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004), 209-211
[49] J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober
1861-1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 37-38.
[50] Panitia Injil Jubileum 125 Tahun
HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung:
Kantor Pusat HKBP, 1986), 39-40
[51]
Panitia Injil Jubileum 125 Tahun HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 38
[52] F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta: Lembaga
Pendidikan dan Studi DGI, 1979), 507-512.
[53] Panitia Injil Jubileum 125 Tahun
HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung:
Kantor Pusat HKBP, 1986), 38
[54] J.R. Hutauruk Dkk, Raja Pontas Lumbantobing, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2013), 52.
[55] T.J. Sitorus, Sejarah Huria Kristen Indonesia, (Pematangsiantar: Kolportase HKI,
1978), 118.
[56]
Panitia Injil Jubileum 125 Tahun HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986),
37-38
[57] Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Joang, Laporan Nasional Survai
Menyeluruh Gereja di Indonesia, 507-512.
[58]
Panitia Injil Jubileum 125 Tahun HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 40
[59] T.J. Sitorus, Sejarah Huria Kristen Indonesia, (Pematangsiantar: Kolportase HKI,
1978), 125
[60]
T.J. Sitorus, Sejarah Huria
Kristen Indonesia, (Pematangsiantar: Kolportase HKI, 1978), 124
[61]
Panitia Injil Jubileum 125 Tahun HKBP, Tuhan Menyertai Umat-Nya, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 42
[62]
J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah
125 Tahun HKBP 7 Oktober 1861-1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986),
48-51.
[63] J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober
1861-1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 48-51.
[64] Jan. S. Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI, (Pematang
Siantar: Kolportase GKPI, 2014), 29-30.
[65] F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2009), 131.
[66] Jan S.
Aritonang, Yubileum 50 tahun GKPI, (Pematangsiantar:
Kolportase Pusat GKPI, 2011), 59-65
[67] J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober
1861-1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 126
[68] J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober
1861-1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 148-151.
[69]
Gambaran Umum Indonesia Pada Masa Orde Baru, Terdapat dalam: http://sttjaffray.ac.id/images/stories/KEKRISTENAN_01.pdf,
diakses pada 06 April 2022, pada pukul 15.58 WIB.
[70]
https://sejarahGKPA-blogspot.com/Diakses25Februari2020pukul 15.20.20WIB
[71]
https://id.m.wikipedia.org/gkppd//,
diakses pada 2 Maret 2020 pukul 20.08.
WIB.
[72] J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober
1861-1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 127.
[73] Th. Van den End, Ragi Carita 2, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012), 449-450.
[74] J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober
1861-1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 163.
[75] J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober
1861-1986, 130-131.
[76] T.B. Simatupang, The Fallacy of a
Myth (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), 199
[77] J.R Hutahuruk, Garis Besar Sejarah 125 Tahun HKBP 7 Oktober
1861-1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 126
[78] J.R. Hutauruk, Lahir Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus,
(Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2011), 331-334.
[79] Jurnal, http://e-journal.uajy.ac.id/3562/2/1HK08728.pdf,
Diakses pada tanggal 23 November 2021, Pukul 16:36 Wib, Hal 1-2.
[80] Bobby Joseph,
Tabloid Reformata, (Jakarta :Yayasan Pelayanan Media Antiokhia (YAPAMA), 2008), 3.
[81] Nana Supriatna, Sejarah Untuk Kelas XII Sekolah Menengah Atas(Bandung:
Grafindo, 2006), 22.
[82] Jan. S. Aritonang, Belajar Memahami di Tengah Realitas(Bandung: Jurnal Info-Media, 2007),
130.
[83]
Ronald Kweniawan, dkk., Buku Siswa
Sejarah Gereja, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2019), 126
[84] Mangisi S. E. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther, 273-274.
[85] Krisis HKBP 1992-1998, Terdapat Dalam: https://id.wikipedia.org/wiki/Krisis_HKBP_1992-1998,
Diakses pada tanggal 04 April 2022, Pada pukul 17.07 WIB.
Post a Comment