Tinjauan Etika Kristen Terhadap Masalah Penggunaan Lahan Pertanian di Hubungkan dengan Hak/Sabat Tanah
1.1 Pengertian Etika Kristen
Etika Kristen (Yunani: ethos,
berarti kebiasaan, adat) adalah suatu cabang
ilmu teologi yang
membahas masalah tentang apa yang baik dari sudut pandang Kekristenan. Apabila
dilihat dari sudut pandang Hukum Taurat dan Injil, maka etika Kristen
adalah segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah dan itulah
yang baik. Dengan demikian, maka etika Kristen merupakan satu tindakan
yang bila diukur secara moral baik..[1]
1.2 Pengertian Sabat Tanah
Selama
tahun shmita, tanah harus dibiarkan tidak ditaburi atau ditanami, menjadi
masa perhentian penuh dari kegiatan pertanian. Seluruh aktivitas cocok tanam,
termasuk membajak, menanam, menyiang dan memanen, dilarang oleh halakha (hukum Yahudi). Teknik kultivasi lain (misalnya
mengairi, memberi pupuk, mencabut hama, menyiram, memendekkan dan memotong
rumput) dapat dilakukan hanya sebagai tindakan pencegahan, bukan untuk
memperbaiki pertumbuhan pohon atau tanaman lain. Juga, semua buah-buahan yang
tumbuh sendiri dianggap hefker (tidak bertuan) dan boleh dipetik oleh
siapapun. Berbagai hukum diterapkan pula untuk penjualan, pengkonsumsian dan
pembuangan hasil-hasil bumi selama shmita. Semua hutang, kecuali dari
orang asing, harus dihapuskan.[2]
1.3 Makna Teologis Tanah dalam Perjanjian
Lama
Ayat
pertama dalam Perjanjian Lama membicarakan tentang tanah, erets juga berarti
tanah atau negeri. Sejak semula tanah telah diberikan kepada manusia. Kata
erets sering sekali sebagai antithesis terhadap surga, menyangkut orientasi
kehidupan dan peristiwa-peristiwa yang nyata di bumi.23 Mengikuti alur
pemikiran kanonis bolehlah diperhatikan bahwa sejak mulanya tema tanah ini
mendapat peran penting, terlepas dari interpretasi negative yang biasa
ditawarkan, pernyataan Tuhan kepada Adam setelah kejatuhan ke dalam dosa,
“…dengan bersusah payah engkau akan mencari rejekimu dari tanah seumur hidupmu”
(Kej 3:17) menunjukkan bahwa tanah adalah ajang hidup manusia yang diciptakan
itu. Dalam hubungannya dengan tanah Kanaan, Munther Isaac menyebutkan bahwa
pemberian tanah Kanaan adalah pemulihan hubungan Allah dengan manusia sekaligus
pemulihan manusia dengan tanah yang telah tercela pada masa penciptaan.[3] Tuhan memberikan kepada
umat Israel tanah Kanaan menjadi tempat kediaman dan milik pusaka bersama,
sesuai dengan janji-Nya kepada bapa leluhur mereka dahulu. Peristiwa pemberian
ini merupakan suatu pokok puji-pujian, dasar kepercayaan dan pengharapan bagi
Israel, namun juga suatu amanat untuk menguduskan hidupnya sebagai umat Tuhan
di dalam tanah milik Tuhan sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tanah perjanjian
merupakan suatu “pokok kepercayaan”, yakni salah satu pasal dari “credo” umat
Israel yang dipegang sepanjang masa.[4] Beberapa teks tua
mengaitkan pemilihan Israel sebagai umat dengan janji memberikan tanah yang
pada waktu itu masih disebut dengan “tanah Kanaan” (Kej 23:2), “pegunungan
orang Amori” (Ul 1:7), atau “tanah orang Het” (Yos 1:4). Tanah itu diduduki
beberapa bangsa yang lebih besar jumlahnya dan lebih kuat dari bangsa Israel,
yakni tujuh bangsa menurut Ulangan 7:1 (Het, Girgasi, Amon, Kanaan, Feris,
Hewi, Yebus) atau sepuluh bangsa menurut Kejadian 15:19-21 (Keni, Kenas,
Kadmon, Het, Feris, Refaim, Amori, Kanaan, Girgasi, Yebus). Kepada Abraham
leluhur bangsa Israel janji demikian dijanjikan: “Pergilah dari negerimu dan
sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan
kepadamu” (Kej 12:1; bnd. 15:7). Tuhan berjanji memberikan “tanah” untuk
Abraham dan keturunannya. Bila kadang-kadang disebutkan hanya untuk “keturunan”
Abraham (Kej 17:18), tentu maksudnya bukan Abraham tak termasuk, melainkan
janji itu berlaku bahkan sampai keturunannya (Kej 17:8). Janji memberikan tanah
juga diberikan untuk Ishak (Kej 26:3) dan Yakub berikut keturunannya (Kej
28:13). Terlibatnya keturunan dari Abraham, Ishak, dan Yakub sebagai pewaris
tanah perjanjian mengisyaratkan bahwa janji pemberian tanah itu tidak digenapi
dalam waktu dekat sewaktu mereka hidup, sebagaimana juga janji Tuhan untuk
menjadikan Abraham sebagai bangsa besar tidak terjadi dalam satu generasi (Kej
12:2; 17:2). Sekalipun janji itu sudah pasti, semasa hidup Abraham tanah itu
belum bisa diklaim sebagai miliknya. Alkitab menggambarkan Abraham sebagai
“orang asing dan pendatang” (Kej 23:4; 35:27). Yakub juga menggambarkan dirinya
di depan Firaun seperti Abraham dan Ishak, mengembara sebagai orang asing (Kej
47:9). Dengan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa kediaman
tetap, leluhur Israel hiidup dalam ketegangan antara janji dan pemenuhannya.
Mereka selalu mengharapkan pemenuhan janji itu supaya tidak terus mengembara.[5]
1.4 Tanah dalam pengembangan bidang
pertanian dan perkebunan
Di
tengah-tengah semakin besarnya jumlah pertumbuhan masyarakat dan semakin
meningkatnya kebutuhan masyarakat dalam hal kebutuhan pangan dan barang-barang
yang diperoleh dari hasil pertanian dan perkebunan, hal tersebut mendorong
usaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam bidang pertanian dan perkebunan.
Terutama dalam bidang ekonomi yang berkaitan dengan pertanian dan perkebunan,
tanah menjadi sarana utama untuk melakukan kegiatan pertanian dan perkebunan.
Berbagai cara dan langkah yang digunakan untuk meningkatkan hasil pertanian dan
perkebunan yang berkaitan dengan keberadaan tanah dalam rangka memenuhi
kebutuhan masyarakat, diantaranya: Pertama, pemerintah melakukan pengembangan
dalam bidang pertanian dan perkebunan dengan bekerjasama dengan badan usaha
swasta. Kesadaran akan keterbatasan negara untuk melakukan pengembangan dalam
bidang pertanian dan perkebunan secara menyeluruh di negara ini dan adanya
tantangan bahwa kebutuhan masyarakat akan produk hasil pertanian dan perkebunan
yang semakin besar, mendorong pemerintah untuk membuka peluang bagi pemilik
modal untuk membuka usaha-usaha dalam bidang pertanian dan perkebunan.
Kerjasama tersebut diharapkan mutualisme antara kedua belah pihak, baik dari
pihak pemerintah maupun pihak perusahaan swasta. Kedua, peningkatan kualitas
dan kwantitas pertanian dan perkebunan melalui peningkatan pengolahan sistem
pertanian dan perkebunan. Pengolahan pertanian dan perkebunan yang tepat dan
dilakukan secara modern semakin dikembangkan dengan harapan membawa peningkatan
kualitas dan kwantitas hasil pertanian dan perkebunan. Ketepatan waktu
pengolahan lahan dari masa persiapan lahan sampai pada pengolahan lahan selesai
masa produksi pertanian dan perkebunan, mulai diatur dan diperhatikan secara
serius. Pengolahan tanah yang tanpa henti sering kali dilakukan dengan dasar
keefisiensian waktu untuk memperoleh hasil yang maksimal. Selain itu,
penggunaan pupuk bahan kimia untuk pendorong pertumbuhan, obat-obatan penangkal
hama, perangsang munculnya bunga dan buah, dan tindakan yang dilakukan dalam
pertanian dan perkebuanan lainnya, menjadi bagian yang dilakukan dalam
perkembangan pengelolaan pertanian dan perkebunan pada saat ini.
Tindakantindakan tersebut dilakukan untuk meningkatkan kebutuhan hasil
pertanian dan perkebunan. Ketiga, peningkatan akan hasil pertanian dengan cara
memperluas lahan pertanian dan perkebunan. Kebutuhan yang tinggi akan hasil
pertanian dan perkebunan, mendorong pembukaan lahan baru yang lebih luas.
Perubahan fungsi lahan dari lahan yang bukan berfungsi sebagai lahan pertanian
dan perkebunan menjadi lahan untuk pertanian dan perkebunan dilakukan secara
besar-besaran. Salah satu contohnya adalah pengalihan fungsi lahan hutan
menjadi lahan pertanian dan perkebunan di Indonesia yang terus berkelanjutan
sampai pada saat ini, dan luasnya telah mencapai jutaan hektar. Lahan hutan dibabat
habis dalam rangka membuka lahan baru bagi pertanian dan perkebunan yang
dipandang lebih meningkatkan nilai ekonomis. Selain itu demi menunjang
pertanian dan perkebunan, tidak sedikit lahan yang diubah fungsinya menjadi
waduk-waduk tempat menampung air dan saluran irigasi demi menunjang kepentingan
pertanian dan perkebunan.
1.5 Dampak Penyalahgunaan Lahan Pertanian
bagi Ekologi Tanah
Pengembangan
dalam bidang pertanian dan perkebunan, setidaknya telah membawa perubahan
paradigma masyarakat terhadap tanah yang ada di sekitar mereka. Tanah semakin
dipandang hanya sebagai objek yang hanya dipakai untuk sarana mendukung
kepentingan manusia sendiri. Tanah sering kali diekploitasi untuk memenuhi
kebutuhan manusia, dengan alasan melakukan pengembangan menuju ekonomi yang
lebih mapan. Manusia berusaha mengelola tanah tanpa mempedulikan kepentingan
ekologi tanah. Pandangan tersebut semakin diperkuat dengan adanya ikut campur
tangannya pihak swasta yang bersifat kapitalis dalam proses pembanguan
pertanian dan perkebunan. Prinsip dasar gerak industri swasta untuk mencari
keuntungan sebesar-besarnya sesuai dengan sifat kapitalisnya, secara langsung
maupun tidak langsung mendorong timbulnya perubahan pandangan terhadap tanah
untuk dipandang dari sudut pandang nilai ekonomi. Tanah hanya dipandang sebagai
objek dalam rangka memperoleh hasil yang besar dari kegiatan pertanian dan
perkebunan. Demikian juga dengan adanya tindakan pengelolah pertanian dan
perkebunan yang memakai berbagai macam sistem yang dikembangkan untuk meraih
keuntungan dalam bidang pertanian dan perkebunan, ternyata juga membawa
pengaruh yang buruk bagi ekologi tanah. Pengolahan lahan pertanian yang sangat
berlebihan dan dilakukan secara terus-menerus tanpa melihat sisi untuk
meluangkan waktu pengistirahatan terhadap tanah, membuat keadaan tanah semakin
buruk dan terjadi kerusakan ekologi tanah itu sendiri. Selain itu, pengolahan
pertanian dan perkebunan dengan cara melakukan pemupukan, penggunaan
obat-obatan hama dan perangsang tumbuh kembang tanaman juga membawa pengaruh
yang buruk bagi keadaan tanah. Penggunaan pupuk kimia untuk meningkatkan hasil
pertanian dan penggunaan pestisida untuk menjaga tanaman dari penyakit, dan
obatan-obatan perangsang tumbuh kembangnya tanaman membawa kemerosotan bagi
kesuburan tanah.
Dalam
pupuk kimia, pestisida dan obat-obatan perangsang tanaman terkandung racun
kimia yang pada akhirnya bercampur dengan tanah, dan hal tersebut merusak
kualitas dari tanah, tanah menjadi tanah yang mengandung racun. Pengalihan
fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan dalam usaha
perluasan, ternyata juga membawa pengaruh yang buruk bagi keadaan tanah. Lahan
yang seharusnya menjadi tempat penampungan air tanah untuk cadangan air masa
kemarau, beralih fungsi sebagai lahan pertanian dan perkebunan, dan hal
tersebut menyebabkan terjadinya krisis air di musim kemarau. Perubahan fungsi
tersebut juga membuat terjadi pengikisan unsur hara yang ada di dalam tanah
sehingga mengurangi kesuburan tanah. Adanya pengelolaan lahan sebagai waduk dan
irigasi pertanian yang kurang baik juga akan membuat humus yang ada di lapisan
tanah hilang akibat erosi, dan hal tersebut membuat tanah menjadi tandus.[6]
1.6 Pandangan Etika Kristen Terhadap
Penyalahgunaan Lahan di Hubungkan dengan Hak/Sabat Tanah
Berangkat
dari latar belakang permasalahan, dimana pada saat ini terjadi realita
kerusakan ekologi tanah akibat tindakan manusia yang sewenang-wenang terhadap
tanah dalam proses pengembangan petanian dan perkebunan, maka penulis menyadari
bahwa perlu adanya sebuah pandangan yang berpihak kepada kepada kondisi dan
ekologi Tanah. Tanah tidak seharusnya diperlakukan secara sewenang-wenang oleh
manusia dalam usaha untuk mencari keuntungan semata. Tanah juga membutuhkan
sebuah pemeliharan dan perbaikan di tengah-tengah kegiatan pengolahan lahan
pertanian dan perkebunan sehingga kesuburan dan ekologi tanah tetap terjaga.
Oleh karena itu, masyarakat memerlukan sebuah pegangan untuk mengelola lahan
pertanian dan perkebunan dengan memperhatikan keberadaan ekologi tanah. Salah satu
keterpihakan pandangan terhadap tanah bila kita pandang dari sudut pandang
teologi biblis adalah Tahun Sabat. Tahun Sabat dalam kitab Imamat 25 : 1 – 7,
merupakan tahun pengistirahatan untuk tanah. Tanah yang selama enam tahun
diolah dan diusahakan manusia semaksimal mungkin untuk memenuhi kehidupan
manusia, pada tahun ke tujuh tanah tersebut harus diistirahatkan.Kegiatan
tersebut menunjukkan bahwa dalam Tahun Sabat terdapat keterpihakan terhadap
pelestarian tanah. Tanah tidak dieksploitasi terus-menerus oleh manusia, tanah
diberikan waktu untuk memulihkan kesuburan yang ada dalam dirinya. Norman C.
Habel menyatakan pelegitimasian bahwa Tuhan adalah pemilik dan pemberi tanah
terhadap manusia, dilakukan dengan tujuan supaya manusia tetap mau menjaga
tanah di tengah-tengah tindakannya yang mengelola tanah.[7]
Dengan
keberadaan Tuhan sebagai pemilik tanah, setidaknya mendorong manusia untuk
tetap tidak sewenang-wenang terhadap tanah. Manusia akan jauh menghormati tanah
bila tanah tersebut milik Tuhan dari pada tanah dipandang sebagai milik
manusia, karena bila manusia memandang tanah sebagai miliknya maka manusia akan
memandang tanah hanya sebagai objek yang dimilikinya. Emanuel Gerrit Singgih
juga menyatakan bahwa Tahun Sabat menjadi inspirasi masyarakat Kristen untuk
berbicara masalah ekologi yang berkaitan dengan tanah. Pandangan akan tanah
sebagai milik Tuhan dan adanya aturan supaya manusia mengistirahatkan tanah,
mengajarkan manusia untuk tidak mengekploitasi tanah hanya untuk kepentingan
manusia. Manusia diharapkan memandang tanah bukan hanya menjadi benda mati dan
objek saja, melainkan tanah perlu dipandang sebagai organisme yang hidup. Tanah
membutuhkan waktu untuk istirahat untuk memulihkan kesuburannya, sama seperti
yang dilakukan oleh makhluk hidup yang memerlukan istirahat untuk memulihkan
dirinya.[8]
II.
Analisa
Penyeminar
Pandangan masyarakat terhadap tanah yang berkembang
pada saat ini mempunyai kecenderungan melihat tanah sebagai objek ekonomi atau
kepemilikan semata. Hal tersebut mendorong manusia melakukan tindakan
eksploitasi terhadap tanah yang berdampak pada ekologi tanah. Tanah menjadi
tanah yang rusak, nilai-nilai kepentingan tanah menjadi tergadaikan. Melalui
perintah tahun sabat manusia diajak untuk tidak hanya memandang tanah sebagai
objek ekonomi dan kepemilikan tanah, tetapi tanah juga sebagai milik Tuhan.
Tanah adalah anugerah dari Tuhan
yang diberikan oleh Tuhan agar dijaga kelestariannya. Kita harus menyadari keberadaan tanah dibutuhkan
oleh semua mahkluk hidup, yang lebih penting lagi kita harus sadar tanah adalah
makhluk hidup yang memiliki hak untuk bertumbuh-kembang dalam kehidupannya. Sejak semula tanah telah diberikan kepada
manusia. tanah menjadi sarana utama untuk melakukan kegiatan pertanian dan
perkebunan. Berbagai cara dan langkah yang digunakan untuk meningkatkan hasil
pertanian dan perkebunan yang berkaitan dengan keberadaan tanah dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat, Kebutuhan yang tinggi akan hasil pertanian dan
perkebunan, mendorong pembukaan lahan baru yang lebih luas. Perubahan fungsi
lahan dari lahan yang bukan berfungsi sebagai lahan pertanian dan perkebunan
menjadi lahan untuk pertanian dan perkebunan dilakukan secara besar-besaran.
Pengembangan dalam bidang pertanian dan perkebunan, setidaknya telah membawa
perubahan paradigma masyarakat terhadap tanah yang ada di sekitar mereka. Tanah
semakin dipandang hanya sebagai objek yang hanya dipakai untuk sarana mendukung
kepentingan manusia sendiri. Tanah hanya
dipandang sebagai objek dalam rangka memperoleh hasil yang besar dari kegiatan
pertanian dan perkebunan. Demikian juga dengan adanya tindakan pengelolah
pertanian dan perkebunan yang memakai berbagai macam sistem yang dikembangkan
untuk meraih keuntungan dalam bidang pertanian dan perkebunan, ternyata juga
membawa pengaruh yang buruk bagi ekologi tanah.
Penggunaan pupuk kimia untuk meningkatkan hasil pertanian dan penggunaan
pestisida untuk menjaga tanaman dari penyakit, dan obatan-obatan perangsang
tumbuh kembangnya tanaman membawa kemerosotan bagi kesuburan tanah. Tanah tidak seharusnya diperlakukan secara
sewenang-wenang oleh manusia dalam usaha untuk mencari keuntungan semata. Tanah
juga membutuhkan sebuah pemeliharan dan perbaikan di tengahtengah kegiatan
pengolahan lahan pertanian dan perkebunan sehingga kesuburan dan ekologi tanah
tetap terjaga. Oleh karena itu, masyarakat memerlukan sebuah pegangan untuk
mengelola lahan pertanian dan perkebunan dengan memperhatikan keberadaan
ekologi tanah. Tanah membutuhkan waktu untuk istirahat untuk memulihkan
kesuburannya, sama seperti yang dilakukan oleh makhluk hidup yang memerlukan
istirahat untuk memulihkan dirinya.
III.
Kesimpulan.
Pandangan akan tanah sebagai milik
Tuhan dan adanya aturan supaya manusia mengistirahatkan tanah, mengajarkan
manusia untuk tidak mengekploitasi tanah hanya untuk kepentingan manusia.
Manusia diharapkan memandang tanah bukan hanya menjadi benda mati dan objek
saja, melainkan tanah perlu dipandang sebagai organisme yang hidup. Tanah
adalah tanah yang hidup, dan tanah merupakan bagian dari seluruh makhluk hidup.
Dalam melakukan pengelolaan pada tanah harus berjalan secara mutualisme,
manusia memberi perawatan terhadap tanah dan tanah memberikan hasilnya kepada
manusia. Melalui perintah tahun sabat manusia diajak untuk tidak hanya
memandang tanah sebagai objek ekonomi dan kepemilikan tanah, tetapi tanah juga
sebagai milik Tuhan.
IV.
Daftar
Pustaka
Verkuyl, J, Etika Kristen bagian. Umum, Jakarta: BPK
Gunung Mulia,1993
Isaac, Munther, From
Land to Lands; from Eden to the Renewed Earth, Cumbria: Langham Monographs,
2015
Barth, Christoph, Theologia
Perjanjian Lama 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001
Kaufmann, Yehezkel, The Religion of Israel,
Pennsylvania, tanpa tahun
Borrong, Robert P, Teologi
dan Ekologi Buku Pegangan, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1999
Habel, Norman C, The
Land Is Mine, Minneapolia : Fortress Press, 1995
Singgih, Emanuel Gerrit, Makna Tanah Dalam Perjanjian Lama dalam Tahun Rahmat & Pemerdekaan,
Jakarta : Persekutuan Gereja Indonesia, 1995
Sumber Lainnya
[1] J.
Verkuyl, Etika Kristen bagian. Umum, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia,1993),15-17.
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_Sabat
Diakses pada Jumat,3 September 2021 pukul 14.22 WIB
[3]
Munther Isaac, From Land to Lands; from
Eden to the Renewed Earth, (Cumbria: Langham Monographs, 2015), 154-155.
[4] Christoph
Barth, Theologia Perjanjian Lama 2,(Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2001), 10.
[5]
Yehezkel Kaufmann, The Religion of Israel (Pennsylvania, tanpa tahun), 241.
[6]
Robert P. Borrong, Teologi dan Ekologi
Buku Pegangan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1999),3-7
[7]
Norman C Habel, The Land Is Mine,
(Minneapolia : Fortress Press, 1995),101
[8]
Emanuel Gerrit Singgih, Makna Tanah Dalam
Perjanjian Lama dalam Tahun Rahmat & Pemerdekaan, (Jakarta :
Persekutuan Gereja Indonesia, 1995), 11.