SUATU TINJUAN ETIKA KRISTEN TERHADAP GOLPUT

 

I.                   Pendahuluan

Jika membahas mengenai politik maka partisipasi politik merupakan andalan utama dari dinamika perubahan dan kebebasan dalam demokrasi. Oleh karena itu, pemilihan umum juga merupakan tindakan politik yang sudah ada dan diberikan tanggunng jawab kepada rakyat. Dalam pemilihan umum, rakyat bebas memilih sesuai dari keinginannya, maka itulah yang memunculkan seuatu gerakan yang dinamakan Golput. Golongan putih atau yang biasa disebut golput merupakan bentuk dari partisipasi politik kolektif, yaitu suatu kegiatan warga negara yang dilakukan secara serentak untuk mempengaruhi penguasa, misalnya seperti Pemilu. Golput juga merupakan bentuk dari partisipasi politik konvensional, yaitu dalam pemberian suara atau voting.

 

II.                Pembahasan

2.1. Pemilihan Umum (Pemilu)

2.1.1.      Pengertian Pemilihan Umum

Pemilihan umum yang kemudian disingkat menjadi pemilu, dan selanjutnya kata pemilu begitu akrab dengan masalah politik dan pergantian pemimpin, karena pemilu, politik dan pergantian pemimpin saling berkaitan. Pemilu yang diselenggarakan tidak lain adalah masalah politik yang berkaitan dengan masalah pergantian pemimpin.

2.1.2.      Pengertian Politik

Di dalam perkembangannya, pengertian politik semakin meluas dan tidak mungkin memperoleh makna tunggal. Bahkan kehadirannya dalam khasanah ilmu pengetahuan di bidang ilmu-ilmu sosial telah menimbulkan perbedaan di kalangan ahli-ahli politik. Miriam Budi arjo misalnya mengatakan bahwa politik sebagai ilmu merupakan ilmu yang masih muda dan baru berkembang pada akhir abad ke 19. Sementara itu ahli lain, William Ebenstein justru dengan tegas mengatakan yang sebaliknya: it is the oldest science!

2.1.3.      Sistem Politik

Dalam berbagai definisi politik yang diuraikan di atas, sistem politik di suatu negara atau bentuk negara itu sendiri merupakan perhatian pokok.

·         Demokarsi

Definisi demokrasi yang paling ringkas tetapi memiliki makna yang paling dalam dan terbaik diberikan Abraham Lincoln melalui pidatonya di Gettysburg tahun 1863, yakni: government of people, by people, for the people (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat)."

·         Aristokrasi

Aristokrasi (Yunani: aristos, berarti the best, terbaik; dan cratos yang memerintah), saat ini lebih banyak dikenakan ke dalam strata sosial ketimbang politik. Arah pergerakan politik dunia yang telah meninggalkan sistem aristokrasi menuju sistem demokrasi, mengakibatkan istilah itu tidak lagi populer di dalam bidang politik.

·         Monarki

Monarki (Yunani: monarchia, dari kata monos, artinya tunggal dan kata arche, artinya memerintah), merupakan sistem yang sangat tua dalam tatatan kenegaraan di dunia. Bentuk pemerintahan ini telah muncul sebelum masyarakat melek huruf dan tradisi catatan sejarah belum dimulai. Karena itu, tradisi pemerintahan monarki itu justru dipelajari dari mitologi dan cerita-cerita rakyat pada berbagai bangsa di dunia. Jadi, dapat dikatakan bahwa pada masyarakat primitif hanya bentuk pemerintahan monarkis yang sebenarnya dikenal dan dipraktikkan.[1]

Dalam sebuah negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu pilar utama dari sebuah proses akumulasi kehendak masyarakat. Pemilu sekaligus merupakan prosedur demokrasi untuk memilih pemimpin. Diyakini pada sebagian besar masyarakat beradab di muka bumi ini, pemilu adalah mekanisme pergantian kekuasaan (suksesi) yang paling aman, bila dibandingkan dengan cara-cara lain. Sudah barang pasti jika dikatakan, pemilu merupakan pilar utama dari sebuah demokrasi.[2]

2.1.4.      Tujuan Pemilihan Umum Terhadap Masyarakat

Tujuan dari diselenggarakannya pemilu adalah agar para wakil-wakil rakyat yang nantinya menduduki kursi pemerintahan memang benar-benar dipilih oleh rakyat, berasal dari rakyat dan akan bekerja untuk kepentingan rakyat. Demikian juga presiden dan wakil presiden.Sedangkan tujuan pemilu adalah membentuk pemerintahan baru dan perwakilan rakyat yang benar benar bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Beberapa esensi dari tujuan pemilu yang harus dicapai adalah antara lain :

-       Melaksanakan kedaulatan rakyat.

-       Sebagai perwujudan hak asasi politik rakyat.

-       Memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.

-       Melaksanakan pergantian personal pemerintahan secara damai, aman, dan tertib (secara konstitusional).

-       Menjamin kesinambungan pembangunan nasional.[3]

2.1.5.      Gereja dan Partisipasinya dalam Pemilihan Umum

-          Gereja Harus Berpartisipasi di Dalam Pemilu

Negara merupakan lembaga politik dan sekaligus menjadi lembaga keagamaan. Dengan demikian, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahan diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Ilahi", dengan keyakinan bahwa kedaulatan pemimpin berasal dan berada di "Tangan Tuhan". Sehingga pemimpin adalah wakil mandataris Allah di dunia. Sehingga bagaimana supaya pemimpin yang terpilih adalah benar benar memiliki kedaulatan yang ilahi dan memiliki kedaulatan yang berasal dari "Tangan Tuhan" adalah perjuangan dan tanggung jawab Gereja.[4]

-          Siapa dan Bagaimana Pemimpin

Pemerintah adalah lembaga yang diberikan dan ditetapkan oleh Allah Karena itu umat Kristen diperintahkan oleh Allah untuk patuh kepada pemerintah dunia. Karena pemerintah adalah "hamba Allah" untuk mengatur dan menata pemerintahan, demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan adil (Rm. 13:4). Terbentuknya pemerintahan yang adil dan teratur "memperlihatkan bahwa Allah yang baik dan setia tetap masih mau memelihara dunia yang tidak setia. Keberadaan negara dengan pemerintahnya secara khusus demi menertibkan dan menjalin terpeliharanya keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Karena itu pemerintah dengan penguasanya wajib berusaha untuk melaksanakan tugasnya sebagai hamba Allah.[5]

 

2.2. Golongan Putih (Golput)

2.2.1.      Pengertian Golput

Golput juga bisa diartikan sebagai protes atau penolakan terhadap mekanisme dan sistem yang sedang berjalan. Dalam permasalahan Golput berkata persoalan ekonomi lebih penting dalam penanganan bangsa ketimbang politik. Artinya, masyarakat lebih mengutamakan persoalan piring nasi. Tingkat pemenuhan kebutuhan pangan menjadi lebih penting dibanding dengan persoalan penggunaan haknya dalam konstelasi politik. golput juga dapat disebabkab oleh berbagai faktor antara lain kegagalan peran negara, demokrasi tanpa subtansi, serta pemilu yang tidak bermanfaat langsung kepada rakyat.[6]

2.2.2.      Bentuk-bentuk Golput

-          Golput Ideologis

Golput ideologis, yakni segala jenis penolakan atas apapun produk sistem ketatanegaraan hari ini. Golput jenis ini mirip dengan Golput era 1970-an, yakni semacam gerakan anti-state, ketika state dianggap hanyalah bagian korporatis dari sejumlah elite terbatas yang tidak punya legitimasi kedaulatan rakyat. Bagi Golput jenis ini, produk UU sekarang, termasuk UU pemilu, hanyalah bagian dari rekayasa segolongan orang yang selama ini mendapatkan keistimewaan dan hak-hak khusus. Sistem Pemilu 1999, sebagaimana diketahui, hanyalah memilih tanda gambar sehingga rakyat tidak bisa memilih orang. Demokrasi berlangsung dalam wilayah abu-abu dan semu.

-          Golput Pragmatis

Golput pragmatis, yakni Golput yang berdasarkan kalkulasi rasional betapa ada atau tidak ada pemilu, ikut atau tidak ikut memilih, tidak akan berdampak atas diri si pemilih. Sikap mereka setengah-setengah memandang proses pemilihan suara pada hari H, antara percaya dan tidak percaya.

-          Golput Politis

Golput politis, yakni Golput yang dilakukan akibat pilihan-pilihan politik. Kelompok ini masih percaya kepada negara, juga percaya kepada pemilu, tetapi memilih Golput akibat preferensi politiknya berubah atau akibat sistemnya secara sebagian merugikan mereka.

-          Golput awam

Kelompok Golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja.[7]

2.2.3.      Faktor Penyebab Golput

-          Faktor Administratif

Faktor adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek adminstrasi yang mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki identitas kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih tidak bisa ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan hak pilih jika tidak terdaftar sebagai pemilih. Kasus pemilu legislatif 2009 adalah buktinya banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak bisa ikut dalam pemilu karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Jika kondisi yang seperti ini terjadi maka secara otomatis masyarakat akan tergabung kedalam kategori golput.Faktor berikut yang menjadi penghalang dari aspek administrasi adalah permasalahan kartu identitas. Masih ada masyarakat tidak memilki KTP. Jika masyarakat tidak memiliki KTP maka tidak akan terdaftar di DPT (Daftar Pemimilih Tetap) karena secara administtaif KTP yang menjadi rujukkan dalam mendata dan membuat DPT.

-          Faktor Sosialisasi

Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan dalam rangka memenimalisir golput. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur pemilu legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan yang lebih kecil RT/ RW. Terlepas dari itu semua penduduk di Indonesia sebagai besar berada di pedesaan maka menyebar luaskan informasi pemilu dinilai penting, apalagi bagi masyarakat yang jauh dari akses transportasi dan informasi, maka sosiliasi dari mulut ke mulut menjadi faktor kunci mengurangi angka golput.

-          Faktor Teknis

Faktor teknis yang dimaksud ialah adanya kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga menghalanginya menggunakan hak pilih. Seperti pada saat  hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya.[8]

2.2.4.      Dampak Golput dalam Pemilu

Dampak dari golput adalah, berpotensi untuk merusak tatanan demokrasi yang telah lama berjalan. Berpartisipasi aktif sebagai pemilih sejatinya merupakan wujud penyaluran aspirasi masyarakat. Di mana hal tersebut ikut membantu mewujudkan nilai-nilai demokrasi sebagai warga negara Indonesia yang bertanggungjawab. Jika golput lebih tinggi dibanding mereka yang ikut memilih, negara akan menanggung kerugian karena dianggap gagal mengajak rakyatnya untuk aktif memilih pemimpinnya.

2.3. Pandangan Alkitab tentang Golput

Pertama, etika Kristen bukan masalah boleh atau tidak, tetapi membangun atau tidak (1Kor. 6:12; 10:23). Apa yang diperbolehkan secara logis atau teologis belum tentu harus dilakukan, terutama jika tindakan itu tidak membawa manfaat bagi orang lain atau membelenggu orang tersebut. Antara pemerintahan yang (terbukti) relatif bersih dengan yang menguatirkan (walaupun belum terbukti di depan). Jika seseorang memikirkan untuk golput, dia perlu menanyakan manfaat tindakan itu bagi kemanusiaan.

Kedua, orang percaya diperintahkan untuk mengupayakan kesejahteraan kota dan bangsa (Yer. 29:7). Ada banyak cara untuk melakukannya. Kita mungkin bisa berdoa syafaat bagi para pemimpin (1Tim. 2:1-4). Perintah untuk berkontribusi seperti ini tampaknya sulit diselaraskan dengan pilihan untuk golput.

Ketiga, Alkitab memberikan gambaran yang memadai tentang keadaan sosial yang baik. Allah menghendaki keadilan, kesetiaan, dan kerendah hatian (Mik. 6:8). Setiap orang perlu mengasihi sesamanya, tidak peduli keragaman etnis atau agama yang ada (Luk. 10:30-37). Orang-orang asing dan kaum marjinal perlu diperhatikan (Kel. 22:21; 39:9). Tidak ada pembedaan antara orang asli dan asing (Kel. 12:49). Jika orang Kristen memilih untuk golput, mereka sedang menutup mata terhadap keadilan.[9]

Dalam Perjanjian Lama, ada kisah tentang pemanggilan imam. Allah mengangkat Imam sebagai pemimpin ibadah yang menghubungkan antara manusia dengan Allah. Dalam hal ini kehendak dan kreatifitas manusia bukan hanya diikut-sertakan untuk memikirkan apa yang baik bagi diri, sesama dan lingkungan tetapi juga dalam kepentingan religius. Imam adalah simbol bahwa manusia mampu memahami apa yang baik dan berkenaan bagi Allah. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau memikirkan apa yang berkenaan bagi Allah. Kisah tentang pengangkatan raja. Pengangkatan raja secara politis adalah sebagai simbol pengikut-sertaan manusia dalam pemerintahanNya. Allah tidak hanya mengikutsertakan manusia untuk mengetahui yang baik tetapi melaksanakannya secara praktis dalam mewujudkan kerajaan Allah di bumi. Keterlibatan manusia sebagai mitra Allah dalam mewujudkan kerajaanNya adalah suatu anugerah yang sangat besar bagi manusia. Jadi seorang raja harus tetap berjalan dalam bingkai merealisasikan rencana dan kehendak Allah yang memilihnya.[10]

2.4. Tinjauan Etika Kristen terhadap Golput dalam Pemilu

Tujuan politik adalah pengambilan keputusan yang menyangkut paut segala segi kehidupan masyarakat/warga negara, yang sesuai dengan kepentingan umum dan demi terciptanya masyarakat yang baik, benar, adil dan sejahtera. Meskipun kenyataannya karena akibat dosa manusia, ada kecenderungan politik itu destruktif, manipulasi dan ketidakadilan di dalam prakteknya, yang membuat banyak orang (termasuk orang Kristen) beranggapan bahwa politik itu tidakbaik dan kotor, oleh karena itu harus dihindari. Namun politik itu adalah baik dan bertujuan demi kebaikan manusia. Jadi walaupun dalam politik praktis ada kenyataan dosa, politik tidak identik dengan dosa. Dari pengertian dan tujuan politik, menyatakan bahwa orang Kristen mempunyai tanggung jawab dan partisipasi dalam masalah politik. Karena orang Kristen mempunyai kewarganegaraan ganda yaitu warga negara Indonesia dan warga Kerajaan Allah, (band. 1 Yoh 5: 19, Fil. 3: 20). Masyarakat melaksanakan peran dan tanggung jawab politiknya melalui perwakilannya yang dipilihnya sendiri. Di satu sisi pemerintah adalah hamba Allah yang berarti kekuasaan itu agar sesuai dengan kehendak Allah yang memberikan kuasa itu (Rom 13:1-2; 1 Pet 2: 13; 1Tim 2:1-4 dan Tit 3:1).

Maka etika Kristen Menolak Golput dalam pemilihan Umum karena Setiap orang kristen mempunyai tanggung jawab kepada Tuhan di dalam memnggunakan hak pilihnya dan dia menentukan pilihannya berdasarkan suara hatinya bukan berdasarkan “suap atau karena nepotisme”. Namun hanya suara yang dikuasai kehendak Allah, yang dapat dikatakan “suara rakyat suara Tuhan (vox populi vox dei). Hal ini juga menyatakan bahwa “golput” (tidak memnggunakan hak pilihnya) pada saat pemilihan (pemilu) diadakan tidak dapat dibenarkan dari etika kristen, karena hal itu adalah merupakan ketidaktaatan kepada Allah dan pemerintah.[11]

 

III.             Analisa Penyeminar

Alasan penyeminar mengenai golput ini, tidak dibenarkan dalam suatu pemilihan umum. Karena mengggunkan hak pilih adalah juga merupakan ibadah kepada Tuhan. Tanggung  jawab kita kepada Allah. Oleh sebab itu ada batas ketaatan kita kepada pemerintah selama pemerintah menjalankan pemerintahannya tida bertentang dengan kehendak Allah. Setiap orang kristen mempunyai tanggung jawab kepada Tuhan di dalam menggunakan hak pilihnya dan dia menentukan pilihannya berdasarkan suara hatinya bukan berdasarkan “suap atau karena nepotisme”. Namun hanya suara yang dikuasai kehendak Allah, yang dapat dikatakan “suara rakyat suara Tuhan. Maka setiap warga negara (orang kristen) harus menyadari dan mewujudkan agar suaranya dan pilihannya adalah adalah suara dan pilihan Allah.

 

IV.             Kesimpulan

Firman Tuhan mengajarkan bahwa setiap orang harus menaati pemerintahannya (Roma 13:1). Tetapi Alkitab sendiri tidak mengajarkan pantang. Ia juga tidak melarang atau menjelaskan keadaan sebenarnya dalam hal ini. Yang paling penting adalah menghormati pemerintah saat itu (Matius 22:21) daripada pengkhianatan (penipuan). Ini adalah cara yang paling tepat untuk melakukan kehendak Tuhan pada orang percaya. Ini juga merupakan contoh dari tindakan terang dan garam sebagai dunia. Agar nama suci Tuhan tetap dapat dimuliakan, serta hak dan kewajiban warga negara tetap dapat dilaksanakan.

 

V.                Daftar Pustaka

Bidang Marturia PGI, Diskursus Hubungan Agama dengan, Negara (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), 26-27.

Dedi Amrizal Ahmad hidayah dalimunthe Yusriati, dalam pelaksanaan pemilu legislatif dan pilkada, (Medan: Lembaga penelitian dan penulisan ilmiah AQLI, 2018), 20-22.

Manurung, Kaleb, “suatu tinjauan etika kristen tentang pemilu dan suap”. Jurnal Teologi STT Abdi Sabda Medan, Edisi XXXVI, (2016), 82-84.

Pinem, Winner, “Pemilu dan Suap: suatu tinjauan Teologis terhadap Pemilu dan suap serta Impilikasinya bagi partisipasi di dalam pemilu untuk mencari pemimpin yang berkualitas dan mengatasi praktek suap”. Jurnal Teologi STT Abdi Sabda Medan, Edisi XXXVI, (2016), 156. 

Saragih, Agus Jetron, Teologi Perjanjian Lama Dalam Isu-isu Kontekstual, (Medan: Bina Media Perintis, 2015),  160.

Sirait, Saut, Politik Kristen di Indonesia suatu tinjauan Etis,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006),19-37

Subanda, Nyoman, analisis kritis terhadap fenomena golput dalam pemilu, journal konstitusi vol  II No 1, Juni (2009) 65-67

Sumber Lain

https://diy.kpu.go.id/web/pengertian-fungsi-dan-sistem-pemilihan-umum/ https://www.merdeka.com/jatim/5-tujuan-pemilu-bagi-negara-indonesia-wajib-diketahui-kln.html

https://fisip.umrah.ac.id

https://rec.or.id/apakah-orang-kristen-boleh-golput/


[1] Saut Sirait, Politik Kristen di Indonesia suatu tinjauan Etis,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006),19-37

[2] https://diy.kpu.go.id/web/pengertian-fungsi-dan-sistem-pemilihan-umum/, diakses pada tanggal 01 November 2021 pukul 10.22 WIB.

[4] Bidang Marturia PGI, Diskursus Hubungan Agama dengan Negara (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), 26-27.

[5] Winner Pinem, “Pemilu dan Suap: suatu tinjauan Teologis terhadap Pemilu dan suap serta Impilikasinya bagi partisipasi di dalam pemilu untuk mencari pemimpin yang berkualitas dan mengatasi praktek suap”. Jurnal Teologi STT Abdi Sabda Medan, Edisi XXXVI, (2016), 156. 

[6] Nyoman subanda, analisis kritis terhadap fenomena golput dalam pemilu, journal konstitusi vol  II No 1, Juni (2009) 65-67

[7] Dedi Amrizal Ahmad hidayah dalimunthe Yusriati, dalam pelaksanaan pemilu legislatif dan pilkada, (Medan: Lembaga penelitian dan penulisan ilmiah AQLI, 2018), 20-22.

[8] https://fisip.umrah.ac.id, diakses pada tanggal 01 November 2021 pukul 11.12 WIB

[9] https://rec.or.id/apakah-orang-kristen-boleh-golput/, diakses pada tanggal 01 November 2021 pukul 18.23 WIB.

[10]Agus Jetron Saragih, Teologi Perjanjian Lama Dalam Isu-isu Kontekstual, (Medan: Bina Media Perintis, 2015),  160.

[11] Kaleb Manurung, “suatu tinjauan etika kristen tentang pemilu dan suap”. Jurnal Teologi STT Abdi Sabda Medan, Edisi XXXVI, (2016), 82-84.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca selengkapnya disini ya