wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

Agama dan Ideologi

 

I.                   Uraian Judul

1.1. Pengertian Agama

Definisi agama adalah berusaha menetapkan batas-batas atau katagori-katagori dari fenomena-fenomena yang menyebabkan disebut agama dan membedakannya dari fenomena yang lain yang bukan agama. Pada umumnya agama merupakan suatu kekuatan yang berpengaruh dan paling dirasakan di dalam kehidupan manusia dan kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai agama memberikan motivasi kepada manusia. Dan agama adalah sesuatu yang besifat sangat pribadi dan secara umum disegani manusia. [1]

 

1.2.Pengertian Ideologi

Ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup serta cara berpikir seseorang atau suatu golongan. Dapat juga dikatakan sebagai paham, teori dan tujuan yang merupakan satu program sosial-politik.[2] Kata ideologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu idea yang berarti pikiran, melihat dengan budi dan logos memiliki arti gagasan, pengertian, kata dan ilmu. Jadi ideologi merupakan kumpulan ide atau gagasan, pemahaman-pemahaman, pendapat-pendapat atau pengalaman-pengalaman. Istilah ideologi pertama kali dicetuskan  oleh Antoine Destutt de Tracy (1754-1836), seorang ahli filsafat Inggris. Menurutnya ideologi merupakan ilmu tentang pikiran manusia, yang mampu menunjukkan jalan yang benar menuju masa depan. Dengan begitu, pada awal kemunculananya, ideologi berarti ilmu tentang terjadinya cita-cita, gagasan dan buah pikiran.[3]

 

1.3. Kaitan Agama  Ideologi

Menurut marx bahwa sebetulnya manusia yang menciptakan manusia. Agama telah memaalikan semua kenyataan tersebut dengan mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan manusia. Agama adalah sebuah ideology. Agama disebut sebagai ideology karena banyak kenyataan mengenai manusia yang dibalikan. Hal ini terjadi karena di dalam masyarakat yang terbagi ke dalam system kelas, manusia melihat dirinya sebagai makhluk yang ditentukan oleh kekuatan yang berada diluar dirinya,  yakni oleh kaum kapitalis dan bukannya sebagai makhluk yang menentukan hidupnya sendiri. Agama sebagai candu bagi masyarakat, karena penghiburan yang yang diperoleh melalui agama untuk mereka yang menderita dan tertekan, agama sama halnya obat bius tidak memecahkan persoalan sesungguhnya, tetapi memberikan jalan keluar yang bersifat sementara supaya orang bisa bertahan dalam penderitaannya. Jadi, agama sesungguhnya memainkan peranan penting di dalam mengabadikan kondisi menciptakan penderitaan itu. Agama sama sekali tidak menawarkan cara yang ditempuh untuk mengatasi persoalan tersebut, tetapi jalan keluar yang bersifat sementara. [4] Agama dan ideologi merupakan dua sisi yang saling berkait. Ideologi bisa disebut agama karena bisa memberikan jalan menuju “yang ideal” bagi para penganutnya. Begitu juga sebaliknya, agama bukan saja sebagai proses spiritual semata tetapi juga memberikan gambaran “yang-ideal” dan mengatur kehidupan sosial, politik, maupun, budaya. Untuk memberikan gambaran kaitan agama dengan ideologi, Althuser menyebutkan ideologi sebenarnya bisa dijumpai dalam praktek, kehidupan sehari-hari dan bukan hanya dalam ide-ide tertentu tentang kehidupan sehari-hari. [5]

Dalam keadaan tertentu agama berfungsi sebagai ideology dengan jalan menyediakan system simbolis sebagai perangkat masyarakat untuk memahami sejarahnya. Ajaran agama terjamin lembaga agama dan pengahayatan para penganutnya yang berusaha hidup sesuai dengan ajaran itu secara radikal. Tuntutan pembenaran dari system sosial atau agama juga membawa perkembagan bagi agama. Pembenaran agama terhadap system kekuasaan yang ada bisa terjadi melalui berbagai macam cara antara lain dengan ajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman. [6]

 

1.4.  Agama menjadi Ideologi

Agama sebagai Ideologi dan yang telah menciptakan alienasi merupakan produk masyarakat dengan system kelas. Agama yang demikian telah menguntungkan kelas tertentu di dalam masyarakat. [7] konsep atau pandangan ini memberikan ukuran nilai yang berbeda dari yang berlaku di dunia ini. dalam situasi seperti itu agama menjadi ideologi, suatu pembenaran akan kenyataan yang tengah berlangsung. Menurut Max, harapan serta penantian masyarakat akan keselamatan merupakan ungkapan adanya tekanan dan penindasan serta ketidak-berdayaan dalam bidang social, politik, dan ekonomi. Situasi yang demikian itu dapat menampilkan agama sebagai sumber kepercayaan akan keselamatan. [8]

 

1.5. Ideologi Indonesia

Kebhinekaan yang telah disusun menjadi semboyan negara dengan menerapkan Pancasila sebagai falsafah hidup masyarakat Indonesia, memberi warna tersendiri bagi Indonesa dalam memberi norma-norma kehidupan warga negara untuk mecapai cita-cita bangsa Indonesia. Sehingga dengan secara tidak langsung sedari dulunya bangsa Indonesia sebenarnya telah hidup berlandaskan keberagaman maka pemerintah membuat peraturan pemerintah dengan menetapkan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai semboyan negara agar warga negara Indonesia yang sedari dulunya hidup menghormati keberagaman tetap memegang persatuan dan kesatuan di tengah keberagaman. Agar kiranya di dalam hidup kewarganegaraan setiap warga negara menjunjung tinggi sikap toleransi yang merupakan aplikasi dari “Bhineka Tunggal Ika”. Dengan begitu persatuan dan kesatuan tersebut dapat terwujud yang menjadikan Indonesia menjadi negara yang kaya akan keberagaman namun tetap bersatu. Hal ini Pancasila yang menjadi ideologi dan dasar negara tentunya harus diikuti oleh semua warga negara Indonesia dengan semangat kebhinekaan yang tinggi.[9] Dari sudut pandang kepastian hukum yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. Melalui penjelasan diatas dapat diketahui bahwa negara memberikan kebebasan terhadap setiap warga negara untuk memilih agama dan kepercayaannya masing-masing. Artinya bahwa negara menjamin kebebasan dan menghargai keberagaman sebagai suatu kekayaan bagi bngsa Indonesia.

Dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai ideologi atau pandangan hidup yang dihayati sebagai nilai-nilai luhur kepribadian bangsa Indonesia yaitu setiap agama baik agama Kristen, Islam, Hindu, Buddha dan Konghucu walaupun berbeda dalam kepercayaannya tetapi memiliki persamaan dalam mewujudkan suatu persatuan dan kesatuan.[10]  Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara agama, tetapi negara Pncasila. Artinya bahwa setiap warga negara Indonesia yang beranekaragam yaitu agama, suku, budaya, ras, golongan etnik dan lain sebagainya harus dapat mempertahankan ideologi Pancasila sebagai dasar negara yang bersifat fundamental dan berupaya untuk mencegah munculnya ideologi-ideologi yang baru yang berusaha untuk menciderai persatuan dan keberagaman Indonesia yang berdasarkan Pancasila.[11]

Membagun masyarakat Pancasila tentu saja harus berangkat dari pengakuan akan adanya kemajemukan, adanya pluralitas. Dan pengakuan itu tentu saja diwujudkan dalam sikap saling menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak orang lain yang tidak berbeda dengan hak-hak yang dipertahankannya. Tidak ada dominasi dan tidak ada diskriminasi hal ini bukan sekedar cita-cita akan tetapi juga cara. Sikap adil perlu dihayati bersama agar dalam kehidupan masyarakat yang majemuk ini tidak ada dominasi dan tidak ada diskriminasi oleh satu golongan terhadap golongan lain, oleh satu umat terhadap umat lain.[12]  

 

1.6. Aspek Teologi agama

Ada banyak pernyataan langsung tentang persatuan orang percaya dengan Kristus. Sering juga dikatakan bahwa orang percaya ada di dalam Kristus. Yesus berbicara tentang orang-orang percaya yang berada di dalam Dia (Yohenes 14:20; 17:20-26).Persatuan dengan Kristus sering kali dijadikan paham yaitu suatu kesatuan antara Allah sebagai pencipta dan manusia sebagai ciptaan-Nya.[13] Berkhof juga mengatakan bahwa persatuan ini dapat didefenisikan sebagai persatuan yang intim, penting dan bersifat rohani antara Kristus dan umat-Nya, dengan pengertian bahawa Ia adalah sumber dari hidup dan kekuatan mereka, sebagai sumber dari hidup yang diberkati dan diselamatkan.[14] Bagaimanakah orang Kristen menghidupi dengan totatalnya oleh orang yang beragama lain ? kebenaran itu bersifat rasional, kebenaran menjadi nyata terutama dengan kemampuannya membuka relasi dengan orang-orang meyakini. Kebenaran karena itu, menjadi satu hal yang perlu manusia ikuti agar ia menjadi orang benar. Ada proses dialektis antara Allah yang adalah kebenran paripurna itu sendiri dan menjadi benar dengan kebenaran  yang dihayati dalam konteks religiusnya. Bahkan lebih lanjut dapat ditekankan bahwa kebenaran yang berwatak relasional itu tidak menjadi benar ketika ia menyingkirkan kebenaran yang lain, tetapi justru ketika ia mampu mengintegrasikan kebenaran lainnya ke dalam dirinya, lalu bertumbuh kepada kebenaran. Sebab semakin kebenran suatu agama mampu membuat sang pemeluk terbuka terhadap kebenaran yang lain, semakin sang pemeluk dapat menegaskan kebenaran agamanya. [15]

James S. Stewart juga mengatakan bahwa persatuan orang percaya itu adalah jika menjadikan Yesus Kristus sebagai pusat dan sentral dalam kehidupannya dan hidup didalam kasih-Nya. Jadi persatuan menurut pandangan agama Kristen adalah bahwa setiap orang percaya memiliki hubungan yang intim dengan Kristus sebagai pusat dan sentral dalam hidupnya sehingga menjadi satu kesatuan. [16]

 

II.                Implementasi

Indonesia merupakan negara yang majemuk, plural karena terdiri dari berbagai agama, suku, etnis, budaya, dan lain sebagainya. Khususnya mengenai agama, Toleransi harus menjadi prioritas dan kebutuhan utama dalam membangun masyarakat yang baik. Orang percaya harus mengasihi orang lain seperti diri sendiri serta menghargai dan menghormati sesama, apapun agama dan kepercayaannya. kerukunan internal dan antar umat beragama, serta antar umat beragama dengan pemerintah; melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-nilai Ketuhanan, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan nilai-nilai sosial kemasyarakatan amupun sosial keagamaan. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional, dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi. Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama dengan cara menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain, sehingga akan tercipta suasana kerukunan yang manusiawi. Kasih merupakan perintah utama dalam melaksanakan kehendak Tuhan dan setiap umat Kristen mempunyai tugas untuk mencari dan mengusahan perdamaian. Karena dalam ajaran Kristen diajarkan hidup rukun yang terdapat dalam Alkitab, yaitu menganik kasih kepada Tuhan dan kasih kepada manusia. Dengan tidak mengedepankan perbedaan, tapi lebih mendalami perbedaan menjadi ciri khas yang unik dengan saling menghargai dengan tidak membuat perbedaan itu menjadi pemisah namun malah menjadi suatu hal untuk dapat menyatukan.

 

III.             Kesimpulan

Dari pemaparan di atas dapat saya simpulkan, bahwa agama merupakan suatu kekuatan yang berpengaruh dan paling dirasakan di dalam kehidupan manusia dan kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai agama memberikan motivasi kepada manusia. Agama dan ideologi merupakan dua sisi, yang saling berkait. Ideologi bisa disebut agama karena bisa memberikan jalan menuju “yang ideal” bagi para penganutnya. Begitu juga sebaliknya, agama bukan saja sebagai proses spiritual semata tetapi juga memberikan gambaran “yang-ideal” dan mengatur kehidupan sosial, politik, maupun, budaya. Untuk memberikan gambaran kaitan agama dengan ideologi, ideologi sebenarnya bisa dijumpai dalam praktek, kehidupan sehari-hari dan bukan hanya dalam ide-ide tertentu tentang kehidupan sehari-hari. mengenai agama, Toleransi harus menjadi prioritas dan kebutuhan utama dalam membangun masyarakat yang baik. Orang percaya harus mengasihi orang lain seperti diri sendiri serta menghargai dan menghormati sesama, apapun agama dan kepercayaannya. kerukunan internal dan antar umat beragama, serta antar umat beragama dengan pemerintah; melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-nilai Ketuhanan, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan nilai-nilai sosial kemasyarakatan amupun sosial keagamaan.

IV.             Daftar Pustaka

Berkhof Louis, Teologi Sistematika Volume 4 Surabaya: Momentum, 2004

Effendi Djohan, “Agama, Ideologi dan Politik Dalam Negara Pancasila” Dalam Peranan Agama-Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dalam Negara Pancasila Yang Membangun Jakarta: BPK-GM, 1996

Geisler, Norman L. The Encylopedia of Christian Apologeties Michigan: Baker Books House, 2000

J Phil. Garang, Memasuki Masa Depan Bersama: Tugas dan Tanggung Jawab Bersama Agama-agama Di Indonesia Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan PGI, 1989

Kanisius, Agma dan Ideologi  Yogyakarta: Kanisius, 1987

Poerdawinta W.S.J., Kamus Besar Bahasa Indoneisa Jakarta: Balai Pustaka, 2015

Raho Svd Bernard, Agama dalam Perspektif Sosiologi Jakarta : Obor, 2013

Stewart James S., Man in Christ  Michigan: Baker Books House, 1980

Tim Balitbang PGI,  Meretas jalan Teologi Agama-agama di Indonesia Jakarta: BPK GM, 2007.

Tyas D. C, Mengenal Ideologi Negara, Jakarta: Gramedia, 2018

van Yan Paassen, Beberapa Masalah Hidup Beragama Dewasa Ini Jakarta: Obor, 1996

Yonas Fais Bo’a, Pancasila Dalam Sistem Hukum Jakarta: Gramedia, 2010

Sumber lain

https://ejournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/dinika/article/download/6/6



[1] Bernard Raho Svd, Agama dalam Perspektif Sosiologi, ( Jakarta : Obor, 2013), 1-7

[2] W.S.J. Poerdawinta, Kamus Besar Bahasa Indoneisa (Jakarta: Balai Pustaka, 2015), 517.  

[3] D. C. Tyas, Mengenal Ideologi Negara (Jakarta: Gramedia, 2018), 1.  

[4] Bernard Raho, Agama dalam perspektif sosiologi (Jakarta: Obor, 2013), 24-25

[5] https://ejournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/dinika/article/download/6/6.  Diakses pada tanggal 04 September 2021, Pukul 16.20 WIB

[6] Kanisius, Agma dan Ideologi (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 42-43

[7] Bernard Raho, Agama dalam perspektif sosiologi (Jakarta: Obor, 2013), 26

[8] Kanisius, Agma dan Ideologi (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 61

[9] Fais Yonas Bo’a, Pancasila Dalam Sistem Hukum (Jakarta: Gramedia, 2010), 7.  

[10] Yan van Paassen, Beberapa Masalah Hidup Beragama Dewasa Ini (Jakarta: Obor, 1996), 83.   

[11] Phil J. Garang, Memasuki Masa Depan Bersama: Tugas dan Tanggung Jawab Bersama Agama-agama Di Indonesia (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan PGI, 1989), 285.

[12] Djohan Effendi, “Agama, Ideologi dan Politik Dalam Negara Pancasila” Dalam Peranan Agama-Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dalam Negara Pancasila Yang Membangun (Jakarta: BPK-GM, 1996), 154.

[13] Norman L. Geisler, The Encylopedia of Christian Apologeties (Michigan: Baker Books House, 2000), 516. 

[14] Louis Berkhof, Teologi Sistematika Volume 4 (Surabaya: Momentum, 2004), 83.  

[15] Tim Balitbang PGI, Meretas jalan Teologi Agama-agama di Indonesia (Jakarta: BPK GM, 2007), 12

[16] James S. Stewart, Man in Christ (Michigan: Baker Books House, 1980), 153.  

Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Mundosaragi
Total Pageviews