1.1. Pengertian Liturgi
Liturgi berasal dari bahasa Yunani “Leiturgia”, kata ini berasal dari kata
kerja “leitourgeo” artinya melayani,
melaksanakan tugas dinas, memegang jabatan. Secara literal/harfiah kata leiturgia berasal dari dua kata Yunani,
yaitu leitos/laos yang berarti rakyat, jemaat dan kata kedua, yaitu ergon yang
berarti pekerjaan, perbuatan, tugas. Di dalam Alkitab Perjanjian Lama, arti kata
liturgi abodah dipakai dalam istilah:
persoalan Agama, tugas imam di kemah Suci dan Bait Allah, terutama dalam tugas
mezbah, Tugas orang Lewi dalam Kemah Suci dan Bait Allah Jadi pelayanan yang
dilakukan oleh para imam dan orang Lewi adalah pelayanan yang berguna untuk
jemaat Israel. Sedangkan di dalam Perjanjian Baru Kata liturgi yang dipakai
dalam Perjanjian Baru sebanyak 15 kali, PB memakai kata Leiturgi artinya menunjuk pada tugas imam, menguraikan pekerjaan
Kristus sebagai imam, Pekerjaan para rasul dalam pekabaran Injil kepada orang
kafir, sebagai kiasan untuk hal percaya, pekerjaan malaikat-malaikat yaitu
melayani, jabatan pemerintah, pengumpulan persembahan kepada orang miskin,
kumpulan orang yang berdoa dan berpuasa.
Pada zaman setelah Reformasi,
khususnya zaman sekarang kata liturgi dipakai sebagai istilah teknis dalam Ilmu
Teologi yang hanya mengacu kepada Tata Ibadah. Jadi kata Leiturgi yang dipakai
sekarang telah mengalami proses perkembangan dalam dunia Kekristenan, sehingga
istilah/kata leiturgi tersebut telah dijadikan istilah teologis, yang biasanya
mengacu kepada tata ibadah gereja. Dengan kata lain, dalam ilmu teologi
istilah/kata leiturgi merupakan istilah teknis-teologis hanya mengacu kepada
tata ibadah.[1]
1.2.
Perkembangan Liturgi
Praktek liturgis dari Israel dan
gereja mula-mula memainkan peranan yang besar. Mazmur di dalam Alkitab
mempunyai tempat dalam liturgi di Bait Suci. Liturgi dari sinagoge bermula,
sebagian besar dari mazmur-mazmur. Puji-pujian adalah bagian integral dari
keberadaan orang-orang percaya dalam Perjajian Lama karena Allah “bertahta di
atas puji-pujian Israel” (Mzm 22:3). Di dalam mazmur semua ciptaan terpanggil
untuk memuji Tuhan “pujilah TUHAN di bumi, hai ular-ular naga dan segenap
samudra raya” (Maz 148:7-13). Mazmur bukanlah satu-satunya nyanyian liturgis
dalam Alkitab. ,adah juga digunakan karena menyakup nyanyian Musa (Kel 15),
nyanyian Debora (Hak 5), nyanyian Hana (1 Sam 2), dan dalam Perjanjian Baru
nyanyian Zakaria, Maria, dan Simeon.[2]
Yang dimaksud dengan liturgi zaman
modern adalah liturgi pada abad-20. Perjalanan sejarahnya masih berlanjut
hingga abad 21. Liturgi zaman ini dikenali melalui imbas penyesuaian dengan
budaya, baik pada locus-nya maupun
secara oikumenis. Upaya penyesuaian dalam locus
dikenal dengan “proses penyesuaian” yang melibatkan kontekstualisasi,
inkulturasi, adaptasi, indigenesasi, pempribumian, revisi, dan sebagainya.
Penyesuaian secara ekumenis terjadi dalam “gerakan liturgis” (liturgical moment). Gerakan liturgis
dimulai sejak pertengahan abad ke-19 dan memuncak pada konsili vatikan II di
Gereja Katolik Roma (1963-1965). Begi gereja-gereja oikumenis, pembaharuan
liturgi sejalan dengan gerakan oikumenis. Puncak pembaharuan adalah dengan
munculnya liturgi lima pada tahun 1982 di peru melalui konferensi Komisi Iman
dan Tata Gereja (Faith and Order) dari Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD). Dan
secara umum terjadi penerbitan buku-buku liturgi di gereja. Penyesuaian dan
gerakan liturgis memberikan pembaharuan pada unsur-unsur di dalam liturgi. Tata
ibadah termasuk tata ruang, para petugas, simbolik, tata gerak, musik, dan
sakramen, dalam liturgi ditempatkan dalam pemahaman kontekstualitas dan
semangat gerakan liturgis.[3]
1.3.
Penyesuaian-Penyesuaian Liturgi[4]
Sejak gereja melayankan ibadah dan
bertemu dengan dunia sekitar, liturgi senantiasa berada dalam proses
penyesuaian. Ibadah Yahudi disesuaikan pada zaman para rasul, selanjutnya zaman
Patristik, zaman Romawi, dan persebaran liturgi dari gereja induknya dari
gereja-gereja penginjilan baru. Setiap tata liturgi yang diterima oleh satu
daerah ke daerah lain mengalami penyesuaian di dalam praktik. Penyesuaian
praktik melahirkan perubahan pola. Oleh sebab ini ini menjadi indikasi bahwa
tidak ada liturgi yang terlepas dari untur historis dan unsur kesatuan gereja,
serta tidak ada liturgi yang seragam sejak dahulu kala.
1.3.1.
Kontekstualisasi
Sejarah penyesuaian liturgi pada
abad ke-20 tiba pada pergumulan kontekstualisasi, terutama bagi gereja-gereja
di Asia, termasuk di Indonesia. Istilah kontekstualisasi mulai dimunculkan oleh
Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) pada tahun 1972 dalam terbitan Theological Education Fund. Gereja Asia
Timur dan Asia Tenggara, Amerika Latin, dan Afrika, atau gereja-gereja selama ini belum perhitungkan
peran teologisnya, merasa mampu dan perlu berperan dalam sejarah. Teolog-teolog
Asia, Afrika dan Amerika Latin menyuarakan pergumulan dan gagasan teologisnya.
. Suara pergumulan mereka adalah mereka adalah untuk locus di mana mereka hidup. Kontekstualisasi menjadi usaha
oikumenis. Ada dua pola pikir dalam kontekstualisasi, yaitu:
a. Sikap gereja penerima
Gereja penerima memikirkan terlebih dahulu hal-hal yang
relevan pada Locus-nya. Gereja mesti
memahami betul keadaan historis dan tata masyarakat dan menyuarakan
pemahamannya melalui simbol-simbol liturgi. Simbol yang terkandung dalam
formula, tata liturgi, tata gerak, musik, tata warna dan tata liturgis,
arsitektur gedung gereja dipahami dan dihayati dahulu dari locus. Setelah ada pemahaman dan penghayatan maknanya, kemudian
dicari penyesuaiannya dengan pola liturgi oikumenis. Teologi inkarnasi berada dalam pola pikir ini.
b. Sikap Gereja Pengirim
Gereja
pengirim memulai proses kontekstualisasi dengan mempertimbangkan gereja
penerima berpijak. Dalam praktik, upaya menerapkan pola piker ini tidak begitu
sederhana. Kontekstualisasi adalah usaha menempatkan sesuatu dalam konteksnya
sehingga tidak asing lagi tetapi terjalin dan menyatu dengan keseluruhan
1.3.2.
Revisi dan Indigenisasi
Perlunya pemahaman akan nilai
historis setempat secara jelas. Gereja Katolik Roma dalam Sacroosanctum Cinciliumm atau konsili suci menetapkan hal
pembaharuan kudus sebagai berikut: “liturgi terdiri atas bagian yang tidak
dapat diubah dan atas bagian yang dapat berubah, yang selama peredaran zaman
dapat atau malah bervariasi. Terhadap bagian yang tidak dapat diubah, konsili
menegaskan bahwa “pengaturan liturgi inilah yang menekankan bahwa perubahan
gereja”. Wewenang gereja inilah yang menekankan bahwa perubahan tersebut tidak
terjadi semau-maunya, “tidak seorang pun, imam sekali pun, dapat menambah,
membuang, atau mengubah sesuatu dalam liturgi dan kehendaknya sendiri”, kecuali
bila penyesuaian itu dilakukan oleh orang-orang ahli yang telah mempelajari
hukum-hukum liturgi, setelah itu diberi kuasa oleh Takhta Suci.
Terhadap bagian yang dapat berubah
konsili menetapkan kebijaksanaan bahwa “hal-hal yang tidak menyakut iman atau
kepentingan seluruh persekutuan, gereja tidak ingin memaksakan suatu
keseragaman bentuk yang kaku, sambil mempertahankan kesatuan hakiki ritus
roma”, penyesuaian dibukakan dalam hal “pelayanan sakramen, sakramentalia,
perarakan, bahasa liturgi, musik dan seni suci. Pola yang dibuat berpatokan
pada ritus Roma , tetap dipertahankan, namun ritus-ritus praktis terbuka dalam
penyesuaian. Hal tersebut dilakukan demi menjaga nilai-nilai liturgis dan
penyelewengan orang-orang tertentu yang secara mudah merombak liturgi tanpa
dasar.
Hal ini menjadi nyata terutama dari
hasil melakukan metode revisi. Sejumlah buku liturgi revisi ditinjau ulang agar
pola yang telah mapan tetap dapat menampilkan ritus-ritus sesuai dengan tempat
berpijak gereja. Bagi gereja-gereja Protestan di Indonesia, metode ini belum
lazim digunakan. Gereja Katolik Roma di Indonesia telah melakukannya dan
menghasilkan beberapa buku liturgi, semisal Madah
Bakti (1980), Puji Syukur (1992),
dan Madah Bakti Suplemen (1992)
sebagai revisi terhadap buku-buku sebelumnya, yaitu Properium (1967-1968), Umat
Allah Bernyanyi (1971), dan Gema Hidup
(1972).
1.3.3.
Inkulturasi
Metode inkultrasi mulai digunakan pada tahun 1973-an.
Permunculan istilah ini berkaitan dengan pemahaman tentang pengiriman misi.
baik budaya gereja pengirim maupun budaya gereja penerima tidak dipudarkan oleh
pertemuan antarbudaya yang lazim terjadi. Metode inkulturasi mempunyai tugas
utama dalam lapangan misi dan keberbagaian budaya, yakni menyampaikan pesan
Injil secara utuh. Tentu metode ini memerlukan sikap hati-hati yang tinggi agar
inkulturasi tidak menjadi sekularisasi.
1.3.4.
Akulturasi
Metode inkulturasi mendapat imbangan dengan metode
akulturasi. Akulkuturasi ialah perjumpaan antara satu budaya dan budaya lain,
atau terjadinya kontak antardua budaya. Ada kemungkinan di dalamnya terjadi
proses tumpang tindih, saling mempertahankan diri, proses asimilasi, proses
antara menerima dan menolak. Ada ketegangan di dalam perjumpaan tersebut. Jika
tidak waspada, khazanah baru liturgis akan lahir dari dalamnya. Namun, pada
gilirannya khazanah tersebut dapat memperkaya pengungkapan iman gereja.
1.3.5.
Adaptasi
Metode adaptasi dimunculkan dalam artikel 36-40 SC dari
dokumen konsili Vatikan II yang diterjemahkan dengan penyesuaian. Kata adaptasi
(adaption= penyesuaian) berasal dari
dua kata dalam bahasa latin, yaitu Aptatio,
berasal dari kata apto atau aptus, artinya mencocokkan, memasangkan,
mengenakan, menyesuaikan, memperlengkapi. Dan Accomondatio, artinya menempatkan, menyambung, mengenakan,
menyesuaikan.
1.3.6.
Inkarnasi
Metode inkarnasi dan penjelmaan
wujud berlangsung melalui niat gereja untuk merayakan liturgi yang hidup
bersama dengan budaya dan tradisi setempat. Metode inkarnasi mengembangkan ide
inkarnasi Kristus di dalam sejarah umat Allah. Pengalaman lokal mendapat
prioritas untuk diperhatikan lebih dahulu, sebelum membawa masuk unsur-unsur
universal. Liturgi berbicara dari locus menyumbangkan
karya kepada liturgi oikumenis. Hal penerimaan secara oikumenis adalah penting
dalam hidup persekutuan sebagai umat Allah. Yang penting bukan hanya kemampuan
untuk mengekspresikan identitasnya sebagai pribadi orang percaya, tetapi juga
sebagai persekutuan anggota tubuh Kristus. Tubuh Kristus adalah identitas
jemaat.
1.3.7.
Indigenisasi
Metode indigenisasi adalah
memperanakan unsur-unsur seni dan budaya setempat sehingga menjadi liturgi.
musik, tari, tata suara, tata gerak, dan sebagainya diliturgikan. Atau liturgi
yang dimusisikan, ditarikan, disuarakan, digerakkan, dan sebagainya. Tujuan
indigenisasi adalah agar suasana impor dalam liturgi dapat diimbangi dengan
kekhasan locus sehingga ibadah dapat
bercorak Indonesia atau bercorak budaya suku-suku bangsa. Di atas semua itu,
orang Kristen Indonesia dan bangsa mana pun di dunia beribadah sebagai Kristen
tanpa kehilangan identitas tradisi bangsanya.
1.4.
Nyanyian Taize-Prancis
Nyanyian Taize merupakan nyanyian dinamis, namun tetap
bernuansa kontemplatif sebagaimana model liturgi biara pada umumnya. Semula
musik Taize diambil dari musik gereja yang dikenal di Prancis. Misalnya Choral
dan Mazmur dari abad ke-16. Bebrapa psalmody
kemudian ditambah oleh Joseph Gelineau. Lambat laun, perbendaharaan musik
untuk ibadah Taize makin bertambah. Iringan nyanyian Taize adalah berbagai alat
musik yang secara harmonis dan khidmat dimainkan, misalnya terompet, flute,
organ, dan gitar. Bahasa yang digunakan untuk sebagian besar nyanyian adalah
Latin, Inggris, Prancis, dan Jerman, Italia, Spanyol. Nyanyian-nyanyian Taize
dinyanyikan dalam rangka ibadah harian. Jaques Berthier dari Auxerre
(1923-1994) menciptakan musik Teize sejak 1974.
Nyanyian yang pertama adalah nyanyian natal. Momennya adalah
“konsili pemuda” sehingga musik Teize diciptakan sedemikian rupa agar pemuda
tertarik dengannya. Cantate Domino,
Christus vincit, Magnificat adalah nyanyian-nyanyian yang diciptakan untuk
momen tersebut. Untuk menghindari kebosanan dibuatlah ostinato (frase pendek yang dinyanyikan berulang-ulang) delapan
birama dan bersyair Latin di dalam kanon. Ostinato
dinyanyikan oleh seluruh umat, dan dibagian resitasi ini dinyanyikan oleh
solis atau prokantor. Demikian, ostinano dalam
nyanyian itu menjadi refrain. Yang pertama adalah Miserere mei. Musik Taize yang khas karena sederhana, meditatif,
dan bermutu dilatarbelakangi oleh berbagai musik gereja yang lama telah ada.
Berthier mengoleksi dan menyukai musik Gregorian (abad 9), musik Giovanni P.
Palestrina (1525-1594), pola musik Kalsik (1750-1830), dan nyanyian rakyat
tradisional.
Musik-musik tersebut: musik modal dan musik tonal,
melatarbelakangi musik Taize. Dari sekian banyak musik Taize, ada puluhan
nyanyian yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Empat puluh di
antaranya diterjemahkan oleh pendeta H.A. van Dop dan diterbitkan oleh Sekolah
Tinggi Teologi Jakarta. Beberapa puluh yang lain diterbitkan oleh pribadi atau
lembaga yang tidak jelas informasinya, dan buku-buku itu dijual bebas di
pasaran. Demikian pula dengan kaset-kaset musik Taize bertebaran di beberapa
toko buku dan kaset rohani di Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah sulit
mengenal dan menikmati music Taize.
1.5.
Gerakan Liturgis (The Liturgical Movement)
Gerakan liturgi atau The
Liturgical Movement adalah pembaharuan liturgis. Gerakan liturgis berawal
dari sebuah biara Benedektin di Prancis pada sekitar abad ke-19. Biara
Solesmes-Prancis tersebut dipengaruhi oleh semangat adad pencerahan. Dari
Solesmes inilah pembaharuan liturgi biara-biara secara umum menyebar ke
biara-biara lain di beberapa negara di benua Eropa. Kebangunan tersebut membawa
pembaharuan minat bagi sumber-sumber liturgis sebagaimana halnya teologi
liturgi. Dom Prosper Gueranger membangun kembali tradisi membiara di biara
Benediktin Solesmes. Tradisi membiara dimaksud ialah berdasarkan tradisi
abad-abad pertengahan. Model umum yang dipakai untuk pembaruan tersebut ialah
liturgy Katolik Roma. Selain mengadakan restorasi dalam bidang nyanyian,
Gueranger juga mengusahakan pengenalan kembali ibadah gereja dan ilmu liturgi
juga kembali dipelajari, dikenal, dan disukai. Lambat laun penelitian historis
tentang liturgi menjadi makin marak. Naskah-naskah kuno dan asli tentang
praktek litugi diteliti dengan seksama, dan hasil penelitian membuktikan bahwa
kebiasaan-kebiasaan yang telah mentradisi akan hal-hal praktis selama ini telah
menyimpangkan litugi secara liturgiologis.
Orientasi gerakan liturgis pada awalnya adalah historis dan
restoratif. Kemudian mengarahkan perhatiannya pula kepada situasi dan kebutuhan
aktual sehingga gerakan liturgis menjadi usaha pastoral yang mendalam. Gerakan
liturgis tidak anti pada unsur-unsur tradisional sebab tujuannya ialah
pembaharuan ketimbang revolusi atas situasi masa kini dalam gereja. Harapannya,
sebisa mungkin mengubah liturgi agar menjadi hidup. Liturgi bukan sekedar
tontonan, melainkan ibadah yang hidup yang dirayakan oleh segenap umat dengan
aktif dan memiliki pengertian. Tujuan
mendukung gerakan liturgis adalah kerinduan untuk membarui liturgi agar menjadi
pusat kehidupan dan pusat iman umat, dan fokus dari usaha tersebut ialah
hal-hal yang menyangkut kebaktian umum dan Perjamuan Kudus. Semangat gerakan
liturgis yang lebih serius dilakukan setelah Perang Dunia II. Awal masa modern
dan gerekan oikumenis memberikan perhatian terhadap teologi baptisan.
Keprihatinan bahwa baptisan dilayankan secara berbeda. Dukungan yang besar
datang dari kelompok Dom Ildephonsus Herwegen (1874-1946/1948), Dom odo Casel (1886-1948), serta Frater Johanes
Pinsk dari pusat studi dan biara Benediktin Maria Leach di Jerman. Pemikiran
dari ketiga tokoh ini yaitu memformulasikan kembali dogma lama tentang teologi
misteri (die Mysterientheologie), dan
dampak publikasinya adalah teologi misteri yang menekankan seluruh liturgi
sebagai gambaran peristiwa keselamatan yang terjadi melalui kesatuan Allah
dengan manusia. Mereka juga memberikan
pengaruh melalui artikel-artikel mengenai tahun liturgis dan bahasa-bahasa
modern, penyederhanaan lambing-lambang dan penggunaan simbol-simbol. Kaum awam
mendapat bagian pelayanan litrugis sebagai lektor, yakni pembaca Alkitab yang
merupakan salah satu unsur penting dalam pembaruan. Umat juga berperan sebagai
pembagi komuni, pembawa doa dan nyanyian. Tahun liturgi disederhanakan dengan
berpusat pada Paskah, Pentakosta, Natal, dan hari Minggu. Pedoman umum dalam
pembaruan ialah menampakkan yang benar dan nyata (verum et factum) dan menjadi indah (pulchrum).
Gerakan liturgi dalam gereja-gereja reformasi dimulai dengan
kembali kepada norma ibadah mula-mula. Pembaruan ini dipelopori oleh Eugene
Bersier, Wilfred Monod dan komunitas Taize-Prancis, Richard Paquier dan Jean
Jacques Vin Allmen dari Swiss. Dari gereja Anglican sendiri ialah Walter Howard
Frere (1863-1938) dan Dom Gregory Dix yang mempublikasikan The Shape Of The Liturgy pada tahun 1945 yang isinya ialah berbagai
akar dan awal perkembangan liturgi dari berbagai denominasi. Lembag-lembaga
gerejawi lain baik nasional maupun internasional turut menyemaratkan semangat
gerakan liturgis dalam bentuk seminar, lokarya, pertemuan atau pergerakan (movement). Pada tahun 1987, Asian Institute for Liturgy and Music
(AILM) mengadakan Asian Worshop on
Liturgy and Music di Manila, dan ini adalah lokarya internasional dalam
rangka memperkenalkan dan mencoba menerapkan musi-musik Asia sebagai nyanyian
jemaat. Pada tahun 1992, Dewan Gereja-gereja se-Dunia dan AILM menyelenggarakan
kembali seminar yang sama dengan tahun 1987, yakni second Ecumenical Seminar on Liturgy and Music di Manila, yang
diikuti oleh 50-70 teolog dan pemusik gereja mengambil bagian dalam eksperimen
ritus-ritus baru dalam liturgi dan musik.
Secara umum, ada tiga jenis kegiatan yang dilakukan untuk
pembangunan liturgi dalam gerakan liturgis, yaitu:
a. Publikasi dan penerbitan buku,
jurnal, dan majalah tentang penelitian historis dan teologi liturgis.
b. Seminar-seminar untuk esksperimen
kehidupan dan perayaan liturgi. Selanjutnya, kedua hasil tersebut disampaikan
kepada
c. Konferensi liturgi untuk menetapkam
pola, ritus, dan pegangan liturgi agar lebih menjemaat dan oikumenis.
Penelitian, esksperimen, dan penetapan adalah proses yang mutlak
ditempuh dalam pembaruan liturgi. Dengan kata lain, gerekan litugis memerlukan
keterlibatan semua pihak di dalam gereja. Upaya tersebut sebagaimana upaya
pencarian makna hidup yang akan menguras tenaga, pikiran, perasaan, keseriusan,
dana, dan sebagainya. Kedewasaan dalam berpola piker harus mulai diupayakan
demi menunjang pembaruan liturgi untuk merayakan iman. Secara eksplisit, ketiga
hal tersebut merambah tiga aras dalam gereja, yaitu:
a. Para ilmuan dengan mengadakan
penelitian dan publikasi ilmiah
b. Para seniman dan umat dengan
eksperimen dan pelatihan di seminar.
c. Pengambilan keputusan, yakni
presbiter melalui siding-sidang gerejawi yang diperlukan guna menetapkan hasil
penelitian yang telah dipublikasikan dan direkomendasikan untuk hal-hal
liturgis di gereja.
1.6.
Liturgi Zaman Modern
1.6.1.
Liturgi Lima
Liturgi lima adalah sebuah liturgi
oikumenis yang dibentuk berdasarkan Deklarasi Lima yang dilaksanakan di kota
Lima, Peru pada tahun 1982. Nama liturgi lima tersebut dikenakan sebagai
peringatan akan penggunaan liturgi penutupan sidang WCC Komisi Imam dan Tata
Gereja di Lima, Peru pada Januari 1982. Liturgi ini disepakati secara doktrinal
oleh gereja anggota DGD dan dibuat oleh Max Thurian, salah seorang anggota dari
kelompok Taize. Liturgi Lima digunakan secara luas serta diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa sejak penggunaannya di sidang DGD pada tahun 1983 di Vancouver.[5]
Struktur liturgi ini dibuat mengikuti tradisi gereja Kristen pertama kali dan
memiliki kemiripan dengan liturgi Katolok Roma. Liturgi ini juga dibuat untuk
menjembatani perbedaan antara gereja barat dan Timur, misalnya menggunakan
Pengakuan Iman Rasuli Nicea Konstantinopel di dalamnya.[6]
Liturgi ini digunakan dalam perayaan oikumenis khususnya untuk doa syukur Agung
untuk memungkinkan orang-orang Kristen dari semua denominasi berdoa, memuji
Allah, dan mengajukan permohonan dan mengucapkan syukur bersama yang merupakan
bagian dari Ekaristi bersama. Yang muncul dengan jelas dari liturgi lima ini
adalah bahwa perbedaan-perbedaan yang pada abad-16 membawa perpecahan dalam
gereja telah diatasi. Dan yang sangat mengagumkan adalah bahwa dokumen tersebut
sama sekali tidak mengatakan apapun mengenai dua butir pokok kontroversi
penggunaan bahasa setempat dalam liturgi.[7]
II.
Kesimpulan
Berdasarkan
pemaparan diatas, maka kami menyimpulkan bahwa liturgi zaman modern ini
dikenali melalui imbas penyesuaian dengan budaya, baik pada locusnya maupun
secara oikumenis. Dua hal tersebut menjadi pergumulan liturgis yang sejalan
dengan pergumulan teologi secara umum. Bagi gereja-gereja protestan oikumenis,
pembaruan liturgi sejalan dengan gerakan oikumenis. Puncak pembaruan adalah
dengan munculnya liturgi lima pada tahun 1982 di Peru melalui konferensi komisi
imam dan tata gereja dari dewan gereja-gereja sedunia. Dan secara umum terjadi
pula dengan penerbitan buku-buku liturgi gereja, penyesuaian gerakan liturgi
memberikan pembaruan pada unsur-unsur di dalam liturgi, tata ibadah, termasuk
tata ruang, para petugas, simbolik, tata gerak, musik, dan sakramen. Semuanya
itu ditempatkan dalam pemahaman kontekstualisasi dan semangat gerakan liturgi.
Gerakan liturgi memerlukan keterlibatan semua pihak di dalam gereja.
Sebagaimana upaya pencarian makna hidup adalah mahal, maka pembaruan liturgi
akan menguras banyak tenaga, pikiran, perasaan, perhatian, keseriusasn, dana,
dan sebagianya. Kedewasaan dalam berpola piker haru mulai diupayakan demi
menunjang pembaruan liturgi untuk merayakan iman.
III.
Daftar Pustaka
Harling Per, Worshiping Ecumenically, Switzerland:
WCC Publications, 1995.
Kung Hans, Mengapa
Saya Tetap Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Kunzler Michael, Church
Liturgy, New York: Continuum International Publishing Group, 2001.
Rachman
Rasid, Pembimbing ke Dalam Sejarah
Liturgi, Jakarta: BPK-GM, 2010.
Riemer,
G., Cermin Injil - Ilmu Liturgi,
Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF.
van
OLST E. H., Alkitab dan Liturgi, Jakarta:
BPK-GM, 2001.
[1] G. Riemer, Cermin Injil - Ilmu Liturgi (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih/OMF, tanpa tahun penerbitan), 9-10
[2] E. H. van OLST, Alkitab dan Liturgi (Jakarta: BPK-GM,
2001), 7-9.
[3] Rasid Rachman, Pembimbing ke Dalam Sejarah Liturgi (
Jakarta: BPK-GM, 2010), 192.
[4] Rasid Rachman, Pembimbing ke Dalam Sejarah Liturgi,
135- 214.
[5] Per
Harling, Worshiping Ecumenically (Switzerland:
WCC Publications, 1995), 155.
[6] Michael
Kunzler, Church Liturgy (New York:
Continuum International Publishing Group, 2001), 163.
[7] Hans
Kung, Mengapa Saya Tetap Kristen (Yogyakarta:
Kanisius, 2009), 101.
Post a Comment