wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

Teologi Ekologi

 

1.1.Pengertian Ekologi

Istilah “ekologi” terbentuk dari dua kata dasar Yunani, yaitu oikos (rumah, tempat tinggal) dan logos (kata, uraian). Secara harafiah, ekologi berarti penyelidikan tentang organisme-organisme dalam jagat raya. Dengan kata lain ekologi adalah ilmu tentang hubungan antar organisme yang hidup dengan lingkungannya.[1] Ekologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti “ilmu tentang hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya)”.[2] Di mana Ekologi berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi mahkluk hidup yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan. Organisme hidup tidak dapat hidup menyendiri, mereka berinteraksi satu dengan lainnya dan dengan lingkungannya.[3] Ekologi menitikberatkan pada interaksi karena di alam ini selalu ada hubungan timbal balik antara faktor-faktor biotik (individu, populasi, komunitas, ekosistem, dan biosfer) dan abiotik (faktor fisik seperti : suhu, sinar matahari, air, tanah, ketinggian tempat, angin, garis lintang dan faktor kimia).[4]

 

1.2. Latar Belakang Munculnya Ekologi

Menurut Stephen menyatakan bahwa Joseph Stiller sejak tahun 1961 sudah mengingatkan kebutuhan akan teologi lingkungan. Ia menyatakan bahwa salah satu pihak yang ikut menyebabkan kerusakan dunia adalah manusia dimulai dari krisis ekologis.[5] Menurut Denis Owen sebagaimana yang dikutip oleh A. Sony Keraf berkata bahwa Ekologi berurusan dengan hubungan di antara tumbuhan dan hewan dan lingkungan di mana mereka hidup. Bumi merupakan kediaman bersama dengan makhluk lainnya. Dengan kata lain bumi merupakan rumah yang di dalamnya manusia, hewan, tumbuhan dan materi lainnya hidup secara berdampingan. Seperti yang dikatakan oleh Sony bahwa: “Ekologi bukan semata-mata berurusan dengan pencemaran.  Ia juga bukan semata-mata persoalan tentang kerusakan alam. Lingkungan hidup atau ekologi mengandung pengertian yang lebih luas, lebih mendalam dan lebih filosofis menyangkut kehidupan dan interaksi yang terjalin di dalamnya. Ia menyangkut mata rantai jaring makanan dan siklus yang menghubungkan satu kehidupan dengan kehidupan lainnya dan interaksi antara semua kehidupan dengan ekosistemnya, dengan bumi tempat hidup semua kehidupan. Singkatnya, ekologi berbicara tentang kehidupan dan jaringan kehidupan yang terdiri dari jaringan di dalam jaringan”. Saling keterkaitan ini membuat manusia seharusnya menyadari bahwa di dalam bumi ini, manusia tidak hidup sendiri. Artinya ada makhluk hidup lain yang berhak untuk hidup dalam lingkungan yang sama di mana manusia berada. Tidak hanya itu saja, manusia membutuhkan makhluk hidup lainnya seperti tumbuhan dan hewan agar manusia tetap bertahan hidup. Sebaliknya juga demikian, tumbuhan dan hewan membutuhkan manusia agar supaya mereka bisa bertahan hidup dan tidak cepat punah.[6]

Joseph Stiller sejak tahun 1961 sudah mengingatkan kebutuhan akan teologi lingkungan. Ia menyatakan bahwa salah satu pihak yang ikut menyebabkan kerusakan dunia adalah manusia, dimulai dari krisis ekologis dan spiritual. Ada tiga tahapan munculnya ide Eco-theologi. Pertama, sekitar tahun 1962, Rachel Carson, seorang biologiawan, aktivis lingkungan, memperingatkan dunia akan kerusakan lingkungan akibat banyaknya gas beracun yang dihasilkan pabrik-pabrik legal. Kedua, tahun 1967 Lynn White, Jr. seorang sejarahwan, menuding kekristenan sebagai penyebab krisis lingkungan. Ketiga, munculnya Social Justice and Enviriontmental Concerns. Keadilan sosial berkaitan dengan perhatian atas masalah ekologi. Prediger mengambarkan bahwa ekoteologi muncul dalam empat tahap berdasarkan jenis tuduhan yang dilontarkan beberapa pemikir terhadap kekristenan, yakni : Pertama, Arnold Toynbee, yang menuduh bahwa konsep monoteisme Kristen, khusunya dalam Kejadian 1:28, menyebabkan manusia mendominasi dan mengekploitasi alam. Kedua, Wendell Berry menyatakan ajaran dikotomi Kristen sebagai penyebab eksploitasi atas alam : adannya pemahaman pemisahan antara tubuh dan jiwa, spritualitas dan material, suci dan sekular. Ketiga, eskatologi Kristen, khususnya teks 2 Petrus 3:10, terutama dalam terjemahan RSV (Revised Standard Version), KJV (King James Version), NIV (New International Version), NEB (New English Bible), dan TEV (Today English Version), mengandung masalah terhadap paradigma ekologi. Teks-teks inilah yang mendorong orang Kristen, khusunya di era Presiden Ronald Reagan, sangat bersemangat mengeksploitasi alam. Keempat, tahun 1967 “tuduhan” Lynn White atas Kekristenan. Prediger juga menyimpulkan bahwa teologi Kristen telah mendorong dunia melakukan eksploitasi terhadap alam.[7]

Robert P. Borrong mengutip pendapat Paul Albercht, menyatakan bahwa krisis ekologi bertolak dan berkembangnya rasionalisme yang memisahkan ilmu pengetahuan dari agama. Hal ini menurutnya sudah dimulai sejak abad pertengahan. Puncaknya terjadi pada abad ke-18, ketika ilmu pengetahuan menempuh jalannya sendiri dalam jejak rasionalisme murni. Hal inilah kemudian yang menurut Borrong membuat manusia memiliki pendapat bahwa rasiolah satu-satunya ukuran manusia dalam berperilaku, baik terhadap sesama maupun terhadap alam. Sejak itulah alam dijadikan obyek bagi kepentingan manusia. Eko-teologi bertujuan menjelaskan “wacana teologis yang menyoroti rumah tangga dari seluruh ciptaan Allah terutama alam sebagai suatu sistem yang paling terkait”. Eco-teologi muncul sebagai respon atas adanya krisis lingkungan yang serius dan mengancam kehidupan manusia di bumi. Sehingga Eko-teologi merupakan ekspresi dari teologi kontekstual yang muncul dalam kesadaran krisis teologi pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21.[8]

Eco-teologi adalah bagian dari ilmu Etika Sosial Kristen. Ilmu ini mendalami pengertian Kristen tentang alam semesta dan penciptaan, khususnya tanggung jawab orang Kristen terhadap lingkungan hidup, dan seringkali disebut juga “Teologi lingkungan hidup”. Dalam studi keagamaan ekologi memasuki konsep sentral sebagai gerakan kelompok intelektual agama yang mengajak manusia bertanggungjawab atas penjagaan dan perawatan keseimbangan alam dengan mengembangkan berbagai tafsiran dalam karya

 

1.3. Ekologi Dalam Pemahaman Alkitab

Alkitab dimulai dengan kesaksian yang menceritakan tentang penciptaan langit dan bumi serta segala isinya, termasuk manusia (Kej. 1-2); dan diakhiri dengan kesaksian yang menyatakan bahwa Allah akan memperbaharui ciptaan-Nya dalam langit dan bumi yang baru (Why. 21-22). Berdasarkan atas kesaksian ini, maka iman Kristen mengakui bahwa hanya Allah yang menjadi satu-satunya penguasa yang menjadi sumber segala sesuatu dan menjadi penyebab terjadinya segala sesuatu.[9] Celiane Drane-Drummond menuliskan bahwa cerita Kejadian adalah suatu cara memahami dunia, sementara ilmu pengetahuan menawarkan penjelasan lain, yang lahir dari budaya modern yang didasarkan pada aneka ragam pertanyaan yang berbeda-beda. Ilmu pengetahuan tidak perlu mengantikan cerita Kejadian, sebab ilmu pengetahuan bukanlah kata akhir tentang asal-usul dunia dan kelanjutan keberadaannya. Penafsiran yang mempertahankan superioritas manusia atas binatang-binatang menggambarkan gagasan tentang hubungan itu didasarkan atas pemahaman Alkitab bahwa hanya manusia yang diciptakan sebagai “gambar Allah” sebagaimana dijelaskan dalam Kejadian 1:27. Keunikan hubungan Allah dengan manusia ini telah menimbulkan pemahaman tentang penatalayanan. Manusia diciptakan sebagai gambar Allah karena peranannya selaku penatalayan atau pelaksana atas ciptaan.[10]

Menurut Martin Harun, seorang teolog Indonesia yang mengusung dan melakukan penafsiran ulang dalam rangka kepentingan ekologi. Harun menyatakan bahwa Kejadian 1:28 harus ditafsirkan ulang dan tidak diarahkan pada sekedar tuduhan bahwa penafsiran Kristenlah yang menjadi penyebab kehancuran bumi. Harun menunjukan bahwa penafsiran kata “taklukkanlah” dan “berkuasalah” sebagai “menjejak-jejak” dan “menginjak-injak” seperti dalam Yoel 4:13 dalam konteks memeras anggur. Konteks ini dibangun dengan merujuk pada konteks Timur Tengah, sehingga kata “taklukanlah” dan “berkuasalah” mendapat pengembangan makna baru, yakni seperti seorang raja atau gembala yang mengurusi binatang dengan baik-baik. Sementara kata “menaklukkan” mendapat makna “mengolah” tanah. Penafsiran seperti ini lebih menolong kekristenan untuk lebih peduli dengan krisis ekologi yang sedang terjadi.[11]
Kemudian dalam Perjanjian Baru (PB), Harun mengungkapkan bahwa perhatian kepada alam ciptaan memang agak kurang. Yesus Kristus, menurutnya, memang menyebutkan burung pipit, bunga bakung, dan ciptaan yang lain, justru untuk membuktikan perhatianNya yang besar kepada manusia. Harun menunjukan bahwa teks dalam kitab Wahyu justru mengambarkan bagaimana malaikat merusak alam. Jalan keluarnya, menurut Harun, harus ditempuh dengan melakukan dialog dengan ilmu ekologi. Pada akhirnya, menurut Harun, perlu penafsiran ulang atas teks-teks tersebut. Untuk menafsirkanya diperlukan konsep Zaman Akhir seperti yang diungkapkan Yesus Kristus (Luk. 11:20; 17:21). Konsep-konsep tersebut memunculkan gagasan bagaimana hubungan Yesus dengan binatang-binatang (Mrk. 1:13). Ada pula konsep Paulus tentang keselamatan kosmis yang menjelaskan bahwa keselamatan bukan hanya bagi manusia, melainkan juga seluruh ciptaan.[12]

Beberapa elemen penting dari cara pandang kekristenan terhadap lingkungan yang berkembang dari doktrin penciptaan, yaitu:[13]

a)      Dunia adalah ciptaan Allah. Pandangan Materialis tradisional berpendapat bahwa dunia adalah proses generasi tiada henti. Sedangkan kaum Panteis yakin bahwa dunia ini adalah emanasi (pancaran yang kekal). Akan tetapi kaum Panteis berpegang pada penciptaan dunia yang sementara. Alam semesta ini memiliki permulaan (Kej. 1:1), yang artinya orang Kristen menyakini bahwa penciptaan ex nihilo (dari ketidaan). Doktrin penciptaan memberikan beberapa implikasi penting bagi ekologi. Sekalipun dunia bukanlah Allah, seperti yang dikatakan oleh kaum Panteis, juga bukan milik manusia, seperti yang dimaksudkan oleh kaum Materialis. Disinilah muncul dua aspek penting mengenai ekologi Kristen: kepemilikan Allah dan penatalayanan manusia. Allahlah pemiliknya dan manusia diharuskan memelihara bumi bagi-Nya.

b)      Dunia ini milik Allah. Alkitab memberikan kesaksiannya dalam Mazmur 24:1 “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya”. Allah yang menciptakan bumi, dan dialah yang empunya bumi. Allah adalah pemilik taman dan manusia adalah pemelihara taman. Tuhan berkata kepada Ayub, “apa yang ada di seluruh kolong langit, adalah kepunyaan-Ku” (Ayub 41:2). “Allahlah pemilik seluruh tanah, pohon, binatang, dan tambang, hewan di gunung…sebab punya-Kulah dunia dan segala isinya” (Mazmur 50:10, 12). Allah pemilik lingkungan; manusia hanya mengusahakannya. Karena itu, kepemilikan Allah merupakan dasar bagi manusia sebagai pengelola bumi.

c)      Dunia terikat dengan perjanjian Allah. Perjanjian Allah dengan Nuh (Kej. 9:16), perjanjian itu tidak hanya dibuat dengan manusia, tetapi dengan binatang-binatang dan dengan setiap mahluk yang hidup. Jadi manusia bukan hanya harus memelihara setiap mahluk hidup yang telah diciptakan Allah; manusia juga harus memberi makan dan melindungi mereka.

d)     Manusia adalah pemelihara lingkungan. Allah itu Pencipta dan Pemilik bumi, tetapi manusia adalah pemeliharanya. Manusia setidaknya memiliki tiga kewajiban dasar terhadap lingkungan: bertambah banyak dan memenuhi bumi; menaklukan bumi dan berkuasa atasnya; dan mengusahakan dan memelihara bumi (kej 1:28; 2:15).

 

1.4. Hubungan Teologi Kristen Dengan Masalah Ekologi

Dalam kebudayaan menunjukkan bahwa pendekatan yang melulu manusiawi atau antropesentrik menjadi gagasan yang hanya terdapat dalam cerita penciptaan Kristen. Ada unsur antroposentrik yang sangat kuat dalam gagasan-gagasan filosofis Yunani. Pemikiran Kristen muncul dari perkawinan menyumbangkan sikap ambivalen kekristenan terhadap lingkungan alam. Hal ini memperlemah pendapat yang mendiskreditkan kekristenan sebagai sumber tidak langsung penyebab krisis ekologis karena sikap antroposentrik adalah bagian dari kebudayaan yang sangat luas.

Adapun yang menjadi penyebab krisis ekologis adalah Sekularisme. Sekularisasi adalah proses yang menghilangkan makna keyakinan agama dan praktek institusi agama baik dalam arti agama maupun dalam arti social. Di mana sekularisasi sering kali sejalan dengan proses ini dan menjadi suatu keyakinan bahwa nilai-nilai kita tidak semestinya didasarkan agama. Pendekatan yang lebih positif yang menyoroti perbedaan-perbedaan  itu dalam pemikiran Kristen ialah yang memberikan nilai pada semua ciptaan dan dorongan pemberian nilai tersebut akan mengarahkan manusia pada penghargaan yang besar terhadap ciptaan. Dengan cara ini pendekatan Kristen dapat menolong menjawab pendekatan antroposentrik yang berlebihan. Hal ini menjadi cara mendorong kasih dan sikap bertanggung jawab terhadap alam dari pada sikap sebaliknya yaitu sikap yang dipusatkan pada pengeksploitasian alam untuk keuntungan manusia.

Antroposentrik dari tradisi penafsiran kejadian diperlembut oleh sikap teosentrik: semua ciptaan ada untuk kemuliaan Allah. Diskusikan alternatif-alternatif berikut:

Eksploitasi terhadap bumi telah didorong oleh pandangan hierarkis yang menekankan keunggulan manusia atas alam. Untuk menentang ini kita membutuhkan suatu struktur yang lebih sederajat.        

Eksploitasi terhadap bumi telah didorong oleh hilangnya rasa suci dalam semua alam. Untuk menentang ini kita membutuhkan penemuan kembali suatu perspektif teosentris.[14]

Menurut David Kinsley ada empat permasahan pokok dalam hubungan Kristen dengan lingkungan hidup, yaitu:[15]

a)      Teologi Kristen/Alkitab dianggap menjadi dasar pandangan yang berdampak negatif terhadap perkembangan spiritualitas lingkungan.

b)      Teologi Kristen/Alkitab mempunyai kecenderungan ekologis yang kuat dan menjadi sumber penting yang membangun kehidupan spiritualitas lingkungan.

c)      Teologi Kristen/Alkitab bersifat ambigu terhadap isu-isu lingkungan.

d)     Teologi Kristen/Alkitab menentukan kedudukan aktualnya terhadap isu-isu lingkungan tetapi ada tema tertentu atau pasal tertentu dalam Alkitab yang mendukung pandangannya terhadap lingkungan hidup.

Teologi dan ekologi memiliki hubungan yang begitu dalam sehingga jika orang Kristen mengabaikan alam sama halnya dengan merusak hasil kerja Allah yang besar, maka sama halnya dengan orang Kristen yang tidak taat pada perintah Allah kepada manusia untuk memelihara alam.

 

1.5. Persoalan-persoalan Ekologi pada masa kini

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan sebagai kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan makhluk hidup.[16] Seluruh pihak memiliki hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain.[17] Dalam lingkungan hidup ekosistem terdiri atas unsur biotik seperti manusia, tumbuhan, hewan, dan unsur abiotik seperti air, tanah, dan udara.[18] Krisis Lingkungan hidup menyebabkan kerusakan lingkungan, bencana alam, kekacauan, pencemaran yang juga akan menimbulkan penyakit kepada masyarakat sekitar.

Di mana Alexander Sonny Keraf mengungkapkan, krisis dan bencana kerusakan lingkungan hidup yang tidak hanya berpengaruh secara lokal namun secara global. Dikatakan global, karena krisis dan bencana itu melanda seluruh makhluk di bumi ini. Krisis dan bencana lingkungan hidup global itu meliputi kerusakan lingkungan hidup (hutan, terumbu karang, lahan, lapisan ozon), pencemaran lingkungan hidup (udara, air, laut, darat), kepunahan berbagai sumber daya alam dan lingkungan hidup (keanekaragaman hayati, mata air, sumber daya alam), kekacauan iklim global, dan masalah sosial terkait dampak lingkungan hidup. Semua itu mengancam kehidupan. Krisis ini membuat bumi ini menjadi semakin rusak dikarenakan kerusakan-kerusakan yang terjadi di berbagai daerah di bumi, terlebih khusus kekayaan alam Indonesia yang begitu luar biasa dirusak oleh para oknum yang tidak bertanggung yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan tidak memikirkan akan setiap konsekuensi yang bisa terjadi dari setiap kerusakan yang dilakukan. Menyelamatkan bumi adalah menyelamatkan kehidupan. Karena menyelamatkan kehidupan, maka cara yang ditempuh adalah dengan memuliakan kehidupan, bukan dengan kekerasan yang berpotensi pada kematian.[19]

KLHK mencatat jumlah timbunan sampah organik dan non organik secara nasional sebanyak 67,8 ton. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa jumlah sampah plastik di Indonesia telah mencapai level mengkhawatirkan.[20] Peningkatkan yang begitu signifikan ini membuat Indonesia menjadi negara penghasil sampah plastik terbesar. Hal ini didukung oleh riset yang dilakukan oleh Dr. Jenna Jambeck bahwa Indonesia merupakan negara penyumbang sampah plastik yang terbesar kedua, dengan jumlah 0,48 –1,29 juta metrik ton per tahun yang dibuang ke laut.[21] Sampah yang begitu besar ini dapat memberikan efek samping kepada masyarakat Indonesia sendiri. Salah satunya laut di Indonesia menjadi tercemar dan hal ini merusak makhluk hidup dan ekosistem di laut maupun di darat. Beberapa waktu ini ditemukan ikan Paus Sperma yang mati terdampar di pantai Kolowa, Desa Kapota Utara Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Diduga kematiannya disebabkan oleh sampah plastik. Hal ini didukung dengan ditemukannya sampah-sampah yang begitu banyak di dalam isi perut paus tersebut. Sampah plastik berupa tali, gelas, sendal, kantong plastik dan karung plastik yang beratnya mencapai 5.9 Kilogram.[22] Dengan melihat temuan data di atas, bisa dikatakan bahwa keadaan lingkungan Indonesia sangat memperihatinkan, mengingat begitu banyak sampah yang dihasilkan khususnya sampah plastik. Ditambah lagi fakta bahwa masyarakat Indonesia belum memiliki kebiasaan untuk mengolah sampah dengan benar. Mengabaikan pengolahan sampah merupakan bentuk kesalahan cara pandang manusia terhadap keadaan alam Indonesia. Menurut Alexander Sonny Keraf seperti yang dikutip oleh Lukas Awi Tritanto, “Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri, sedangkan alam dan segala isinya yang lain hanya sekadar sarana atau alat untuk memenuhi kepentingan manusia.”[23] Hal ini membuat manusia menghalalkan segala macam cara untuk kepentingan dirinya sendiri. Lebih lanjut Sony Keraf mengatakan bahwa paradigma antropsentrisme inilah yang melahirkan perilaku eksploitatif eksesif yang merusak alam sebagai komoditas ekonomi dan alam pemuas kepentingan manusia.[24]

Realitas tersebut menyisakan beragam pertanyaan sebab fakta yang muncul bahwa tanah air tercinta ini telah menjadi rusak dan sakit. Bencana dan kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia-manusia tidak bertanggungjawab dalam pemanfaatan sumber daya alam. Olehnya terjadilah banjir, tanah longsor, dan polusi yang terdapat di daerah yang padat penduduknya, sehingga memengaruhi berkembangnya berbagai macam penyakit dan bahkan dapat meningkatkan angka kematian. Cara memanfaatkan dan mengelola lingkungan cenderung bersifat eksploitatif dan destruktif. Maka proses pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan mengandung aspek perusakan lingkungan, baik sengaja maupun tidak sengaja.[25] Karel Phil Erari memberikan banyak data-data di mana Indonesia banyak melakukan eksploitasi yang dampaknya dapat dirasakan oleh manusia sehingga menggangu keseimbangan ekosistem. Pembabatan hutan yang begitu masif di Indonesia dapat mengakibatkan terjadinya bencana dan bahkan dapat memusnahkan perkembangan makhluk hidup lainnya. Eksploitasi alam demi kepentingan pribadi merupakan hal yang seharusnya tidak dilakukan.[26] Kenyataan krisis ekologi menyerang kita dari banyak arah. Skala dan kompleksitas permasalahan-permasalahan dan kerumitan pemecahan-pemecahan jangka panjang yang diketengahkan oleh media kepada kita telah menjadi semakin sulit diabaikan. Hal ini membuat kita untuk terus mencari cara untuk menemukan jalan keluar dari labirin kemerosotan lingkungan yang terus berjalan. Banyak perspektif, termasuk muncul dari agama dan filsafat, diperlukan dalam tugas penting memikirkan kembali hubungan manusia-bumi.[27]

Penyebab krisis lingkungan hidup karena sifat manusia dan perilakunya yang rakus, serakah, sombong, egois dan ingin menang sendiri dengan mengkalim sumber daya alam demi kepentingan diri sendiri. Umumnya manusia menempatkan dirinya dalam ranah yang berkuasa terhadap alam ciptaan, dan mengendalikan dengan keegoisannya sehingga memperdaya alam.[28] Dalam anggapan ini manusia menganggap dirinya berharga dan bernilai, sedangkan alam hanya sebagai sarana untuk memenuhi kepentingan.[29]

1.6. Relevansi Teologi Ekologi Masa Kini

Lingkungan hidup adalah keindahan yang diciptakan melalui sabda Tuhan.[30] Gereja bersaksi bagi Tuhan dengan hidup gereja dan menunjukkan kepada dunia gaya hidup yang bersumber dan berorintasi pada kebenaran Allah dan firman-Nya. Gereja pada dasarnya mempunyai kemampuan untuk mengkhotbahkan sekaligus menunjukkan dengan cara-cara praktis tentang lingkungan tanpa mengurangi fungsinya sebagai gereja. Gereja sungguh merupakan jawaban  Allah terhadap krisis lingkungan hidup.

Gereja harus mampu menaklukkan dan berkuasa atas bumi dengan arti bahwa manusia telah menerima perintah dalam Kejadian 1:26-28. Manusia sebagai warga gereja diberi tanggung jawab khusus yaitu: Mengolah yang mengindikasikan adanya pertumbuhan. Pertumbuhan yang diharapkan adalah pertumbuhan yang mengarah pada perubahan. Aktivitas ini bertujuan untuk mendukung kelangsungan proses alami dan pencapaian-pencapaian lain tanpa mengorbankan kepentingan ciptaan lain; Menjaga berarti melindungi dan memelihara yang berarti menopang kebaikan dan keindahan yang telah Allah ciptakan, sambil secara aktif ‘melayani’ melalui tindakan pengelolaan untuk mencapai kualitas terbaik dari ciptaan dan memberi nama untuk mengenal masing-masing ciptaan dan mengetahui secara khusus karakter atau sifat ciptaan yang diberi nama.

Dengan melakukan hal tersebut, maka kita menempatkan diri kita pada posisi yang sesuai dengan ciptaan. Dari prespektif firman Tuhan, orang Kristen dapat menerima peran sebagai ‘penguasa’ dengan antusias sekaligus dengan kerendahan hati. Jemaat dengan bersukcita bersama Allah dalam tugas khusus yang dipercayakan-Nya sebagai ‘gambar-Nya’ di bumi. Dengan kerendahan hati kita dapat menerima tugas atas pilihan Allah, bukan karena kepandaian atau kemampuan kita. Tapi karena kita akan mempertanggungjawabkan segala tindakan kita terhadap ciptaanNya yang lain.[31]

Dalam cerita penciptaan dikatakan bahwa manusia diciptakan bersama dengan seluruh alam semesta. Itu berarti bahwa manusia mempunyai keterkaitan dan kesatuan dengan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, diceritakan pula bahwa hanya manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah (Imago Dei) dan diberikan kewenangan untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan segala isinya. Jadi di satu segi, manusia adalah bagian integral dari ciptaan (lingkungan), akan tetapi di lain segi, ia diberikan kekuasaan untuk memerintah dan memelihara bumi. Maka hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya seperti dua sisi dari mata uang yang mesti dijalani secara seimbang.[32] Kesatuan manusia dengan alam terlihat jelas dari unsur materi yang Allah gunakan untuk menciptakan manusia, yakni dari debu tanah. Oleh karena itu, merusak alam dalam perspektif iman Kristen, sama saja dengan merusak unsur utama dari diri manusia. Tidak dapat disangkal bahwa keterikatan manusia dengan alam membuat manusia bertanggung jawab penuh akan kelestarian alam di sekitarnya (Kejadian 2:15). Mengusahakan yang dimaksud dalam Kejadian 2:15, ialah “Manusia sebagai citra Allah seharusnya memanfaatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan pengabdiannya kepada Allah”. Dengan kata lain, penguasaan atas alam seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab: memanfaatkan sambil menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati adalah melakukan apa saja yang merupakan kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk hal mengelola ("abudah") dan memelihara ("samar") lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan atau kepemimpinannya pada manusia.”[33]

Dalam karya penciptaan Allah dalam kitab Kejadian merupakan hasil karya yang begitu mengesankan. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia hadir (diciptakan Allah) di dunia setelah Allah menciptakan dunia (alam) ini. Apakah tujuan Allah untuk menciptakan Alam (hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam sekitar) terlebih dahulu lalu menciptakan manusia? Tentunya agar manusia bertanggung jawab atas hasil Allah yang begitu luar biasa ini. Memang dalam Kejadian 9 menunjukkan betapa alam ini telah menjadi rusak akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa. Namun demikian, keadaan alam yang telah rusak sekali pun tidak mengurangi nilainya. Oleh karena itu, James Montgomery Boice memberikan beberapa hal yang perlu untuk dilakukan oleh manusia demi menjaga alam ciptaan Allah:

1.      Manusia harus bersyukur untuk dunia yang telah Allah jadikan dan memuji Dia untuk hal itu.

2.      Manusia (orang-orang Kristen) harus menunjukkan suatu tanggung jawab terhadap alam. Kita seharusnya tidak menghancurkannya hanya demi menghancurkannya, tetapi seharusnya berusaha untuk mengangkatnya kepada potensinya yang paling penuh.

3.      Percaya bahwa Allah yang menjadikan segala yang diciptakan di dunia ini. Allah memelihara alam, sekalipun alam disalahgunakan karena dosa-dosa kita.[34]

II.                Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat kami simpulkan ialah Istilah “ekologi” terbentuk dari dua kata dasar Yunani, yaitu oikos (rumah, tempat tinggal) dan logos (kata, uraian). Secara harafiah, ekologi berarti penyelidikan tentang organisme-organisme dalam jagat raya. Dengan kata lain ekologi adalah ilmu tentang hubungan antar organisme yang hidup dengan lingkungannya. Ekologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti “ilmu tentang hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya)”. Ekologi berurusan dengan hubungan di antara tumbuhan dan hewan dan lingkungan di mana mereka hidup. Bumi merupakan kediaman bersama dengan makhluk lainnya. Dengan kata lain bumi merupakan rumah yang di dalamnya manusia, hewan, tumbuhan dan materi lainnya hidup secara berdampingan. Seperti yang dikatakan oleh Sony bahwa: “Ekologi bukan semata-mata berurusan dengan pencemaran. Ia juga bukan semata-mata persoalan tentang kerusakan alam. Lingkungan hidup atau ekologi mengandung pengertian yang lebih luas, lebih mendalam dan lebih filosofis menyangkut kehidupan dan interaksi yang terjalin di dalamnya.

III.             Daftar Pustaka

Keraf, A. Sony, Filsafat Lingkungan Hidup Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan, Yogyakarta : Kanisius, 2014.

Kusumohamidjojo, Budiono, Filsafat Kebudayaan, Proses Realisasi Manusia, Yogyakarta: Jalasutra, 2009.

Drummond, Celia Deane, Teologi Dan Ekologi: Buku Pegangan, Jakarta: BPK-GM, 1999.

Pasang, Haskarlianus, Menyelamatkan Lingkungan di Bumi, Jakarta: Yayasan Obor Mitra, 2002.

Boice, James Montgomery, Dasar-Dasar Iman Kristen, Surabaya: Momentum, 2015.

Aritonang, Jan S., Teologi-Teologi Kontemporer, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2018.

Erari, Karel Phil, Spirit Ekologi Integral Sekitar Ancaman Perubahan Iklim Global Dan Respon Perspektif Budaya Melanesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017.

Rasmussen, Larry L., Komunitas Bumi: Etika Bumi, Jakarta : BPK-GM, 2010.

Tristanso, Lukas Awi, Hidup Dalam Realitas Alam, Yogyakarta: Kanisius, 2016.

Tucker, Merry Evelyn & John A. Grim, Agama, Filsafat, & Lingkungan Hidup, Yogyakarta : Kanisius, 2013.

Geister, Norman L., Etika Kristen: Pilihan Dan Isu Kontemporer, Malang: Literatur SAAT, 2015.

Nota Pastoral KWI Tahun 2013, Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan, Jakarta: Sekertariat Jendral KWI, 2013.

Carm, Piet Go, O., Etika Lingkungan Hidup, Malang: Dioma, 1989.

Borrong, Robert P., Etika Bumi Baru, Jakarta: BPK-GM, 1999.

O’hara, Scarlett, Fakta Alam, Jakarta : Erlangga, 1997.

OFMCap, William Chang, Moral Lingkungan Hidup Yogyakarta: Kanisius, 2001.

 

Sumber Lain:

http://reformed.sabda.org/etika_lingkungan_hidup_dari_perspektif_teologi_kristen, diakses pada tanggal 18 Oktober 2021, Pukul 12:32 Wib.

UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam http://prokum.esdm.go.id//UU/2009/UU32tahun2009(pplh).pdf., diakses pada tanggal  18 Oktober 2021, Pukul 14:11 Wib.

https://www.idntimes.com/news/indonesia/aldzah-fatimah-aditya/klhk-jumlah-sampah-nasional-2020-mencapai-678-juta-ton/1, diakses pada tanggal 18 Oktober 2021, pukul 15.30 Wib.

https://m.kumparan.com/utomo-priyambodo/merek-sampah-plastik-terbanyak-di-indonesia-temua-greenpeace, diakses pada tanggal  18 Oktober 2021, pukul 16:15 Wib.

https://news.detik.com/berita/4309160/isi-perut-bangkai-paus-penuh-sampah-ini-kata-wwf-indonesia, diakses pada tanggal 19 Oktober 2021, pukul 12.00 Wib.

http://reformed.sabda.org/etika_lingkungan_hidup_dari_perspektif_teologi_kristen, diakses pada tanggal 19 Oktober 2021, pukul 12:30 Wib.



[1] William Chang OFMCap, Moral Lingkungan Hidup, (Yogyakarta : Kanisius, 2000), 13.

[2] Jan S. Aritonang, Teologi-Teologi Kontemporer, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2018), 205.

[3] Scarlett O’hara, Fakta Alam, (Jakarta : Erlangga, 1997), 105.

[4] Larry L. Rasmussen, Komunitas Bumi: Etika Bumi, (Jakarta : BPK-GM, 2010), 157.

[5] Jan S. Aritonang, Teologi-Teologi Kontemporer, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2018), 206.

[6] A. Sony Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan, (Yogyakarta : Kanisius, 2014), 44-46.

[7]Jan S. Aritonang, Teologi-Teologi Kontemporer, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2018), 206.

[8]Jan S. Aritonang, Teologi-Teologi Kontemporer, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2018), 204.

[9]Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru, (Jakarta: BPK-GM, 1999), 180.

[10]Celia Deane-Drummond, Teologi Dan Ekologi: Buku Pegangan, (Jakarta: BPK-GM, 1999), 17-21.

[11]Jan. S. Aritonang, Teologi-Teologi Kontemporer, (Jakarta: BPK-GM, 2018), 210-211.

[12]Jan. S. Aritonang, Teologi-Teologi Kontemporer, 211.

[13]Norman L. Geister, Etika Kristen: Pilihan Dan Isu Kontemporer, (Malang: Literatur SAAT, 2015), 337.

[14]Celia Deane-Drummond, Teologi Dan Ekologi: Buku Pegangan, (Jakarta: BPK-GM, 1999), 21-23.

[15]http://reformed.sabda.org/etika_lingkungan_hidup_dari_perspektif_teologi_kristen, diakses pada tanggal 18 Oktober 2021, Pukul 12:32 Wib.

[16]UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam http://prokum.esdm.go.id//UU/2009/UU32tahun2009(pplh).pdf., diakses pada tanggal  18 Oktober 2021, Pukul 14:11 Wib.

[17]Piet Go, O.Carm, Etika Lingkungan Hidup (Malang: Dioma, 1989), 1.

[18]Nota Pastoral KWI Tahun 2013, Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan (Jakarta: Sekertariat Jendral KWI, 2013), 7.

[19]A. Sony Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan, (Yogyakarta: Kanisius, 2014), 51.

[23]Lukas Awi Tristanso, Hidup Dalam Realitas Alam, (Yogyakarta: Kanisius, 2016), 18.

[24]A. Sony Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan, 8.

[25]http://reformed.sabda.org/etika_lingkungan_hidup_dari_perspektif_teologi_kristen, diakses pada tanggal 19 Oktober 2021, pukul 12:30 Wib.

[26]Karel Phil Erari, Spirit Ekologi Integral Sekitar Ancaman Perubahan Iklim Global Dan Respon Perspektif Budaya Melanesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), 60-66.

[27]Merry Evelyn Tucker & John A. Grim, Agama, Filsafat, & Lingkungan Hidup, (Yogyakarta : Kanisius, 2013), 7.

[28]Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan, Proses Realisasi Manusia (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), 69.

[29]A. Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global (Yogyakarta: Knisius, 2010), 79.

[30]William Chang OFMCap, Moral Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 47.

[31]Haskarlianus Pasang, Menyelamatkan Lingkungan di Bumi, (Jakarta: Yayasan Obor Mitra, 2002), 21-24.

[32]Robert. P. Borrong, Teologi dan Ekologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), 8.

[33]James Montgomery Boice, Dasar-Dasar Iman Kristen, (Surabaya: Momentum, 2015), 180-181.

[34]James Montgomery Boice, Dasar-Dasar Iman Kristen, 181.


Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Mundosaragi
Total Pageviews