I.
Pembahasan
2.1. Sejarah Bangsa Israel
2.1.1.
Jati Diri Bangsa
Israel
Setelah melalui proses yang panjang, bangsa Israel mencoba menafsirkan
kenyataan yang mereka alami mulai dari pembebasan sampai pembentukan suatu
komunitas sebagai tindakan pilihan Allah terhadap mereka. Kesadaran akan ikatan
ini digambarkan dengan jelas dalam bentuk perjanjian antara Allah dengan Israel
bahwa mereka menjadi umat Allah. Tetapi karena kelemahan mereka sebagai
manusia, mereka melanggar janji tersebut. Selain Allah menghukum mereka atas
tindakannya, mereka juga membuat perjanjian baru dan menghadiahkan hati yang
baru. Ketika mereka mengalami krisis persatuan dan kesatuan sebagai umat Allah,
mereka mencoba memperbaiki eksistensi dan mengangkat kembali jati diri mereka
dengan cara memberikan tekanan (dorongan) baru atas keberadaan mereka sebagai
bangsa pilihan. Israel membangun kembali kemurnian mereka sebagai bangsa
pilihan Allah dan juga kesucian kenisah Yahwe agar jangan dimasuki
bangsa-bangsa lain yang kafir, karena kenisah adalah tempat kediaman Allah.
Usaha-usaha yang dilakukan tersebut di satu sisi membawa dampak positif yakni
kembalinya kesadaran umat akan status mereka di hadapan Allah dan janji
kesetiaan mereka kepada-Nya sehingga kesatuan dan persatuan mereka semakin
kokoh. Namun di sisi lain upaya tersebut justru mengakibatkan bangsa Israel
menjadi bangsa yang ekslusif, egoistis, dan separatis terhadap bangsa-bangsa
disekitarnya. Oleh karena itu tidak mungkin dapat menjalankan karya misioner
secara langsung yaitu tindakan mewartakan Allah kepada bangsa-bangsa lain.[1]
Paham mereka terhadap Allah lebih bercorak partikularistis (Kel. 19:3-6; Ul. 6,
7) ruang gerak Yahwe dipersempit dan digambarkan sebagai Allah suku.
Keselamatan oleh Allah terpusat di Sion atau Yerusalem (Yer. 3:17) dan secara
etnis hanya bagi bangsa Israel. Pergaulan mereka dengan bangsa-bangsa non
Yahudi dianggap sebagai sebuah tindakan melawan hukum dan membawa aib bagi umat
kudus Yahwe (Ul. 34:12-16; Ul. 7:3-4; bdk Gal. 2:11 dst; Kis. 11:1).[2]
2.1.2.
Keberadaan Bangsa
Israel pada Masa Transisi
2.1.2.1. Diaspora
Pada masa pembuangan Israel Utara ke Asyur danYehuda ke Babilonia secara
drastic mengubah keadaan bangsa Israel. Sejak zaman itu Israel tidak ada
kesatuan politik lagi yang berarti tidak merupakan satu negara, satu bahasa dan
satu kebudayaan. Namun sebaliknya, Israel dikuasai oleh bangsa lain yaitu
Asyur, Babilonia, Persia, Yunani (bnd. Daniel 2:7-12). Palestina menjadi bagian
dari salah satu provinsi dari kerajaan bangsa asing. Kemerdekaan bangsa Israel
telah dihapuskan. Mereka tidak begitu menghargai lagi kehidupan bersama di
tanah airnya. Walaupun mereka tetap memperoleh tanda sunat dan bait Allah
berpusat di Yerusalem, namun persatuan dan kesatuan mereka telah berubah.
Jumlah orang Yahudi yang pulang ke Yudea dibawah pimpinan Ezra dan Nehemia
berjumlah 42.000 jiwa (Ezr. 2:64; Neh. 7:66). Mereka membangun kembali Bait
Allah dan mengikat diri pada hukum Taurat dengan menolak semua unsur kekafiran.
Jumlah orang Yahudi yang tingal di luar Palestina jauh lenih besar. Menurut
kitab Ester, orang Yahudi yang tersebar di seluruh Kerajaan Persia, bukan
sebagai buangan melainkan menurut kesukaan mereka sendiri. Kehidupan
berdiaspora ini terus berlangsung setalah Persia ditaklukkan oleh Yunani dan
digantikan lagi oleh Romawi. Dapat dimengerti bahwa banyak kesulitan dalam berdiaspora
untuk mempertahankan posisi istimewa mereka sebagai bangsa pilihan Allah.
Karena orang Yahudi hidup sebagai orang asing di daerah-daerah dengan
kebudayaan lain, berbahasa lain, dan beragama lain. Sejarah mencatat bahwa
banyak dalam bidang kehidupan mereka menyesuaikan diri dengan keadaan setempat.
Misalnya dalam bahasa (Kis. 2:1-13 dan 6:1) dan kebudayaan. Sementara filsafat
Helenisme mempunyai daya tarik yang besar (Kol. 2) tetapi kebanyakan orang
Yahudi tetap setia dan berbakti kepada Allah. Meskipun tempat tinggal mereka
jauh sekali dari Yerusalem, biasanya mereka berkumpul pada hari sabat di
sinagoge yang mereka bangun di kota asing itu. Banyak pula orang Yahudi yang
berpergian ke Yerusalem untuk merayakan hari-hari besar keagamaan.[3]
2.1.2.2. Helenisme
Baik orang Yahudi yang berdiaspora maupun yang tingal di Palestina,
filsafat helenisme merupakan suatu ancaman. Melalui filsafat tersebut kehidupan
diseluruh kerajaan atau kekaisaran disamaratakan. Bahasa umum yang dipakai
ialah bahasa Yunani dan kebudayaan Yunani dianggap sebagai pola hidup yang
paling utama. Bagi orang Yahudi yang paling berbahaya ialah ketika Allah Israel
dianggap identic dengan dewa Zeus dan Yupiter. Hal ini merupakan ancaman besar
bagi orang Yahudi dan mereka dipaksa untuk berbakti kepada Zeus dengan
mempersembahkan kurban babi dalam Bait Allah di Yerusalem. Banyak orang Yahudi
yang tidak mematuhi aturan tersebut dan banyak juga yang mati martir karena
menolak aturan tersebut. Namun sebaliknya keberadaan dan kehadiran orang Yahudi
di antara bangsa-bangsa lain dalam situasi tersebut ternyata memiliki pengaruh
yang cukup besar.[4]
2.1.2.3. Ejekan dan Harapan
Ketika bangsa-bangsa asing diolok-olok dan dihina karena budaya, bahasa
dan agama lain. Sering timbul salah pengertian antar bangsa-bangsa tersebut.
Hal ini merupakan kenyataan bagi orang-orang non Yahudi yang tidak mengerti
agama Yahudi. Menurut mereka agama Yahudi adalah agama yang kosong, yang mereka
tolak dengan ejekan dan tertawaan. Hati mereka tergerak dengan kesetiaan orang
Yahudi kepada Allahnya dan sebagian dari mereka mulai ikut berbakti kepada
Allah. Mereka takut akan Allah. Hal ini berarti mereka percaya kepada Yahwe dan
ingin hidup menurut firman-Nya. Dalam bahasa Yunani orang-orang ini disebut sebomenoi atau phoboumenoi (Kisa. 13:43) di antara mereka ada juga yang ingin
masuk dalam perjanjian dan menerima tanda sunat agar mereka menjadi sama dengan
orang Yahudi. Kelompok ini disebut Proselit.
Mengenai penerimaan orang kafir menjadi penyembah Allah, banyak orang Yahudi
yang berbeda pendapat. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa orang Yahudi
yang tinggal di Palestina berpendirian sangat keras. Pemimpin-pemimpin mereka
sangat fanatik sekali dalam menjaga kemurnian umat Allah. Hukum dan adat Musa
jangan sekali-kali dinajiskan. Namun sebaliknya orang Yahudi yang berdiaspora
agak lunak, sehingga mereka bersedia menerima orang luar yang ingin masuk ke
dalam komunitas umat Allah.[5]
2.1.2.4. Belum Ada Pekabaran Injil
Masuknya orang-orang non Yahudi menjadi proselit bukanlah hasil dari
pekabaran Injil yang dilakukan oleh orang Yahudi. Kegiatan pekabaran firman
Tuhan ini baru ada dikemudian hari (Mat. 23:16) tapi pada permulaan diaspora
orang Yahudi tidak aktif secara misioner. Orang-orang non Yahudi yang ingin
hidup menurut hukum Tuhan biasanya datang secara spontan karena tertarik akan
agama Yahudi. Mereka belajar mengenal Allah dan percaya kepada-Nya. Rumah
ibadat mereka dianggap sebagai pusat pekabaran Firman Allah. Mereka diterima
oleh orang Yahudi sesuai dengan peraturan-peraturan Allah dalam PL mengenai
orang asing.[6]
2.1.2.5. Septuaginta
Tidak disangka bahwa orang Yahudi dapat menunjukkan keunggulan budaya
dan agama mereka. Menurut filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles banyak
meminjam dari hukum Musa dalam mengembangkan fisafat mereka. Ajaran PL tidak
jauh berbeda dengan ajaran filsafat Yunani, karena dasar filsafat Yunani
sebenarnya adalah PL. Melalui hal tersebut orang Yahudi berusaha menampik upaya
helenisme menyamaberatkan semua agama juga kebudayaan Yunani dan Kekaisaran
Romawi. Mereka berusaha meyakinkan bahwa semua agama ciptaan Helenisme sama
dengan Yahudi. Di antara kaum Yahudi sendiri timbul gerakan melawan kelompok
yang mengatakan bahwa helenisme berasal dari agama Yahudi. Hal ini merupakan
salah satu alasan untuk menerjemahkan kitab PL ke dalam bahasa Yunani yakni
Septuaginta.[7]
2.1.3.
Status Bangsa Israel
Bangsa Israel adalah satu-satunya bangsa yang memiliki status yang
berbeda di antara bangsa-bangsa lain. Status tersebut ialah mereka adalah
keturunan Abraham (Rm. 9:4-5) dari anak perjanjian dan bukan anak dalam
pengertian biasa namun memiliki keistimewaan. Keistimewaannya tersebut ialah
anak yang dilahirkan karena Allah sejak semula mengikatkan diri-Nya kepada apa
yang dijanjikan-Nya.[8]
Keistimewaan lainnya ialah karena Allah berkenan memilih mereka menjadi
umat-Nya. Status tersebut diteguhkan kembali ketika mereka keluar dari
perbudakan di Mesir.[9]
Status tersebut diberikan Allah kepada Israel bukan semata-mata karena mereka
lebih baik dari bangsa lain, akan tetapi Allah komitmen dengan apa yang menjadi
janji-Nya dan semuanya itu adalah anugerah kerelaan kehendak-Nya yang telah
dinyatakan kepada leluhurnya.[10]
2.1.4.
Orang Asing yang
Dikenal Umat Israel pada Zaman PL
Umat Israel pada zaman PL, mengenal dua macam orang asing, yakni:
1. Orang asing yang
berasal dari luar negeri dan hanya sementara waktu berada di Palestina sebagai
tamu.
2. Orang asing yang
menetap di tengah-tengah orang Israel yang tinggal tetap bersama mereka.
Golongan kedua ini terdiri dari penduduk Kanaan asli yang tidak dimusnahkan dan
diterima dalam persekutuan kebangsaan Israel. Penerimaan tersebut menjamin
perlindungan hak mereka dan juga ada beberapa kewajiban bagi mereka dalam
bidang sosial dan keagamaan. Di dalam satu bagian Pentateukh “janganlah kau
tindas atau kau tekan seorang asing sebab kamu pun dahulu adalah orang asing di
Mesir (Kel. 22:21, bnd. 23:9). Para gerim wajib turut serta dalam perayaan hari
sabat (Kel. 20:10; Ul. 5:14), mereka boleh mempersembahkan kurban (Im. 17:8),
bahkan mereka berhak merayakan paskanh bersama-sama asal disunat terlebih
dahulu (Kel. 12:48). Sunat merupakan syarat mutlak bagi yang ingin masuk ke
dalam persekutuan Israel. Jika demikian, mereka juga harus dipelihara dan
dilindungi, sama seperti para janda dan yatim (Ul. 24:7). Mereka juga memiliki
hak yang sama dengan orang Israel asli (Ul. 1:16; 24:17). Dasarnya ialah bahwa
Allah menunjukkan kasih-Nya kepada orang asing. Gerim adalah orang yang bukan
orang Israel yang hampir seluruhnya diberi tempat dalam persekutuan agama
bangsa Israel.[11]
2.1.5.
Sikap Orang Israel
Terhadap Agama-agama Lain
Menurut Goldingday dan Wright dalam Perjanjian Lama terdapat dua sikap
bangsa Israel terhadap agama lain, yaitu:
1. Kadang-kadang
diakui bahwa agama-agama itu mencerminkan apa yang benar tentang Allah dan
Israel dipanggil untuk belajar dari mereka tentang kebenaran tersebut.
2. Agama-agama asing
itu senantiasa membutuhkan penerangan lebih lanjut yang hanya dapat diperoleh
jika mereka mengenal dan mengetahui apa yang telah dilakukan Allah terhadap
Israel.[12]
2.2.
Pengertian Proselitisme
Proselitisme berasal dari bahasa Yunani yaitu prosely yang berarti mereka yang datang dan bangsa-bangsa lain yang
kemudian menjadi penganut Yudaisme (Mat. 23:15). Proselytes dalam pengertian
yang sesungguhnya ‘orang yang tidak dikenal’, ‘orang luar’ khususnya dengan
menerima ajaran Yahudi tanpa melakukan penggabungan yang resmi atau dengan
menerima keistimewaan sakramen yang tetap dari tradisi sunat. Dalam Perjanjian
Lama, proselit dimaksudkan untuk orang yang bukan bangsa Israel. Pada masa itu
orang-orang yang masuk agama Yahudi menerima keuntungan yakni hubungan kelompok
keagamaan, yang berarti orang non Yahudi yang sudah lama tinggal di tengah-tengah
orang Yahudi dan mereka yang dianggap sebagai tamu dan berada dibawah
perlindungan undang-undang Israel. Proselit adalah orang yang baru masuk agama
sedangkan proselitisme ialah kegiatan menyebarluaskan agama. Proselit adalah
sebutan bagi orang yang bertobat dari kekafiran dan masuk agama Yahudi.
Seringkali dikemukakan bahwa pekabaran Injil Kristen merupakan lanjutan dari
Proselitisme Yahudi yang berkembang di abad terakhir sebelum zaman Kristen dan
di abad-abad pertama tarikh Masehi. Tetapi lambat laun pendapat seperti ini
ditinjau kembali berdasarkan penyelidikan yang lebih mendalam mengenai
proselitisme Yahudi.[13]
2.3.
Sejarah Munculnya Proselitisme
Proselitisme mulai kira-kira pada
zaman Makabe (abad ke-2 sebelum Kristus). Bahwasannya Proselitisme Yahudi sangat
mengesankan dan merupakan persiapan bagi perkabaran Injil.[14]
Usaha-usaha proselitisme Yahudi itu kelihatan berkembang di abad-abad terakhir
sebelum zaman Kristen dan abad-abad pertama tahun Masehi. Sekaligus perlu juga
diajukan perkataan Yesus yang sangat tajam seperti yang terdapat dalam Matius 23:15.
Mengapa penilaian Yesus terhadap usaha-usaha Yehudi demikian sangat keras? Hal
itu semata-mata karena propaganda atau penyebaran agama Yahudi yang
bertentangan dengan kesaksian Perjanjian Lama yang memberitakan datangnya
bangsa-bangsa dengan sendirinya menuju Sion. Sesuai dengan pemaparan ini bahwa
sinilah Israel yang menjadi pusat dunia. Alat keselamatan dalam tangan Tuhan
berubah menjadi tujuan keselamatan, yang berakibat menjadi umat Yahudi bersifat
sangat partikularis. Itulah memang sifatnya di satu pihak, namun dipihak lain,
sebagai umat Yahudi di zaman sebelum Kristus memperlihatkan kegiatan yang bukan
main besarnya untuk mencapai proselit. Dalam Septuaginta disalin dengan proselutos yang berarti orang yang baru
masuk agama, yang datang untuk turut serta, yang bertobat. Yang dimaksudkan
ialah orang yang memeluk agama Yahudi. Pada masa Diaspora aktivitas ini
bertujuan untuk memperoleh anggota baru dalam komunitas. Pada umumnya
masyarakat helenis memperlihatkan sinkretisme dan banyak sekali yang berminat
mengenai hal keagamaan. Para cendikiawan sangat tertarik dengan agama Yahudi
yang dianggapnya sebagai filsafat agamani. Agama Yahudi mempunyai daya tarik
yang kuat, karena persekutuan dan kerukunan di antara mereka. Terjemahan
septuaginta merupakan alat utama dalam proselitisme Yahudi. Orang-orang Yahudi
yang Diaspora berusaha untuk mengajak orang-orang dari bangsa lain untuk
menjadi proselit. Dari mereka tidak dituntut untuk suatu perpindahan secara nasional,
melainkan perpindahan keagamaan saja.[15]
2.4.
Proselitisme Yahudi[16]
Keaktifan orang Yahudi terhadap
orang kafir tidaklah merupakan cerminan dari misi yang sesungguhnya, melainkan
memperlihatkan ciri khas dari proselitisme atau propaganda keagamaan. Oleh
sebab Yesus menantang cara usaha proselitisme Yahudi. Kehadiran Yesus tidak
lagi terikat kepada bata-batas kebangsaan, keagamanaan atau tradisi, melainkan
Yesus menantang ibadah lahiriah sebagai sumber kebenaran manusia. Maksudnya bahwa
kebenaran tidak lagi ditentukan oleh sunat yang menjadi syarat yang sangat
penting dan menentukan dalam tradisi Yahudi.[17]
Telah dilihat bahwa usaha proselitisme itu kurang berdasarkan eskatologi tetapi
merupakan antisipasi dari janji-janji Allah. Tetapi dalam PB titik tolaknya
adalah pengharapan eskatologis mengenai pertobatan bangsa-bangsa dan
penyembahan mereka kepada Allah yang benar dan tunggal.
2.5.
Syarat-syarat Masuk Proselitisme
1. Sunat
2. Menerima baptisan
3. Persembahan kurban
Ketiga
syarat tersebut dihubungkan dengan Kel. 12:48 mengenai percikan darah dan Kel.
24 mengenai benberith (anak perjanjian). Ia dipuji sebagai ger tsdeq (proselit sungguh) yang dengan sukarela menerima kuk
hukum dan ia benar-benar diterima dalam persekutuan umat Allah. Dalam segala
hal ia berlaku sebagai orang Israel. Dan lagi seorang proselit laksana anak
baru lahir. Hidup kekafirannya seperti sediakala telah diampuni, namun masih
ada perbedaan yakni seorang proselit tidak dapat menyebut Abraham ‘Bapa Kita’
melainkan ‘Bapa Israel’. Abraham dipuji sebagai bapa segala proselit, bahkan ia
sendirilah yang pertama menjadi proselit dan mencari orang lain untuk
membuatnya menjadi proselit juga, sudah tentu ada bahaya dalam timbulnya
proselit palsu. Juga golongan orang yang takut akan Allah dalam Talmud dihitung
sebagai orang bukan Yahudi. Tetapi mereka memang dianggap lebih baik dari orang
kafir.
2.6.
Faktor-faktor yang Mendukung Kesuksesan Proselitisme
Berikut ini akan disebutkan
beberapa alasan mengapa gerakan proselitisme berhasil di dalam dunia
helenis-romawi, kendati muncul sentiment anti Yahudi yang cukup kuat.
1. Usaha cendikiawan
Yahudi untuk menjadikan mereka sepositif dan semenarik mungkin. Yang sulit
ialah mentalitas dan alam pikiran umum pada waktu itu dibiarkan sebagai hal
yang tidak hakiki dan penting. Kepercayaan akan pencipta dan Tuhan yang
tunggal, Mahakuasa dan adil dalam menilai tiap-tiap orang dianggap lebih agung
dari pada dunia dimana dewa-dewi bersaing dan berkelahi. Musa juga dianggap
sebagai orang yang memberikan sumbangan besar terhadap manusia melalui Hukum
Taurat.
2. Daya tarik Yahudi yang
dilihat oleh banyak orang ialah cara hidup mereka. Setiap agama memberi
pegangan untuk hidup sehari-hari, tetapi agama Yahudi dengan Hukum Taurat
menggariskan dan mengatur tingkah laku orang dengan lebih menyeluruh daripada
agama lain.
3. Walaupun dalam
dunia helenis-romawi
unsur-unsur tradisional tetap kuat, namun dapat dilihat bahwa terdapat suatu
trend baru yang kuat untuk menerima agama yang baru.[18]
II.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah
diuraikan di atas maka penulis dapat membuat kesimpulan bahwa pembuangan Israel
mengubah keadaan secara drastis. Sering timbul salah pengertian antar
bangsa-bangsa. Semuanya ini karena orang-orang bukan Yahudi tidak mengerti agama
Yahudi. Masuknya orang-orang non Yahudi menjadi proselit bukanlah hasil dari
kegiatan pekabaran Injil. Dalam Perjanjian Lama Proselit dimaksudkan untuk
orang yang bukan bangsa Israel. Pada masa itu orang yang masuk ke dalam agama
Yahudi memiliki keuntungan yakni hubungan kelompok keagamaan yang berarti
mereka orang non Yahudi menerima perlindungan dari orang-orang Israel. Proselit
adalah orang yang masuk ke agama Yahudi sedangkan proselitisme adalah kegiatan
menyebarkan agama. Proselitisme adalah sebutan bagi orang yang bertobat dari
kekafiran dan masuk agama Yahudi.
III.
Daftar Pustaka
Bandingkan Kejadian
18:1-15; 22:15-29.
de Kuiper, Arie, Missiologia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
E. Goldingday &
Christoper J. H. Wright, Jhon, Keesaan Allah dalam Perjanjian Lama,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995.
Fenema,
H, Injil Untuk Semua Orang, Yogyakarta,
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2006.
Naftallino, Teologi Misi di Abad Postmodernisme, Jakarta:
Tim Publikasi Simeon, 2007.
O. Collins & Edward
F. Farrugia, Gerald,
Kamus Teologi,
Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Woga, Edmund,
Dasar-dasar Misiologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
[1]Edmund
Woga, Dasar-dasar Misiologi,
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), 63-64
[2]Ibid, 64
[3]H.
Fenema, Injil Untuk Semua Orang,
(Yogyakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2006), 134-135
[4]Ibid, 135-136
[5]H.
Fenema, 136-137
[6]Ibid
[7]Ibid, 138
[8]Naftallino,
Teologi Misi di Abad Postmodernisme,
(Jakarta: Tim Publikasi Simeon, 2007), 28-29
[9]Bandingkan
Kejadian 18:1-15; 22:15-29.
[10]Edmund
Woga, 29-30
[11]Naftallino,
29-30
[12]Jhon
E. Goldingday & Christoper J. H. Wright, Keesaan Allah dalam Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1995), 32
[13]Arie
de Kulper, Missiologia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015),
27-28.
[14] Arie de Kulper, 35.
[15]Arie
de Kuiper, 30-31.
[16] Ibid...27.
[17]Gerald
O. Collins & Edward F. Farrugia, Kamus
Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 256.
[18] https://tumpak21.blogspot.com/2019/05/israel-dan-proselitisme-i.html, dikutip pada hari Rabu, 14 Oktober 2020, pukul 15.03 WIB.
Post a Comment