wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

Hubungan Liturgi Dan Studi Teologia


 

I.  Pembahasan

1.1.Pengertian Liturgi

Dalam “Kamus Sejarah Gereja” oleh Fraderiek Djara Wellem, liturgi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani, leitourgia, yang terdiri dari dua kata: laos (rakyat) dan ergon (pekerjaan, bakti). Jadi, arti asli kata ini adalah pekerjaan umum, bakti rakyat untuk negara atau pemerintah. Kemudian septuaginta mengenakannya pada ibadah di Bait Allah. Dalam gereja, kata ini dipergunakan untuk menunjuk pada ibadah di gereja dan ekaristi. Pada umumnya, liturgi dipakai dalam arti tata aturan ibadah gereja yang tertulis.[1]

Liturgi mencakup semua upacara yang dilakukan oleh jemaat yang berkumpul. Liturgi adalah tindakan yang perlu dilakukan oleh orang yang telah dibaptis. Liturgi meliputi nyanyian yang perlu dilambungkan, perkataan yang perlu didengarkan, gerak yang perlu kita laksanakan.[2] Liturgi dari bahasa Yunani yaitu leitourgia, kata leitourgia berasal dari dua (2) kata yaitu ergon, artinya melayani atau bekerja, dan laos, artinya bangsa, masyarakat, persekutuan umat. kata Laos dan argon diambil dari kehidupan masyarakat Yunani kuno sebagai kerja nyata rakyat kepada bangsa dan negara. Secara praktis hal itu berupa bayar pajak, membela negara dari ancaman musuh atau wajib militer. Namun, leitourgia juga digunakan untuk menunjuk pelayan rumah tangga dan pegawai pemerintah semisal penarik pajak. Namun dewasa ini istilah Liturgi malah telah diterima secara umum untuk menyebut ibadah Kristen semisal “Liturgy of word” untuk pemberitaan firman.[3]

Juga dalam buku yang berjudul “Liturgi dan Ekaristi” ditulis bahwa liturgi tidak boleh dipahami hanya sebagai aturan tentang apa yang boleh dan tidak. Liturgi pertama-pertama bukan soal aturan atau hukum penunjuk, tetapi peristiwa. Liturgi itu peristiwa, dalam mana Allah datang untuk menjumpai kita dan kita menyambut Dia dengan pujian, syukur, dan permohonan. Tuhan datang untuk menawarkan persahabatan agar kita hidup bersama Allah dalam segala situasi, untung dan malang, suka dan ataupun duka. Semua bidang liturgi, apapun macamnya, merayakan persahabatan dan hidup kita bersama dengan Tuhan.[4]

1.2. Beberapa Pandangan Tentang Liturgi

1.2.1. Liturgi Menurut Mediator Dei

Pada tahun 1947 Paus Pius XII menggunakan kata "Liturgi" dalam ensikliknya Mediator Dei. Liturgi adalah "Kebaktian umum-resmi-utuh yang dilakukan oleh tubuh Mistik Yesus Kristus, yakni oleh kepala beserta anggota-anggotanya". Definisi ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Mediator Dei tetap mempertahankan tradisi gereja Latin yang sangatmementingkan bakti manusia kepada Allah sang pencipta. Mediator Dei lebih menitikberatkan pelaksanaan ibadah dari pada perayaan keselamatan. Liturgi bukanlah suatu karya swasta. Bukan juga suatu keselamatan pribadi atau devosi, yang dilakukan sendiri-sendiri ataupun hanya secara batin. Liturgi adalah karya bakti bersama. Liturgi adalah karya bakti gereja yang menyatakan diri sebagai tanda keselamatan. Liturgi merangkum keseluruhan kebaktian gereja yang resmi. Kebaktian kepada Allah merupakan tugas gereja yang utama dan hakiki. Dengan menggunakan istilah tubuh mistik Yesus Kristus, Mediator Dei ingin menandaskan bahwa hidup dan karya gereja tidak mungkin dipikirkan tanpa Liturgi dan Kristus. Kristuslah yang menjiwai gereja sedangkan dengan menyebutkan "Kepala serta anggota-anggotanya" mediator mau menegaskan bahwa Kristus adalah centrum dan pelaku utama dari Liturgi tanpa Kristus tidak ada Liturgi pada. Tanpa Kristus tidak ada gereja. Oleh karena itu, Liturgi dan gereja adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

1.2.2. Liturgi Menurut Konsili Vatikan II

Makna dan hakikat Liturgi tertuang dalam hasil konsili Vatikan II, melalui Konstitusi liturginya, Sacrosanctum Consilium. Dokumen Liturgi ini sebenarnya merupakan hasil perumusan dari perjuangan panjang gerakan pembaharuan Liturgi, yang memuat hasil refleksi dan studi liturgis selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Menurut sejarahnya gerakan pembaharuan Liturgi dalam gereja Katolik Roma sudah diupayakan sejak abad ke-17. Akan tetapi, gerakan pembaruan Liturgi tersebut tidak pernah berhasil, karena pihak Vatikan tidak mendukungnya. Pada abad XIX di biara-biara, seperti kelompok Benedictine, terjadi usaha pembaharuan di Turki juga. Namun, baru pada awal dan terutama pada pertengahan abad XX gerakan pembaruan Liturgi menggelinding secara mengagumkan. Dokumen konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concilium boleh disebut sebagai puncak dan mahkota perjuangan panjang usaha pembaharuan liturgi itu. Meski Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Concilium tidak secara eksplisit dan merumuskan suatu definisi Liturgi, namun memberikan suatu pemahaman Liturgi yang segar. Pernyataan paling penting Vatikan II tentang Liturgi terdapat dalam Konstitusi SC art. 7:

"Maka memang sewajarnya juga Liturgi dipandang bagaikan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus; disitu pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing; di situ pula dilaksanakan ibadan umum yang seutuhnya oleh tubuh mistik Yesus Kristus yakni kepala beserta anggota-anggotanya".

Dengan demikian, Sacrosanctum Consilium art. 7 memandang Liturgi sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus oleh tubuh mistik Kristus, yaitu kepala dan para anggotanya. Isi tugas imamat Yesus Kristus tercermin dalam SC art.10, yakni karya keselamatan Allah dilaksanakan oleh Yesus Kristus. Dalam apa yang dirayakan dalam Liturgi dirumuskan demikian:

"jadi, dari Liturgi terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan pemulihan Allah dalam Kristus".

Karya keselamatan Allah yang dilaksanakan oleh Kristus itu kini senantiasa dikenang dan dihadirkan oleh Gereja dalam Liturgi. Jadi, isi perayaan Liturgi adalah misteri karya keselamatan Allah dalam Kristus yang berupa pemujaan umat manusia dan pemulihan Allah. Pengurusan umat manusia dan pemulihan Allah itu merupakan satu realitas keselamatan yang dilihat dari dua segi. Dari pihak Allah kepada manusia, terlaksana penebusan atau pengudusan umat manusia. Dari pihak manusia kepada Allah terjadilah pemulihan.

Konstitusi Liturgi suci juga menyebabkan subjek atau pelaksana Liturgi. Menurut SC art. 7 subjek Liturgi adalah kepala dan anggota tubuh mistik Yesus Kristus. Itu berarti subjek atau pelaku Liturgi adalah Yesus Kristus dan gereja. Maka Liturgi selalu merupakan tindakan Kristus dan sekaligus tindakan gereja. Pengertian Liturgi dalam dokumen dokumen gereja paskah Vatikan II juga selalu mengacu dan menegaskan apa yang diajarkan oleh konstitusi Liturgi ini. Maka benar juga, bila orang merumuskan definisi Liturgi sebagai tindakan bersama antara imam agung Yesus Kristus dan gerejanya bagi pengusaha manusia dan pemulihan Allah.[5]

1.3. Perkembangan Liturgi

Sejalan dengan pengertian liturgi yang pada awalnya tidak langsung dipahami sebagai bagian dari hubungan manusia dengan Allah, maka dalam perkembangannya ada perubahan-perubahan bahkan perkembangan terkait dengan pemahaman liturgi tersebut.

1.3.1. Asal Usul Perkembangan Awal

Kata “Liturgi” berasal dari bahasa Yunani Leitourgia. Kata leitourgia terbentuk dari akar kata ergon, yang berarti „karya‟, dan leitos, yang merupakan kata sifat untuk kata benda laos (=bangsa). Secara harfiah, leitourgia berarti „kerja‟ atau „pelayanan‟ yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa. Dalam masyarakat Yunani kuno, kata leitourgia dimaksudkan untuk menunjuk kerja bakti atau kerja pelayanan yang tidak dibayar, iuran atau sumbangan dari warga masyarakat yang kaya, dan pajak untuk masyarakat atau negara. Dengan begitu menurut asal-usulnya, istilah leitourgia memiliki arti profan-politis dan bukan arti kultis sebagaimana biasa dipahami sekarang ini. Sejak abad keempat sebelum Masehi, pemakaian kata leitourgia diperluas, yakni untuk menyebut berbagai macam karya pelayanan.[6] Sejak awal, liturgia bukanlah istilah kultus (upacara suci), melainkan istilah politik. Liturgi adalah pelayanan khusus kepada masyarakat. Konsep awalnya merupakan pembayaran pajak atau upeti yang berupa tenaga kerja, kemudian diperluas dan diatur menjadi sebuah sistem pajak dan cukai yang justru membebankan dari pada sebuah darma bakti[7]

1.3.2. Perkembangan Liturgi Pada Abad 20

Dalam buku yang ditulis oleh Pada dekade pertama abad 20, Paus Santo Pius X menekankan pentingnya sering menerima Komuni, bahkan harian. Ia mendeklarasikan bahwa anak-anak sebaiknya menerima Komuni pertamanya ketika mereka mencapai umur yang dapat dipertanggungjawabkan. Ia juga mendorong seluruh umat untuk berpartisapasi dalam menyanyikan lagu Gregorian pada waktu perayaan Ekaristi. Tidak lama setelah itu, Misa Romawi banyak diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lokal yang dapat dipergunakan oleh kaum awam, mengizinkan mereka untuk mengikuti dan memahami doa-doa dalam Misa.

Dalam “surat ensiklik”, “Mediator Dei” tahun 1947, Paus Pius XII mendefinisikan liturgi sebagai penyembahan umat terhadap Tubuh Mistik Kristus. Ia mengajarkan bahwa liturgi menuntut partisipasi aktif anggotanya, seluruh umat dan imam. Untuk mendorong umat lebih berpartisipasi, ia merekomendasikan diaolog mengenai Misa. Tahun 1950-an, dilandasi oleh studi-studi para ilmuwan liturgi dari German, Pius XII merevisi upacara-upacara Minggu Suci menurut pola-pola penyembahan kuno.

Berikut adalah panggung untuk Paus Yohanes XXIII dan Konsili Vatikan Kedua. Tahun 1959 Yohanes XIII mengumumkan rencananya untuk mengadakan konsili ekumene. Tahun berikutnya ia mengeluarkan seperangkat rubrics baru untuk Misa. Pada sesi pertama Konsili Vatikan II tahun 1962, para uskup melaksanakan voting guna penulisan kembali dokumen tersebut. Tahun berikutnya para uskup melakukan voting dan menyetujui Konstitusi Liturgi Suci dengan perbandingan yang setuju 2.147 dan yang tidak setuju 2. Sebuah jaman baru dimulai.[8]

1.3.3. Liturgi Dalam Perjanjian Baru

Dalam Injil Lukas 1:23, leitourgia masih memiliki makna yang sama sekali persis dengan penggunaannya dalam LXX (Pejanjian Lama), yakni pelayanan imam Perjanjian Lama. Dibandingkan dengan tulisan Perjanjian Baru yang lain, Surat kepada jemaat di Ibrani merupakan kitab yang paling sering menggunakan kata ini (sebanyak 3 kali dalam Ibr 8:6; 9:21; 10:11). Memang surat Ibrani masih menggunakan kata leitourgia dan leitourgein menurut arti pelayanan imam, tetapi kedua kata itu kini telah mendapat konteks yang sama sekali baru.

Penulis surat Ibrani menggunakan kata leitourgia untuk menjelaskan makna imamat Yesus Kristus sebagai satu-satunya imamat Perjanjian Baru. Imamat Kristus merupakan pelayanan yang jauh lebih agung dan berdaya guna dibandingkan dengan pelayan imam Perjanjian Lama. Oleh karena itu, imamat dan tata liturgi Perjanjian Lama sudah tidak berlaku lagi, sebab Kristus adalah satu-satunya pelayan (leitourgos), tempat kudus dan kemah sejati (Bdk. Ibr 8:2). “yang pertama Ia hapuskan, supaya menegakkan yang kedua. Dan karena kehendak-Nya inilah kita telah 34 Ibid., hal.19 33 dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Kristus” (Ibr 10:9-10).

Pada tulisan Perjanjian Baru yang lain, penggunaan kata leitourgia dan leitourgein memiliki makna yang berbeda-beda. Pada Kis 13:2 kata liturgi menunjuk arti “ibadat atau doa Kristiani” seperti arti biasa yang kita mengerti sekarang ini: “pada suatu hari ketika mereka beribadah (leitourgein) kepada Tuhan dan berpuasa,....” (Kis13:2a). Dalam Rom 15:16 Paulus disebut sebagai pelayan (leitourgos) Yesus Kristus melalui pelayanan pemberitaan Injil Allah. Maka, istilah “Liturgi” di sini berarti pelayanan dalam bidang pewartaan Injil Allah. Tetapi, dalam 2 Kor 9:12 dan Rm 15:27 kata liturgi berarti sumbangan yang merupakan tindakan amal kasih bagi saudara-saudari seiman di tempat lain. Dalam teks-teks seperti Flp 2:25.30; Rm 13:6; Ibr 1:7, kata “liturgi” memiliki arti “melayani” dalam arti yang biasa.

Kalau disimpulkan, kata “liturgi” dalam Perjanjian Baru dihubungkan dengan pelayanan kepada Allah dan sesama. Pelayanan kepada Allah dan sesama itu tidak hanya dibatasi pada bidang ibadat saja, tetapi juga pada aneka bidang kehidupan lain. Yang menarik ialah bahwa istilah liturgi dalam Perjanjian Baru tidak pernah untuk menunjuk pelayanan kultis dari pimpinan jemaat Kristiani, seperti para rasul, nabi, imam atau uskup. Hal ini berkaitan dengan paham Gereja Perdana tentang imamat Perjanjian Baru. Imamat Perjanjian Baru sama sekali tidak berdasarkan imamat Perjanjian Lama. Kalau imamat Perjanjian Lama dihubungkan pada kelompok imam atau lewi dan didasarkan pada pelayanan Bait Suci, imamat Perjanjian Baru melulu mendasarkan diri pada satu-satunya imamat 34 Yesus Kristus. Sedangkan, imamat yang kita kenal seperti imamat umum ataupun imamat khusus (Tahbisan) dalam Gereja selalu merupakan partisipasi pada satusatunya imamat Yesus Kristus.[9]

1.4. Liturgi Menuntut Peran Serta Umat secara Sadar dan Aktif[10]

Di dalam kehidupan gereja Katolik masih ada di beberapa paroki, di mana Liturgi hanya menjadi di one-man-show atau pertunjukan satu orang pemain, yaitu Sang pastor. Umat hanya menjadi penonton yang setia dan baik, sementara segala-galanya dibereskan oleh pastornya. Atau ada Misa dengan orkes dan kor yang sangat hebat, seperti profesional dan pemusik andal terkenal. Lalu umat yang hadir banyak sekali tetapi semua yang hadir hanya sebagai penonton, selesai lalu pulang. Paling-paling mereka pulang dengan decak kagum. Kehidupan Liturgi seperti itu tampaknya menarik tetapi kurang sehat. Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing ke arah keikutsertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan perayaan Liturgi.

Apa artinya peran serta umat yang sadar dan aktif? Sadar menunjukkan makna pemahaman, bahwa umat tahu dan mengerti apa yang sedang dibuat; tahu dan mengerti makna simbol apa yang digunakan dalam Liturgi. Kalau orang itu tahu akan apa yang dibuat tentu ia akan lebih bisa menghayati dan menikmatinya. Sementara kata “aktif”’ menunjukkan keterlibatan yang penuh dari umat beriman dalam perayaan Liturgi. Dalam Liturgi, kita jangan hanya menjadi penonton, tetapi ikut terlibat aktif. Menjadi penonton adalah menjadi orang asing dalam Liturgi. Seluruh umat beriman bukanlah orang asing tetapi ikut menjadi pelaku dan subjek Liturgi. Maka semua harus ikut aktif terlibat. Dan cara keterlibatan itu dilaksanakan sesuai dengan tugas dan peran masing-masing.

1.5. Teologi

Istilah “teologi” berasal dari akar kata dua istilah bahasa Yunani, theos dan logos. Theos berarti “Allah” atau “ilah” dan logos berarti “Perkataan/ firman/wacana”. Jadi, makna istilah teologi adalah “wacana (ilmiah) mengenai Allah atau ilah-ilah”. Istilah ini telah dipakai orang Yunani jauh sebelum munculnya gereja Kristen untuk menunjuk pada ilmu mengenai hal-hal ilahi. Bahkan sampai sekarang kata “teologi” dapat dipakai makna umum dan luas. Lihat, misalnya, definisi dalam Kamus Bahasa Indonesia yang merumuskan teologi sebagai pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat-sifat Allah dan Agama terutama berdasarkan pada kitab-kitab suci).

Dalam gereja Kristen, teologi mula-mula hanya membahas ajaran mengenai Allah, kemudian artinya menjadi lebih luas, yaitu membahas keseluruhan ajaran dan praktik Kristen. [11] Dalam buku yang ditulis oleh R. Paul Stevens yang berjudul “God’s Business: Memaknai Bisnis Secara Kristiani” ditulis bahwa William Perkins, seorang penginjil puritan, mengatakan dengan lebih jelas: “Teologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan yang diberkati selamanya.” Teologi yang baik bagaikan curahan air hujan ditanah kering, atau seperti angina sejuk di hari yang panas.[12]

1.6.Hubungan Liturgi dan Studi Teologi

Dalam buku yang berjudul “Apa itu Teologi” yang ditulis oleh B. F. Drewes, Julianus Mojau, disampaikan bahwa Liturgi merukan bagian dari dalam studi teologi, juga yang termasuk di dalamnya adalah:

1. Pengantar Ilmu Teologi

2. Pengantar Hermeneutik Perjanjian Lama

3. Pengantar Hermeneutika Perjanjian Baru

4. Hermeneutika Perjanjian Lama I

5. Hermeneutika Perjanjian Lama II

6. Hermeneutika Perjanjian Baru I

7. Hermeneutika Perjanjian Baru II

8. Sejarah Agama Kristen

9. Kristologi

10. Eklesiologi

11. Etika Kristen

12. Teologi Pastoral

13. Pendidikan Agama (Kristen)

14. Liturgika

15. Homiletika [13]

Sesuai definisi Liturgi yaitu pekerjaan yang dibuktikan bagi kepentingan umat, bangsa, orang banyak. Jadi dapat kita hubungkan Liturgi dengan teologi yaitu pelayanan Kristus bagi dunia. Dalam hubungannya dengan peribadahan, maka arti Liturgi adalah perayaan iman Gereja akan misteri penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus. dalam hal ini, keberlangsungan Liturgi dipandang sebagai peristiwa perjumpaan atau sapaan, komunikasi antara Allah dan umat beriman. Dalam pengertian ini dapat kita lihat bahwa sifat Liturgi pertama-tama bukan dari bawah ke atas, melainkan dari atas ke bawah tanah. Artinya, Liturgi merupakan tindakan atau pekerjaan Allah atas dan bagi manusia. Liturgi adalah perayaan terhadap pekerjaan Allah yang menyelamatkan manusia dalam Yesus Kristus. Dalam perayaan Iman ini, dinamika perayaan itu dimulai dari Allah. Allah yang mencari mengundang, bertemu dan menyampaikan firman-Nya kepada jemaat.

Filosofi Liturgi adalah pekerjaan yang dilakukan Allah dalam Yesus Kristus untuk orang banyak, dan dirayakan orang-orang percaya dalam suatu pertemuan ibadah. Jadi yang menjadi di subjek atau pelaku utama liturgi adalah Kristus. Dalam hal ini tindakan Kristus dilakukan melalui gereja, atau dengan perkataan lain alat Kristus untuk melakukan liturgi adalah gereja jadi Liturgi adalah pekerjaan gereja atas nama Kristus. [14]

Unsur-unsur liturgi memberikan tempat pengajaran dan pemberitaan firman melalui pembacaan Alkitab, nyanyian, homili atau khotbah. Pengajaran dan pemberitaan firman diejawantahkan ke dalam bentuk persembahan roti dan anggur, dan memuncak pada pengutusan: “Ite missa est!” Hal ini mengingatkan umat bahwa tujuan ibadah Kristen ialah mempersembahkan diri sebagai pelayan dan utusan Allah di kehidupan sehari-hari. Fleksibilitas hubungan anatara aksi liturgi dan selebrasi liturgy menyebabkan ia tidak hanya ditekuni oleh imam ayau pejabat gereja, tetapi juga menjadi disiplin wajib para calon teolog sejak di seminari. Liturgi bukan urusan gereja yang terpisah dari perkembangan teologi dan refleksi teologis. Oleh karena itu, ilmu liturgi wajib di pelajari oleh calon pendeta, calon pastor, dan calon teolog di seminari teologi. Sejarah liturgi banyak digeluti oleh mahasiswa seminari dalam mata kuliah Liturgi. Biblika dan Sejarah Gereja mempunyai porsi yang sangat besar dalam ilmu liturgi.

Liturgi adalah kreasi teologis yang sekaligus teoritis dan praksis. Yang pertama tidak dapat berjalan tanpa yang kedua. Jika liturgi hnaya beruoa teori pada teolog, ia hanya sebuah dogma. Padahal, teologi adalah juga praksis gereja. Gereja sebagai tubuh Kristus menjadi nyata melalui sikap para anggotanya yang telah diperbaharui. Teologi sebagai ilmu, misi, dan pembaruan spiritualitas adalah tritunggal dalam liturgi. Kesatuan tersebut terangkum di dalamnya secara pastoral.

Kegiatan berliturgi tidak memisahkan antara tindakan dan perayaan, antara praktik dan teori, antara kelakuan dan meditasi, antara praksis dan refleksi. Dalam rangka pemikiran yang lebih luas, teologi dipahami sebagai usaha untuk mengenal Allah sambil berjuang untuk melaksanakan kehendak-Nya. Teologi harus juga bersifat parktis dan mampu membuktikan diri di dalam praksis. Teologi harus melibatkan diri dengan kegiatan Allah maupun kegiatan manusia. Hal itu ditampilkan dalam liturgi.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan praktik adalah:

· Pelaksanaan menurut pola tertentu

· Satu pola tetap dari kegiatan berulang-ulang

· Latihan sebagai dasar keterampilan

· Menjalankan pekerjaan dan jabatan.[15]

1.6.1. Ibadah Sebagai Pastoral Liturgi[16]

Teologi Pastoral adalah bagian dari Teologi Praktika. Dan Teologi Praktika adalah teologi yang berkata-kata tentang pelayanan Gereja di berbagai-bagai bidang.[17] Dalam upacara atau ibadah gerejawi, tersusunlah sebuah mata ibadah yang lazim disebut sebagai liturgi. Liturgi adalah tata ibadah dan bahkan ibadah itu sendiri, karena ibadah itu satu, hanya orientasi utamanya langsung terkait dengan subjek pelakunya. Yang hidup berdaulat adalah ibadah. Yang mengeluarkan tata ibadah adalah ibadah itu sendiri dan bukan pelakunya. Tata ibadah sangat tergantung pada ibadah karena itu merupakan pernyataan atau perwujudan ibadah. Jadi, ibadah secara eksistensial itu ada lebih dulu, baru kemudian diwujudkan dalam tata cara tertentu dan keteraturan tertentu. Dari corak yang khas politis, liturgia merupakan bentuk pelayanan khusus terhadap masyarakat, dan kemudian liturgia menjadi sebuah sistem pelayanan sosial. Dalam perkembangan berikutnya, istilah liturgia lalu dipakai menjadi istilah kultus. Di sini peran pelayanan terhadap masyarakat umum diubah menjadi pelayanan kepada masyarakat gereja yang lebih bersifat eksklusive.

Liturgia yang dahulu merupakan sistem pelayanan sosial, setelah dipakai sebagai istilah untuk upacara suci, menjadi sebuah sistem pelayanan spiritual gerejawi. Kehidupan gerejawi tak akan dapat lepas dari sebuah penggembalaan atau pendampingan pastoral, yang merupakan bagian dari sistem spiritual gerejawi. Karena hal itu liturgia lalu dimaknai sebagai bentuk sistem pelayanan spiritual gereja melalui pastor. Pendampingan pastoral ini dibutuhkan sekali oleh warga gereja pada saat di mana tekanan dan ketegangan hidup ini mulai mempengaruhi tubuh dan jiwanya.

Gereja adalah sekumpulan orang yang juga mengalami tekanan dan ketegangan kehidupan. Idealnya, peran pastoral memang sebaiknya dijalankan oleh seorang pastor, gembala, yang di kalangan Protestan disebut pendeta. Di sini perkunjungan lalu dipandang sebagai satu-satunya bentuk pendampingan pastoral yang strategis dan efektif sebab dalam perkunjungan terjadi pertemuan khusus di antara pastor (gembala) dengan warga jemaatnya (domba). Di sini permasalahan serius mulai muncul, permasalahan yang dipicu oleh pengertian yang keliru tentang pelayanan pastoral gerejawi. Kekeliruannya adalah ia terlalu sering diartikan sebagai perkunjungan pastor kepada warga jemaatnya, atau pertemuan tatap muka dalam bentuk konseling. Sebagai sebuah agama yang melembaga, gereja sebenarnya memiliki tradisi kultus (upacara suci) yang selayaknya dapat mengakomodasi tindakan pastoral yang ideal kepada jemaat. Secara tradisional, William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle mendefinisikan fungsi penggembalaan jemaat demikian:

1. Menyembuhkan (healing).

Ini adalah salah satu fungsi pastoral yang bertujuan mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan dan menuntunnya ke arah yang lebih baik daripada kondisi sebelumnya.

2. Mendukung/menopang (sustaining).

Ini adalah fungsi pastoral yang menolong orang yang terluka untuk bertahan dalam melewati suatu keadaan yang di dalamnya ia mengalami pemulihan kepada kondisi semula atau kesembuhan dari penyakit yang tidak mungkin atau tipis kemungkinannya untuk sembuh.

3. Membimbing (guiding).

Ini adalah fungsi pastoral yang membantu orang-orang yang kebingungan untuk menentukan pilihan-pilihan yang tepat di antara berbagai alternatif jika pilihan-pilihan itu dipandang sebagai yang akan mempengaruhi keadaan jiwanya sekarang dan yang akan datang.

4. Pendamaian/rekonsiliasi (reconciling).

Ini adalah fungsi pastoral yang berupaya membangun kembali relasi manusia dengan sesamanya, dan antara manusia dengan Allah.

II. Kesimpulan

Dari penjelasan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa kini liturgi bukan lagi hanya berbicara tentang pemerintahan atau politik, tetapi berbicara tentang hubungan antara manusia dengan Allah dan juga sebaliknya. Bahwa pada umumnya Liturgi dipakai dalam arti Tata aturan ibadah gereja yang tertulis. Liturgi mencakup semua upacara yang dilakukan oleh jemaat yang berkumpul. Liturgi adalah tindakan yang perlu dilakukan oleh orang yang telah dibaptis.Liturgi tidak boleh dipahami hanya sebagai aturan tentang apa yang boleh dan tidak. Liturgi bukanlah suatu karya sastra. Bukan juga suatu keselamatan pribadi atau devosi, yang dilakukan sendiri-sendiri ataupun hanya secara batin. Liturgi adalah karya bakti bersama. Di mana orang-orang mengekspresikan imannya untuk melayani, karena Liturgi merupakan suatu pelaksanaan tugas imamat. Di dalam Perjanjian Lama Liturgi identik dengan pelayanan imam namun dalam Perjanjian Baru disebutkan bahwa Liturgi merupakan dan wujud pelayanan Allah dan sesama. Liturgi merupakan tindakan atau pekerjaan Allah atas dan bagi manusia. Liturgi adalah perayaan terhadap pekerjaan Allah yang menyelamatkan manusia dalam Yesus Kristus. Dalam perayaan Iman ini, dinamika perayaan itu dimulai dari Allah. Allah yang mencari, mengundang, bertemu dan menyampaikan firman-Nya kepada jemaat. Kemudian Liturgi itu teraplikasi dalam peribadahan maupun perilaku manusia juga. Jadi litugi berlangsung terus menerus dalam kehidupan orang percaya.

Kemudian disimpulkan juga kaitan Liturgi dengan teologi yaitu suatu ekspresi iman kita untuk melayani Allah melalui sesama manusia yang saling mengasihi. Juga bahwa Liturgi memiliki hubungan yang erat bahkan menjadi bagian dalam studi Teologi, kerena dalam teologi juga, Allah itu sendirilah yang menjadi pusatnya sejalan dengan pemahaman Liturgi. Jadi dapat kita hubungkan Liturgi dengan teologi, yaitu pelayanan Kristus bagi dunia. Liturgi bukan urusan gereja yang terpisah dari perkembangan teologi dan refleksi teologis. Oleh karena itu, ilmu liturgi wajib di pelajari oleh calon pendeta, calon pastor, dan calon teolog di seminari teologi. Dalam sajian juga telah disampaikan salah satu keterkaitan liturgi dan studi teologi yaitu perannya juga yang terdapat dalam Ibadah sebagai pastoral liturgi, dan masih banyak lagi keterkaitan yang dapat dilihat antara teologi dengan liturgi itu sendiri.

III. Daftar Pustaka

Abineno J.L. Ch., Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral, Jakarta: Gunung Mulia, 2006

Drewes B. F. dan Julianus Mojau, Apa Itu Teologi?, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007

Huck Gabe,Liturgi yang Anggun dan Menawan, Yogyakarta : Kanisius, 1997

Komisi Liturgi – Keuskupan Agung Semarang, Liturgi dan Ekaristi: Seri Katekese Liturgi, Yogyakarta: PT Kanisius, 2019

Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang, Dasar-dasar Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 2019

Lukefahr Oscar, dkk, Mengungkap Misteri dan Rahasia Misa Katolik, Bandung: Lumen Deo, 2014

Munthe Pardomuan, Gempa Rohani, Medan: PT Penerbit Mitra Grup, 2020

Rachman Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, Jakarta : Gunung Mulia, 2015

Stevens R. Paul, God’s Business: Mengenai Bisnis secara Kristiani, Jakarta: Gunung Mulia, 2008

Wellem Fraderiek Djara, Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: Gunung Mulia, 2006

IV. Sumber Lain

Gambaran Umum Tentang Liturgi,

Dalam http://repository.unwira.ac.id/2179/4/Skripsi%20Bab%20III.pdf

Jarot Kristanto, “Simbol-Simbol Liturgi: Studi Tentang Makna Simbol Liturgi Ditinjau Dari Fungsi Pastoral”, Jurnal Theologia Aletheia 12/21, dalam http://sttaletheia.ac.id/wp-content/uploads/2012/08/simbol-simbol-liturgi.pdf












[1] Fraderiek Djara Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 265-266


[2] Gabe Huck,Liturgi yang Anggun dan Menawan, (Yogyakarta : Kanisius, 1997), 15


[3] Rasid Rachman, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, (Jakarta : Gunung Mulia, 2015), 2-3


[4] Komisi Liturgi – Keuskupan Agung Semarang, Liturgi dan Ekaristi: Seri Katekese Liturgi, (Yogyakarta: PT Kanisius, 2019), 17-18






[5] Gambaran Umum Tentang Liturgi, Dalam http://repository.unwira.ac.id/2179/4/Skripsi%20Bab%20III.pdf, Diakses pada 28 Januari 2021, Pukul 13.58 WIB


[6] Gambaran Umum Tentang Liturgi, Dalam http://repository.unwira.ac.id/2179/4/Skripsi%20Bab%20III.pdf, Diakses pada 28 Januari 2021, Pukul 14.39 WIB


[7] Jarot Kristanto, “Simbol-Simbol Liturgi: Studi Tentang Makna Simbol Liturgi Ditinjau Dari Fungsi Pastoral”, Jurnal Theologia Aletheia 12/21, dalam http://sttaletheia.ac.id/wp-content/uploads/2012/08/simbol-simbol-liturgi.pdf, Diakses tanggal 30 Januari 2021, Pukul 08.32 WIB, halaman 23.


[8] Oscar Lukefahr, dkk, Mengungkap Misteri dan Rahasia Misa Katolik, (Bandung: Lumen Deo, 2014), 93-94


[9] Gambaran Umum Tentang Liturgi, Dalam http://repository.unwira.ac.id/2179/4/Skripsi%20Bab%20III.pdf, Diakses pada 28 Januari 2021, Pukul 15.07 WIB.


[10] Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang, Dasar-dasar Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 2019), 45-46.


[11] B. F. Drewes dan Julianus Mojau, Apa Itu Teologi?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 16-17


[12] R. Paul Stevens, God’s Business: Mengenai Bisnis secara Kristiani, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), 16


[13] B. F. Drewes dan Julianus Mojau, Apa Itu Teologi?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 11


[14] Pardomuan Munthe, Gempa Rohani, (Medan: PT Penerbit Mitra Grup, 2020), 154


[15] Rasid Rachman, Pembimbing ke Dalam Sejarah Liturgi, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 7-8


[16] Jarot Kristanto, “Simbol-Simbol Liturgi: Studi Tentang Makna Simbol Liturgi Ditinjau Dari Fungsi Pastoral”, Jurnal Theologia Aletheia 12/21, dalam http://sttaletheia.ac.id/wp-content/uploads/2012/08/simbol-simbol-liturgi.pdf, Diakses tanggal 30 Januari 2021, Pukul 08.58 WIB, halaman 23.


[17] J.L. Ch. Abineno, Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 17

Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Mundosaragi
Total Pageviews