wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

Model Mutualis Jembatan Filosofis


 

 Pembahasan

2.1. Pengertian Model Mutualitas

Model adalah sebuah contoh, pola, acuan dan ragam.[1] Sedangkan mutualias adalah hubungan dan percakapan dua arah yang memungkinkan kedua belah pihak saling berbicara dan saling mendengarkan, terbuka untuk saling belajar.[2] Jadi model Mutualitas adalah suatu sikap mutual yang dikembangkan dalam pola hidup manusia bukan hanya sebagai wacana tetapi juga sebagai komitmen dan sikap yang harus diimplementasikan dalam hidup manusia.[3]

2.2.Pengertian Jembatan Filosofis

Jembatan filosofis ialah hal-hal yang menyangkut persoalan ralatifitas, yang mencoba mengetengakan bagaimana kaum pluralis menyadari keterbatasan semua pengetahuan dan keyakinan religius sehingga tidak memungkinkan kita menilai kebenaran budaya atau agama lain atas dasar keyakinan seseorang.[4]

2.3.Agama dalam Masyarakat Majemuk

Kepelbagaian atau keanekaragaman yang menjadi realitas dalam kehidupan beragama telah dirasakan oleh semua suku bangsa di berbagai belahan dunia. Termasuk dengan Indonesia bahwa kenyataan kepelbagaian itu justru merupakan ciri khas tersendiri. Ragam suku meliputi ragam budaya dan bahasa, termasuk di dalamnya ragam penganut agama yang diakui oleh pemerintah turut mewarnai kepelbagaian tadi. Memang kepelbagaian apalagi dalam hal keagamaan terkadang dapat bersifat fenomenal, karena dalam pelbagai perjumpaan kehidupan di antara para penganut agama sering terjadi desintegrasi. Sebagaimana konflik yang dialami oleh sebagian besar masyarakat di daerah tertentu di Indonesia, kelihatannya seperti dimotivasi oleh agama tertentu.

Upaya untuk mengentaskan persoalan-persoalan dibidang keagamaan, terlebih bagi para penganut agamanya secara berkesinambungan telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam berbagai upaya dan metode. Salah satu upaya tersebut disebut dengan upaya Dialog Antar Umat Beragama.[5]

2.4. Perlunya Dialog dalam Masyarakat Majemuk

Gereja dan Kekristenan yang di perkenalkan oleh teologi Barat yang kemudian dibawa oleh para misionar yang selalu menekankan keutamaan dan kemutlakan ajarannya terhadap agama dan kepercayaan yang lain. Gereja dan kekristenan Barat dipahami sebagai satu-satunya kebenaran dan pemilik kebenaran itu. Pemehaman ini menempatkan gereja dan kekristenan Barat sebagai tolak ukur dan norma kebenaran untuk mengukur kebenaran agama dan kepercayaan yang lain. Agama dan kepercayaan dipahami tidak memiliki nilai-nilai kebenaran dan kalaupun ada kebenaran di dalamnya maka harus diukur dan dinilai dengan norma kebenaran yang ditentukan gereja dan kekristenan Barat.

Pemahaman ini lambat laun berubah, terlebih sejak dekade 1970-an, ketika gereja semakin intensif melakukan dialog antar umat beragama. Semakin dipahami pula bahwa setiap agama dan kepercayaan sebenarnya mempunyai nilai-nilai kebenaran, menuju kebenaran yang hakiki, kebenaran yang universal. Sebab, kebenaran universal itu sebenarnya tidak ada. Paradigma baru ini lahir dari kesadaran bahwa manusia postmodern berada ditengah-tengah kepelbagaian, agama, pandangan hidup, budaya, suku bangsa, warisan tadisi pola dan anasir kehidupan. Hal yang sama terjadi pada gereja kekristenan. Ia sebenarnya berada ditengah-tengah agama dan kepercayaan yang lain, yang mempunyai nilai-nilai kebenarannya sendiri.[6]

2.5.Model Mutualitas

Dialog dengan agama lain merupakan kewajiban etis. Kita tidak mungkin mengasihi orang lain kecuali kita bersedia mendengarkan mereka, menghormati mereka dan belajar dari mereka, begitulah mutualitas. Model mutualitas menghindari pendapat bahwa semua agama scara esensial sama atau hanya berbicara tentang masalah yang sama. Tetapi harus ada sesuatu yang sama antara agama-agama sehingga memungkinkan adanya dialog.[7]

Model mutualitas ini mempertahankan keberagaman dan benar-benar memandang kebearagaman sebagai alasan terlibat dalam dialog antar pemeluk agama. Karenanya perlu orang harus menghindari ide yang menyatakan seluruh agama berbicara dengan penuh kebenaran tentang satu hal yang sama, tetapi mereka harus menyadari gama-agama memiliki sesuatu yang sama. Dan melalui dialog kita menguji prasangka yang valid dan yang kita perlukan adalah menunda opini dan kalim kebenaran kita.[8]

2.6.Model Mutualitas Jembatan Filosofis

Dari sekian banyak dan tawaran yang dikemukakan Model Mutualitas bagi teologi agama-agama, yang sangat inovatif dan kontroversial adalah yang berhubungan dengan pandangan tentang Yesus.[9] Model dialog ini memberikan tiga konsep yang harus dipedomi untuk melakukan dialog dengan agama lain.

1.      Cara umat kristen bisa berdialog lebih autentik dengan agama lain

Kita harus mengakui bahwa keprihatinan model ini yang paling mendasar ialah bagaimana membangun dialog yang benar dengan agama-agama lain. Bagi umat kristen yang menganut model ini, keprihatinan ini mendalam dan mendasar seperti halnya mereka mengikuti Yesus dan tetap setia kepada Injil. Kedua keprihatinan ini harus saling mendukung. Mereka tidak bisa membayangkan mengikuti Yesus tanpa berdialog dengan umat beragama lain, dan sebaliknya. Bagi mereka dialog dengan agama-agama lain merupakan suatu kewajiban etis. Oleh karena itu apa yang dijumpai umat Kristiani di dalam berbagai tradisi agama lain yang begitu luas bukan hanya keragaman tetapi mitra dialog yang potensial. Apa yang mereka temukan bukan hanya multiplisitas dan identitas dari agama-agama lain, tetapi teristimewa juga percakapan di antara mereka. Hubungan semacam ini harus mutual.[10]

2.      Menciptakan Medan Main Yang Setara Dengan Dialog

Maksud menciptakan medan main yang setara ialah, dialog harus dilakukan “di antara yang setara”. Kalau salah satu mitara memasukin medan main dengan peralatan yang lebih baik daripada yang lainnya, atau memiliki “hubungan khusus” dengan wasit, maka dialog yang dilaksanakan tidak berlangsung dengan jujur. Semua agama memiliki “hak sederajat” yang sama untuk berbicara dan didengarkan, berdasarkan nilai yang melekat di dalam mereka. Jadi, model ini tidak setuju dengan, dan berusaha menghindari anggapan bahwa ada gama yang memiliki superioritas yang diberikan (khususnya diberikan Tuhan) atas semua agama lain sehingga agama itu menjadi final atau absolut atau tak tertandingi.[11]

3.      Memahami dengan Jelas Keunikan Kristus Sehingga Dialog Bisa Terus Dipertahankan.

Kristiani maupun umat beragama lain, merasa bahwa tidak mungkin tercipta medan main yang seimbang dalam dialog dengan agama Kristiani adalah karena adanya pemahaman tentang Yesus yang diimani oleh umat Kristiani. Kalau umat Kristiani masuk ke arena dialog sambil mengatakan bahwa Yesus adalah satu-satunya juru selamat umat manusia dan bahwa Firman Tuhan yang ada di dalam Dia adalah final bagi semua orang, maka walupun sikap saling memberi dan menerima terjadi dalam dialog itu, saat peluit dibunyikan, atau pada akhir pertandingan (eskatologis) maka, agam Kristen akan menang. Agama-agama lain bisa saja menciptakan gol yang mengesankan, tetapi pada akhirnya (sepanjang perjalanan sejarah) hanya tim Kristuslah yang menang. Dengan kata lain, kalaulah memang Tuhan hanya menggunakan satu orang atausatu agama sebagai saluran kasihdan rahmat keselamatan-Nya untuk semua, maka dialog mutual yang sejati, dimana setiap peserta belajar sebanyak yang dipelajari yang lain, tidak akan mungkin terjadi.

 Inilah rupanya umat Kristen mau bereksprimen dengan memakai model mutualitas ini untuk memahami agama-agama lain. Bagi mereka gereja harus meninggalkan barbagai rintangan doktrinal agar kewajiban etika berdialog dengan umat beragama lain dapat terwujud.[12]

2.7. Tokoh Utama Model Mutualitas Jembatan Filosofis

Pemandu utama kita dalam menyebrang dengan jembatan ini adalahsalah seorang teolog Kristiani pertama yang telah menyebranginya dan mendesak lainnya untuk mengikuti dia. Namanya Jhon Hick, seorang teolog Inggris dan sudah lama tinggal di Amerika Serikat.Jhon Hick memiliki gagasan teologi yang diperhadapkan dengan konteks pluralitas agama. Gagasannya dirangkum dengan tema besar “Copernican Reovolution in Theologi”. Tema ini diambil dari penemuan Galilea Galileo tentang perputaran rotasi bumi da matahari, bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi sebagaimana sudah lama dipahami gereja berdasarkan kesaksian Alkitab, melainkan bumilah yang mengelilingi matahari.

Hick mengatakan bahwa gereja dan kekristenan akhirnya jauh menyimpang dari pemahaman Alkitab, yaitu ketika ajarannya di dasarkan kepada kristosentris, bahkan akhirnya cendrung menjadi ekklesiosentris.Penyimpangan ini harus dikembalikan kepada pemahaman theosentris, sesuai dengan pesan dan ajaran Alkitab. Hick juga mengatakan agar Kristologi dijelaskan dalam pemahaman teosentris tersebut, sehingga orang-orang yang bukan Kristen dapat terjangkau oleh keselamaan yang diperbuat Yesus, sesuai dengan maksud tujuan kedatangan-Nya ke dunia ini (Yoh 3:16).[13]

III.             Kesimpulan                                                                                           

Dialog dengan agama lain merupakan kewajiban etis. Kita tidak mungkin mengasihi orang lain kecuali kita bersedia mendengarkan mereka, menghormati mereka dan belajar dari mereka. Dialog dengan pemahaman Model mutualitas ini mempertahankan keberagaman dan benar-benar memandang kebearagaman sebagai alasan terlibat dalam dialog antar pemeluk agama. Karenanya perlu orang harus menghindari ide yang menyatakan seluruh agama berbicara dengan penuh kebenaran tentang satu hal yang sama, tetapi mereka harus menyadari gama-agama memiliki sesuatu yang sama. Model mutualitas ini sangatlah menghindari pendapat bahwa semua agama scara esensial sama atau hanya berbicara tentang masalah yang sama. Tetapi harus ada sesuatu yang sama antara agama-agama sehingga memungkinkan adanya dialog.

IV.             Daftar Pustaka

Adiprasetya Joas, Mencari Dasar Bersama, Jakarta: BPK-GM, 2012

 Hidayati Mega, Jurang di Antara Kita, Yogyakarta: Kanisius, 2008

Knifter. F Paul, Pengantar Teologi Agama -agama, Yogyakarta: Kanisius, 1989

Lumbantobing Darwin, Mengkaji Ulang Pendekatan Raimando Panikkar dan John Hick tentang Kehadiran Gereja di Tengah Kepelagaian Agama, Pematangsiantar: L-SIRANA, 2015

Poerwadaminta. W.J.S,  Kamus Umum Bahasa Indonseia, Jakarta: Balai Pustaka, 1979



[1] W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa OIndonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1979), 653.

[2] Paul F. Knifer, Pengantar Teologi Agama-Agama, ( Yogyakarta: Kanisisus,1989), 130.

[3] W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1979), 655.

[4] Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama, (Jakarta: BPK-GM,2012), 80.  

[8] Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita, ( Yoyakarta: Kanisius 20080, 118-119.

[11] Ibid….., 131.

[12]  Paul F. Knifer, Pengangar Teologi Agama-Agama, (Yogyakarat: Kanisius,1989),132.

[13]   Darwin Lumbantobing, Mengkaji Ulng Pendekatan Raimando dan John Hick Tentang Kehadiran Gereja di Tengah Kepelbagian Agama, (Pematangsiantar:L-SIRANA, 2015), 135-136.

Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Mundosaragi
Total Pageviews