Liturgi Pernikahan/ Perkawinan Di Gereja HKI
Liturgi
Pernikahan/ Perkawinan Di Gereja HKI
I.
Pendahuluan
Pernikahan Kristen adalah tentang komitmen untuk
memegang perjanjian cinta yang dibuat oleh suami dan istri dihadapan Allah.
Karena komitmen tersebut menunjuk kepada perjanjian cinta Allah kepada
gerejaNya. Alkitab secara bulat menyatakan bahwa hanya kematian yang dapat
memisahkan perjanjian kasih suami-istri. Bentuk perkawinan tergantung budaya
setempat bisa berbeda-beda dan tujuannya bisa berbeda-beda juga. Tapi umumnya
perkawinan itu ekslusif dan mengenal konsep perselingkuhan sebagai pelanggaran
terhadap perkawinan. Perkawinan umumnya dijalani dengan maksud untuk membentuk
keluarga. Tuhan Yesus Memberkati.
II.
Pemabahasan
2.1. Pengertian Pernikahan
Kristen
Pernikahan Kristen adalah tentang komitmen untuk
memegang perjanjian cinta yang dibuat oleh suami dan istri dihadapan Allah.
Karena komitmen tersebut menunjuk kepada perjanjian cinta Allah kepada
gerejaNya. Alkitab secara bulat menyatakan bahwa hanya kematian yang dapat
memisahkan perjanjian kasih suami-istri.[1] Pernikahan
selalu menjadi sebuah
institusi yang rumit
dan bervariasi bentuk
dan alurnya bisa bermacam-macam tergantung
dari hasrat-hasrat dan
pribadi lepas pribadi
dari dua orang yang terlibat,keluarga sahabat dan
kerabatyang ada disekelilingnya, sertakeadaan
politik, ekonomi, dan
konteks hukum dimana
mereka hidup.[2]
2.2. Pengertian
Perkawinan secara Umum
Perkawinan adalah hubungan permanen antara laki-laki
dan perempuan yang diakui sah oleh masyarakat yang bersangkutan yang
berdasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku. Bentuk perkawinan
tergantung budaya setempat bisa berbeda-beda dan tujuannya bisa berbeda-beda
juga. Tapi umumnya perkawinan itu ekslusif dan mengenal konsep perselingkuhan
sebagai pelanggaran terhadap perkawinan. Perkawinan umumnya dijalani dengan
maksud untuk membentuk keluarga. Ikatan perkawinan yang sah dibuktikan dengan
adanya dokumen berupa akta perkawinan.[3]
2.3. Tujuan Pernikahan
Tujuan upacara gerejawi adalah membangun suatu jemaat.
Umat harus merasa diri sebagai anggota dan sadar bahwa upacara gerejawi itu
merupakan ungkapan iman mereka sendiri tentang makna perkawinan. Dewasa ini,
sering kali terjadi bahwa kita memulai upacara dengan perasaan bahwa dalam
upacara ini berkumpullah jemaat yang tidak begitu bergairah: sahabat dan
kenalan dengan segala kesalahan, atau malah dengan sikap kurang beriman. Umat
seperti itulah yang sedang berhimpun dengan air mata, keluh kesah, dan harapan.
Iman dan cinta mereka masih harus dikobarkan oleh
mempelai yang meresmikan perkawinan dan disemangati oleh pelayanan pemimpin.
Iman dan cinta seperti itulah yang ada dalam diri orang yang akan merayakan
sakramen. Dengan pengertian seperti ini. tidak mungkin kedua mempelai merayakan
perkawinan ini sebagai upacara yang sudah baku dan tidak mengesan bagi mereka;
tidak mungkin mereka melihat upacara sebagai panggung tempat mereka
bersandiwara. Dalam upacara perkawinan, kedua mempelai bersama jemaat yang
berkumpul melakukan sesuatu yang melampaui segi yuridis dan kemasyarakatan.
Mereka harus membangun diri sebagai Gereja.
Kita dapat memperoleh atau kehilangan pekerjaan. Kita
dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Seorang anak menjadi dewasa
dan berpisah dengan orang tua. Semua ini merupakan saat-sat penting, saat-saat
untuk berdoa, tetapi belum tentu merupakan saat untuk mengundang jemaat
berhimpun sebagai Gereja. Perkawinan melebihi itu semua: perkawinan merupakan
peristiwa yang jauh lebih mendalam, lebih berdampak lama. Harapan, iman, dan
dukungan kita memerlukan ungkapan dalam upacara gerejawi. Bentuk-bentuk
ungkapan ini tidak ada dalam upacara kemasyarakatan dan catatan sipil. Dalam
liturgi perkawinan kita mencari tanda tanda terdalam tentang apa yang diimani
Gereja yang sedang berhimpun, yang diimani pula oleh seluruh Gereja:
puji-syukur atas semua yang sedang terjadi, kepercayaan akan rahmat Allah untuk
menyongsong hari depan, dan doa untuk mempelai, untuk seluruh Gereja, serta
untuk dunia.[4]
Perjanjian perkawinan dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk
antara mereka persekutuan seluruh hidup, yang menurut sifat khas kodratnya
terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak.[5]
Kebahagiaan bukanlah merupakan tujuan pernikahan
seperti yang sering kali ada dibenak anak
mudasebelum menikah. Kebahagiaan
ditemukan didalamperjalanan sebuahpernikahan yang berjalan diatasrel cinta
kasih Kristus. Kita tanpa
sadarakan memperalat
pasangan hidup kita untukmencapai kebahagiaan
ituapabilatujuan kita menikah
adalah bahagia.[6]
2.4. Simbol dari
pernikahan
·
Cincin
Merupakan salah satu tanda yang paling kuno untuk
mengungkapkan kesetiaan dan harapan bahwa perkawinan itu akan lestari. Berkat
untuk mempelai selayaknya merupakan kesempatan bagi semua yang hadir untuk
menyuarakan harapan-harapan mereka demi kebahagiaan mempelai berdua pada masa
yang akan datang. Kalau perkawinan dilaksanakan dalam perayaan Ekaristi, berkat
untuk mempelai dilaksankan sesudah peneguhan perkawinan.[7] Cincin pernikahan adalah salah satu simbol di dalam
pernikahan menurut tradisi Kristen Barat. Pertukaran cincin pernikahan di dalam
prosesi pernikahan dilakukan pada saat pengucapan komitmen kedua mempelai untuk
menjalani kehidupan bersama. Meskipun demikian, cincin pernikahan bukanlah
simbol utama sebab yang terpenting adalah pengucapan komitmen antara kedua
mempelai tersebut. Pertukaran cincin pernikahan tersebut adalah simbol sekunder
yang boleh ditiadakan.[8] Cincin perkawinan adalah
simbol yang membawa si pemakainya ke saat janji pernikahan pertama kali
diucapkan pada waktu lalu (benda). Pembacaan Alkitab menurut leksionari
menghantar pendengarnya untuk hadir sen diri di dalam peristiwa Kristus 2000
tahun lalu (tindakan).[9]
·
Merpati
Burung merpati dalam tradisi Kristen terutama dipahami
sebagai symbol kehadiran Roh Kudus yang mengingatkan kita pada peristiwa
baptisan Yesus oleh Yohanis Pembaptis (Mat 3:16 bdk Mrk, Luk dan Yoh). Seekor
burung merpati dengan sebuah ranting zaitun telah menjadi simbol universal
untuk perdamaian dan mengingatkan pada kisah Nuh (Kej 8:11), di mana sehelai
daun zaitun menjadi tanda bahwa air bah telah surut dan simbol untuk perjanjian
Allah dengan umat manusia dan segala ciptaan-Nya. Kadang-kadang, dua ekor
burung merpati juga digunakan sebagai simbol cinta kasih.
·
Abad ke-10 hingga abad ke-11
Di dalam abad ke-10 dan ke-11 terdapat penambahan di
dalam prosesi pemasangan cincin, yaitu pemasangan cincin disertai dengan
pemberian berkat pada cincin. Mempelai pria memasangkan cincin kepada mempelai
wanita seraya berkata,"Dia (menyebutkan nama mempelai perempuan) yang
mengenakan cincin ini boleh berada di dalam damai, kehidupan, bertumbuh di
dalam kasih, dan dikaruniakan umur panjang." Dengan demikian seolah-olah
cincin memiliki makna dalam pernikahan sebagaimana konsekrasi roti dan anggur
dalam Ekaristi.[10]
2.5. Unsur-unsur
membentuk Pernikahan
Perkawinan konkret terbentuk oleh pelbagai unsur. Keluarga
tidak diperhatikan oleh karena keluarga adalah sesuatu yang lain dari
perkawinan, meskipun berkaitan dengannya dan berpangkal pada perkawinan. Ada
unsur seksual dengan arti luas. Seksualitas manusia tidak hanya perkara biologi
dan fisiologi, alat kelamin belaka. Seksualitas turut menentukan seluruh diri
orang dan perwujud an diri orang. Diferensiasi seksual menyeluruh itu bukan
soal dan hasil pendidikan saja, tetapi berurat-berakar dalam ke pribadian
orang. Dalam hal secara konkret mewujudkan kepri badian itu, pendidikan dan
sebagainya, tentu saja berperan. Hanya berdasarkan perbedaan seksual laki-laki
dan perempuan dapat menjalin dan mewujudkan relasi yang disebutkan sebagai
perkawinan. Relasi antara manusia yang mempunyai dasar lain, yang mungkin dan
nyatanya ada, tidak dapat dikatakan "perkawinan",
meskipun barangkali ada unsur seksual di dalamnya (homo seks, lesbian). Relasi seksual antara laki-laki dan perem puan
yang dikatakan perkawinan mestilah kurang lebih mantap dan kurang lebih
meliputi kehidupan laki-laki dan perempuan yang bersangkutan. Relasi seksual
yang insidental dan sesaat saja dan hanya berlangsung di bidang seksual belaka
tidak di katakan "perkawinan".
·
Allah menjadi asal perkawninan manusia
Seluruh tradisi Yahudi-Kristen, mulai dengan Kej 1-2, mengembalikan perkawinan
manusia kepada Allah Pencipta. Berdasarkan keyakinan tersebut tradisi itu
selalu melawan ten densi dualis yang menghubungkan perkawinan dengan suatu
prinsip awali yang jahat. Hanya soalnya: Bagaimana hubungan antara perkawinan
konkret (yang ber macam-macain rupa dan bentuknya) dengan Allah Pencipta? 798.
Konsili Vatikan II mengangkat dan meneruskan tradisi tersebut. Tanpa keterangan
lebih lanjut Konsili mene gaskan: Allah Pencipta mendirikan (condere) perkawinan dan melengkapinya
dengan hukum-hukum-Nya (suis legibus in
struxit) dan mengaturnya (ordinatione
divina). Konsili tidak hanya berkata tentang perkawinan orang
Kristen-Katolik, tetapi tentang perkawinan pada umumnya, sehingga afirmasi itu
ber laku untuk semua perkawinan. Konsili berkata tentang lembaga perkawinan,
yang menjadi konkret (instauratur)
manakala ada orang yang menikah dan yang mesti mewujudkan diri sebagai
suami-istri dalam rangka lembaga yang didirikan dan diatur Allah Pencipta.
Kalau Konsili berkata tentang "hukum-hukum" Allah, maka yang dimaksud
bukan hukum moral, tetapi hukum struktural, tatanan perkawinan pada umumnya.[11]
2.6. Pernikahan
menurut Rasul Paulus
Pendirian Paulus terhadap pernikahan dapat diambil
dari I Korintus 7, akan tetapi perlu
diperingatkan bahwa Paulus tidak menyusun suatu ajaran etis mengenai perkawinan
yang dapat diberlakukan secara umum. Struktur penyusunan surat Korintus sangat dipengaruhi oleh
pertanyaan pertanyaan konkret dari jemaat, malahan ayat 1 itu, yang mengatakan bahwa adalah baik kalau orang tidak
kawin, agaknya berupa kutipan dari sepucuk surat dari jemaat tersebut kepada
Paulus (demikian pula 1 Kor 6:13; 7:26;
8:1; dan lain-lain).[12]
2.7. Perkawinan
menurut Bapa-Bapa Gereja
·
Menurut Pius XII
Sejak tahun 1930, diskusi teologis terutama ber kisar
mengenai makna cinta suami-istri. Tentu saja karena gagasan itu sudah
ditekankan oleh Pius XI dalam ensiklik "Casti Connubii", tahun 1930 itu. Ditegaskan bahwa cinta kasih
merupakan motif pokok perkawinan sebagai persekutuan hidup seluruhnya. Pada tahun 1935 terbitlah buku Herbert Doms yang
berjudul "Vom Zweck und Sinn der Ehe"
(Tentang Tujuan dan Makna Perkawinan). Dalam buku itu dika takan, bahwa orang hanya
bisa bicara tentang "tujuan perkawinan, apabila perkawinan dilihat sebagai
lembaga sosial. Kalau orang melihat perkawinan terutama sebagai persekutuan dua
pribadi, lebih tepatlah kalau ia bicara tentang "makna" perkawinan.
Lalu, harus dikatakan bahwa "makna perkawinan" ialah cinta dan
persatuan suami-istri yang menyempurna kan kedua pribadi maupun hubungan antara
kedua pribadi itu. Cinta suami-istri itu mempunyai kecenderungan menurunkan
anak, yang harus dilihat sebagai peluasan dari cinta antara suami-istri. Maka
keturunan hanya dapat disebut sebagai "tujuan perka winan", bila
perkawinan terutama dilihat sebagai lem baga sosial saja. Namun menurut Herbert Doms, perkawinan terutama harus
dilihat sebagai persekutuan hidup antarpribadi, baru kemudian sebagai lembaga.[13]
·
Johanes
Calvin
Calvin memandang pernikahan gereja secara pastoral dan
teologis. Sekalipun tidak berkepentingan dalam hal pernikahan seseorang, umat
yang menikah dilibatkan dalam liturgi. Dalam buku liturgi nikah La Forma de Confirmer les Mariages davant
l'Église des Fidèles (Tata Ibadah Peneguhan Nikah di Gereja) ditekankan
bahwa "Kebaktian nikah adalah kebaktian yang berlangsung dalam kebaktian
jemaat, yaitu sebelum khotbah, tetapi bukan pada perayaan perjamuan
kudus." Kebaktian nikah bukan kebaktian lebih istimewa atau lebih rendah
kedudukannya daripada kebaktian jemaat. Oleh karena itu, kebaktian nikah tidak
boleh dilayankan di luar kebaktian jemaat.[14]
·
Martin Luther
Dalam hal pernikahan gerejawi- juga dalam setiap
liturgi - Luther ber hadapan dengan keberbagaian praktik gereja Jerman waktu
itu. Luther mengatakan, "Lain negara, banyak cara." Oleh karena itu,
Luther mene rapkan sikap pragmatisnya secara bijaksana berdasarkan "lain
ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya". Ia tidak menekankan kesera
gaman dalam hal penyelenggaraan liturgi nikah.
Luther menghargai perbedaan ritus masing-masing.
Bahkan dikata kannya bahwa agar setiap orang tidak menghakimi orang lain yang
ber beda (Rm. 14:5 dan 1 Kor. 8:8
sebagaimana ditafsirkan oleh Luther). Baginya yang penting adalah "berpikir
dan merasa secara bersama, walaupun bertindak secara berbeda". 12 Sampai
di sini kita menyaksikan sebuah pola pikir ekumenis pada abad ke-16. Memaksakan
keseragam an dalam hal ritus nikah dan liturgi-liturgi lain akan membuat
ketidak sesuaian dan tidak oikumenis. Imanlah yang menyatukan umat, bukan
tindak-tanduk dan selera manusiawi. Sekalipun pola liturgi Luther ada lah misa
Roma, ia memberikan keleluasaan dalam melayankan ritus ritus secara berbeda.
Pernikahan adalah urusan duniawi dan bukan sakramen,
tetapi harus dilangsungkan di gereja. Peran gereja sebagai penyalur anugerah
Allah ialah melindungi pernikahan dari perzinaan. Moral adalah dasar pernikahan
bagi Luther. Pola pikir ini merupakan warisan Abad-abad Pertengahan.[15]
2.8. Liturgi
Pernikahan abad pertengahan kedua
Dari sekian banyak ritus gerejawi, pernikahan adalah
ritus yang cukup membingungkan para teolog dan Bapa Gereja - bahkan dewasa ini
merepotkan para imam dan pendeta! Disadari bahwa sejak awal masa Kekristenan,
pernikahan adalah urusan pribadi dari yang menikah Pernikahan tidak bersangkut
paut dengan gereja atau pejabat gereja. Walaupun ada saja pendapat yang
mengemukakan hal kepentingan gereja dalam pernikahan, muara dari semua polemik
tersebut adalah urusan mereka yang menikah dan keluarganya. Oleh karena itu,
selama sekitar seribu tahun pertama dalam sejarah gereja, pernikahan tidak di
liturgikan walaupun ada peran gereja atau pejabat gereja didalamnya.[16]
2.9. Memahami
Prinsip Dasar Pernikahan Kristen Menurut Alkitab
1. Pernikahan Berasal dari Allah
Pada awal mula, Allah menjadikan manusia laki-laki dan
perempuan. Ini artinya, prakarsa pernikahan pertama-tama datang dari inisiatif
Allah. Sebagaimana dikatakan dalam Kejadian
2: 18 yang berbunyi:
“TUHAN
Allah berfirman: ‘Tidak Baik, Kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan
menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.’”
2. Perkawinan Merupakan Ikatan Baru
Seseorang yang menikah meninggalkan ayah dan ibunya,
kemudian bersatu dengan istri atau suaminya. Artinya, seseorang yang sudah
menjalin pernikahan berarti sudah lepas dari ikatan lama, yaitu orangtua dan
masuk ikatan baru, yakni suami dan istri.
3. Dua Orang Menjadi Satu
Dua orang yang menikah bersatu menjadi satu daging.
Ini mengandung makna bahwa tidak ada lagi pemisah di antara suami dan istri.
4. Tidak Boleh Diceraikan Manusia
Apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh
diceraikan manusia. Dengan kata lain, mereka yang menceraikan apa yang sudah
dipersatukan oleh Allah berarti telah merusak karya Allah. Sebagaimana tercatat
dalam Matius 19:6.[17]
2.10.
Teologi Sakramen Perkawinan
2.10.1.
Sakramen Perkawinan
Segi penyelamatan manakah yang menjadi tampak dalam
perkawinan? Sakramen-sakramen lain secara langsung menyentuh segi
personal-individual orang dan hanya secara tak langsung segi sosialnya
tersangkut. Secara pribadi orang di inisiasikan ke dalam jemaah Kristus, secara
pribadi ia berdosa dan bertobat, secara pribadi orang menjadi petugas jemaah
dan secara pribadi jatuh sakit dan menuju ke akhir hidupnya, secara pribadi
orang turut makan dan minum dalam perayaan Ekaristi. Sebaliknya sakramen
perkawinan memperlihatkan segi sosial penyelamatan, segi personal hanya secara
tak langsung tersentuh. Memang orang selalu kawin berdua, tidak mungkin secara
pribadi dan perorangan saja. Perkawinan terletak dalam relasi wajar dan mantap
antara laki-laki dan perempuan sebagai poler dan komplementer. Relasi itu
adalah sesuatu yang wajar, bukan ciptaan jemaah atau iman jemaah, namun sejak
awal diliputi penyelamatan. Dalam rangka jemaah Kristus, dimensi historis dan
jelas penyelamatan itu, relasi wajar suami-istri memper lihatkan bahwa
penyelamatan itu suatu realitas relasional. Penyelamatan memang merupakan suatu
relasi antara Allah dan manusia yang menyatu dengan tidak kehilangan identitas
dan individualitasnya. Dan modelnya ialah Yesus Kristus, yang secara definitif
di dalam diri-Nya yang satu menyatukan keilahian dan kemanusiaan yang tidak
tercampur dan tidak terpi sahkan, tidak kehilangan ciri distinktifnya. Dalam
jemaah pun penyelamatan merupakan relasi oleh karena dalam jemaah yang tercipta
oleh tawaran Allah dalam Kristus Penyelamat, penyelamatan diterima oleh mereka
yang membentuk jemaah. Relasi Allah serta Kristus dan jemaah suatu relasi poler
dan komplementer. Tanpa tawaran penyelamatan dari pihak Allah dalam Kristus tidak
ada jemaah Kristus, paling-paling satu kelompok sosial; tanpa jemaah tawaran
penyelamatan dari pihak Allah dalam Kristus tidak secara historis-manusiawi
hadir di dunia.
Masih ada ciri lain yang menjadi ciri khas sakramen
per kawinan dan kembali tampil. Perkawinan wajar, suatu realitas yang
seluruhnya duniawi, menjadi sakramen Kristus. Oleh kare na itu sakramen
perkawinan menjadi tanda dan wujud paling jelas bahwa relasi penyelamatan Kristus
dengan Gereja sebagai dimensi historis relasi penyelamatan antara Allah dan (umat) manusia benar-benar memasuki
dunia, menjadi sekular. Dan dengan demikian dalam sakramen perkawinan misteri
Gereja paling jelas melampaui lembaga Gereja, Sakramen lain dari segi retualnya
(upacara) ciptaan lembaga Gereja dan
dalam rangka lembaga Gereja memperlihatkan misteri Gereja. Tetapi sakra men
perkawinan bukan ciptaan Gereja dan bukan suatu upacara gerejani. Perkawinan
ditemukan, lalu dalam lembaga Gereja menjadi sakramen. Hal itu biasanya
dikatakan dengan penjelas an bahwa perkawinan diangkat menjadi sakramen. Tentu
saja Kristuslah yang mengangkat, tetapi dengan menerimanya ber sama manusia ke
dalam jemaat-Nya yang menjadi sakramen umum penyelamatan (misteri) Kristus.[18] Sakramenpernikahanadalahsebuah komitmen
abadi seorang laki-laki
dewasa dengan seorang wanita dewasa untuk sebuah kemitraan abadi yang
berjalan diatas relcinta-kasih yang menyatukan
Kristus dengan gereja.Suatu ikatan
yang bersifat permanen dan eksklusifditetapkan di antara dua orang
yang menikah.[19]
2.10.2.
Perkawinan Sebagai panggilan Allah
Lama dahulu dalam pandangan teologi dan bahkan dalam
ajaran resmi Gereja, hidup perkawinan dan hidup sebagai awam dilihat sebagai
status hidup yang lebih rendah dari panggilan membiara ataupun kelompok
hierarki. Pandangan ini telah di tinggalkan dan dikoreksi dalam alam ajaran
Konsili Vatikan II. Perkawinan juga merupakan panggilan suci dan luhur, yang
tidak lebih rendah dari panggilan hidup lainnya. Perkawinan merupakan salah
satu bentuk panggilan kehidupan untuk menggapai kesucian dan kekudusan yang
menjadi panggilan semua orang beriman. "Jadi, bagi semua jelaslah bahwa
semua orang kristiani.
2.10.3.
Perkawinan dalam kitab suci
Ikatan perkawinan dan upacara perkawinan tentulah
suatu gejala yang amat umum dalam sejarah umat manusia di ber bagai budaya,
bangsa, dan agama. Dalam banyak budaya dan religi, upacara perkawinan merupakan
tindakan religius. Pada agama-agama kuno di Timur Tengah, misalnya, upacara perkawinan
dikaitkan dengan motif perkawinan suci dari para dewa (hierogami). Melalui perkawinan laki-laki dan perempuan, diha
dirkanlah suatu pendamaian kosmik yang pada dasarnya terdiri atas dua kutub:
terang dan gelap, siang dan malam, hidup dan mati, dan seterusnya. Tidak jarang
dalam agama-agama kafir, perkawinan para dewa itu diungkapkan dalam upacara di
kuil, di mana hubungan seksual antara para dewa itu dihadirkan melalui hubungan
seksual wakil-wakilnya di kuil (imam dan gadis-gadis kuil sebagai
pelacur-pelacur suci). Tentu saja praktek ini dikutuk dan dikecam oleh
Perjanjian Lama (Ul 23:17-18).
2.10.4.
Perkawinan sebagai ikatan sacramental
Di sini kita membahas perkawinan menurut perspektif
teo-sentris dan kristologisnya. Perkawinan suami-istri kristiani merupakan
ikatan sakramental yang artinya ikatan yang menjadi Simbol yang menghadirkan
kasih dan kesetiaan Allah sendiri kepada umat-Nya. Persekutuan yang dibentuk
oleh perkawinan dengan bagus menandakan hubungan yang tak terpisahkan antara
Allah dan umat-Nya. Itulah sebabnya kita dapat memahami mengapa perkawinan
dijadikan simbol relasi Yahwe dengan
umat Israel yang berelasi itu tidak dengan
tataran yang sama, tetapi ada nilai luhur yang me mang melekat dalam kehidupan
perkawinan.
2.10.5.
Perkawinan sebagai sel Gereja
Ciri eklesiologis tampak dengan jelas dalam LG 11 yang
menyebut keluarga sebagai Gereja-keluarga (Hauskirche
atau ecclesiola). Sebaiknya kita
memahami latar belakang eklesiologi sebelumnya. Berabad-abad lamanya sebelum
Konsili Vatikan II, siapa yang dimaksudkan dengan Gereja tidak lain adalah
hierarki, yakni Sri Paus, para uskup, dan imam. Bahkan dalam masa pole mik
antara Gereja Katolik dan Reformasi, Gereja Katolik berpen dapat waktu itu
bahwa yang namanya Gereja tidak lain ialah Gereja Katolik Roma, dengan mana Sri
Paus sebagai pemimpin nya. Konsili Vatikan II merupakan konsili Gereja yang
pertama yang berbicara mengenai Gereja secara komprehensif dan men dalam. Diri
dan identitas Gereja direfleksikan kembali menurut terang Kitab Suci dan
pandangan para Bapa Gereja.[20]
2.10.6.
Ciri sacramental perkawinan wajar
Perkawinan wajar yang terbentuk oleh keempat unsur
tersebut boleh dikatakan mempunyai ciri sakramental, sehingga dalam rangka
Gereja Kristus perkawinan itulah yang menjadi sakramen. Dengan kata sakramental
dimaksudkan bahwa perkawinan wajar menunjuk kepada suatu realitas ilahi dan
berupa tanda menghadirkan realitas itu di dunia. Dan itu pun dengan cara
khusus, berbeda dengan makhluk-makhluk lain yang juga mempunyai ciri
sakramental.
Teologi tentang manusia sebagai gambar Allah, yang ber
dasarkan Kej 1:26-27 ada relevansinya
bagi perkawinan manusia. Umat manusia yang dwi-seksual menjadi gambar Allah dan
secara dinamis menghadirkan Allah Pencipta/Pengatur di bumi. Berdasarkan
perbedaan jenis kelamin -yang bukan perkara biologi dan fisionomi melulu,
tetapi juga personal - ada suatu polaritas komplementer pada manusia. Oleh
karena seksualitas manusia bukan hanya alam (natura), tetapi juga budaya (cultura),
maka seksualitas itu diatur dan diarahkan lebih lanjut oleh lembaga perkawinan
ciptaan ma nusia dan yang setiap kali dikonkretkan oleh mereka yang kawin. Itu
berarti bahwa ada suatu hubungan antar-pribadi yang mantap dan yang mencakup
penyerahan diri timbal-balik dapat lebih ada kurang menyeluruh. Hubungan
antar-pribadi yang yang bebas dan dinamis itu disebutkan sebagai cinta
suami-istri (amor coniugalis).
Menurut teologi Kristen, dalam Allah, tegasnya dalam
keillahian, ditemukan juga suatu polaritas komplementer dan hubungan
antar-pribadi, yaitu: polaritas komplementer antara Allah-Bapa dan Allah-Anak
dengan hubungan antar-pribadi yang berupa Roh Kudus (cinta ilahi). Tentu saja cara bicara itu bercirikan analogi, namun
kurang lebih mengenai realitas Allah.[21]
2.10.7.
Perkawinan yang
beriman
Menyuarakan keyakinan bahwa di masa mendatang
penginjilan bergantung pada (perkawinan dan keluarga yang benar-benar Kristen).
Pengaruh kekristenan dalam masyarakat tempat pernah jaya, semakin mundur dan di
lain daerah (seperti umumnya di Indonesia) kekristenan belum pernah menjadi
suatu unsur yang benar-benar turut menentukan ciri-corak masyarakat. Tetapi
bagaimanapun juga dalam dan melalui perkawinan serta ke luarga, daya Kerajaan
Allah mendapat wujud "duniawi"
dan Gereja Kristus benar-benar masuk ke dalam dunia manusia. Sebab perkawinan
dan keluarga memang suatu realitas duniawi dan bukan ciptaan kekristenan atau
imannya. Berabad-abad lama nya kekristenan dapat mempertahankan diri dan
semakin masuk ke dalam masyarakat dengan terutama bertumpu pada perkawinan dan
keluarga Kristen. Jadi mereka yang
bermaksud menikah dan mereka yang sudah kawin dan berkeluarga terus secara
pastoral perlu didampingi dengan sarana
yang sesuai dan memadai. Reksa pastoral mesti merata, mencakup semua dan tidak
boleh menjadi eliter. Baiklah terus disadari pula bahwa sumbangan paling besar
yang dapat diberikan suami istri/ayah-ibu bagi masyarakat dan paguyuban Kristen
ialah keberhasilan perkawinan dan keluarganya. Jangan mereka dilibatkan dalam
bermacam-macam kegiatan gerejani yang berarti perkawinan dan keluarga menjadi
terbengkelai, entahlah keluarga inti atau keluarga besar. Reksa Pastoral pun
harus memperhatikan situasi nyata suami-istri dan keluarga. Mereka yang hidup
dan bekerja di kota, lain sekali situasinya dari pada mereka yang hidup dan
bekerja di desa. Di kota suami/ayah kerap kali sepanjang hari tidak di rumah.
Mengingat situasi itu, pastoral jangan mendorong suami/ayah melibatkan diri
dalam ber macam-macam kegiatan gerejani di luar rumah. Mereka sudah mempunyai
bermacam-macam kewajiban sosial yang menjauhkan mereka dari istri dan anak.
Lain situasinya di desa. Di sana suami-istri/ayah-ibu seringkali sepanjang hari
bersama di rumah dan bekerja sama. Di desa gereja sebagai badan sosio religius
memainkan peranan sosial yang besar: Menyediakan penghiburan, keramaian dan sebagainya
yang diberi warna religius. Dan di sana pastoral dapat saja mengorganisasikan
bermacam-macam kegiatan gerejani, yang menjadi selingan dalam hidup sehari-hari
yang boleh jadi agak membosankan.[22]
2.11.
Liturgi nikah
Guna secara tepat menilai dan menyusun upacara liturgi
yang membarengi awal perkawinan (nikah)
beberapa hal kira nya perlu diperhatikan dan diperkembangkan. Di sini memang
tidak pada tempatnya menyajikan model khusus bagi liturgi se macam. Ini kan
suatu karya teologi, bukan liturgi. 1129. Pertama-tama mesti diingat bahwa
perkawinan suatu realitas manusiawi, duniawi, sekular. Oleh Kristus melalui me
reka yang menikah dan yang menjadi anggota Gereja Kristus, realitas kongkret
(yang bukan ciptaan Gereja) dijadikan sakramen. Artinya: suatu simbol yang
dalam konteks duniawi berupa simbol menghadirkan pernikahan Kristus dengan
jemaah-Nya dan Allah dengan (umat)
manusia. Dengan jalan itu misteri Gereja Kristus memasuki realitas manusiawi,
duniawi. Wajarlah dimensi religius: segi teologis (Allah Pencipta, Penyelamat), kristologis (inkarnasi, peristiwa penyelamatan) dan segi eklesial simbol itu
dieksplisitkan melalui upacara sakra mental-gerejani. Wajar pula mereka yang baru
menikah sebagai dwi-tunggal diikutsertakan dalam Perjamuan Tuhan. Perjamuan
Tuhan mengenangkan dan berupa simbol menghadirkan perjanjian Allah dengan
(umat) manusia dan perjanjian nikah Kristus dengan jemaah-Nya. Perjanjian itu
tercermin dalam perjanjian nikah anggota Gereja di bumi. Demikian pasangan baru
ikut serta dalam perjamuan perjanjian, dasar penyelamatan. Pernikahan adalah
semacam inisiasi yang memberi status dan peranan
baru dalam masyarakat manusia dan dalam masyarakat Gereja. Seperti mereka yang
baru diinisiasikan ke dalam jemaah Kristus (baptisan)
segera (dapat, pantas) diikutsertakan dalam ekaristi, sedemikian pun mereka
yang diinsiasasikan ke dalam suatu status baru pantas ikut serta dalam
Perjamuan Tuhan. Hanya perlu diingat pula bahwa upacara gerejani kerap secara
psikis dialami sebagai tempelan saja. Upacara adat) jauh lebih penting dan
berdampak. Atas dasar itu kiranya boleh dinilai juga Upacara Sakramen
Perkawinan baru (Ordo calebrandi
matrimonium, Roma 1969; Indonesianya 1976), yang ditawarkan oleh pusat
(Roma). Menurut tata upacara itu perayaan nikah (termasuk forma ca
nonica!) dapat sepenuhnya diintegrasikan ke dalam peraya an ekaristi (lebih
terintegrasi dari pada upacara inisasi pada malam paskah, yang diandaikan
dilangsungkan di luar gereja atau paling tidak di tempat terpisah, meskipun
disaksikan semua hadirin). Perayaan itu ditempatkan pada akhir ibadat sabda,
bagian pertama perayaan ekaristi. Ini suatu pembaharuan yang barangkali kurang
tepat. Dalulu menikah dirayakan infacie ecclesiae, artinya: di depan gedung
gereja atau paling-paling di serambi atau pada pintu masuk gereja. Begitu
secara ritual jelas bahwa pernikahan (perkawinan)
adalah realitas duniawi, yang melalui upacara liturgis tidak diubah ciri
sekularnya.[23]
2.12.
Mengucapkan Janji Perkawinan
Dalam Kejadian 24 kita menemukan suatu pernikahan yang
melambangkan pernikahan Kristus dengan gereja. Dalam Perjanjian Baru kita tidak
dapat menemukan sebuah ayat yang mengungkapkan bahwa pernikahan ini
melambangkan pernikahan Kristus dengan gereja. Tetapi Perjanjian Baru dengan
jelas mewahyukan bahwa Ishak, putra Abraham, adalah lambang Kristus sebagai
keturunan Abraham yang unik (Gal. 3:16),
Berdasarkan fakta. Ishak sebagai lambang Kristus, kita dapat menarik kesimpulan
bahwa pernikahan Ishak melambangkan pernikahan Kristus. Berhubung Alkitab
adalah buku ilahi yang tersusun dari konsepsi-konsepsi ilahi, maka kita bisa
menjumpai konsepsi konsepsi ini dalam berbagai catatan Alkitab. Sebagai contoh,
kita semua mengenal cerita Yusuf. Meskipun Perjanjian Baru tidak mengatakan
bahwa Yusuf itu melambangkan Kristus, akan tetapi setiap pembaca Alkitab pasti
dapat menemukan bahwa kisah Yusuf menyerupai kisah Kristus. Beberapa guru
Alkitab mengatakan bahwa kita tidak seharusnya mengiaskan sesuatu dalam Alkitab
: kecuali Perjanjian Baru menunjukkan kalau itu memang suatu kiasan atau
lambang dari perkara rohani tertentu. Tetapi kita tidak seharusnya mengukuhi
hal ini. Meskipun Perjanjian Baru tidak mengatakan bahwa Yusuf itu lambang
Kristus, namun setiap guru
Alkitab mengakui bahwa Yusuf adalah lambang Kristus
yang baik. sekali. Ketika kita membaca cerita Yusuf, kita nampak bahwa telah
menggambarkan kehidupan Kristus. Banyak peristiwa dalam kehidupan Yusuf,
misalnya, ia dijual, mirip dengan kejadian dalam kehidupan Kristus. Sama
prinsip, Ishak adalah lambang Kristus, pernikahan Ishak melambangkan pernikahan
Kristus. Jadi dapat kita katakan bahwa pernikahan yang tercatat dalam Kejadian
241 melambangkan pernikahan Kristus.
Dalam Kejadian
24 terdapat empat persona penting bapa, putra, hamba, dan mempelai
perempuan. Ini sangat bermakna. Pada Perjanjian Baru, kita nampak bahwa Allah
Tritunggal bekerja bersama-sama untuk memperoleh seorang mempelai perempuan
bagi Sang Putra. Apakah pokok Perjanjian Baru? Bila Anda menjawab bahwa pokok
Perjanjian Baru adalah Yesus menjadi Juruselamat kita, maka saya akan berkata
bahwa ini memang baik, tetapi belum mencakup seluruhnya. Pokok Perjanjian Baru
ialah Allah Tritunggal - Bapa, Putra dan Roh bekerja bersama-sama untuk
memperoleh mempelai perempuan bagi Sang Putra. Bapa merencanakan, Roh
melaksanakan rencana Bapa dan Putra. menikmati apa yang direncanakan Sang Bapa
dan yang dilaksanakan Sang Roh. Siapakah mempelai perempuan itu? Mempelai
perempuan itu ialah sebagian umat manusia yang akan menikah dengan Sang Putra
dan menjadi jodoh-Nya.[24]
III.
Hasil Wawancara
·
Wawancara dengan Pdt. Daniel Bornado Pane. S.Th
Pernikahan merupakan penyatuan seorang laki - laki dan
seorang perempuan untuk membentuk sebuah keluarga dalam ikatan pernikahan. Allah
adalah pengikat hubungan cinta mereka.
1. Sudah dibaptis dan sudah sidi
2. Umur minimal 18 tahun untuk perempuan dan 21 tahun
untuk laki-laki.[25]
IV.
Kesimpulan
Segi penyelamatan manakah yang menjadi tampak dalam
perkawinan? Sakramen-sakramen lain secara langsung menyentuh segi
personal-individual orang dan hanya secara tak langsung segi sosialnya
tersangkut. Secara pribadi orang di inisiasikan ke dalam jemaah Kristus, secara
pribadi ia berdosa dan bertobat, secara pribadi orang menjadi petugas jemaah
dan secara pribadi jatuh sakit dan menuju ke akhir hidupnya, secara pribadi
orang turut makan dan minum dalam perayaan Ekaristi. Sebaliknya sakramen
perkawinan memperlihatkan segi sosial penyelamata.
• Perkawinan
Sebagai panggilan Allah
Lama
dahulu dalam pandangan teologi dan bahkan dalam ajaran resmi Gereja, hidup
perkawinan dan hidup sebagai awam dilihat sebagai status hidup yang lebih
rendah dari panggilan membiara ataupun kelompok hierarki.
• Perkawinan
dalam kitab suci
Ikatan
perkawinan dan upacara perkawinan tentulah suatu gejala yang amat umum dalam
sejarah umat manusia di ber bagai budaya, bangsa, dan agama. Dalam banyak
budaya dan religi, upacara perkawinan merupakan tindakan religius. Pada
agama-agama kuno di Timur Tengah, misalnya, upacara perkawinan dikaitkan dengan
motif perkawinan suci dari para dewa (hierogami).
• Perkawinan
sebagai ikatan sacramental
Perkawinan menurut perspektif teo-sentris dan kristologisnya. Perkawinan suami-istri kristiani merupakan ikatan sakramental yang artinya ikatan yang menjadi Simbol yang menghadirkan kasih dan kesetiaan Allah sendiri kepada umat-Nya.
VI.
Daftar pustaka
Groenen,C,Perkawinan Sakramental,Yogyakarta:KANISIUS,1993
Hadiwardoyo,Purwa,Perkawinan Dalam Tradisi Katolik,Yogyakarta:
KANISIUS,1988
Huck,Gabe,Liturgi yang Anggun dan Menawan, Yogyakarta: KANISIUS,1997
Martasudjita, E,Sakramen-Sakramen Gereja,Yogyakarta: KANISIUS,2003
Napel,Henk ten,Jalan yang lebih Utama Lagi Etika perjanjian Baru, Jakarta:BPK
Gunung Mulia,1991
Rachman, Rasid,Hari Raya Liturgi,Jakarta: BPK Gunung Mulia,2019
Rachman, Rasid,Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2010
Sevatius, Yohanes ,Hukum Perkawinan Sakramental Dalam Gereja
Katolik,Yogyakarta: KANISIUS,2019
SJ , Adolf Heuken. Persiapan Perkawinan,Yogyakarta:Kanisius,
1979
Stevenson, Kenneth. 1982. Nuptial Blessing: A Study of Christian
Mariage Rites. London: Alcuin SPCK
Suryanugraha,C.H,Indah Bersahaja seni flora dan dekorasi Liturgis Semarang,
KANISIUS,2019
Sumber Lain
https://www.csmedia1.com/icc-melbourne.org/pernikahan-kristen.pdf
https://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan
https://id.wikipedia.org/wiki/Cincin_pernikahan
https://www.kaj.or.id/dokumen/sakramen-sakramen/sakramen-pernikahan
Journal
Denise Z. Davidson,“The History ofMarriage Through the Lens of
Case Study”,Journal of Women’s History, vol.28 no.1,hal 157.
Wawancara
Pdt. Daniel Bornado Pane. S.Th, Hasil Wawancara Melalui (Whatsapp) yang
dilakukan oleh Penulis.
[1]
https://www.csmedia1.com/icc-melbourne.org/pernikahan-kristen.pdf
diakses pada tanggal 25 November 2021. PUKUL 21:09 WIB
[2]
Denise Z. Davidson,“The History
ofMarriage Through the Lens of Case Study”,Journal of Women’s History,
vol.28 no.1,hal 157.
[3]
https://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan
diakases pada tanggal 26 November 2021. PUKUL 18:18 WIB
[4]
Gabe Huck,Liturgi yang Anggun dan
Menawan, (Yogyakarta: KANISIUS,1997),228-229
[5]
C.H.Suryanugraha,Indah Bersahaja seni flora dan dekorasi Liturgis(Semarang,
KANISIUS,2019), 69
[6]
Adolf Heuken, SJ. Persiapan Perkawinan(Yogyakarta:Kanisius,
1979),hal24-25
[7]
Ibid,230
[8]
https://id.wikipedia.org/wiki/Cincin_pernikahan
diakases pada tanggal 25 November 2021,PUKUL 22:06 WIB
[9]
Rasid Rachman,Hari Raya Liturgi,(Jakarta:
BPK Gunung Mulia,2019), 167
[10]
Kenneth Stevenson. 1982. Nuptial
Blessing: A Study of Christian Mariage Rites. London: Alcuin SPCK, p. 66-67
[11]
C. Groenen,Perkawinan Sakramental(Yogyakarta:KANISIUS,1993),299-303
[12]
Henk ten Napel,Jalan yang lebih Utama
Lagi Etika perjanjian Baru,(Jakarta:BPK Gunung Mulia,1991), 140
[13]
Purwa Hadiwardoyo,Perkawinan Dalam
Tradisi Katolik,(Yogyakarta: KANISIUS ,1988),102-103
[14]
Rasid Rachman,Pembimbing ke dalam Sejarah
Liturgi,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),155
[15]
Ibid,143
[16]
Ibid,122
[17]
https://kumparan.com/berita-hari-ini/memahami-prinsip-dasar-pernikahan-kristen-menurut-alkitab-1wRBMYROK6w/full
diakases pada tanggal 30 November 2021. PUKUL 5:25WIB
[18]
C. Groenen,Perkawinan Sakramental(Yogyakarta:KANISIUS,1993),365-367
[19]
https://www.kaj.or.id/dokumen/sakramen-sakramen/sakramen-pernikahan
diakses pada tanggal 30 November 2021. PUKUL 17:20 WIB
[20]
E.Martasudjita,Sakramen-Sakramen Gereja,(Yogyakarta:
KANISIUS,2003),352-367
[21]
C. Groenen,Perkawinan Sakramental(Yogyakarta:KANISIUS,1993),
332
[22]
IBID, 448-450
[23]
IBID, 451-452
[24]
Yohanes Sevatius,Hukum Perkawinan
Sakramental Dalam Gereja Katolik,(Yogyakarta: KANISIUS,2019), 62-63
[25]
Pdt. Daniel Bornado Pane. S.Th, Hasil Wawancara
Melalui (Whatsapp) yang dilakukan oleh Penulis, 26 November 2021. PUKUL
19:47 WIB