I.
Pembahasan
2.1.Ayub
Ayub
adalah pria yang hidup sejahtera, beriman kepada Allah, dan tinggal di suatu
tempat di sudut Timur Laut Arabia. Dia ditimpa sejumlah musibah; ternaknya
mati, para pelayannya dibunuh orang dengan pedang, dan keluarganya tewas di
bawah atap rumahnya. Tetapi dia berpegang erat dengan imannya kepada Allah
Sahabat-sahabatnya yang palsu pun datang dan menghubungkan kemalangannya dengan
dosa. Para "penghibur Ayub " ini sebenarnya bukanlah para penghibur,
dan dia makin kehilangan keseimbangan pikirannya, tetapi Allah mengembalikan
semua rahmat-Nya kepadanya, dan dia pun mengakhiri rasa terhina, dan pembenaran
diri sendiri. Dia kembali hidup makmur, dua kali lipat dari yang sebelumnya dia
miliki; para saudara dan sahabatnya kembali kepadanya; dia punya keluarga baru,
dengan tujuh putra dan tiga putri. Dia hidup hingga usia sangat tua, dan
melihat empat generasi keturunannya.[1]
2.2.Bertekun dalam Kesalehan
dan Kesabaran
Bertekun
adalah Berkeras hati dan bersungguh-sungguh (bekerja, belajar, berusaha, dan
sebagainya), dapat juga diartikan sebagai berpegang teguh pada sesuatu seperti
adat dan sebagainya.[2] Kesalehan (godliness) merupakan keadaan di
mana seorang beriman dapat bersikap, berbuat, berkata-kata dan berpikir dengan
penuh ketulusan, penuh pengertian, penuh pengorbanan, penuh hikmat dan penuh
makrifat. Pada posisi iman seperti ini ia tidak dapat tergoda oleh hal-hal
duniawi.[3] Kesabaran merupakan ketenangan hati dalam
menghadapi cobaan; sifat tenang (sabar).[4]
2.3.Penderitaan
2.3.1.
Makna
dan Asal Usul Penderitaan
Penderitaan
berasal dari kata "derita" memiliki arti menanggung (merasai) sesuatu
yang tidak menyenangkan. Penderitaan didefinisikan sebagai penanggungan,
perihal, (cara dan sebagainya) menderita.[5] Dalam
konteks Kristen, asal penderitaan sulit ditelusuri karena dikisahkan bahwa
dalam kitab Kejadian Alah yang Maha baik telah menciptakan segala sesuatu itu
baik adanya. Penderitaan sebagai sesuatu yang tidak baik, dengan demikian
dianggap bukan sesuatu yang berasal dari Allah. Penderitaan tidak bisa secara
sempit dipandang sebagai sekedar 'hukuman' dari Tuhan atas dosa manusia.
Penderitaan sebagai salah satu Sisi kehidupan manusia yang tidak terelakkan
tetap merupakan suatu misteri, sehingga tidak satu pun ciptaan tahu mengapa
Allah menganugerahkannya. Gagasan mengenai penderitaan dalam Perjanjian Lama
setidaknya dapat dimaknai dalam tiga konsep, yakni (1) Sebagai hukuman atas
dosa pribadi, (2) sebagai Pengorbanan, (3) sebagai awal kebaikan.[6]
Pertama,
penderitaan dipandang sebagai hukuman atas dosa manusia. Ini merupakan
pandangan yang umum berlaku dalam Perjanjian Lama. Kitab kejadian menggambarkan
bahwa dunia yang diciptakan oleh Allah sebagai baik adanya. Segala sengsara,
penyakit dan derita mulai masuk ke dalam dunia yang diciptakan Allah karena
pasangan manusia pertama berdosa dengan menuruti godaan setan (Kejadian 2).
Akibatnya, dalam Kejadian 3:14-19, digambarkan bahwa Adam harus bekerja keras
dan Hawa akan kesakitan pada waktu melahirkan, sebagai hukuman atas dosa
mereka. Konsep pertama tentang penderitaan yang khas dari Perjanjian Lama ini
juga eksplisit dalam Kitab Ayub, meskipun tidak terbukti dalam diri Ayub
sendiri. Para sahabat Ayub yang datang untuk menghiburnya menganggap bahwa
kemalangan besar yang dialami oleh Ayub merupakan sebuah hukuman dari Allah
atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya, [bdk. Perkataan Elifas (Ayb. 4,15, 22),
Perkataan Zofar (Ayb. II, 20), Perkataan Bildad (Ayb. 8, 18, 250] atau dengan kata
lain sebagai suatu implikasi yang konkret konsep "pembalasan di bumi.[7]
Menurut konsep “pembalasan di bumi”, semua perbuatan manusia, baik kejahatan
maupun kebaikan akan diganjar pada saat manusia masih hidup. Hukum ini
diandaikan mesti terjadi karena kehidupan setelah kematian belum dikenal dalam
alam pikir Perjanjian Lama.[8]
Kedua,
penderitaan dipandang sebagai awal dari suatu kebaikan. Penderitaan dimaknai
sebagai pendahulu atau pembuka jalan bagi sesuatu yang baik. Gagasan ini
misalnya dijelaskan dalam kisah Ayub dalam kitab Ayub. Kitab Ayub memandang
penderitaan sebagai ujian atas iman (bdk. Ayb. 1:9-12). Ayub yang mengalami
penderitaan yang berat dipulihkan Allah bahwa hingga dua kali lipat.[9]
Ketiga, penderitaan
dipandang sebagai pengorbanan. Sebagai contoh dapat kia lihat dari kisah nabi
Yeremia, nabi yang harus banyak menderita karena tugas kenabiannya. Sedemikian
beratnya sampai ia berseru kepada Allah (bdk. Yer. 15:18). Jadi orang benar
dapat menderita demi keselamatan orang lain, dan ia mewakili sesamanya dalam
menanggung hukuman atas dosa.[10]
2.3.2.
Penderitaan
Ayub
Ayub
hidup ada masa nenek moyang Israel (Abraham, Ishak, Yakub), seorang yang kaya
dan berpengaruh, yang tulus hati dan saleh (Ayb 1:1-3). Tiba-tiba ia kehilangan
harta benda dan keluarga, kemudian menderita penyakit parah. Dari pengalaman
yang pahit itu timbul suatu perdebatan yang panjang lebar dengan para
sahabatnya yang datang untuk menghibur dias Apakah Ayub seorang berdosa sehingga
dia dihukum dengan penderitaan yang berat? ataukah dia seorang yang benar-dan
jika memang demikian mengapa Allah
membiarkan dia menderita? Perdebatan itu tidak mencapai suatu kesimpulan yang
jelas, sehingga Allah turun tangan serta menyatakan diri sebagai yang Maha
Kuasa dan Mahatahu (Ayb, 38-41). Ternyata Ayub tidak bersalah, dan
penderitaannya bukan hukuman karena dosa. Tetapi manusia tidak mungkin memahami
segala rencana Allah dan tidak perlu meragukan kebaikan dan kebijaksanaan
penciptanya. Akibatnya Allah memulihkan keadaan Ayub (Ayb 42:10-17). Masalah
penderitaan orang benar belum diselesaikan di sini. Hanya dalam Perjanjian Baru
masalah ini mendekati penyelesaian dengan penderitaan satu-satunya orang yang
sungguh benar (Yesus Kristus). Namun kitab Ayub memberi kunci pegangan bagi
setiap orang yang menderita: seharusnya kita menerima penderitaan yang
diizinkan Allah dan tetap memuji Dia, dengan penuh keyakinan akan kebaikan-Nya
sebagaimana diungkapkan oleh Ayub: "aku dilahirkan tanpa apa-apa, dan aku
akan mati tanpa apa-apa juga, TUHAN telah memberikan dan TUHAN pula telah
mengambil. Terpujilah nama-Nya![11]
Penderitaan
ditujukan sebagai disiplin: Berdasarkan kisah Ayub kita diingatkan bahwa kita
harus melihat setiap persoalan atau penderitaan yang kita alami atau hidup-i
sebagai disiplin hidup. Sebagaimana dalam kisah Ayub iblis memberikan segala
kehancuran untuk membuktikan kepada Allah bahwa sebaik apa pun manusia pasti ia
akan marah ketika miliknya diambil. Oleh karena itu ketika kita menghadapi
masalah kita harus memaknai penderitaan itu sebagai perjalanan bahwa Tuhan
Allah tidak akan memberikan cobaan hidup yang melebihi kemampuan kita untuk
keluar dari masalah itu hanya terjadi bila seseorang itu terlalu terpuruk dalam
masalah itu sendiri. Adalah sia-sia untuk memohon kepada Allah untuk menghilangkan
penderitaan, atau mencoba untuk membebaskan diri kita sendiri, jika kita tidak
belajar untuk mengetahui tujuan mengapa penderitaan diberikan.[12]
Banyak orang yang menyalah artikan penderitaan yang dialami dalam hidupnya,
sehingga seseorang sering kali menyalahkan Tuhan atas segala sesuatu yang
terjadi pada dirinya. Bahkan seseorang akan membandingkan kehidupannya dengan
orang lain yang menurut pandangan manusiawinya sebagai orang yang lebih berdosa
dan tidak berbuat baik tapi justru hidupnya seperti sangat jauh dari
penderitaan. Dari kisah Ayub ini mengingatkan untuk bagaimana senantiasa
mendekatkan diri kepada Tuhan apa pun yang terjadi dalam hidup kita.[13]
Jika
dilihat dalam kitab Ayub ada beberapa hal yang menjadi sumber dari penderitaan
Ayub menurut sahabat-sahabatnya:
2.3.2.1. Elifas
Sebagai
yang terkemuka dan barangkali yang tertua Elifas ingin menolong sahabatnya dan
mengetahui apa yang harus dilakukannya untuk mengatasi segala kesusahannya.[14]
Dia merangkum kembali cara hidup Ayub (Ayb.4:3-6) dan kisah sedihnya (Ayb.4,7-l
l) dan berusaha menemukan dari yang pertama, faktor yang menyebabkan yang
kedua. Dengan kata lain Elifas menggunakan hukum sebab-akibat, Tidak ada
sesuatu yang terjadi tanpa ada penyebabnya. Prinsip yang kedua yang dikeluarkan
Elifas ialah bahwa penderitaan bisa dipandang sebagai didikan (tindakan
pendisiplinan) dari Allah dengan maksud untuk memperbaiki kesalahan dan
menyembuhkan (Ayb.5:17-18), Teologi Elifas melibatkan adanya Allah yang
melakukan perbuatan-perbuatan dan menetapkan hal-hal yang benar.[15]
2.3.2.2. Bildad
Bildad
lebih kepada tradisi. la merujuk kepada sejarah, masa lalu (Ayb.8:8-10). la
menggambarkan dengan doktrin yang mekanis tentang keadilan Allah dan
ciptaan-Nya.[16]
Bagi Bildad usaha Ayub untuk mengerti apa sebabnya ia ditimpa penderitaan itu
hanya akan menimbulkan perasaan negatif dan ia menempatkan Ayub di antara orang
sombong yang merasa diri lebih pandai daripada Allah. Orang seperti itu
terasing dari Allah dan dengan demikian kehilangan sumber segala berkat
sehingga mereka terancam. Ayub diundang untuk memilih yang baik, tidak
mengangkat pertanyaan yang sia-sia karena Allah tahu apa yang la lakukan dan
tidak dapat diminta pertanggungjawaban. Hanya dengan rendah hati mengikuti
tradisi, Ayub akan bahagia, Allah akan memberkatinya lagi.[17]
2.3.2.3. Zofar
Sesudah
Zofar mendengarkan perkataan Ayub (Ayb.11:4), dia menyimpulkan posisi atau
keadaan Ayub, sebab Ayub tidak menuntut kemurnian doktrin, walaupun dia jelas
menegaskan dirinya tidak bersalah. Zofar menganggap bahwa Ayub belum
menyibakkan (menguak) permukaan dengan hikmat
yang dimilikinya adalah jauh sekali kurang. Dengan kata lain Zofar
meyakini bahwa orang fasik pasti mendapat bencana. Asumsi dasar dari teologi
Zofar adalah alam semesta melindungi orang benar dan mengutuk orang jahat
(Ayb.20:27).[18]
2.3.2.4. Elihu
Ketiga
teman tidak berhasil meyakinkan Ayub bahwa penderitaannya merupakan disebabkan
oleh kesalahannya sendiri. Ayub tetap mempertahankan keyakinannya bahwa ia
hidup sebagai orang adil/benar, Seorang berhikmah dari angkatan muda bernama
Eliu (arti nama itu: hanya Dialah Allahku), anak Barakheel, orang Uz , kota
asal Ayub, dari kaum Rama. Dalam pasal 32:1-21 Elihu menguraikan apa sebabnya
ia merasa wajib menambahkan pengetahuannya yang diperolehnya untuk menolong
Ayub dan mengembalikannya ke jalan yang benar.[19]
Menurut Elihu Allah itu adil, Ia mendidik orang yang semula baik, tetapi
kemudian menjadi sombong. Demi tujuan ini ia menggunakan penderitaan
(Ayb.36:6-25). Bila orang yang biasanya berhasil itu mengalami sengsara, mereka
dapat merasa terdorong untuk memikirkan ulang cara hidupnya, menyadari
kekurangan dan kesalahannya dan mendengarkan Allah. Berbeda dengan Elifas dan
teman-temannya, ia sadar bahwa kesalahan Ayub tidak terletak di bidang moral
dan sosial. Ia memang mencari yang benar dan menjauhi kejahatan, tetapi ia
salah karena ia meminta pertanggungjawaban atas tindakan Allah terhadap dirinya
dan dengan demikian menepatkan diri setingkat dengan Allah. Inilah dosa di bidang
hubungan manusia dengan Allah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Elihu
mempersiapkan Ayub untuk menemui Allah dengan membuka ruang puji-pujian
baginya.[20]
2.3.3.
Bertekun
dalam Kesalehan dan Kesabaran Menurut Kitab Ayub dalam Menghadapi Penderitaan
Ayub
memiliki watak tampil dalam terang yang menakjubkan selaku orang yang saleh dan
jujur. Saleh bukan berarti sempurna tanpa dosa, hal yang tak pernah di tuntut bagi
Ayub.[21] Dalam
Ayub 2:9 “maka berkatalah istrinya kepadanya: “Masih bertekunkah engkau dalam
kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!” dan di dalam Ayub 2:10 Tetapi
jawab Ayub kepadanya: “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau
menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?”. Penderitaan
istri Ayub sama besar dengan penderitaan suaminya. Perbedaannya, sang istri
mengakui perasaan bahwa ia kehilangan segala sesuatu yang memberikan nilai pada
hidupnya, sedangkan Ayub tidak mengakui perasaannya. Ia mempertahankan
kesalehan dan ingin mengetahui dan mengerti apa sebabnya mala petaka jatuh ke atasnya. Barangkali
istrinya memang mengatakan "Berkatilah Allah dan mati" karena hidup
kami hilang arti. Dalam hal ini perkataan sang istri senada dengan keluhan Ayub
setelah ia mengizinkan dirinya merasa putus asa (pasal 3).[22]
2.3.4.
Refleksi
Teologis
Ayub
merupakan orang yang saleh dan jujur, ia takut akan Allah dan menjauhi
kejahatan. Kisah kehidupan Ayub yang banyak di diperhadapkan dengan penderitaan
yang sangat mendalam, memperlihatkan bahwa Ayub merupakan orang yang sangan
tekun. Allah memberikan ijin kepada iblis untuk mendatangkan dukacita dan
penderitaan dalam kehidupan Ayub. Ayub mengalami penderitaan bukan karena dosa
yang ia perbuat, melainkan agar Ayub dapat menjalani hidupnya dengan penuh
iman. Setiap orang pasti pernah mengalami penderitaan, kisah Ayub ini dapat
menolong kita untuk tetap bertekun dan tahan dalam menghadapi setiap
penderitaan yang kita alami. Ketekunan, kesabaran dan ketaatan dalam menghadapi
penderitaan akan melahirkan iman yang murni. Ketaatan Ayub memperlihatkan
kemenangan Allah atas iblis. Memenangkan Allah dalam kehidupan kita adalah
dengan bertekun dalam kesalehan dan kesabaran (memahami makna setiap kehidupan
dengan tetap mengandalkan Tuhan di dalam kehidupan kia).
II.
Kesimpulan
Penderitaan
yang dialami oleh Ayub bukanlah karena dosa yang telah ia perbuat, melainkan
Allah mengizinkan iblis untuk mendatangkan dukacita dan penderitaan ke dalam
kehidupan Ayub, iblis tidak
diperbolehkan untuk menyentuh nyawa Ayub. Dalam menghadapi penderitaan Ayub
tetap bertekun dan tetap berdoa kepada Allah, banyak pencobaan yang Ayub Alami
mulai dari perkataan istrinya yang menyuruh Ayub untuk mengutuki Allahnya,
anak-anak Ayub yang meninggal, harta kekayaan yang habis dan kekecewaan Ayub
kepada sahabat-sahabatnya. Dalam hal ini Ayub tetap bertekun di dalam kesalehan
dan kesabaran dalam menghadapi setiap penderitaan yang ia alami.
III.
Daftar
Pustaka
Baker
David L., Mari Mengenal Perjanjian Lama,
Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2008
Bergant
Dianne dan Karris Robbert J, Tafsirn
Alkitab Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius, 2002
Bullock
C. Hassel, Kitab-kitab Puisi dalam
Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 1988
Claire
Marie Frommel Barth, Ayub Bergumul Dengan
Penderitaan, Bergumul dengan Allah, Jakarta: BPK-Guung Mulia, 2016
Groenen
C., Pengantar ke dalam Perjanjian Lama,
Yogyakarta: Kanisius, 1980
Hadiwijono
Harun, Iman Kristen, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2007
Pidyarto
H., Menyapa Orang Benar Menderita,
Wacana Biblika Vol. 14, No.2 April-Juni 2014
Poerwadarminta
W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1982
Simanjuntak
A. dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini 2
Ayub-Maleakhi, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2012
Weiden
Wim Van der, Seni Hidup, Yogyakarta:
Kanisius, 1995
Young
Kim. Woo, Yesus lah Jawaban, Jakarta: BPK-Gunung
Mulia, 2005
Sumber Lain:
https://kbbi.web.id/sabar
https://kbbi.web.id/tekun
https://sites.google.com/site/sharingimankristen/home/iman-faith/kebajikan-virtue/pengetahuan-knowledge/penguasaan-diri-temperance/ketekunan-patience/kesalehan-godliness
[1] Marie-Claire Barth-Frommel, Ayub
Bergumul Dengan Penderitaan, Bergumul dengan Allah, (Jakarta: BPK-Guung
Mulia, 2016), 6-7.
[2] https://kbbi.web.id/tekun, di akses pada 25 Januari 2022, pukul 15.00
WIB.
[3] https://sites.google.com/site/sharingimankristen/home/iman-faith/kebajikan-virtue/pengetahuan-knowledge/penguasaan-diri-temperance/ketekunan-patience/kesalehan-godliness,
di akses pada 25 Januari 2022, pukul 15.25 WIB.
[4] https://kbbi.web.id/sabar, di akses pada 25 Januari 2022, pukul 15.40
WIB.
[5] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1982), 245.
[6] H. Pidyarto, Menyapa Orang Benar
Menderita, Wacana Biblika Vol. 14, No.2 (April-Juni 2014), 52-54.
[7] Wim Van der Weiden, Seni Hidup,
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), 214.
[8] C. Groenen, Pengantar ke dalam
Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 175.
[9] Dianne Bergant dan Robbert J Karris, Tafsirn Alkitab Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 423.
[10] Dianne Bergant dan Robbert J Karris, Tafsirn Alkitab Perjanjian Lama, 543.
[11] David L. Baker, Mari Mengenal
Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2008), 94-95.
[12] Kim. Woo Young, Yesus lah Jawaban, (Jakarta: BPK-Gunung
Mulia, 2005), 297.
[13] Harun Hadiwijono, Iman Kristen,
(Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2007), 227.
[14] Marie-Claire Barth-Frommel, Ayub
Bergumul Dengan Penderitaan, Bergumul dengan Allah, 50.
[15] C. Hassel Bullock, Kitab-kitab
Puisi dalam Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1988), 124-125.
[16] C. Hassel Bullock, Kitab-kitab
Puisi dalam Perjanjian Lama, 127.
[17] Marie-Claire Barth-Frommel, Ayub
Bergumul Dengan Penderitaan, Bergumul dengan Allah, 57-59.
[18] C. Hassel Bullock, Kitab-kitab
Puisi dalam Perjanjian Lama, 130,136.
[19] Marie-Claire Barth-Frommel, Ayub
Bergumul Dengan Penderitaan, Bergumul dengan Allah, 116-117.
[20] Marie-Claire Barth-Frommel, Ayub
Bergumul Dengan Penderitaan, Bergumul dengan Allah, 125-132.
[21] A. Simanjuntak dkk, Tafsiran
Alkitab Masa Kini 2 Ayub-Maleakhi, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,
2012), 71.
[22] Marie-Claire Barth-Frommel, Ayub Bergumul Dengan Penderitaan, Bergumul dengan Allah, 42-43.
Post a Comment