wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

Dekonstruksi dan Rekonstruksi Teologi Menuju Teologi Indonesia yang Kontekstual

 

 

II.                Pembahasan

2.1. Pengertian Deskontruksi dan Rekontruski

Deskonstruksi  yaitu suatu upaya untuk membongkar sesuatu dalam rangka menemukan yang asasi dari sesuatu agar bisa dikembangkan menjadi sesuatu yang baru, dalam berteologi, deskonstrusi adalah bagian dari diskontinuitas, suatu upaya untuk menghentikan keterhubungan dengan masa lalu tetapi kontekstualisasi tidak hanya menyangkut deskonstruksi, melainkan rekonstruksi juga, yaitu upaya untuk mengembangkan yang ditemukan dari proses dekonstruksi dalam situasi baru. ini adalah bagian dari kontinuitas. Karena kontekstualisasi disebut sebagai upaya diskontinuitas sekaligus kontinuitas. Deskontrusi dan rekonstruksi ini tidak hanya meliputi konteks sebagaimana dipahami selama ini bahwa teks itu sesuatu yang sakral, akan tetapi juga harus meliputi teks. Deskontruksi konteks adalah sesuatu yang yang alami saja. Konteks tempat  suatu teologi berkembang harus didasari sangat khas. Karenanya konteks harus dipahami apabila teologi pengharapan atau teologi pembebasan itu hendak dikembangkan di Indonesia. Dan hal itu juga berlaku bagi teks, teks itu begitu bervariasi sehingga tidak bisa secara harafiah diterima begitu saja.[1]

2.2. Latar Belakang Dekontrusksi dan Rekonstruksi Teologi di Indonesia

Sepanjang sejarah ruang dan waktu, teologi telah acap kali melewati dekontruksi, konstruksi dan rekonstruksi berdasarkan pada suatu keterbatasan (berdasarkan ideologi/faham, filsafat). Hasil yang diharapkan adalah suatu bentuk teologi yang permanen dalam rentang waktu yang mengalami perubahan. Akibatnya makna teologi selalu mengalami koreksi terhadap bentuk teologi masa lalu. Menurut Stephen B Bevans, dulu hanya ada dua sumber untuk berteologi yakni Alkitab dan tradisi gereja. Keduanya tidak berubah dan berada di atas kebudayaan masyarakat. Paradigma tersebut merupakan pandangan teologi klasik yang tidak memberi perhatian kepada kebudayaan. Sementara sekarang ini, paradigma teologi klasik telah mengalami perubahan. Salah satu perubahannya adalah dengan menambahkan satu sumber lain dalam berteologi, yakni pengalaman manusia atau konteks. Paradigma baru inilah yang kita kenal sebagai teologi kontekstual. Percaya kepada Allah di dalam Kristus tidak serta-merta berarti meninggalkan paham-paham religius, budaya, dan adat istiadat yang kita miliki sebagai orang Indonesia, Papua, Maluku, Timor, Minahasa, Jawa, Dayak dan Batak. Ini yang saya maksudkan dengan pola substitusi. Tidak begitu. Percaya kepada Allah Trirunggal berarti melakukan reparasi terhadap lubang-lubang atau kerusakan-kerusakan dalam paham-paham religius, budaya, dan adat istiadat kita yang disebabkan oleh unsur-unsur diabolis-demonis itu. Sama seperti kehidupan paguyuban iman Israel di PL dan komunitas kristen perdana di PB yang penuh dengan lubang atau kerusakan akibat unsur-unsur diabolis-demonis direparasi oleh pemahaman tentang kehendak Allah yang dinyatakan di dalam Kristus maka lubang-lubang diabolis-demonis yang terdapat dalam teks-teks suci paguyuban iman non-kristen juga perlu menjalani proses reparasi tadi. Kesepakatan dalam sinode perdana di Yerusalem (Kisah Para Rasul 15) agar orang Yunani yang percaya kepada Yesus tidak boleh dipaksakan untuk menjalani semua kewajiban budaya Yahudi harus dipahami dari perspektif tadi, yakni Injil bukan bertujuan substitusi budaya, melainkan reparasi. Dengan keputusan sinode pertama ini, begitu kata David W. Shenk, “Gereja menjadi sebuah komunitas yang menikmati kebhiekaan menakjubkan, namun pada intinya ada keesaan dalam komitmen bersama kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan.”[2]

2.3. Teologi Indonesia yang Kontekstual

Tugas kontekstualisasi sebenarnya merupakan upaya meaning making ketimbang meaning receiving.[3] Umat pewarta dalam Alkitab sudah lebih dulu mengkonstruksi makna iman mereka kepada Allah dalam dinamika sosial, budaya, ekonomi, politik dan keagamaan yang mereka hadapi. Makna Allah dalam Alkitab bukan sesuatu yang given, diturunkan dari sorga seperti pandangan Islam tentang Al-Qur’an.[4]Alkitab juga bukan notulen rapat antara Allah dan manusia seperti yang lazim dipahami kelompok-kelompok pentakostal, evangelikal dan kharismatik kristen. Alkitab adalah kristalisasi dari pengalaman pergaulan manusia dengan Allah.[5]Alkitab adalah man-made proclamation.Ia adalah boek-van-ontmoeting.[6]Alkitab adalah tulisan-tulisan manusia yang dihasilkan karena pengalaman perjumpaan dengan Allah. Karena cerita tentang pengalaman itu dalam bentuk lisan kepada orang lain dirasa tidak cukup karena akan mengalami deviasi terus menerus maka pembukuan cerita-cerita itu menjadi sebuah kebutuhan. Seseorang atau lebih tampil sebagai editor yang menyatukan tulisan-tulisan itu. Adanya kepelbagaian bentuk sastra dari tulisantulisan dalam Alkitab merupakan konsekwensi langsung dari kerja sang redaktur yang tugas utamanya adalah menyatukan saja tulisan-tulisan tadi. Jelasnya Alkitab berisi pewartaan makna-Allah yang dikonstruksi oleh umat percaya untuk menjawab persoalan kekiniaan mereka saat itu. Alkitab merupakan kontekstualisasi berteologi dari umat pewarta di dalam Alkitab.

Upaya merumuskan makna-Allah belum selesai walaupun Alkitab telah selesai dibukukan. Umat yang hidup setelah pembukuan Alkitab berada dalam kondisi sosial, budaya, ekonomi, politik dan keagamaan yang membutuhkan pemaknaan. Nyatalah bahwa makna-Allah yang sudah dibukukan dalam Alkitab tidak bisa langsung dipakai sebab pertanyaan yang dihadapi umat percaya pada masa kini berbeda dengan pertanyaan yang dihadapi umat pewarta pada masa lalu. Makna-Allah hasil konstruksi umat di dalam Alkitab memang berguna, bukan untuk dijiplak begitu saja tetapi untuk dijadikan panduan dalam mengkonstruksi makna yang kena-mengenai dengan situasi yang baru. Dalam proses ke arah itu proses dekonstruksi - rekonstruksi menjadi yang tidak terhindarkan. Jelasnya umat pembaca Alkitab melakukan pekerjaan meaning-making bertolak dari makna-Allah yang sudah dikonstruksi oleh umat pewarta Alkitab sambil mempertimbangkan elemen-elemen firman Allah yang tersimpan dalam pengalaman umat percaya pembaca Alkitab.

Dalam tugas berteologi kontekstual di Indonesia dialog multi-teks merupakan keharusan dalam upaya meaning-making yang bercita-rasa keindonesiaan. Makna-Allah yang dihasilkan umat pewarta Alkitab baru akan applicable manakala dibaca dan dipahami dalam relasinya dengan teks-teks teologis maupun non-teologi yang menjadi pemandu hidup masyarakat dan bangsa Indonesia. Teks-teks dimaksud adalah teks suku-suku dan kelompok etnis pra-1945 dan teks bersama bangsa Indonesia yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pekerjaan berteologi di Indonesia selama ini, yakni Alkitab sebagai satu-satunya teks suci dan Indonesia dengan dua sisi tadi sebagai konteks perlu direformasi. Indonesia sendiri perlu juga dilihat sebagai teks, yakni teks-teks budaya, sejarah, politik dan idiologi miliknya.[7]

Yang menjadi alasan pentingnya dialog multi-teks adalah sebagai berikut.Teologi bukan sekedar ilmu. Ia lebih sebagai refleksi iman seseorang atau iman Gereja dalam dinamika kehidupan satu masyarakat. Iman itu bertumbuh dalam situasi kehidupan dengan latar belakang sosial, budaya dan politik. Karya nyata Tuhan dan jawaban manusia atas karya nyata itu dalam konteks yang konkret yang hanya ditenkankan dari segi teori. Calvinisme, Lutheranisme, Barthianisme bahkan makna-Allah dalam Alkitab juga adalah teori. Semua itu lebih tepat merupakan bentuk-bentuk respons yang berbeda dari orang-orang percaya di lingkungan sosial dan budaya tertentu terhadap karya nyata Tuhan dalam jaman dan masyarakat mereka. Respons-respons itu tidak bisa dipandang sebagai rumusan yang berlaku universal untuk menjelaskan pengetahuan tentang kehidupan masyarakat di waktu dan tempat yang berbeda. Kita membutuhkan Calvinisme dll sebagai kerangka teoritik dalam upaya merumuskan reponse kita sendiri dari dalam pengalaman iman yang konkret di Indonesia.[8]

2.4. Perkembangan Teologi Indonesia yang Kontekstual

-          Perkembangan Gereja khususnya di Indonesia dipengaruhi oleh negara-negara bagian barat yakni Eropa yang dalam konteksnya diperhadapkan dengan penjajahan yang dilakukan pada Indonesia, Gereja hadir sebab Indonesia dianggap sebagai ladang pekabaran Injil. Perkembangan tidak lah selalu mudah dan baik, saat Indonesia sudah merdeka Gereja harus menjadi pribadi yang mandiri, kemudian setelah itu Gereja diperhadapkan dengan ragamnya denominasi khususnya di dalam Kekristenan.

-          Gereja dalam perkembangannya berhadapan dengan Ilmu Pengetahuan, maka dari situ Gereja dituntut agar dapat mengedepankan maksud dari Firman Tuhan (Alkitab), mendorong agar Ilmu Pengetahuan mengikut pada maksud dari Alkitab (kehidupan yang Alkitabiah).

-          Dalam perkembangan NKRI, Gereja juga berhadapan dengan agama agama lain, untuk itu Gereja harus bersifat inklusif, terbuka akan keberagaman dan mampu hadir memberi dampak yang baik dalam keberagaman agama maupun budaya dengan tujuan saling membantu dalam aspek kehidupan baik, sosial, ekonomi dan politik. Berdialog menjadi buah dari Injil yang sampai pada orang percaya. Menjalin hubungan yang baik dan harmonis menjadi sebuah tanggung jawab Gereja di tengah-tengah dunia tekhususnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Gereja bisa dibandingkan dengan umat Allah, atau kadang-kadang juga disebut sebagai Israel yang baru, yang menggembara di dunia ini untuk memperlihatkan dan mencari tanda-tanda Missio Dei, Kerajaan Allah. Gereja dipanggil untuk mengikutserta dalam mewujudkan misi Allah di dunia ini. Itu tidak hanya tugas dari gereja sebagai lembaga, misalnya dari satu komisi khusus untuk misi, tetapi setiap anggota gereja dipanggil untuk tugas itu. Misi Allah membutuhkan keterlibatan semua anggota gereja. Dari 18-21 September 2007 di Makassar, diselenggarakan suatu 6 pertemuan antara Gereja Protestant Belanda dengan gereja-gereja mitranya di Indonesia untuk dibicarakan, bagaimana suatu kemitraan baru akan didirikan. Sebelum pertemuan itu di dalam gereja-gereja mitra Indonesia sudah dilaksanakan pertemuan kecil, untuk melihat hal-hal apa yang dianggap sebagai keprihatinan-keprihatian utama mereka saat ini. Satu dari empat keprihatinan yang muncul adalah kebutuhan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan, tidak hanya pendidikan untuk menjadi seorang anggota aktif dalam gereja, tetapi juga pendidikan ketrampilan misalnya di bidang pertanian, sehingga dapat diberi sumbangan yang berharga untuk seluruh masyarakat. Sebagai dasar teologis untuk kemitraan diambil gambar dari Paulus dalam 1 Kor. 12, bahwa hanya ada satu Gereja, Gereja adalah satu tubuh dengan Kristus sebagai kepala dengan banyak anggota, di mana ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Maka dalam tubuh itu semua anggota membutuhkan satu sama lain. Jika satu anggota sakit, semua menderita, jika satu anggota bersukacita, semua ikut bersukacita. Satu syarat untuk berfungsi dengan baik ialah, bahwa macam-macam karunia yang hadir dalam gereja dimanfaatkan secara optimal. Untuk meningkatkan pelayanan gereja di dunia ini, bakat semua anggota harus berkembang. Hal itu tidak hanya berlaku untuk fungsi intern di dalam gereja, tetapi juga untuk fungsi ekstern dari gereja ke masyarakat, misalnya untuk mengurangi kemiskinan. Ikutserta dalam misi Allah juga berarti ikutserta dalam pilihan Allah yang mengutamakan orang miskin. Jika misalnya suatu anggota jemaat, yang terdiri terutama atas petani miskin, mempunyai bakat untuk meningkatkan kualitas pertanian, dia harus diberi kesempatan untuk studi lanjut, dengan tujuan, bahwa dia sesudah studi itu secara profesional dapat membantu seluruh masyarakat petani untuk memperbaiki metode pertanian mereka, sehingga mereka dapat hidup lebih sejahtera. Salah satu hal positif -mungkin yang paling positif- dari pertemuan itu adalah, bahwa dibuat suatu inventarisasi dari kegiatan-kegiatan setiap gereja. Sesudah inventarisasi itu beberapa gereja yang mempunyai proyek-proyek tertentu untuk meningkatkan kualitas pelayanan dalam gereja dan masyarakat, mengundang mitra-mitra gereja untuk ikut berpartisipasi dalam proyek-proyek itu, terutama proyek melalui apa sumber daya manusia, potensi yang ada di setiap jemaat, dapat ditingkatkan. Dengan kata yang lain menolong satu sama lain untuk meningkatkan sumber daya manusia yang ada, sehingga SDM itu benar bermanfaat untuk pembangunan gereja dan masyarakat dalam konteks masing-masing gereja. Untuk mewujudkan misi-Nya dalam dunia ini, Allah membutuhkan alat-alat dan mungkin alat yang paling penting adalah sumber daya manusia, anggota-anggota gereja.[9]

2.5. Kelemahan Teologi Barat dan Perlunya Kontekstualisasi Indonesia

2.5.1.      Konteks Indonesia

Di telusuri, di Indonesia khususnya terjadi gejala kekristenan yang tidak terlembagakan ke dalam “kebudayaan” yang kristiani dan berdampingan secara berbeda dengan kebudayaan setempat. Ada jarak dan persepsi yang berbeda mengenai siapa Kristus. Apakah menjadi bagian dari masyarakat atau hanya sebuah doktrin saja. Tentu hal ini menjadi tantangan bagaimana implikasi teologis yang berpangkal sebenarnya pada “Kristus,” mampu menjawab kebutuhan manusia ditengah himpitan hukum, keadilan, politik dan agama yang tidak lagi menjamin keamanan hidupDari sisi budaya, secara kultural dalam masyarakat Indonesia, budaya adalah kebanggaan atau nilai diri suatu suku, sehingga sejalan dengan itu budaya memegang pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. “jantung kehidupan,” yang mengontrol seluruh kehidupan manusia.[10]Dari hal ini bisa dilihat bahwa berteologi dan berbudaya merupakan dua unsur yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Menilai sebuah budaya harusnya dinilai dari kaca mata orang lokal sendiri yang tidak dipengaruhi oleh pra-konsep akan keburukan budaya tersebut. Sayangnya, Konsep moderen yang berkembang selalu mendiskreditkan budaya. Mereka tidak sadar bahwa mereka dilahirkan atau berasal dari masyarakat. Menjadi Indonesia berarti menjadi masyarakat berbudaya. Menjadi orang Kristen berarti menjadi pengikut Kristus yang berbudaya. Teologi dan budaya tidak boleh saling membunuh satu dengan yang lain.Namun sebaliknya, setiaplubang kosong yang ada pada budaya, dapat diisi dengan teologi misalnya menjelaskan siapa dewa yang mereka sembah, siapa yang berkuasa atas alam semesta yang berkuasa untuk mendatangkan kesuburan dan bencana. Selanjutnya karena budaya merupakan identitas, maka tentunya masyarakat telah terikat dengan budaya mereka sehingga berteologi dengan tidak menghilangkan identitas, merupakan sebuah keharusan.[11]

2.5.2.      Pluralis Indonesia

a)      Era Kolonial

Zaman Kolonial yang dimaksud ini adalah era di mana berlangsung ekspansi peradaban imperialis Barat ke Wilayah non Barat, yang oleh K.M. Panikkar, disebut Era Vasco Da Gama (1492-1947). Pada zaman ini umumnya negeri-negeri di Asia, termasuk Indonesia, hanyalah wilayah jajahan bangsa-bangsa Barat, khususnya Eropa.  Negeri-negeri jajahan ini hanyalah dianggap “pinggiran”, sedang penjajah menganggap negeri-negeri mereka sebagai pusat dunia.

Sesungguhnya gerakan penginjilan global (kedua) dimulai pada era Vasco Da Gama. Ketika para penginjil dari Eropa yang merasa terpanggil dan memberi diri untuk mewartakan Injil menyadari akan tugas panggilannya, mereka melihat bahwa seluruh wilayah di luar Eropa adalah “ladang” atau “lapangan” penginjilan. Dalam wawasan itulah juga mereka melihat wilayah Nusantara sebagai, apa yang disebut Hendrik Kraemer “lapangan penginjilan”. Maka, sejak abad ke 16 dan secara intensif pada abad ke 19, ketika para penginjil tiba di Indonesia, mereka melihat wilayah Indonesia sebagai “ladang penginjilan”. Dalam kaitannya dengan gereja-gereja Protestan hasil pekabaran Injil dari NZG berlatarbelakang Hervormd Calvinis, misalnya, kemudian hari tanggungjawabnya dialihkan pada pemerintah Hindia Belanda menjadi Indeische Kerk. Kedatangan mereka bersamaan waktu dengan menyebarnya kebudayaan Eropa, maka dalam banyak hal dianggap berkaitan dengan kolonialisme dan imperialisme Barat. Anggapan demikian tampaknya tidak mudah disangkal, karena pada kenyataannya, walaupun tempat kelahirannya di Asia, namun agama Kristen yang datang ke Asia dalam kurun waktu lima abad itu bersamaan waktu dengan ekspansi peradaban Barat, dalam hal ini Kolonialisme Barat. Karena penginjilan itu dilakukan oleh para penginjil Barat, maka umumnya corak agama Kristen di Asia kurang lebih sama seperti yang terlihat dalam kehidupan gereja-gereja di barat. Artinya, baik pemikiran maupun struktur dan sistemnya mencerminkan corak-corak gereja induk. Karenanya, amatlah sulit juga menolak anggapan bahwa Kekristenan di Asia adalah satu “agama Barat” di dunia “non Barat”.

b)     Era Pasca Kolonial

Sejak setelah Perang Dunia  (PD) II, gereja-gereja di Indonesia memasuki lembaran baru sejarah, yakni era pasca kolonial. Dalam era baru ini muncul satu kesadaran baru dalam benak gereja-gereja, bahwa pewartaan Injil dan berkelanjutan mereka adalah tugas hakiki mereka sendiri. Penginjilan dan pelayanan yang selama zaman kolonial hanya berada di tangan gereja-gereja induk dan badan-badan penginjilan yang bermarkas di Eropa dan Amerika Utara, seyogianya kini menjadi tanggungjawab gereja-gereja di Indonesia.

Seperti halnya yang terjadi di berbagai negeri di Asia, sejak periode PG II, gereja-gereja di Indonesia memasuki era baru. Dalam zaman kolonial gereja-gereja ini dianggap sebagai bagian dari “lapangan penginjilan”, tetapi dalam era pasca kolonial mereka mengambil alih tanggungjawab pelayanan. Dengan kata lain, kalau di zaman kolonial tanggungjawab itu berada pada badan-badan misi, kini tanggungjawab itu berada di tangan gereja-gereja “pribumi”, dalam hal ini gereja-gereja etnis. Penginjilan dan pelayanan ,mereka tidak lagi terbatas hanya seperti yang dilakukan oleh para penginjil di zaman kolonial, yakni menebarkan Injil dalam arti “pengkristenan”, tetapi dalam rangka bersaksi akan kemurahan dan keadilan Tuhan. Kesaksian mereka diwujudkan lewat partisipasi mereka dalam proses membangun kehidupan bersama sebagai masyarakat, bangsa dan negara. Adalah kenyataan bahwa dalam kurun waktu pasca kolonial betapa banyak warga gereja yang telah turut aktif dalam berbagai bidang pelayanan dan kesaksian di tengah masyarakat, bangsa dan negara. Mereka bersaksi lewat partisipas aktif dalam bidang sosial, ekonomi dan politik, termasuk dalam penyelenggaraan negara. Keterlibatan mereka dalam bidang sekular turut memberi warna dalam hal teologi gereja. Dapat disinggung misalnya, pemikiran teologi Johanes Leimena atau T.B Simatupang yang sangat mempengaruhi teologi gereja-gereja Protestan, yang seyogianya juga berpengaruh terhadap kehidupan bersama dalam berbangsa dan bernegara.

Memang sampai sekarang, terdapat kesan ada orang seolah menyemakan Injil dan Kebudayaan. Dan karena Injil itu dibawa dari Eropa, dengan begitu Kekristenan dididentikkan dengan kebudayaan Eropa atau Barat. Injil harus dibedakan dari kebudayaan Barat. Injil adalah berita tentang penebusan dosa oleh Yesus Kristus. Penebusan itu terjadi lewat pertobatan dan pengampunan yang dialami manusia, baik secara pribadi maupun bersama, batiniah maupun lahiriah. Hal ini perlu diingatkan kepada kita, karena sekarang ini ada gejala dan kecenderungan yang seolah hendak mengidentikkan Injil dan kebudayaan Barat atau Eropa. Atau mengidentikkan Injil dengan kemodernan. Lebih dari itu, pelayanan gereja khususnya penginjilan, tidak dapat diidentikkan dengan misi Kristen Barat, bukan pula misi gereja atau badan-badan misi yang berasal dari negeri-negeri yang kaya. Apabila terjadi demikian, maka penginjilan, atau kegiatan-kegiatan penginjilan, tidak ada bedanya dengan satu bentuk kolonialisme baru.

c)      Era Pasca Denominasi

Memasuki milenium ketiga, gereja-gereja memasuki era pasca denominasi (post denominational era) setelah berabad-abad lamanya bertumbuh dan berkembang dalam tradisi doktrinal mereka masing-masing. Kini dalam milenium ketiga kita memasuki era pluralisme sosial dan agama dimana terjadi perjumpaan antara tradisi dan agama yang berbeda-beda. Perjumpaan itu baik terjadi secara fisik, maupun non fisik. Secara fisik perjumpaan dan kontak antar individu dan pribadi berlangsung di tempat kerja, di kantor, di pasar, di sekolah atau di kampus. Sedang secara non fisik perjumpaan dan kontak terjadi secara kultural dan intelektual lewat media massa, cetakan atau elektronik. Perjumpaan, baik secara fisik dan non-fisik orang melihat, mengalami, belajar dan sharing akan perbedaan.

Dalam kehidupan agama khususnya gereja, perjumpaan antar tradisi yang berbeda-beda pun tidak dapat dihindari. Kita memasuki era eukumenis atau pasca denominasi, di mana banyak gereja dan warga mereka mulai mentransformasi berbagai perbedaan tradisi dan doktrin-dogmatis yang tercipta dalam sejarah masa lampau di konteks Eropa. Banyak warga gereja yang tidak segan untuk melakukan ibadah bersama baik dalam bentuk “kelompok doa” maupun evangelisasi massal.

Dengan demikian, eukumenis yang berlangsung sekarang bukan fenomena “arus atas” di kalangan pemimpin gereja, tetapi juga “arus bawah” di kalangan warga gereja. Kalau eukumenis di kalangan pemimpin gereja berlangsung secara institusional-organisasional yang formal, maka ekumenisme di kalangan warga gereja berlangsung secara personal dan spiritual. Ekumenisme “arus bawah” ini berlangsung secara bebas, tanpa menghiraukan hambatan “birokrasi” gereja. Sebaliknya  ekumenise “arus atas” berlangsung secara formal antar pemimpin dan institusi gereja. Maraknya Ekumenisme “arus bawah” sering membawa dampak kegelisahan di kalangan gereja-gereja bertradisi. Hal ini disebabkan oleh karena dinamika ekumenisme “arus bawah” seolah menjadi kritik terhadap gereja institusi yang bertradisi, yang sering kurang memedulikan misi atau pekabaran Injil. Lagi pula, ekumenisme “arus bawah” sering memberi kesan adanya “keangkuhan iman” dan “intoleransi” yang tinggi terhadap gereja-gereja bertradisi, karena sikap militansinya.

Dalam rangka pelayanan bersama di Nusantara, mestinya dua arus ekumenisme ini tidak dipertentangkan, melainkan harus saling melengkapi satu dengan yang lain. Kalau ekumenisme “arus atas” menitikberatkan keesaan dan keutuhan “Tubuh Kristus”, maka itu hendaknya dilakukan dalam pemahaman bahwa di dalam persekutuan Gereja, anggota-anggota memperoleh pelayanan dan kelengkapan iman untuk tujuan tugas panggilan gereja di dunia. Sebaliknya ekumenisme “arus bawah” yang menitikberatkan penginjilan, hendaknya dilakukan dalam pemahaman bahwa misi Yesus Kristus adalah untuk keselamatan manusia seluruhnya dan keutuhan ciptaan Tuhan.

2.5.3.      Perubahan Zaman dan Perkembangan IPTEK

Teknologi telah dikenal manusia sejak jutaan tahun yang lalu karena dorongan untuk hidup yang lebih nyaman, lebih makmur dan lebih sejahtera. Jadi sejak awal peradaban sebenarnya telah ada teknologi, meskipun istilah teknologi belum digunakan. Istilah teknologi berasal dari techne  atau cara dan logos atau pengetahuan. Jadi secara harfiah teknologi dapat diartikan pengetahuan tentang cara. Pengertian teknologi sendiri menurutnya adalah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan akal dan alat, sehingga seakan-akan memperpanjang, memperkuat atau membuat lebih ampuh anggota tubuh, pancaindra dan otak manusia.[12] Sedangkan menurut Jaques Ellul memberi arti teknologi sebagai keseluruhan metode yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efisiensi dalam setiap bidang kegiatan manusia.[13] Pengertian teknologi secara umum adalah: proses yang meningkatkan nilai tambah produk yang digunakan dan dihasilkan untuk memudahkan dan meningkatkan kinerja Struktur atau sistem di mana proses dan produk itu dikembangkan dan digunakan.

Sedangkan dampak adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh sesuatu. Jadi dampak teknologi adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu teknologi, bisa akibat baik bisa juga akibat buruk dalam kehidupan manusia. Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan ini, karena kemajuan teknologi akan berjalan sesuai dengan kemajuanm ilmu pengetahuan. Setiap inovasi diciptakan untuk memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia. Memberikan banyak kemudahan, serta sebagai cara baru dalam melakukan aktifitas manusia. Khusus dalam bidang teknologi masyarakat sudah menikmati banyak manfaat yang dibawa oleh inovasi-inovasi yang telah dihasilkan dalam dekade terakhir ini. Namun demikian, walaupun pada awalnya diciptakan untuk menghasilkan manfaat positif, Di sisi lain juga juga memungkinkan digunakan untuk hal negatif.[14]

Sikap Gereja terhadap Iptek dapat dipilah atas sikapnya terhadap ilmu, dan terhadap terhadap teknologi. Sikap gereja terhadap ilmu menyangkut kesesuaian atau pertentangan kebenaran keilmuan  dengan keyakinan iman gereja. Sikap gereja terhadap teknologi, bila dirunut terus akhirnya juga akan  menyangkut keyakinan keagamaan warga gereja, tetapi yang lebih mengemukakan ialah sikap moral/etika gereja terhadap manfaat dan mudarat pengembangan dan penerapan suatu teknologi. Jadi, relasi “ilmu-iman” memberat ke landasan ontologis ilmu, sedang relasi “teknologi-moral” lebih berada pada landasan aksiologis ilmu. Tentu perlu disadari bahwa tidak ada ontologi yang bebas epistimologi, dan demikian pula sebaliknya, tidak ada epistimologi yang bebas ontologi.[15]

 

III.             Kesimpulan

Gereja yang kontekstual merupakan gereja yang menyadari akan “konteks” di mana gereja itu hadir dan berkarya. Demikian halnya dengan misi gereja, juga harus di mengerti secara kontekstual, sebab perwujudan dari misi teraktualisasi di dalam pelayanan yang dilakukan oleh gereja. Edmund Woga mengutip pendapat Walbert Buhlmann yang mengatakan bahwa “misi harus lebih dimengerti secara kontekstual sebagai hidup dan karya Gereja di tempat di mana Gereja berada, dengan cara ini, misi mendapatkan artian yang sebenarnya sebagai aspek keterbukaan terhadap dunia” Itu berarti bahwa gereja tidak dapat mengabaikan konteks di mana gereja itu hadir dan berkarya. Tantangan yang dihadapi oleh gereja dapat menjadi peluang untuk memahami kembali usaha untuk menjalankan Misi Allah. Kepekaan gereja dalam melihat setiap peluang untuk mewujudkan Kerajaan Allah merupakan tugas yang berat, sebab kepekaan bukan saja berarti tanggap membaca situasi historis dan pergumulan yang sedang melanda gereja tetapi tingkat kekritisan gereja dalam menyikapi peluang dan tantangan itu dibutuhkan dalam menciptakan pelayanan misi yang kontekstual. Pada umumnya, gereja-gereja baru menyadari akan persoalan dalam pelayanan, ketika gereja mengalami suatu hambatan atau penderitaan yang menyebabkan gereja itu sadar akan konteks yang dihadapi. Akan tetapi, selama gereja tidak mengalami tantangan atau hambatan dalam menjalankan misi pelayanannya maka gereja tidak pernah menyadari akan adanya persoalan dalam misinya. Karena itu upaya mengatasi krisis dalam misi tidaklah terletak dalam usaha merangkul nilai-nilai dunia masa kini dan berusaha menanggapi apa pun yang diartikan oleh seseorang atau kelompok tertentu sebagai misi pada masa sekarang. Sebaliknya, kita membutuhkan visi baru untuk menerobos kebekuan di masa kini, menuju suatu keterlibatan misi yang lain yang tidak perlu berarti membuang segala sesuatu yang telah dilakukan oleh berbagai generasi orang Kristen sebelum kita ataupun dengan sombong mengutuk semua kekeliruan mereka atau kita hanya perlu memperbaikinya saja dengan melakukan Dekonstruksi dan Rekonstruksi Teologi menuju Teologi Indonesia yang Kontekstual.

 

IV.             Daftar Pustaka

Anglin, Gary J., Instructional Technology: Past, Present and Future, Englewood : Libraries Unlimited, 1991

Alisyahbana, Iskandar  , Teknologi dan Perkembangan, Jakarta : Yayasan Idayu, 1980

Artanto, Widi, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia, Yogyakarta: Kanisius,  1997

Bakker, J.T., “Het gezag van het schrift.” Dalam Rondom het Woord. Theologische Etherleergang van de NCRV, 1968

Heath, Stanley, Sains, Iman dan Teknologi, Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1997

Henk van Andel (Ed. 1990). De bijbel opnieuw... gelezen, uitgelegd, overwogen. ‘s-Gravenhage: Meinema

Shenk, David W., Ilah-Ilah Global, Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006

Timo, Ebenhaizer I Nuban, Polifonik bukan Monofonik, Salatiga: Satya Wacana University Press     

Verkuyl, J., Met Moslims in Gesprek Over het Evangelie, Kampen: J.H. Kok.

Yewangeo, Andreas A., dkk, Format Rekonstruksi Kekritenan (Menggagas Teologi Misiologi dan Eklesiologi Kontekstual diindonesia, Jakarta:  Sinar Harapan, 2006

 

 



[1] Andreas A. Yewangeo, dkk, Format Rekonstruksi Kekritenan (Menggagas Teologi Misiologi dan Eklesiologi Kontekstual diindonesia. 181-182.

[2] David W. Shenk. Ilah-Ilah Global. Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006). 306.

[3] Ebenhaizer I Nuban Timo. (2015). Polifonik bukan Monofonik. Salatiga: Satya Wacana University Press. 181.

[4] J. Verkuyl. (1994).Met Moslims in Gesprek Over het Evangelie. Kampen: J.H. Kok. 35.

[5]J.T. Bakker. “Het gezag van het schrift.” Dalam Rondom het Woord. Theologische Etherleergang van de NCRV. No. 3 – Juli. 1968. 380.

[6]Henk van Andel (Ed. 1990). De bijbel opnieuw... gelezen, uitgelegd, overwogen. ‘s-Gravenhage: Meinema. 53.

[7] Nuban Timo. Meng-hari-ini-kan Injil. 132.

[8] Nuban Timo. Meng-hari-ini-kan Injil. 133.                                                  

[9] Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius,  1997), 102-104.

[10]Stanley Heath, Sains, Iman dan Teknologi (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1997), 193.

[11]David W. Shenk. Ilah-Ilah Global. Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 308.

 [12] Iskandar  Alisyahbana, Teknologi dan Perkembangan, (Jakarta : Yayasan Idayu, 1980), 85.

[13] Gary J. Anglin, Instructional Technology: Past, Present and Future, (Englewood : Libraries Unlimited, 1991), 88-89. [14] Iskandar  Alisyahbana, Teknologi dan Perkembangan, (Jakarta : Yayasan Idayu, 1980), 90.

[15]Andreas A Yewangoe, dkk, Format Rekonstruksi Kekristenan, 133


Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Mundosaragi
Total Pageviews