wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

KEKRISTENAN di MALUKU

 


KEKRISTENAN di MALUKU

       I.            Pendahuluan

            Salah satu daerah dengan jumlah penduduk Kristen yang cukup besar di Indonesia adalah Maluku. Sepanjang sejarahnya, Kekristenan cukup berkembang di daerah ini sejak pertama kali masuk walaupun acap kali mengalami pasang-surut. Berjalannya usaha misi di daerah ini pun tidak terlepas dari sejarah dunia. Secara umum, Maluku merupakan kawasan dengan percampuran etnik, sosio-kultur, dan politik antara Melanesia, Melayu, Jawa (Sanskrit), Arab, Persia, Cina, hingga Eropa. Pengaruh Arab, Persia, dan Melayu cukup kental di Utara. Pengaruh Arab, Melayu, dan utamanya Eropa cukup memberikan pengaruh di Wilayah Tengah dan Tenggara selain tentu saja pengaruh dari Wilayah Utara. Untuk itulah dalam makalah ini akan dipaparkan Sejarah Misi ataupun Sejarah Masuknya Kekristenan di Maluku yang dimulai pada abad ke-16 baik itu awal mulanya  kekristenan di Maluku yang mencakup Katolik dan Protestan serta beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya kekristenan yang dilakukan di Maluku. Sekiranya pemaparan materi ini dapat menambah wawasan bagi kita semua.

    II.            Pembahasan

2.1.  Sekilas Tentang Maluku

     Maluku adalah sebuah provinsi yang meliputi bagian selatan Kepulauan Maluku, Indonesia. Ibukotanya ialah Ambon. Luas Maluku mencapai 209.235,59 km2 dan memiliki penduduk sebanyak 1.533.506 jiwa menurut sensus penduduk 2010. Bahasa yang dipakai di Maluku antara lain bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Nasional, bahasa Ambon sebagai bahasa utama, bahasa Arab serta lebih dari seratus empat puluh bahasa lainnya. Maluku dikenal sebagai salah satu kantong kekristenan di Indonesia. Kekristenan berkembang pesat di daerah ini sehingga Kristen menjadi agama terbesar di daerah ini. Namun sayangnya sekarang posisi tersebut telah digantikan oleh agama Islam, dengan total penganut sebanyak 50.61% dari jumlah penduduk di Maluku, dan Kristen serta Katolik sebanyak 48.16%[1]

2.2.  Awal Mula Kekristenan di Maluku

     Misi di Maluku berawal dari masuknya bangsa Portugis ke daerah tersebut. Pada

tahun 1512 orang-orang Portugis sudah sampai ke Maluku, dan tahun 1522 mereka menetap di Ternate, Ambon, dan lain-lain. Tujuannya bukanlah untuk menjajah tempat-tempat itu. melainkan untuk berdagang. Mereka juga berhasil mendirikan benteng pertahanan di Ternate pada tahun 1522, yang kemudian menjadi pusat kekuasaan dan misi Portugis di Indonesia bagian Timur. Melalui Ternate inilah dilakukan usaha penyebaran Injil, yakni kepercayaan Katolik ke berbagai tempat di sekitar daerah Maluku, antara lain ke Ambon, Halmahera dan Morotai.

     Namun imam-imam Katolik yang bekerja di daerah itu tidak memandang usaha penyiaran agama Kristen kepada penduduk asli sebagai tugas utama." karena tugas utamanya adalah untuk melayani kerohanian orang-orang Portugis yang bekerja di sana. Penyebaran agama Katolik itu dilakukan hanya untuk memudahkan penguasaan penduduk setempat. Juga, banyak penduduk setempat yang ingin menjadi Kristen bukan karena mereka sudah percaya kepada Injil itu, tetapi hanya untuk meminta perlindungan kepada orang-orang Portugis. Hal ini disebabkan oleh tekanan-tekanan dan serbuan-serbuan dari Kesultanan Temate yang sebelumnya sudah beragama Islam yang sering dialami oleh penduduk setempat. Demikian juga yang terjadi kepada orang-orang di Mamuya, suatu tempat di Temate. Orang-orang Mamuya inilah yang pertama dibaptis menjadi Kristen di sana, yakni tahun 1534, setelah diberi sedikit pengajaran agama Kristen kepada mereka."

     Salah satu dari misionaris-misionaris yang pertama yang menginjakkan kakinya di pulau-pulau Maluku ialah Simon Vaz. Ia adalah seorang rahib yang berhasil menarik sejumlah orang di Mamuya, Halmahera dan di kampung-kampung lain menjadi Kristen melalui kegiatannya yang besar dan teladan hidupnya. Di setiap kampung yang telah menjadi Kristen didirikan sebuah salib yang besar dan diberikan pendidikan agama Kristen. Akan tetapi, misi di Halmahera tidak berlangsung lama. Panglima-panglima Portugis di Temate tidak berhasil membina persahabatan dengan penduduk Maluku. Rakyat bersepakat untuk mengusir semua orang yang telah masuk Kristen itu untuk murtad. Simon Vaz pun kemudian mati dibunuh selaku syahid pertama di Maluku (1536),"Setelah Simon Vaz, misi di Maluku mengalami pasang-surut. Usaha misi baru mulai berkembang sesudah perkunjungan Xaverius ke Maluku. Xaverius adalah salah satu penginjil dari gerakan Kontra-Reformasi, yang tergabung dalam pater Serikat Yesus. Bagi Xaverius dan misionaris lain dari Serikat Yesus, mereka tidak terikat kepada negara Portugal atau Spanyol, tetapi kepada Gereja, paus dan Kristus. Hal ini menimbulkan angkatan misionaris yang bersemangat. Setelah mempersiapkan diri selama beberapa bulan di semenanjung Melayu dengan mempelajari bahasa Melayu. Xaverius tiba di Ambon, pada bulan Februari 1546, Setelah dari Maluku, dia berangkat ke Jepang dan meninggal dalam perjalanan menuju Tiongkok tahun 1552, la terkenal akan kejujuran dan keikhlasannya dalam membantu kesulitan rakyat, juga berusaha menyejahterakan rakyat. Ia menyebarkan agama Kristen Katolik di Maluku dengan cara berkeliling ke kampung-kampung sambil membawa lonceng di tangan[2]

2.3.  Gereja-Gereja di Maluku

2.3.1.      Gereja di Maluku selama masa Portugis

      Pada tahun 1512 armada Portugis tiba di Maluku, yaitu pulau Banda yang sebagian penduduknya sudah beragama Islam. Dari sana mereka menuju Ternate setelah sempat singgah di pulau Ambon yang sebagian masyarakatnya sudah memeluk agama Islam. Bahkan sejumlah penguasa setempat sudah menganut agama Islam. Dan pada tahun itu juga,Sultan Ternate yaitu Abu Lais mengundang Portugis untuk mendirikan benteng di Ternate. Baginya aliansi dengan Portugis menjanjikan keuntungan dan kekayaan yang lebih besar, karena Portugis bersedia membeli dengan harga yang lebih tinggi, sekaligus memperkuat posisinya dalam bersaing dengan penguasa pribumi lainnya terutama Tidore dan Jailolo. Tetapi aliansi itu menimbulkan kesulitan besar bagi keduanya. Sebab kemudian Tidore dan Jailolo menjalin persekutuan dengan Spanyol yang pada waktu itu sudah berpangkalan di Filipina dan merupakan rival Portugis. Armada Spanyol telah hadir di Tidore pada tahun 1521. Pada tanggal 24 Juni 1522 peletakan batu pertama benteng Portugis (yang kemudian diberi nama benteng Sao Paulo) di rayakan di ternate, lengkap dengan upacara keagamaan Katolik. Pada tahun 1523-1535 terjadi babtisan pertama yaitu  atas Sangaji  atau Kolano (kepala suku) Mamuya dan Tolo berikut rakyatnya di daerah Moro. Jadilah mereka dibabtis bersama tujuh orang pendamping mereka di dalam benteng Sao Paulo, lalu disusul oleh kepala-kepala suku dan rakyat dari desa tetangga. Mereka dicatat sebagai komunitas Kristen Katolik pertama di Indonesia. Tetapi ternyata Kristen tetap saja mendapat ancaman dari kerajaan-kerajaan Islam. Sementara itu pada tahun 1535 panglima Portugis yaitu Tristao de Atayde, juga tidak berhasil membina persahabatan dengan masyarakat Maluku Utara, terutama dengan Islam, malah mengundang kebencian terhadap Portugis. Dan pada waktu itulah missionaris Simon Vaz bersama sejumlah masyarakat yang baru masuk Kristen di pulau Morontai dan seorang rakyat Mamuya yaitu Don Joao terbunuh untuk mempertahankan keyakinan  mereka  dan mereka dicatat sebagai martir pertama di Indonesia.[3]Simon Vaz mengkristenkan kampung Mamuya.[4] Dengan demikian pada tahun 1533/34, gereja Katolik nusantara pertama lahir di kampung Mamuya yang diasuh oleh pastur Simon Vaz. Mengenai kehidupan jemaat Mamuya, Simon Vaz berhasil juga menarik perhatian dari beberapa kampung-kampung lain dekat Mamuya. Pekabaran Injil mulai meluas dan begitu juga dengan kegiatan dagang, semakin banyak pula orang-orang Portugis berdatangan disertai dengan rahib lain untuk membantu pekerjaan Simon Vaz. Perluasan perdagangan dan perluasan iman bergandengan tangan. Menariknya, di setiap kampung yang sudah Kristen didirikan salib yang besar, dan juga gedung gereja sederhana tempat mereka beribadah.[5] Sesuai dengan janji Portugis, selain gedung gereja di desa mereka dirikan juga benteng kecil yang dilengkapi dengan sejumlah serdadu untuk melindungi mereka dari serangan Ternate.[6] Ketika Misa pertama dilayankan hanya para iman yang berkomuni, untuk sementara waktu jemaat Mamuya tidak ikut, karena alasan mereka masih perlu pengajaran iman yang lebih lanjut. Pendidikan itu diusahakan dalam campuran antara bahasa Melayu dan Portugis, dan dibantu seorang penerjemah ke dalam bahasa daerah.[7]

      Pada waktu itu juga datang seorang panglima lain, Antonio Galvao (1536-1540). Galvao adalah seorang yang bijaksana dan selama masa pemerintahannnya misi mendapat angin kembali. Halmahera utara dipulihkan kembali. Bahkan beberapa tokoh masyarakat masuk Kristen. Tetapi pekerjaan misi di Maluku merosotlagi karena tindakan penguasa-penguasa Portugis yang sewenang-wenang terhadap orang Kristen sendiri.Namun pada tahun 1540-an usaha misi Katolik mulai berkembang di Maluku, yaitu ketika Fransiskus Xaverius ke Maluku. Fransiskus Xaverius berasal dari keluarga bangsawan Spanyol. Ia mempersiapkan diri untuk menjadi seorang imam tanpa merasa panggilan yang khusus. Xaverius menjadi perintis misi gaya baru dan merupakan seorangtokoh yang paling menarik. Ia bermisi menggunakan metode yaitu menyelenggarakan pendidikan agama Kristen untuk anak-anak, dan orang dewasa dengan menggunakan rumusan-rumusan pokok Iman Kristen, seperti Doa Bapa Kami, Salam Maria, kesepuluh Perintah dan lain-lain yang dikaji di depan orang yang telah berkumpul. Jika pendengarnya orang Indonesia maka Xaverius memakai terjemahan rumusan-rumusan tersebut ke dalam bahasa melayu. Pada malam hari dia keliling sambil memegang lonceng kecil dan mengajak orang-orang untuk mendoakan jiwa-jiwa diapi penyucian. Dan Xaverius tidak hanya bergaul dengan orang Kristen tetapi juga orang Islam.[8]  Sehingga dalam waktu lima belas bulan di Maluku Xaverius membabtis beribu-ribu orang.[9] Pada tanggal 10 Mei 1546 Fransiskus Xaverius menulis surat untuk pimpinan ordo Yesuit di Eropa yang berisikan “jika hanya selusin saja imam mau datang kemari dari Eropa setiap tahunnya untuk membantu, tidak lama lagi akan berakhir gerakan agama Islam dan semua orang di kepulauan ini akan menjadi Kristen”.[10]Tetapi dia tidak dapat lebih lama tinggal di Maluku karena ia merasakan diri sebagai seorang perintis, tidak mau menetap di suatu tempat dan ia ingin pergi ke Jepang. Semua masyarakat baik Kristen ataupun Islam sangat menyayangi keberangkatannya.[11] Sampai tahun 1570, pengaruh misi berkembang dengan memuaskan. Agama Katolik Roma sudah terdapat di Ambon-Lease, Bacan, Halmahera-Morotai, Ternate-Tidore, Banggai, Menado dan Sangir. Akan tetapi para misionaris sendiri mengeluh, karena kebodohan dan sifat kafir kaum Kristen. Walaupun di tiap-tiap kampung didirikan kayu salib yang besar dan diselenggarakan kebaktian, tetapi pimpinan dan pendidikan yang tetap tidak dapat diberikan kepada jemaat-jemaat, mereka dikunjungi hanya satu dua kali saja dalam setahun.[12]

      Maju mundurnya perkembangan misi karena berbarengan dengan sejarah politik adalah hal yang tidak wajar dalam gereja. Dalam perubahan politik dan perang di Maluku Utara  terasa sampai ke selatan. Sampai tahun 1605 terdapat 16.000 orang Kristen di Ambon, Lease dan Seram. Dari sisi politik, kedudukan gereja Katolik paling kuat disekitar benteng (gereja benteng). Mereka dilayani dua atau tiga orang misionaris. Pembinaan umat di laksanakan dengan meneruskan metode pemuridan Xaverius sampai di wilayah sekitarnya. Tetapi, jemaat di bagian pedalaman termasuk jarang dikunjungi meskipun para padri berusaha bertahan melayani sakramen misa. Ironisnya, para katekit pribumi justru tidak meneruskan metode Xaverius.[13]Di tahun 1569, gereja Kristen di Maluku Utara boleh dikatakan telah mencapai puncak perkembangannya. Akan tetapi segera juga jemaat-jemaat dilanda krisis baru, yang lebih hebat daripada yang dialami sebelumnya. Krisis ini mulai dengan penghambatan yang oleh Sultan Hairun dilancarkan terhadap orang-orang Kristen di Halmahera Utara (1568/1569). Orang-orang Portugis di Ternate tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu tak terduga-duga panglima Portugis bertindak sangat kurang bijaksana. Hal ini dapat dilihat dalam kasus penawanan Sultan Hairun oleh panglima Portugis yaitu Jordao de Fraitas pada tahun 1544.Pada bulan Februari1570 de Mesquita mengundang sultan Hairun ke benteng Sao Paulo yaitu untuk mengikat perjanjian sehubungan dengan pertikaian yang terjadi sebelumnya. Dan pada tanggal 27 perdamaian ditandatangani namun keesokan harinya Sultan Hairun dibunuh oleh Martin Alfonso Pimenta sepupu sang panglima sehingga mulai dari kejadian ini misi kekristenan terpukul dan mengalami kemunduran serius dengan serangan benteng Portugis di Ternate dan semakin banyak desa Kristen di musnahkan.[14]Akibat banyak kampung Kristen dibakar oleh Islam, dimana-mana serangan Islam terhadap jemaat Kristen bertambah-tambah berbahaya sehingga banyak orang murtad.[15] Dan berakhir pada pengusiran Portugis dan Spanyol.[16]

2.3.2.      Gereja di Maluku Selatan pada Zaman VOC(1538-1605)

      Pada tanggal 20 Maret 1602 dibentuk Vereenidge Ost-Indische Companie, kongsi dagang Hindia TImur sering juga disebut kompeni.[17] Dengan kehadiran VOC maka lahirlah Kristen Protestan beraliran Calvinis di Indonesia. Pada zaman ini beberapa penginjil yang digerakkan semangat pietisme mencoba masuk dan menginjili negeri ini. Tetapi VOC menolak kehadiran mereka karena orang-orang yang akan mereka injili nanti akan memberontak dan melawan VOC. Mengingat bahhwa penginjil-penginjil pietis ini adalah bukan orang-orang Belanda.[18] Pada tahun 1605, angkatan laut VOC merebut benteng-benteng Portugis di Banda dan Ambon. Rakyat yang ada disana menjadi Rakyat Kompeni dan sebaliknya orang-orang Islam di situ menjadi sekutu VOC. Namun kedatangan VOC membawa pengaruh besar karena dapat memberhentikan peperangan antar kampung selama pemerintahan Portugis yang menjadi halangan besar bagi perkembangan Agama Kristen.[19]Di semua daerah yang telah dikuasai VOC ( seperti: Ambon,Banda,Ternate dan lain-lain) VOC mengaku bertanggungjawab atas kemajuan gereja. oleh karena itu “siapa punya Negara, dia punya agama”, maka orang-orang Katolik di Ambon disuruh menjadi Protestan dan  imam-imam mereka diusir karena dicurigai sebagai mata-mata Portugis.[20] Jadi untuk sementaraimam-imam tersebut tidak diganti. Tidak ada ibadah, sekolah dihentikan sebab VOC belum mempunyai tenaga untuk memelihara orang-orang Kristen yang sudah ada ataupun mengabarkan injil kepada yang belum Kristen. Di Benteng hanya ada seorang penghibur orang-orang sakit, yang bertugas mengucapkan doa pagi dan doa malam dan pada hari minggu membacakan khotbah yang ditulis oleh seorang pendeta Belanda. Orang-orang Ambon mendatangi penghibur orang-orang sakityang ditempatkan di benteng dan meminta agar ia membaptis anak-anak mereka. 

      Sehingga pada tahun 1607, ketika Ambon dikunjungi oleh suatu armada VOC, orang-orang meminta juga untuk membuka kembali sekolah dan hal itu dikabulkan. Sekolah dibuka kembali atas permintaan masyarakat yang ada di situ. Mantri kesehatan dari kpal-kapal Belanda turun ke darat dan menjadi guru sekolah di Ambon. Di sekolah itu anak-anak belajar membaca, menulis, dan menghitung dan semuanya dalam bahasa Belanda dan mereka menghafal Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli dan Dasatitah dalam bahasa Belanda maupun Melayu. [21]Ds. Wiltens menjadi Pendeta Belanda pertama yang berkhotbah dalam bahasa Melayu pada tahun 1613. Wiltens mengawali penempatan 167 orang Pendeta Belanda di Ambon yang pernah melayani di Ambon.[22] Pada tahun 1618-1622 seorang pendeta yaitu pendeta Sebastian Danckaerts datang ke Ambon, dia pandai berkhotbah dalam bahasa Melayu, tetapi yang paling penting adalah ia memperhatikan persekolahan. Atas usulnya pemerintah memberi beras tiap hari kepada anak-anak sekolah sehingga banyak anak tertarik. Ia juga membuka sekolah guru, untuk melatih penolong yang cocok bagi pekerjaan di sekolah maupun di jemaat. Dan pada tahun 1625 terbentuklah suatu majelis di Ambon. Majelis ini menyelenggarakan pemeliharaan rohani di kota Ambon dan di luarnya. Dan pada tahun 1632 datang juga seorang pendeta ke Saparua yaitu pendeta Heurnius. Ia sangat menyadari kewajiban gereja untuk mengabarkan injil kepada orang-orang yang bukan Kristen. Terjemahan Perjanjian baru kedalam bahasa Melayu pun diperhatikannya. Selain itu ia juga mengusulkan sekolah teologi bagi orang-orang Idonesia sendiri tetapi gejeja di Nederlan tidak meluluskan permintaan tersebut.[23] Dan jemaat-jemaat yang tidak mempunyai pendeta, mendapat kunjungan dari pusat yaitu dua atau tiga kali pertahun. Akan tetapi orang-orang Kristen dari luar pusat itu tidak mendapat pemeliharaan rohani dari pendeta. Kehidupan gerejani di jemaat-jemaat dijalankan oleh guru-guru sekolah. Dengan demikian jumlah orang-orang Kristen naik dari 16.000 pada akhir pemerintahan Portugis menjadi 33.000 setelah satu abad kemudian. Dan diantara mereka 1.600 telah mengikuti sidi dan dengan demikian berhak ikut serta dalam perjamuan kudus.[24] Namun dengan seiring berjalannya waktu, terjadi kekurangan tenaga Pendeta, sehingga VOC menempuh kebijakan untuk semakin mengutamakan pelayanan kepada orang-orang Belanda. Akibatnya, penginjilan di Maluku menjadi sangat terbaikan sepanjang masa kekuasaan VOC.[25] Setelah tahun 1780, kekuasaan VOC merosot dengan karena mempunyai banyak utang.Dan gereja ikut menderita, terutama gereja di daerah pinggir. Jumlah pendeta pun berkurang dengan cepat. Dan pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dibubarkan oleh Belanda.[26]

2.3.3.      Kekristenan di Maluku pada Masa Hindia Belanda

      Pada akhir abad ke-18 hutang pemerintah VOC mencapai jumlah sebesar 125.000.000 Juta Golden. Pada hakikatnya VOC telah runtuh.[27] Setelah membubarkan VOC tanggal 31 Desember 1799, segala milik dan hutangnya diserahkannya kepada pemerintah Republik Belanda.[28] Mulai tahun 1800 pemerintah Belanda menangani sendiri pemerintahan atas wilayah jajahannya di Nusantara, dan wilayah itu disebutnya Nederlandschindie (Hindia-Belanda, disingkat H-B).[29] Ditetapkanlah sistem dan perangkat pemerintah yang baru, lengkap dengan personilnya. Dengan kata lain, pemerintah baru di Hindia-Belanda sejak saat itu resmi menjadi bagian dari pemerintah Belanda. Sebagai kepala pemerintahan di Hindia-Belanda, semula diangkatlah Letnan-Gubernur Jenderal. Yang pertama ialah Pieter Van Overstraten, lalu kemudian digantikan oleh Johannes Siberg (1801-1805) dan Albertus Hendricus Wiese (1805-1808). Pada tahun 1808 Raja Lodewijk Bonaparte menempatkan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda. Gubernur Jendral Daendels mengizinkan kembali missionaris (Katolik) berkarya seperti para Zendeling (Protestan) yang telah diizinkan sejak masa VOC, namun dengan pembatasan sebagai berikut ini. (1) para Missionaris dan Zendeling digaji oleh pemerintah, sehingga mereka berstatus sebagai pegawai pemerintah. Mereka diangkat, dimutasi, atau diberhentikan oleh gubernur jendral. (2) pemerintah berhak mengawasi pekerjaan mereka. (3) tugas utama mereka adalah memberikan pelayanan agama Katolik dan Protestan bagi penduduk Eropa dan mestizo serta penduduk yang sudah beragama Kristen atau Katolik. (4) stabilitas keamanan dan ketertiban menjadi prioritas pemerintah dalam pemberian izin Zending dan misi ke daerah-daerah.[30]

      Pada bulan Maret 1815 Kam tiba di Maluku. Ia memulai pekerjaannya untuk menghidupkan kekristenan yang menyedihkan itu karena sudah terlalu lama terlantarkan. Ia mengadakan perkunjungan-perkunjungan ke jemaat-jemaat di Ambon, Haruku, Seram Selatan dan Saparua. Dalam perkunjungan itu ia berkhotbah, membaptiskan orang, melayani perjamuan kudus, memperdamaikan pertengkaran-pertengkaran yang terjadi. Pada tahun yang sama Kam melangsungkan pernikahannya dengan seorang gadis Indo-Belanda. Sarah Timmerman namanya, yang dengan setia mendampingi suaminya dalam pekerjaan di Maluku. [31] Secepat mungkin Kam juga mengunjungi jemaat-jemaat yang letaknya lebih jauh dari pusat. Dari Agustus 1817-Februari 1818 ia melakukan perjalanan ke Ternate Minahasa dan Sanggir. Di Minahasa pada zaman itu hanya ada beberapa ribu orang Kristen saja yang merupakan warisan dari zaman VOC. Tetapi Kam sempat masuk ke pedalaman, dan ia melihat bahwa di situ ada lapangan kerja yang luas. Pada tahun 1823 ia berlayar ke kepulauan Barat Daya, dengan menumpang kapal dagang. Dua kali ia kembali ke Minahasa, dan dua kali juga ke pulau-pulau di Selatan. Setiap tahun di pekerjaannya dan perjalanan-perjalanannya ia mengikuti jadwal tertentu. Rencana kerja pada perjalanan-perjalanan Kam begini. Di setiap jemaat ia tinggal selama dua hari. Setelah berlayar sepanjang malam (atau setelah berangkat pukul 6 pagi, kalau di daratan), pagi-pagi ia disambut di pantai laut (atau di perbatasan negeri) oleh seluruh penduduk negeri. Lalu dia diantar ke sekolah, dengan diiringi oleh  nyanyian mazmur, untuk meninjau pendidikan anak-anak. Pada hari yang kedua, pada pagi hari perjamuan dirayakan; pada sore hari ada pembicaraan dengan guru, penatua, dan raja, lalu diadakanlah kebaktian. Sesudah itu Kam menumpang kembali kapalnya atau perahunya dan berlayar ke jemaat yang berikutnya. Demikianlah juga pekerjaan pengganti-penggantinya, pendeta-pendeta di Maluku, sampai abad ini; hanya wilayah mereka lebih terbatas. Jasa Kam dalam memulihkan gereja di Maluku begitu besar, sehingga ia diberi julukan "Rasul Maluku”.[32] 

      Raja Belanda, Willem I, pada 11 Desember 1815/1816 yang menyatakan bahwa semua orang Protestan di Indonesia dipersatukan ke dalam satu Gereja Protestan saja. Gereja ini lebih dikenal dengan nama Gereja Protestan Indonesia (GPI) atau Indische Kerk.[33] Sesuai dengan Dekrit No. 5 tanggal 4 September 1815-1816 menetapkan bahwa jemaat-jemaat protestan di daerah jajahan diurus oleh pemerintahan Belanda. Dekrit ini sempat ditentang oleh jemaat-jemaat protestan di Nusantara. Sebagai symbol peraturan gereja-gereja Protestan dan hubungan antara gereja dan Negara dibangun sebuah gedung gereja di Weltevreden tahun 1835 dan diresmikan 24 Agustus 1839 dengan nama Willem Kerk (sekarang GPIB Jemaat “IMMANUEL” Jakarta).[34] Gereja Protestan Indonesia (GPI) atau Indische Kerk merupakan gereja negara sehingga pendeta-pendetanya adalah pegawai pemerintah. Wilayah kerjanya adalah Maluku, Minahasa, Timor dan di jemaat-jemaat bekas jemaat VOC di Indonesia Barat. Oleh karena gereja itu mengalami kekurangan tenaga mereka mengadakan kerjasama dengan NZG. Ketika masa kerja sama selesai maka tenaga pekabar Injil NZG dapat terus bekerja sebagai tenaga GPI dengan status pendeta pembantu. Pada tahun 1935 Dengan penetapan Raja tertanggal 1 Agutus, dilakukan pemisahan administrasi dengan pemerintah, sementara pemisahan keuangan dilakukan pada tahun 1950. Dari jemaat-jemaat GPI berdirilah gereja-gereja yang berdiri sendiri yaitu Gereja Protestan Maluku (GPM), Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM), Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB), dan beberapa Gereja lain di Sulawesi.[35]

1.      Gereja Protestan Maluku (GPM)

      Pada tahun 1928, Gereja di Maluku menetapkan bahwa pemerintahan dari atas harus diganti dengan sistem presbiterial-sinodal di mana jemaat masing-masing akan memilih majelisnya, majelis itu akan mengutus wakilnya kepada rapat klasis dan klasis lagi kepada sinode. Begitulah berkumpul sinode yang pertama, di mana dinyatakan bahwa Gereja Protestan Maluku berdiri sendiri pada tahun 1935. Jemaat tidak usah lagi menantikan keputusan-keputusan dan keuangan dari atas, tetapi bisa belajar untuk bertanggung jawab sendiri. Dalam rangka pembaharuan organisatoris itu juga, kepada setiap pemimpin jemaat diberikan hak untuk melayankan sakramen-sakramen. Jemaat-jemaat di Maluku membentuk sinode sendiri pada 5 September 1935 dan pada tanggal 6 September 1935 terbentuklah Gereja Protestan Maluku dengan sistem pemerintahan gerejawinya adalah Prebiterial Sinodal dan berkantor pusat di Ambon. Gereja ini menjadi anggota PGI pada tahun 1950 dengan jumlah anggota pada tahun 2000 adalah 453.978 orang. GPM mempunyai lembaga pendidikan teologi sendiri yang dimulai dengan STOVIL pada tahun 1856 dan menjadi akdemik teologi. Akademi ini ditingatkan menjadi sekolah tinggi teologi dalam univesitas Kristen Indonesia Maluku. GPM memberitakan injil ke daerah pantai barat Irian Jaya yang melahirkan Gereja Protestan Indonesia di Irian Jaya. Gereja ini menyelenggarakan persekolahan, rumas sakit dalam usaha-usaha sosial lainnya.[36] Selain Katolik dan Protestan, pada masa ini ada juga aliran lainnya yang masuk ke daerah Maluku yaitu gerakan Adentis. Gerakan ini pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1900. Seorang pendeta Methodist Amerika bernama W.R. Munson membawanya pertama kali di tanah Padang. Hingga akhirnya pada tahun 1922, gerakan ini masuk ke Maluku dibawa oleh P. Pietrsz seorang mantan tentara di Singapura yang jadi guru Injil Adventis.[37]

2.3.4.      Gereja di Maluku pada Masa Jepang

      Gereja Protestan Maluku  yang baru berdiri itu sempat menempuh hidup yang tentram selam 6 tahun.[38] Sesudah itu terjadilah perubahan-perubahan radikal, disebabkan oleh perang dengan Jepang. Semua pendeta ditawan, dan tidak lama kemudian hubungan dengan pengurus gereja terputus.[39] Gereja Maluku menderita secara khusus. Hal ini dibuktikan oleh besarnya jumlah pendeta dan pejabat gereja tewas terbunuh oleh tentara Jepang: 16 orang pendeta, 26 guru jemaat dan 12 utusan injil. Peranan pendeta-pendeta Belanda diambil alih oleh pendeta-pendeta yang datang dari Jepang. Salah satu diantara mereka adalah pendeta Ryoichi Kato, yang membela kepentingan orang Kristen Ambon dan gereja mereka dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Tetapi situasi makin tegang ketika sejumlah gereja disita dan dijadikan gudang. Dan juga tidak sedikit perempuan di Maluku yang dijadikan jigun ianfu.[40] Mulai tahun 1942 negara (pemerintahan Jepang) tidak membayar lagi gaji Pendeta.[41]

      Tindakan kekerasan itu berkurang setelah pendeta-pendeta Jepang yang diutus oleh Nippon Kirisotu Kyodan (gereja Kristen di Jepang) bertujuan untuk membatu pelayanan rohani yang ada di Indonesia. Pada tanggal 1 September 1943 S. Miyahira dan H. Shirato tiba di Makassar. Di Ambon Shirato memprakarsai berdirinya suatu wadah kerjasama antara  gereja-gereja di Ambon yang diberi nama Pergabungan Gereja-gereja Masehi di Ambon atau Ambonsyu Kiristokyo Rengokai (Federasi Gereja-gereja Kristen)pada tanggal 20 September 1943. Kehadiran mereka sangat penting dalam meredakan ketegangan yang sempat timbul antara umat Kristen dan Islam, sehubungan denga adanya isu yang menyatakan bahwa dengan kedatangan Jepang maka semua orang Kristen akan dipaksa masuk Islam dan semua gereja akan digantikan menjadi mesjid. Sehingga pada saat itu dilakukan latihan-latihan rohani dan kesehatan kepada anggota-anggota jemaat, memberikan pertolongan dan pimpinan dalam pekerjaan social dari gereja, dan membentuk perkumpulan Kristokya Hoosi (masehi) untuk membantu kehidupan orang-orang yang susah dan pemerintah.[42]

      Begitu pula di Halmahera, pada tahun 1942 ketika tenaga Zending bagsa Belanda ditawan oleh Jepang sehingga tidak ada yang dapat menggatikan Konferensi para Zendeling sebagai pimpinan pusat. Sehingga pada tahun itu juga didirikan badan Gereja yang dinamakan Gereja Protestan Halmahera (GPH). Jemaat-jemaat dan rakyat di Halmahera menderita karena karena daerahnya menjadi sasaran serangan sekutu yang sedang maju ke arah Filipina. Setiap kampung di bom habis dan hampir semua gedung diratakan, khususnya gedung-gedung Gereja. Sehinggaa rakyat terpaksa mengungsi ke hutan dan tidak mungkin lagi meyelengarakan kehidupan gereja yang normal. Pada tahun 1946 kembalilan tenaga zending Nederlandse Hervormde Kerk. Mereka tidak begitu saja mengakui GPH, namun mereka giat dengan memulai mempersiapkan kemadirian Gereja di Halmahera. Pada bulan Agustus 1946, mereka menhabiskan lima orang guru Injil menjadi Pendeta. Pada tahun 1947 dan 1948 persiapan-persiapan diteruskan. Sejumlah guru Injil dikirimkan ke sekolah Teologi si SoE (Timor kemudian dipindahkan ke Makasar) dan didakanlah beberapa rapat umum. Sinode pertama menetapkan nama Gereja, yaitu Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH, 6-6-1949). [43]

2.3.5.      Gereja di Maluku pada Masa Orde lama

      Orde lama disini adalah periode waktu yang dimulai dengan pengakuan kedaulatan indonesia secara de jure dari Belanda pada tanggal 29 Desember 1949-1965. Perlu diperhatikan sebelumnya, bahwa istilah orde lama bukan berasal dari pemerintahan atau masyarakat pada periode ini, melainkan dari pemerintahan periode berikutnya yang merasa dan menyebut diri sebagai Orde baru.[44] Orde lama sebutan masa pemerintahan Soekarno di Indonesia. Orde lama berlangsung dari tahun 1945-1965.[45] Pada tahun 1950-an GMIH mengalami goncangan-goncangan yang disebabkan kegiatan tertentu yang berasal dari luar,yakni DI/TII, PERMESTA, dan PKI karena Maluku Utara menjadi pangkalan perjuangan melawan orang Belanda yang ada di Irian, maka tahun 1950/1952 utusan zending Belanda harus meninggalkan Halmahera. Tahun 1957-1966, suatu regu Gereja Mennonite dari Amerika datang membantu GMIH dalam bidang kesehatan, pendidikan dan pertanian. Selain itu juga, tantangan dihadapi oleh GMIH dari dalam, yakni masalah sukuisme yang menyebabkan permasalahan, namun gereja mengatasi dengan menyesuaikan tata gereja sedemikian rupa dan pembagian wilayah yang bertindih-tindih bekas peninggalan zendeling dihapuskan.[46]

2.3.6.      Gereja di Maluku pada Masa Orde Baru

      Pada awal pemerintahan Orde Baru ketegangan antara umat Islam dan Kristen merebak seiring tudingan umat Islam bahwa umat Kristen lebih diuntungkan oleh pemerintah dan adanya semangat Kristenisasi yang ditandai dengan bertambahnya umat Kristen secara signifikan. Hal ini tidak terlepas dari peristiwa meletusnya G 30 S/PKI tadi. Sebagai wujud perlawanan terhadap kelompok komunis, Angkatan Darat mengumumkan agar semua warga negara Indonesia percaya kepada Tuhan dan memiliki satu agama yang dipercayai. Pengumuman Angkata Darat ini kemudian diperkuat melaui Ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966.[47] Menteri agama juga mengeluarkan keputusan no. 70/1978, pada tanggal 15 Agustus 1978 tentang bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia, antara lain berisi:

1.      Pemberian bantuan oleh pihak luar negeri hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan atau rekomendasi dan melalui Menteri Agama.

2.      Penggunaan tenaga asing dalam pengembangan dan penyiaran agama dibatasi.

3.      Lembaga-lembaga pendidikan keagamaan menyiapkan tenaga pengganti selambat-lambatnya dua tahun.[48]

2.3.7.      Gereja di Maluku pada Masa Reformasi

      Kekristenan pada masa Reformasi diwarnai dengan beragam konflik antar agama yang panjang. Di antara banyak konfilik dan kerusuhan yang berlangsung sejak zaman orde baru hingga era reformasi, agaknya konflik ambon yang kemudian menyebar ke seluruh Maluku adalah yang paling rumit, yang paling banyak memakan korban, dan paling banyak menyita perhatian nasional maupun internasional. Tanda konflik sebenarnya sudah mulai terlihat sejak medio November 1998. Konflik Maluku sudah berlangsung lebih dari tiga tahu ini telah menyebabkan korban ribuan jiwa dan harta, kesengsaraan dan kesulitan masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI serta menyuramkan masa depan masyarakat Maluku. Perjanjian Malino pun dibuat dan ditanda tangani di Malino pada tanggal 12 Februari 2002. Namun pada tanggal 25 April 2002 kembali terjadi bentrokan yang melibatkan pejuang Republik Maluku Selatan untuk memperingati hari berdirinya RMS 25 April 1950. Akibatnya, terjadi bentrokan yang sangat berdarah, pengeboman gedung gereja, dan lainnya.

      Dengan adanya Krisis Moneter ditahun 1997 serta reformasi itu tak dapat dipungkiri bahwa sejumlah orang-orang miskin bertambah. Sesuai dengan tuntutan reformasi, pada masa era reformasi dilakukan perubahan dengan memaparkan berbagai peraturan dan kebijakan baru, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya dalam rangka menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan demokratis. Perubahan baru tersebut sesuai dengan tuntutan reformasi yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan di Indonesi baik bidang ekonomi maupun politik.[49] Jika dilihat dari bidang keagamaan, dengan adanya krisis moniter maka gereja-gereja semakin bersatu. Keadaan masa kini memberi peluang bagi gereja untuk mengembangkan pelayananya tidak hanya menyangkut pembinaan rohani dan penyelenggaraan ibadah yang bersifat ritual seremonial. Melainkan jika melakukan hal-hal yang inivatif. Misalnya penyelenggaraan program, pembinaan warga gereja di bidang sosial, politik memprakarsai proyek-proyek pertanian dengan metode pengolahan dan pemupukan yang baru, menyelenggarakan atau mengubah usaha pendidikan kepada bentuk-bentuk dan produk-produk yang lebih relevan dengan kebutuhan real, terutama dalam menghadapi keadaan krisis ini.

      Timbulnya kesadaran baru masyarakat bisa bertindak dan berbuat sesuatu serta melakukan perubahan-perubahan diantaranya pendobrakan atas rasa ketakutan berpolitik, dari sini kita juga bisa melihat bagaimana masyarakat yang sudah berani untuk percaya diri maju kedepan untuk merubah segala sesuatunya yang mereka anggap selama ini sudah dibodoh-bodohi oleh pemerintah dan akhirnya berani, terhadap proses pembohonan yang telah berlangsung hampir lebih dari tigapuluh tahun. Menata kembali kehidupan berbangsa dan juga bernegara yang adil dan demokratis perubahan tersebut. Dapat kita lihat bahwa gereja-gereja semakin bersatu. Keadaan masa kini memberi peluang bagi gereja untuk mengembangkan pelayananya. Tidak hanya menyangkut pembinaan rohani dan penyelenggaraan ibadah yang bersifat ritual seremonial, melainkan juga hal-hal yang inovatif. Misalnya penyelenggaraan program pembinaan warga gereja dibidang sosial politik dalam arti politik yang mendorong umat kristen melepas orientasi politiknya demi kuasa, tetapi mampu memberi efek politis terutama demi pembelaan kepada pihak yang tertindas dan menderita. Salah satu hal yang baik yang dilakukan gereja dalam hubungannya dengan Negara menjalin Pemilu 2004 dapat dilihat dari sikap PGI yang tidak berpihak kepada partai apapun dalam kesan pastoralnya tentang Pemilu yang diikuti oleh silaen sebagai berikut: “kami ingin menegaskan bahwa PGI sebagai wadah persekutuan gereja-gereja di Indonesia tidak mendirikan partai Politik dan tidak mendukung suatu partai yang mana pun. Kami menghimbau agar umat Kristen menggunakan hak pilihnya secara bebas, cerdas dan bertanggung jawab. PGI tidak terlibat dalam politik praktis. PGI adalah lembaga keagamaan yang mengemban tugas luhur sebagai kekuatan moral, mengupayakan tegaknya keadilan dan kesejahteraan didalam masyarakat melalui pelayanan dan kesaksian”.[50]

2.4.  Aliran-aliran Lain di Maluku

2.4.1.      Baptis

      Penginjil dari lingkungan gereja-gereja Baptis sudah hadir dejak awal abad ke-19, yaitu pada masa kekuasaan Inggris di Indonesia. Jabez bekerja di Maluku pada tahun 1814-1818, diterima dengan baik oleh umat Kristen di Ambon, diangkat menjadi pengawas sekolah-sekolah Kristen dan giat memerangi perbudakan. Namun dia harus segera kembali ke India karena beberapa alasan politis dan juga teologis. Jabez Carey, sesuai dengan ajaran Gereja Baptis mempraktikkan Baptisan dewasa. [51]

 

2.4.2.      Adventis

      Pada tahun 1912 Gereja-gereja Adventis yang pertama di Indonesia di bentuk di Sumberwekas (Jatim) dan di Jakarta (Salemba). Pada masa permulaan itu sudah ada sebuah majalah bernama “Oetoesan Kebenaran Melajoe”. Kemudian Gereja adventis berkembang dan masuk ke daerah-daerah dan sampailah ke Malukuyang dibawa oleh P.Pietersz, seorang mantan tentara asal Saparua yang telah menjadi guru Injil Adventis di jawa. Pembaptisan pertama kali dilakukan di Maluku adalah tahun 1922. [52]

 

2.4.3.      Bala Keselamatan

      Pada tahun 1894, Bala Keselamatan telah hadir di Indonesia melalui dua Perwira BK asal Belanda, yaitu Kapten J.G. Brouwer dan Ensign (Letnan Muda) A. van Emmerik. Semula pemerintah Hindia Belanda berkeberatan atas kehadiran BK di negeri ini, tetapi setelah pemimpin BK di Belanda memberikan penjelasan kepada Mentri daerah jajahan, maka diberilah izin kerja kepada dua opsir itu. Sesuai dengan petunjuk dari Gubernur Jendral Hindia Belanda, mereka memulai pekerjaan (pelayanan kemanusiaan)di daerah Nusantara. Kini kita bias menemukan kehadiran BK, khususnya di daerah Maluku dalam berbagai wadah pelayanan sosial, seperti panti asuhan anak-anak, panti karya, panti jompo, rumah sakit umum, poliklinik dan lain sebagainya. Semua itu digabung dengan semangat penginjilan, sesuai dengan salah satu semboyan BK, yaitu “hati pada Allah, tangan pada manusia”.[53]

 

2.5.  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Gereja di Maluku

1)      Faktor Eksternal

·         Konteks Perekonomian

     Pada dasarnya mata pencarian utama orang Ambon adalah bercocok tanam di ladang dengan tanaman pokok padi, jagung, ubi jalar, ubi kayu (kasbi), sayur-sayuran, kacang-kacangan, kelapa, kopi, cengkeh, tembakau dan buah-buahan. Sementara itu sagu juga dianggap sebagai makanan pokok. Bahan makanan itu dulu mudah dapat di hutan-hutan, karena tumbuh secara liar. Sekarang tanaman sagu sudah di budidayakan dengan cara menanamnya secara teratur seperti menanam pohon kelapa. Selain bertani masyarakat ini suka pula menangkap ikan di perairan sekitar pulau-pulau mereka yang memang kaya dengan hasil laut. Dalam hal pendidikan formal orang Ambon sudah sejak zaman Belanda banyak bersekolah dan memilih pekerjaan sebagai pegawai negeri dan tentara.[54]

·         Sistem Kepercayaan

     Penduduk Maluku seperti halnya makhluk manusia yang hidup di dunia ini yang dipengaruhi oleh alam sekitar. Cara berfikir dan pandangan hidup mereka sangat tergantung kepada sekitaran alam dimana mereka menggantungkan hidup. Timbulnya perasaan segan dan takut terhadap tantangan-tantangan alam yang dihadapi mendorong manusia untuk mencari dan menemukan rahasia di balik alam itu. Hal itulah yang mendorong manusia untuk mempercayai adanya kekuatan-kekuatan alam, sehingga timbul sistem kepercayaan pada masyarakat tersebut. Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen di Maluku penduduk asli di Maluku telah memiliki satu kepercayaan yang disebut kepercayaan asli, sistem kepercayaan ini terdiri dari kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Animisme adalah sistem kepercayaan yang menganggap bahwa seluruh alam ini dihuni oleh roh nenek moyang. Ada roh nenek moyang yang baik dan ada juga yang jahat. Di Maluku kepercayaan kepada roh ini dihubungkan kepada roh nenek moyang. Di samping itu terdapat kepercayaan Dinamisme yaitu kepecayaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib yang di miliki oleh benda-benda tertentu, misalnya batu besar, pohon besar atau benda-benda lainnya. Di Maluku Utara misalnya penyembahan roh nenek moyang di Ternate disebut gamonga. Di Maluku Tengah misalnya pemujaan terhadap batu Marawael di desa Hatalae, Tempayang setan di gunung Sirimau dan lain sebagainya.[55]

 III.            Kesimpulan

            Dalam pemaparan materi diatas dapat kita simpulkan bahwa Maluku dikenal sebagai salah satu kantong kekristenan di Indonesia.Kekristenan berkembang pesat di daerah ini sehingga Kristen menjadi agama terbesar di daerah ini. Namun sayangnya sekarang posisi tersebut telah digantikan oleh agama Islam, dengan total penganut sebanyak 50.61% dari jumlah penduduk di Maluku, dan Kristen serta Katolik sebanyak 48.16%. Misi di Maluku berawal dari masuknya bangsa Portugis ke daerah tersebut. Pada tahun 1512 orang-orang Portugis sudah sampai ke Maluku, dan tahun 1522 mereka menetap di Ternate, Ambon, dan lain-lain. Tujuannya bukanlah untuk menjajah tempat-tempat itu melainkan untuk berdagang. Adapun juga beberapa Gereja-gereja di Maluku dari masa ke masa seperti pada masa Hindia-Belanda yang di mana sudah mulai berdirinya beberapa gereja yaitu Gereja Protestan Maluku (GPM), Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM), Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB), dan beberapa Gereja lain di Sulawesi, tidak hanya itu saja seiring berjalannya perkembangan Kekristenan di Maluku juga ada beberapa Aliran-aliran gereja lainnya yang juga berdiri dan mengabarkan Injil seperti Baptis, Adventis, dan Bala Keselamatan. Namun di balik perkembangan dan pengkabaran Injil di Maluku adanya faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Gereja di Maluku seperti adanya faktor dari konteks perekonomian dan sistem kepercayaan yang  di mana penduduk Maluku seperti halnya makhluk manusia yang hidup di dunia ini yang dipengaruhi oleh alam sekitar, cara berfikir dan pandangan hidup mereka sangat tergantung kepada sekitaran alam dimana mereka menggantungkan hidup dan pengaruh dari mata pencaharian yang harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat tersebut.

 IV.            Daftar Pustaka

Abdulah, Taufik & A.B. Lapian, Indonesia dalam Arus Sejarah, Bandung: PT Ichtiar Baru van             Hoeve, 2012.

Aritonang ,Jan S., Berbagai Aliran di dalam dan disekitar Gereja, Jakarta: BPK-Gunung   Mulia,2013.

Aritonang, Jan S.,Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: BPK-Gunung        Mulia,2004.

Berkhof,H.,Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2015.

Cooley, Frank L.,Mimbar dan Takhta, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.

Culver,Jonathan E.,Sejarah Gereja Indonesia,Bandung: Biji Sesawi, 2014.

End ,Van Den & J. Weitjens, Ragi Cerita 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.

End, Th.Van Den, Harta dalam Bejana, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,2013.

End,Th. van den, Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia 1, Jakarta: BPK-GM, 1985.

Hidayah, Zulyani,Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015.

Kruger,Th. Muller, Sejarah Gereja di Indonesia,Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1959.

Kurnia,Anwar dan H.Moh. Suryana, sejarah 2:SMP Kelas VIII, Bogor:Yudhistira,2007.

Latif, Yudi,Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila Jakarta: PT             Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Leirissa, R.Z.,dkk, Sejarah Kebudayaan Maluku, (Jakarta: Ilham Bangun Karya, 1999.

Locher,G.P.H., Tata Gereja Protestan di Indonesia, Jakarta:Gunung Mulia,1995.

Ongirwalu, Hendrik &Hallie Jonathans, Melacak Jejak-jejak Sang Pembebas,Jakarta: BPK   Gunung Mulia,2014.

Simorangkir,Mangisi S.E., Ajaran Dua Kerajaan Luther dan Relevansinya di Indonesia,       Bandung: Penerbit Satu-satu, 2011.

Supriatna,Nana, Sejarah Untuk Kls XII SMA.

Wellem,F.D.,Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung             Mulia, 2003.

Sumber Lainnya

https://malut.bps.go.id/dynamictable/2019/11/29/217/persentase-penduduk-menurut-kabupaten-kota-dan-agama-yang-dianut-di-provinsi-maluku-utara-2017.html. 



                [2] Anwar Kurnia dan H.Moh. Suryana, sejarah 2:SMP Kelas VIII, (Bogor:Yudhistira,2007),16

[3] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,2004), 24-28

                [4] Th. van den End, Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia 1, (Jakarta: BPK-GM, 1985), 38-39

                [5] Th. van den End, Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia 1, (Jakarta: BPK-GM, 1985), 40

                [6] J.S. Aritonang. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 27

                [7] Th. van den End, Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia 1, (Jakarta: BPK-GM, 1985), 40

[8] Th.Van Den End, Ragi Carita 1, 41

[9] Th.Van Den End, Harta dalam Bejana, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,2013),213

[10] Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), 251.

[11] Th.Van Den End, Ragi Carita 1, 51

[12] H. Berkhof, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2015) 236.

[13] Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia (Bandung: Biji Sesawi, 2014), 37.

[14] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia,29-38

[15] H. Berkhof, Sejarah Gereja, 236.

[16] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia,38

[17] …,Ibid, 471

[18] Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di dalam dan disekitar Gereja, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,2013) 12-13 

[19]  Th.Van Den End, Ragi Carita 1, 65

[20] Th.Van Den End, Harta dalam Bejana, 219

[21]  Th.Van Den End, Ragi Carita 1,66-67

                [22] Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, (Bandung: Biji Sesawi, 2014), 47.

[23] Th.Van Den End, Harta dalam Bejana, 219

[24]Th.Van Den End, Ragi Carita 1, 67-78

                [25] Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, (Bandung: Biji Sesawi, 2014), 47.

[26] Th.Van Den End, Ragi Carita 1, 67-78

[27] Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1959), 55.

[28] H. Berkhof & I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, 244.

[29] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 73.

[30] Taufik Abdulah & A.B. Lapian, Indonesia dalam Arus Sejarah, Bandung: PT Ichtiar

Baru van Hoeve, 2012), 181.

[31] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 109-110.

[32] Van Den End, Harta Dalam Bejana, 253-254.

[33] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 144.

[34] Hendrik Ongirwalu, Hallie Jonathans, Melacak Jejak-jejak Sang Pembebas (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), 99-100.

[35] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 144.

[36] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 149.

[37] Van Den End & J. Weitjens, Ragi Cerita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 249.

                [38]Th.Van Den End, Ragi Carita 2, 76

[39] G.P.H.Locher, Tata Gereja Protestan di Indonesia, (Jakarta:Gunung Mulia,1995), 103

[40]G.P.H.Locher, Tata Gereja Protestan di Indonesia, (Jakarta:Gunung Mulia,1995), 103

[41] Th.Van Den End, Ragi Carita 2,77.

[42]Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 231-234

[43] Th.Van Den End, Ragi Carita 2, 139-140.

[44] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 277.

[45] Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), 70.

[46] Van Den End & J. Weitjens, Ragi Cerita 2, 141.

[47] Jan. S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, 382-383.

[48] Jan. S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, 433-434.

[49] Nana Supriatna, Sejarah Untuk Kls XII SMA, 45.

[50] Mangisi S.E. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther dan Relevansinya di Indonesia, (Bandung: Penerbit Satu-satu, 2011), 254-255.

[51]Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Sekitar Gereja, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2018), 165.

[52] Van Den End & J. Weitjens, Ragi Cerita 2, 294.

[53]Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, 344-346. 

[54] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), 20-21

[55] R.Z. Leirissa dkk, Sejarah Kebudayaan Maluku, (Jakarta: Ilham Bangun Karya, 1999), 9-10


Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Mundosaragi
Total Pageviews