Liturgi Pernikahan/ Perkawinan Di Gereja HKI


Liturgi Pernikahan/ Perkawinan Di Gereja HKI


I.                   Pendahuluan

Pernikahan Kristen adalah tentang komitmen untuk memegang perjanjian cinta yang dibuat oleh suami dan istri dihadapan Allah. Karena komitmen tersebut menunjuk kepada perjanjian cinta Allah kepada gerejaNya. Alkitab secara bulat menyatakan bahwa hanya kematian yang dapat memisahkan perjanjian kasih suami-istri. Bentuk perkawinan tergantung budaya setempat bisa berbeda-beda dan tujuannya bisa berbeda-beda juga. Tapi umumnya perkawinan itu ekslusif dan mengenal konsep perselingkuhan sebagai pelanggaran terhadap perkawinan. Perkawinan umumnya dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga. Tuhan Yesus Memberkati.

II.                Pemabahasan

2.1. Pengertian Pernikahan Kristen

Pernikahan Kristen adalah tentang komitmen untuk memegang perjanjian cinta yang dibuat oleh suami dan istri dihadapan Allah. Karena komitmen tersebut menunjuk kepada perjanjian cinta Allah kepada gerejaNya. Alkitab secara bulat menyatakan bahwa hanya kematian yang dapat memisahkan perjanjian kasih suami-istri.[1] Pernikahan  selalu  menjadi  sebuah  institusi  yang  rumit  dan  bervariasi  bentuk  dan alurnya  bisa  bermacam-macam  tergantung  dari  hasrat-hasrat  dan  pribadi  lepas  pribadi  dari dua orang  yang  terlibat,keluarga sahabat  dan  kerabatyang  ada  disekelilingnya,  sertakeadaan  politik,  ekonomi,  dan  konteks  hukum  dimana  mereka  hidup.[2]

 

2.2. Pengertian Perkawinan secara Umum

Perkawinan adalah hubungan permanen antara laki-laki dan perempuan yang diakui sah oleh masyarakat yang bersangkutan yang berdasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku. Bentuk perkawinan tergantung budaya setempat bisa berbeda-beda dan tujuannya bisa berbeda-beda juga. Tapi umumnya perkawinan itu ekslusif dan mengenal konsep perselingkuhan sebagai pelanggaran terhadap perkawinan. Perkawinan umumnya dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga. Ikatan perkawinan yang sah dibuktikan dengan adanya dokumen berupa akta perkawinan.[3]

2.3. Tujuan Pernikahan

Tujuan upacara gerejawi adalah membangun suatu jemaat. Umat harus merasa diri sebagai anggota dan sadar bahwa upacara gerejawi itu merupakan ungkapan iman mereka sendiri tentang makna perkawinan. Dewasa ini, sering kali terjadi bahwa kita memulai upacara dengan perasaan bahwa dalam upacara ini berkumpullah jemaat yang tidak begitu bergairah: sahabat dan kenalan dengan segala kesalahan, atau malah dengan sikap kurang beriman. Umat seperti itulah yang sedang berhimpun dengan air mata, keluh kesah, dan harapan.

Iman dan cinta mereka masih harus dikobarkan oleh mempelai yang meresmikan perkawinan dan disemangati oleh pelayanan pemimpin. Iman dan cinta seperti itulah yang ada dalam diri orang yang akan merayakan sakramen. Dengan pengertian seperti ini. tidak mungkin kedua mempelai merayakan perkawinan ini sebagai upacara yang sudah baku dan tidak mengesan bagi mereka; tidak mungkin mereka melihat upacara sebagai panggung tempat mereka bersandiwara. Dalam upacara perkawinan, kedua mempelai bersama jemaat yang berkumpul melakukan sesuatu yang melampaui segi yuridis dan kemasyarakatan. Mereka harus membangun diri sebagai Gereja.

Kita dapat memperoleh atau kehilangan pekerjaan. Kita dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Seorang anak menjadi dewasa dan berpisah dengan orang tua. Semua ini merupakan saat-sat penting, saat-saat untuk berdoa, tetapi belum tentu merupakan saat untuk mengundang jemaat berhimpun sebagai Gereja. Perkawinan melebihi itu semua: perkawinan merupakan peristiwa yang jauh lebih mendalam, lebih berdampak lama. Harapan, iman, dan dukungan kita memerlukan ungkapan dalam upacara gerejawi. Bentuk-bentuk ungkapan ini tidak ada dalam upacara kemasyarakatan dan catatan sipil. Dalam liturgi perkawinan kita mencari tanda tanda terdalam tentang apa yang diimani Gereja yang sedang berhimpun, yang diimani pula oleh seluruh Gereja: puji-syukur atas semua yang sedang terjadi, kepercayaan akan rahmat Allah untuk menyongsong hari depan, dan doa untuk mempelai, untuk seluruh Gereja, serta untuk dunia.[4] Perjanjian perkawinan dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan seluruh hidup, yang menurut sifat khas kodratnya terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak.[5]

Kebahagiaan bukanlah merupakan tujuan pernikahan seperti yang sering kali ada dibenak anak  mudasebelum menikah. Kebahagiaan  ditemukan  didalamperjalanan  sebuahpernikahan  yang berjalan diatasrel  cinta  kasih  Kristus. Kita  tanpa  sadarakan  memperalat pasangan  hidup  kita untukmencapai  kebahagiaan  ituapabilatujuan  kita  menikah  adalah bahagia.[6]

2.4. Simbol dari pernikahan

·         Cincin

Merupakan salah satu tanda yang paling kuno untuk mengungkapkan kesetiaan dan harapan bahwa perkawinan itu akan lestari. Berkat untuk mempelai selayaknya merupakan kesempatan bagi semua yang hadir untuk menyuarakan harapan-harapan mereka demi kebahagiaan mempelai berdua pada masa yang akan datang. Kalau perkawinan dilaksanakan dalam perayaan Ekaristi, berkat untuk mempelai dilaksankan sesudah peneguhan perkawinan.[7] Cincin pernikahan adalah salah satu simbol di dalam pernikahan menurut tradisi Kristen Barat. Pertukaran cincin pernikahan di dalam prosesi pernikahan dilakukan pada saat pengucapan komitmen kedua mempelai untuk menjalani kehidupan bersama. Meskipun demikian, cincin pernikahan bukanlah simbol utama sebab yang terpenting adalah pengucapan komitmen antara kedua mempelai tersebut. Pertukaran cincin pernikahan tersebut adalah simbol sekunder yang boleh ditiadakan.[8] Cincin perkawinan adalah simbol yang membawa si pemakainya ke saat janji pernikahan pertama kali diucapkan pada waktu lalu (benda). Pembacaan Alkitab menurut leksionari menghantar pendengarnya untuk hadir sen diri di dalam peristiwa Kristus 2000 tahun lalu (tindakan).[9]

·         Merpati

Burung merpati dalam tradisi Kristen terutama dipahami sebagai symbol kehadiran Roh Kudus yang mengingatkan kita pada peristiwa baptisan Yesus oleh Yohanis Pembaptis (Mat 3:16 bdk Mrk, Luk dan Yoh). Seekor burung merpati dengan sebuah ranting zaitun telah menjadi simbol universal untuk perdamaian dan mengingatkan pada kisah Nuh (Kej 8:11), di mana sehelai daun zaitun menjadi tanda bahwa air bah telah surut dan simbol untuk perjanjian Allah dengan umat manusia dan segala ciptaan-Nya. Kadang-kadang, dua ekor burung merpati juga digunakan sebagai simbol cinta kasih.

·         Abad ke-10 hingga abad ke-11

Di dalam abad ke-10 dan ke-11 terdapat penambahan di dalam prosesi pemasangan cincin, yaitu pemasangan cincin disertai dengan pemberian berkat pada cincin. Mempelai pria memasangkan cincin kepada mempelai wanita seraya berkata,"Dia (menyebutkan nama mempelai perempuan) yang mengenakan cincin ini boleh berada di dalam damai, kehidupan, bertumbuh di dalam kasih, dan dikaruniakan umur panjang." Dengan demikian seolah-olah cincin memiliki makna dalam pernikahan sebagaimana konsekrasi roti dan anggur dalam Ekaristi.[10]

2.5. Unsur-unsur membentuk Pernikahan

Perkawinan konkret terbentuk oleh pelbagai unsur. Keluarga tidak diperhatikan oleh karena keluarga adalah sesuatu yang lain dari perkawinan, meskipun berkaitan dengannya dan berpangkal pada perkawinan. Ada unsur seksual dengan arti luas. Seksualitas manusia tidak hanya perkara biologi dan fisiologi, alat kelamin belaka. Seksualitas turut menentukan seluruh diri orang dan perwujud an diri orang. Diferensiasi seksual menyeluruh itu bukan soal dan hasil pendidikan saja, tetapi berurat-berakar dalam ke pribadian orang. Dalam hal secara konkret mewujudkan kepri badian itu, pendidikan dan sebagainya, tentu saja berperan. Hanya berdasarkan perbedaan seksual laki-laki dan perempuan dapat menjalin dan mewujudkan relasi yang disebutkan sebagai perkawinan. Relasi antara manusia yang mempunyai dasar lain, yang mungkin dan nyatanya ada, tidak dapat dikatakan "perkawinan", meskipun barangkali ada unsur seksual di dalamnya (homo seks, lesbian). Relasi seksual antara laki-laki dan perem puan yang dikatakan perkawinan mestilah kurang lebih mantap dan kurang lebih meliputi kehidupan laki-laki dan perempuan yang bersangkutan. Relasi seksual yang insidental dan sesaat saja dan hanya berlangsung di bidang seksual belaka tidak di katakan "perkawinan".

·         Allah menjadi asal perkawninan manusia

Seluruh tradisi Yahudi-Kristen, mulai dengan Kej 1-2, mengembalikan perkawinan manusia kepada Allah Pencipta. Berdasarkan keyakinan tersebut tradisi itu selalu melawan ten densi dualis yang menghubungkan perkawinan dengan suatu prinsip awali yang jahat. Hanya soalnya: Bagaimana hubungan antara perkawinan konkret (yang ber macam-macain rupa dan bentuknya) dengan Allah Pencipta? 798. Konsili Vatikan II mengangkat dan meneruskan tradisi tersebut. Tanpa keterangan lebih lanjut Konsili mene gaskan: Allah Pencipta mendirikan (condere) perkawinan dan melengkapinya dengan hukum-hukum-Nya (suis legibus in struxit) dan mengaturnya (ordinatione divina). Konsili tidak hanya berkata tentang perkawinan orang Kristen-Katolik, tetapi tentang perkawinan pada umumnya, sehingga afirmasi itu ber laku untuk semua perkawinan. Konsili berkata tentang lembaga perkawinan, yang menjadi konkret (instauratur) manakala ada orang yang menikah dan yang mesti mewujudkan diri sebagai suami-istri dalam rangka lembaga yang didirikan dan diatur Allah Pencipta. Kalau Konsili berkata tentang "hukum-hukum" Allah, maka yang dimaksud bukan hukum moral, tetapi hukum struktural, tatanan perkawinan pada umumnya.[11]

 

 

 

2.6. Pernikahan menurut Rasul Paulus

Pendirian Paulus terhadap pernikahan dapat diambil dari I Korintus 7, akan tetapi perlu diperingatkan bahwa Paulus tidak menyusun suatu ajaran etis mengenai perkawinan yang dapat diberlakukan secara umum. Struktur penyusunan surat Korintus sangat dipengaruhi oleh pertanyaan pertanyaan konkret dari jemaat, malahan ayat 1 itu, yang mengatakan bahwa adalah baik kalau orang tidak kawin, agaknya berupa kutipan dari sepucuk surat dari jemaat tersebut kepada Paulus (demikian pula 1 Kor 6:13; 7:26; 8:1; dan lain-lain).[12]

2.7. Perkawinan menurut Bapa-Bapa Gereja

·         Menurut Pius XII

Sejak tahun 1930, diskusi teologis terutama ber kisar mengenai makna cinta suami-istri. Tentu saja karena gagasan itu sudah ditekankan oleh Pius XI dalam ensiklik "Casti Connubii", tahun 1930 itu. Ditegaskan bahwa cinta kasih merupakan motif pokok perkawinan sebagai persekutuan hidup seluruhnya. Pada tahun 1935 terbitlah buku Herbert Doms yang berjudul "Vom Zweck und Sinn der Ehe" (Tentang Tujuan dan Makna Perkawinan). Dalam buku itu dika takan, bahwa orang hanya bisa bicara tentang "tujuan perkawinan, apabila perkawinan dilihat sebagai lembaga sosial. Kalau orang melihat perkawinan terutama sebagai persekutuan dua pribadi, lebih tepatlah kalau ia bicara tentang "makna" perkawinan. Lalu, harus dikatakan bahwa "makna perkawinan" ialah cinta dan persatuan suami-istri yang menyempurna kan kedua pribadi maupun hubungan antara kedua pribadi itu. Cinta suami-istri itu mempunyai kecenderungan menurunkan anak, yang harus dilihat sebagai peluasan dari cinta antara suami-istri. Maka keturunan hanya dapat disebut sebagai "tujuan perka winan", bila perkawinan terutama dilihat sebagai lem baga sosial saja. Namun menurut Herbert Doms, perkawinan terutama harus dilihat sebagai persekutuan hidup antarpribadi, baru kemudian sebagai lembaga.[13]

 

·          Johanes Calvin

Calvin memandang pernikahan gereja secara pastoral dan teologis. Sekalipun tidak berkepentingan dalam hal pernikahan seseorang, umat yang menikah dilibatkan dalam liturgi. Dalam buku liturgi nikah La Forma de Confirmer les Mariages davant l'Église des Fidèles (Tata Ibadah Peneguhan Nikah di Gereja) ditekankan bahwa "Kebaktian nikah adalah kebaktian yang berlangsung dalam kebaktian jemaat, yaitu sebelum khotbah, tetapi bukan pada perayaan perjamuan kudus." Kebaktian nikah bukan kebaktian lebih istimewa atau lebih rendah kedudukannya daripada kebaktian jemaat. Oleh karena itu, kebaktian nikah tidak boleh dilayankan di luar kebaktian jemaat.[14]

·         Martin Luther

Dalam hal pernikahan gerejawi- juga dalam setiap liturgi - Luther ber hadapan dengan keberbagaian praktik gereja Jerman waktu itu. Luther mengatakan, "Lain negara, banyak cara." Oleh karena itu, Luther mene rapkan sikap pragmatisnya secara bijaksana berdasarkan "lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya". Ia tidak menekankan kesera gaman dalam hal penyelenggaraan liturgi nikah.

Luther menghargai perbedaan ritus masing-masing. Bahkan dikata kannya bahwa agar setiap orang tidak menghakimi orang lain yang ber beda (Rm. 14:5 dan 1 Kor. 8:8 sebagaimana ditafsirkan oleh Luther). Baginya yang penting adalah "berpikir dan merasa secara bersama, walaupun bertindak secara berbeda". 12 Sampai di sini kita menyaksikan sebuah pola pikir ekumenis pada abad ke-16. Memaksakan keseragam an dalam hal ritus nikah dan liturgi-liturgi lain akan membuat ketidak sesuaian dan tidak oikumenis. Imanlah yang menyatukan umat, bukan tindak-tanduk dan selera manusiawi. Sekalipun pola liturgi Luther ada lah misa Roma, ia memberikan keleluasaan dalam melayankan ritus ritus secara berbeda.

Pernikahan adalah urusan duniawi dan bukan sakramen, tetapi harus dilangsungkan di gereja. Peran gereja sebagai penyalur anugerah Allah ialah melindungi pernikahan dari perzinaan. Moral adalah dasar pernikahan bagi Luther. Pola pikir ini merupakan warisan Abad-abad Pertengahan.[15]

2.8. Liturgi Pernikahan abad pertengahan kedua

Dari sekian banyak ritus gerejawi, pernikahan adalah ritus yang cukup membingungkan para teolog dan Bapa Gereja - bahkan dewasa ini merepotkan para imam dan pendeta! Disadari bahwa sejak awal masa Kekristenan, pernikahan adalah urusan pribadi dari yang menikah Pernikahan tidak bersangkut paut dengan gereja atau pejabat gereja. Walaupun ada saja pendapat yang mengemukakan hal kepentingan gereja dalam pernikahan, muara dari semua polemik tersebut adalah urusan mereka yang menikah dan keluarganya. Oleh karena itu, selama sekitar seribu tahun pertama dalam sejarah gereja, pernikahan tidak di liturgikan walaupun ada peran gereja atau pejabat gereja didalamnya.[16]

2.9. Memahami Prinsip Dasar Pernikahan Kristen Menurut Alkitab

1. Pernikahan Berasal dari Allah

Pada awal mula, Allah menjadikan manusia laki-laki dan perempuan. Ini artinya, prakarsa pernikahan pertama-tama datang dari inisiatif Allah. Sebagaimana dikatakan dalam Kejadian 2: 18 yang berbunyi:

“TUHAN Allah berfirman: ‘Tidak Baik, Kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.’”

2. Perkawinan Merupakan Ikatan Baru

Seseorang yang menikah meninggalkan ayah dan ibunya, kemudian bersatu dengan istri atau suaminya. Artinya, seseorang yang sudah menjalin pernikahan berarti sudah lepas dari ikatan lama, yaitu orangtua dan masuk ikatan baru, yakni suami dan istri.

3. Dua Orang Menjadi Satu

Dua orang yang menikah bersatu menjadi satu daging. Ini mengandung makna bahwa tidak ada lagi pemisah di antara suami dan istri.

 

4. Tidak Boleh Diceraikan Manusia

Apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh diceraikan manusia. Dengan kata lain, mereka yang menceraikan apa yang sudah dipersatukan oleh Allah berarti telah merusak karya Allah. Sebagaimana tercatat dalam Matius 19:6.[17]

2.10.                    Teologi Sakramen Perkawinan

2.10.1.  Sakramen Perkawinan

Segi penyelamatan manakah yang menjadi tampak dalam perkawinan? Sakramen-sakramen lain secara langsung menyentuh segi personal-individual orang dan hanya secara tak langsung segi sosialnya tersangkut. Secara pribadi orang di inisiasikan ke dalam jemaah Kristus, secara pribadi ia berdosa dan bertobat, secara pribadi orang menjadi petugas jemaah dan secara pribadi jatuh sakit dan menuju ke akhir hidupnya, secara pribadi orang turut makan dan minum dalam perayaan Ekaristi. Sebaliknya sakramen perkawinan memperlihatkan segi sosial penyelamatan, segi personal hanya secara tak langsung tersentuh. Memang orang selalu kawin berdua, tidak mungkin secara pribadi dan perorangan saja. Perkawinan terletak dalam relasi wajar dan mantap antara laki-laki dan perempuan sebagai poler dan komplementer. Relasi itu adalah sesuatu yang wajar, bukan ciptaan jemaah atau iman jemaah, namun sejak awal diliputi penyelamatan. Dalam rangka jemaah Kristus, dimensi historis dan jelas penyelamatan itu, relasi wajar suami-istri memper lihatkan bahwa penyelamatan itu suatu realitas relasional. Penyelamatan memang merupakan suatu relasi antara Allah dan manusia yang menyatu dengan tidak kehilangan identitas dan individualitasnya. Dan modelnya ialah Yesus Kristus, yang secara definitif di dalam diri-Nya yang satu menyatukan keilahian dan kemanusiaan yang tidak tercampur dan tidak terpi sahkan, tidak kehilangan ciri distinktifnya. Dalam jemaah pun penyelamatan merupakan relasi oleh karena dalam jemaah yang tercipta oleh tawaran Allah dalam Kristus Penyelamat, penyelamatan diterima oleh mereka yang membentuk jemaah. Relasi Allah serta Kristus dan jemaah suatu relasi poler dan komplementer. Tanpa tawaran penyelamatan dari pihak Allah dalam Kristus tidak ada jemaah Kristus, paling-paling satu kelompok sosial; tanpa jemaah tawaran penyelamatan dari pihak Allah dalam Kristus tidak secara historis-manusiawi hadir di dunia.

Masih ada ciri lain yang menjadi ciri khas sakramen per kawinan dan kembali tampil. Perkawinan wajar, suatu realitas yang seluruhnya duniawi, menjadi sakramen Kristus. Oleh kare na itu sakramen perkawinan menjadi tanda dan wujud paling jelas bahwa relasi penyelamatan Kristus dengan Gereja sebagai dimensi historis relasi penyelamatan antara Allah dan (umat) manusia benar-benar memasuki dunia, menjadi sekular. Dan dengan demikian dalam sakramen perkawinan misteri Gereja paling jelas melampaui lembaga Gereja, Sakramen lain dari segi retualnya (upacara) ciptaan lembaga Gereja dan dalam rangka lembaga Gereja memperlihatkan misteri Gereja. Tetapi sakra men perkawinan bukan ciptaan Gereja dan bukan suatu upacara gerejani. Perkawinan ditemukan, lalu dalam lembaga Gereja menjadi sakramen. Hal itu biasanya dikatakan dengan penjelas an bahwa perkawinan diangkat menjadi sakramen. Tentu saja Kristuslah yang mengangkat, tetapi dengan menerimanya ber sama manusia ke dalam jemaat-Nya yang menjadi sakramen umum penyelamatan (misteri) Kristus.[18] Sakramenpernikahanadalahsebuah   komitmen   abadi   seorang   laki-laki   dewasa dengan seorang wanita dewasa untuk sebuah kemitraan abadi yang berjalan diatas relcinta-kasih  yang  menyatukan  Kristus  dengan gereja.Suatu  ikatan  yang  bersifat permanen  dan eksklusifditetapkan di antara dua orang yang menikah.[19]

 

 

2.10.2.  Perkawinan Sebagai panggilan Allah

Lama dahulu dalam pandangan teologi dan bahkan dalam ajaran resmi Gereja, hidup perkawinan dan hidup sebagai awam dilihat sebagai status hidup yang lebih rendah dari panggilan membiara ataupun kelompok hierarki. Pandangan ini telah di tinggalkan dan dikoreksi dalam alam ajaran Konsili Vatikan II. Perkawinan juga merupakan panggilan suci dan luhur, yang tidak lebih rendah dari panggilan hidup lainnya. Perkawinan merupakan salah satu bentuk panggilan kehidupan untuk menggapai kesucian dan kekudusan yang menjadi panggilan semua orang beriman. "Jadi, bagi semua jelaslah bahwa semua orang kristiani.

2.10.3.  Perkawinan dalam kitab suci

Ikatan perkawinan dan upacara perkawinan tentulah suatu gejala yang amat umum dalam sejarah umat manusia di ber bagai budaya, bangsa, dan agama. Dalam banyak budaya dan religi, upacara perkawinan merupakan tindakan religius. Pada agama-agama kuno di Timur Tengah, misalnya, upacara perkawinan dikaitkan dengan motif perkawinan suci dari para dewa (hierogami). Melalui perkawinan laki-laki dan perempuan, diha dirkanlah suatu pendamaian kosmik yang pada dasarnya terdiri atas dua kutub: terang dan gelap, siang dan malam, hidup dan mati, dan seterusnya. Tidak jarang dalam agama-agama kafir, perkawinan para dewa itu diungkapkan dalam upacara di kuil, di mana hubungan seksual antara para dewa itu dihadirkan melalui hubungan seksual wakil-wakilnya di kuil (imam dan gadis-gadis kuil sebagai pelacur-pelacur suci). Tentu saja praktek ini dikutuk dan dikecam oleh Perjanjian Lama (Ul 23:17-18).

2.10.4.  Perkawinan sebagai ikatan sacramental

Di sini kita membahas perkawinan menurut perspektif teo-sentris dan kristologisnya. Perkawinan suami-istri kristiani merupakan ikatan sakramental yang artinya ikatan yang menjadi Simbol yang menghadirkan kasih dan kesetiaan Allah sendiri kepada umat-Nya. Persekutuan yang dibentuk oleh perkawinan dengan bagus menandakan hubungan yang tak terpisahkan antara Allah dan umat-Nya. Itulah sebabnya kita dapat memahami mengapa perkawinan dijadikan simbol relasi Yahwe dengan umat Israel yang berelasi itu tidak dengan tataran yang sama, tetapi ada nilai luhur yang me mang melekat dalam kehidupan perkawinan.

2.10.5.  Perkawinan sebagai sel Gereja

Ciri eklesiologis tampak dengan jelas dalam LG 11 yang menyebut keluarga sebagai Gereja-keluarga (Hauskirche atau ecclesiola). Sebaiknya kita memahami latar belakang eklesiologi sebelumnya. Berabad-abad lamanya sebelum Konsili Vatikan II, siapa yang dimaksudkan dengan Gereja tidak lain adalah hierarki, yakni Sri Paus, para uskup, dan imam. Bahkan dalam masa pole mik antara Gereja Katolik dan Reformasi, Gereja Katolik berpen dapat waktu itu bahwa yang namanya Gereja tidak lain ialah Gereja Katolik Roma, dengan mana Sri Paus sebagai pemimpin nya. Konsili Vatikan II merupakan konsili Gereja yang pertama yang berbicara mengenai Gereja secara komprehensif dan men dalam. Diri dan identitas Gereja direfleksikan kembali menurut terang Kitab Suci dan pandangan para Bapa Gereja.[20]

2.10.6.  Ciri sacramental perkawinan wajar

Perkawinan wajar yang terbentuk oleh keempat unsur tersebut boleh dikatakan mempunyai ciri sakramental, sehingga dalam rangka Gereja Kristus perkawinan itulah yang menjadi sakramen. Dengan kata sakramental dimaksudkan bahwa perkawinan wajar menunjuk kepada suatu realitas ilahi dan berupa tanda menghadirkan realitas itu di dunia. Dan itu pun dengan cara khusus, berbeda dengan makhluk-makhluk lain yang juga mempunyai ciri sakramental.

Teologi tentang manusia sebagai gambar Allah, yang ber dasarkan Kej 1:26-27 ada relevansinya bagi perkawinan manusia. Umat manusia yang dwi-seksual menjadi gambar Allah dan secara dinamis menghadirkan Allah Pencipta/Pengatur di bumi. Berdasarkan perbedaan jenis kelamin -yang bukan perkara biologi dan fisionomi melulu, tetapi juga personal - ada suatu polaritas komplementer pada manusia. Oleh karena seksualitas manusia bukan hanya alam (natura), tetapi juga budaya (cultura), maka seksualitas itu diatur dan diarahkan lebih lanjut oleh lembaga perkawinan ciptaan ma nusia dan yang setiap kali dikonkretkan oleh mereka yang kawin. Itu berarti bahwa ada suatu hubungan antar-pribadi yang mantap dan yang mencakup penyerahan diri timbal-balik dapat lebih ada kurang menyeluruh. Hubungan antar-pribadi yang yang bebas dan dinamis itu disebutkan sebagai cinta suami-istri (amor coniugalis).

Menurut teologi Kristen, dalam Allah, tegasnya dalam keillahian, ditemukan juga suatu polaritas komplementer dan hubungan antar-pribadi, yaitu: polaritas komplementer antara Allah-Bapa dan Allah-Anak dengan hubungan antar-pribadi yang berupa Roh Kudus (cinta ilahi). Tentu saja cara bicara itu bercirikan analogi, namun kurang lebih mengenai realitas Allah.[21]

2.10.7.   Perkawinan yang beriman

Menyuarakan keyakinan bahwa di masa mendatang penginjilan bergantung pada (perkawinan dan keluarga yang benar-benar Kristen). Pengaruh kekristenan dalam masyarakat tempat pernah jaya, semakin mundur dan di lain daerah (seperti umumnya di Indonesia) kekristenan belum pernah menjadi suatu unsur yang benar-benar turut menentukan ciri-corak masyarakat. Tetapi bagaimanapun juga dalam dan melalui perkawinan serta ke luarga, daya Kerajaan Allah mendapat wujud "duniawi" dan Gereja Kristus benar-benar masuk ke dalam dunia manusia. Sebab perkawinan dan keluarga memang suatu realitas duniawi dan bukan ciptaan kekristenan atau imannya. Berabad-abad lama nya kekristenan dapat mempertahankan diri dan semakin masuk ke dalam masyarakat dengan terutama bertumpu pada perkawinan dan keluarga Kristen. Jadi mereka yang bermaksud menikah dan mereka yang sudah kawin dan berkeluarga terus secara pastoral perlu didampingi  dengan sarana yang sesuai dan memadai. Reksa pastoral mesti merata, mencakup semua dan tidak boleh menjadi eliter. Baiklah terus disadari pula bahwa sumbangan paling besar yang dapat diberikan suami istri/ayah-ibu bagi masyarakat dan paguyuban Kristen ialah keberhasilan perkawinan dan keluarganya. Jangan mereka dilibatkan dalam bermacam-macam kegiatan gerejani yang berarti perkawinan dan keluarga menjadi terbengkelai, entahlah keluarga inti atau keluarga besar. Reksa Pastoral pun harus memperhatikan situasi nyata suami-istri dan keluarga. Mereka yang hidup dan bekerja di kota, lain sekali situasinya dari pada mereka yang hidup dan bekerja di desa. Di kota suami/ayah kerap kali sepanjang hari tidak di rumah. Mengingat situasi itu, pastoral jangan mendorong suami/ayah melibatkan diri dalam ber macam-macam kegiatan gerejani di luar rumah. Mereka sudah mempunyai bermacam-macam kewajiban sosial yang menjauhkan mereka dari istri dan anak. Lain situasinya di desa. Di sana suami-istri/ayah-ibu seringkali sepanjang hari bersama di rumah dan bekerja sama. Di desa gereja sebagai badan sosio religius memainkan peranan sosial yang besar: Menyediakan penghiburan, keramaian dan sebagainya yang diberi warna religius. Dan di sana pastoral dapat saja mengorganisasikan bermacam-macam kegiatan gerejani, yang menjadi selingan dalam hidup sehari-hari yang boleh jadi agak membosankan.[22]

2.11.                    Liturgi nikah

Guna secara tepat menilai dan menyusun upacara liturgi yang membarengi awal perkawinan (nikah) beberapa hal kira nya perlu diperhatikan dan diperkembangkan. Di sini memang tidak pada tempatnya menyajikan model khusus bagi liturgi se macam. Ini kan suatu karya teologi, bukan liturgi. 1129. Pertama-tama mesti diingat bahwa perkawinan suatu realitas manusiawi, duniawi, sekular. Oleh Kristus melalui me reka yang menikah dan yang menjadi anggota Gereja Kristus, realitas kongkret (yang bukan ciptaan Gereja) dijadikan sakramen. Artinya: suatu simbol yang dalam konteks duniawi berupa simbol menghadirkan pernikahan Kristus dengan jemaah-Nya dan Allah dengan (umat) manusia. Dengan jalan itu misteri Gereja Kristus memasuki realitas manusiawi, duniawi. Wajarlah dimensi religius: segi teologis (Allah Pencipta, Penyelamat), kristologis (inkarnasi, peristiwa penyelamatan) dan segi eklesial simbol itu dieksplisitkan melalui upacara sakra mental-gerejani. Wajar pula mereka yang baru menikah sebagai dwi-tunggal diikutsertakan dalam Perjamuan Tuhan. Perjamuan Tuhan mengenangkan dan berupa simbol menghadirkan perjanjian Allah dengan (umat) manusia dan perjanjian nikah Kristus dengan jemaah-Nya. Perjanjian itu tercermin dalam perjanjian nikah anggota Gereja di bumi. Demikian pasangan baru ikut serta dalam perjamuan perjanjian, dasar penyelamatan. Pernikahan adalah semacam inisiasi yang memberi status dan peranan baru dalam masyarakat manusia dan dalam masyarakat Gereja. Seperti mereka yang baru diinisiasikan ke dalam jemaah Kristus (baptisan) segera (dapat, pantas) diikutsertakan dalam ekaristi, sedemikian pun mereka yang diinsiasasikan ke dalam suatu status baru pantas ikut serta dalam Perjamuan Tuhan. Hanya perlu diingat pula bahwa upacara gerejani kerap secara psikis dialami sebagai tempelan saja. Upacara adat) jauh lebih penting dan berdampak. Atas dasar itu kiranya boleh dinilai juga Upacara Sakramen Perkawinan baru (Ordo calebrandi matrimonium, Roma 1969; Indonesianya 1976), yang ditawarkan oleh pusat (Roma). Menurut tata upacara itu perayaan nikah (termasuk  forma ca nonica!) dapat sepenuhnya diintegrasikan ke dalam peraya an ekaristi (lebih terintegrasi dari pada upacara inisasi pada malam paskah, yang diandaikan dilangsungkan di luar gereja atau paling tidak di tempat terpisah, meskipun disaksikan semua hadirin). Perayaan itu ditempatkan pada akhir ibadat sabda, bagian pertama perayaan ekaristi. Ini suatu pembaharuan yang barangkali kurang tepat. Dalulu menikah dirayakan infacie ecclesiae, artinya: di depan gedung gereja atau paling-paling di serambi atau pada pintu masuk gereja. Begitu secara ritual jelas bahwa pernikahan (perkawinan) adalah realitas duniawi, yang melalui upacara liturgis tidak diubah ciri sekularnya.[23]

 

2.12.                    Mengucapkan Janji Perkawinan

Dalam Kejadian 24 kita menemukan suatu pernikahan yang melambangkan pernikahan Kristus dengan gereja. Dalam Perjanjian Baru kita tidak dapat menemukan sebuah ayat yang mengungkapkan bahwa pernikahan ini melambangkan pernikahan Kristus dengan gereja. Tetapi Perjanjian Baru dengan jelas mewahyukan bahwa Ishak, putra Abraham, adalah lambang Kristus sebagai keturunan Abraham yang unik (Gal. 3:16), Berdasarkan fakta. Ishak sebagai lambang Kristus, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pernikahan Ishak melambangkan pernikahan Kristus. Berhubung Alkitab adalah buku ilahi yang tersusun dari konsepsi-konsepsi ilahi, maka kita bisa menjumpai konsepsi konsepsi ini dalam berbagai catatan Alkitab. Sebagai contoh, kita semua mengenal cerita Yusuf. Meskipun Perjanjian Baru tidak mengatakan bahwa Yusuf itu melambangkan Kristus, akan tetapi setiap pembaca Alkitab pasti dapat menemukan bahwa kisah Yusuf menyerupai kisah Kristus. Beberapa guru Alkitab mengatakan bahwa kita tidak seharusnya mengiaskan sesuatu dalam Alkitab : kecuali Perjanjian Baru menunjukkan kalau itu memang suatu kiasan atau lambang dari perkara rohani tertentu. Tetapi kita tidak seharusnya mengukuhi hal ini. Meskipun Perjanjian Baru tidak mengatakan bahwa Yusuf itu lambang Kristus, namun setiap guru

Alkitab mengakui bahwa Yusuf adalah lambang Kristus yang baik. sekali. Ketika kita membaca cerita Yusuf, kita nampak bahwa telah menggambarkan kehidupan Kristus. Banyak peristiwa dalam kehidupan Yusuf, misalnya, ia dijual, mirip dengan kejadian dalam kehidupan Kristus. Sama prinsip, Ishak adalah lambang Kristus, pernikahan Ishak melambangkan pernikahan Kristus. Jadi dapat kita katakan bahwa pernikahan yang tercatat dalam Kejadian 241 melambangkan pernikahan Kristus.

Dalam Kejadian 24 terdapat empat persona penting bapa, putra, hamba, dan mempelai perempuan. Ini sangat bermakna. Pada Perjanjian Baru, kita nampak bahwa Allah Tritunggal bekerja bersama-sama untuk memperoleh seorang mempelai perempuan bagi Sang Putra. Apakah pokok Perjanjian Baru? Bila Anda menjawab bahwa pokok Perjanjian Baru adalah Yesus menjadi Juruselamat kita, maka saya akan berkata bahwa ini memang baik, tetapi belum mencakup seluruhnya. Pokok Perjanjian Baru ialah Allah Tritunggal - Bapa, Putra dan Roh bekerja bersama-sama untuk memperoleh mempelai perempuan bagi Sang Putra. Bapa merencanakan, Roh melaksanakan rencana Bapa dan Putra. menikmati apa yang direncanakan Sang Bapa dan yang dilaksanakan Sang Roh. Siapakah mempelai perempuan itu? Mempelai perempuan itu ialah sebagian umat manusia yang akan menikah dengan Sang Putra dan menjadi jodoh-Nya.[24]

III.             Hasil Wawancara

·         Wawancara dengan Pdt. Daniel Bornado Pane. S.Th

Pernikahan merupakan penyatuan seorang laki - laki dan seorang perempuan untuk membentuk sebuah keluarga dalam ikatan pernikahan. Allah adalah pengikat hubungan cinta mereka.

1. Sudah dibaptis dan sudah sidi

2. Umur minimal 18 tahun untuk perempuan dan 21 tahun untuk laki-laki.[25]

IV.             Kesimpulan

Segi penyelamatan manakah yang menjadi tampak dalam perkawinan? Sakramen-sakramen lain secara langsung menyentuh segi personal-individual orang dan hanya secara tak langsung segi sosialnya tersangkut. Secara pribadi orang di inisiasikan ke dalam jemaah Kristus, secara pribadi ia berdosa dan bertobat, secara pribadi orang menjadi petugas jemaah dan secara pribadi jatuh sakit dan menuju ke akhir hidupnya, secara pribadi orang turut makan dan minum dalam perayaan Ekaristi. Sebaliknya sakramen perkawinan memperlihatkan segi sosial penyelamata.

           Perkawinan Sebagai panggilan Allah

Lama dahulu dalam pandangan teologi dan bahkan dalam ajaran resmi Gereja, hidup perkawinan dan hidup sebagai awam dilihat sebagai status hidup yang lebih rendah dari panggilan membiara ataupun kelompok hierarki.

           Perkawinan dalam kitab suci

Ikatan perkawinan dan upacara perkawinan tentulah suatu gejala yang amat umum dalam sejarah umat manusia di ber bagai budaya, bangsa, dan agama. Dalam banyak budaya dan religi, upacara perkawinan merupakan tindakan religius. Pada agama-agama kuno di Timur Tengah, misalnya, upacara perkawinan dikaitkan dengan motif perkawinan suci dari para dewa (hierogami).

           Perkawinan sebagai ikatan sacramental

Perkawinan menurut perspektif teo-sentris dan kristologisnya. Perkawinan suami-istri kristiani merupakan ikatan sakramental yang artinya ikatan yang menjadi Simbol yang menghadirkan kasih dan kesetiaan Allah sendiri kepada umat-Nya.

VI.             Daftar pustaka

Groenen,C,Perkawinan Sakramental,Yogyakarta:KANISIUS,1993

Hadiwardoyo,Purwa,Perkawinan Dalam Tradisi Katolik,Yogyakarta: KANISIUS,1988

Huck,Gabe,Liturgi yang Anggun dan Menawan, Yogyakarta: KANISIUS,1997

Martasudjita, E,Sakramen-Sakramen Gereja,Yogyakarta: KANISIUS,2003

Napel,Henk ten,Jalan yang lebih Utama Lagi Etika perjanjian Baru, Jakarta:BPK Gunung Mulia,1991

Rachman, Rasid,Hari Raya Liturgi,Jakarta: BPK Gunung Mulia,2019

Rachman, Rasid,Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010

Sevatius, Yohanes ,Hukum Perkawinan Sakramental Dalam Gereja Katolik,Yogyakarta: KANISIUS,2019

SJ , Adolf Heuken. Persiapan Perkawinan,Yogyakarta:Kanisius, 1979

Stevenson, Kenneth. 1982. Nuptial Blessing: A Study of Christian Mariage Rites. London: Alcuin SPCK

Suryanugraha,C.H,Indah Bersahaja seni flora dan dekorasi Liturgis Semarang, KANISIUS,2019

Sumber Lain

https://www.csmedia1.com/icc-melbourne.org/pernikahan-kristen.pdf

https://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan

https://id.wikipedia.org/wiki/Cincin_pernikahan

https://kumparan.com/berita-hari-ini/memahami-prinsip-dasar-pernikahan-kristen-menurut-alkitab-1wRBMYROK6w/full

https://www.kaj.or.id/dokumen/sakramen-sakramen/sakramen-pernikahan

Journal

Denise Z. Davidson,“The History ofMarriage Through the Lens of Case Study”,Journal of Women’s History, vol.28 no.1,hal 157.

Wawancara

Pdt. Daniel Bornado Pane. S.Th, Hasil Wawancara Melalui (Whatsapp) yang dilakukan oleh Penulis.



[1] https://www.csmedia1.com/icc-melbourne.org/pernikahan-kristen.pdf diakses pada tanggal 25 November 2021. PUKUL 21:09 WIB

[2] Denise Z. Davidson,“The History ofMarriage Through the Lens of Case Study”,Journal of Women’s History, vol.28 no.1,hal 157.

[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan diakases pada tanggal 26 November 2021. PUKUL 18:18 WIB

[4] Gabe Huck,Liturgi yang Anggun dan Menawan, (Yogyakarta: KANISIUS,1997),228-229

[5] C.H.Suryanugraha,Indah Bersahaja  seni flora dan dekorasi Liturgis(Semarang, KANISIUS,2019), 69

[6] Adolf Heuken, SJ. Persiapan Perkawinan(Yogyakarta:Kanisius, 1979),hal24-25

[7] Ibid,230

[8] https://id.wikipedia.org/wiki/Cincin_pernikahan diakases pada tanggal 25 November 2021,PUKUL 22:06 WIB

[9] Rasid Rachman,Hari Raya Liturgi,(Jakarta: BPK Gunung Mulia,2019), 167

[10] Kenneth Stevenson. 1982. Nuptial Blessing: A Study of Christian Mariage Rites. London: Alcuin SPCK, p. 66-67

[11] C. Groenen,Perkawinan Sakramental(Yogyakarta:KANISIUS,1993),299-303

[12] Henk ten Napel,Jalan yang lebih Utama Lagi Etika perjanjian Baru,(Jakarta:BPK Gunung Mulia,1991), 140

[13] Purwa Hadiwardoyo,Perkawinan Dalam Tradisi Katolik,(Yogyakarta: KANISIUS   ,1988),102-103

[14] Rasid Rachman,Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),155

[15] Ibid,143

[16] Ibid,122

[18] C. Groenen,Perkawinan Sakramental(Yogyakarta:KANISIUS,1993),365-367

[19] https://www.kaj.or.id/dokumen/sakramen-sakramen/sakramen-pernikahan diakses pada tanggal 30 November 2021. PUKUL 17:20 WIB

[20] E.Martasudjita,Sakramen-Sakramen Gereja,(Yogyakarta: KANISIUS,2003),352-367

[21] C. Groenen,Perkawinan Sakramental(Yogyakarta:KANISIUS,1993), 332

[22] IBID, 448-450

[23] IBID, 451-452

[24] Yohanes Sevatius,Hukum Perkawinan Sakramental Dalam Gereja Katolik,(Yogyakarta: KANISIUS,2019), 62-63

[25] Pdt. Daniel Bornado Pane. S.Th, Hasil Wawancara Melalui (Whatsapp) yang dilakukan oleh Penulis, 26 November 2021. PUKUL 19:47 WIB

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca selengkapnya disini ya