KEKRISTENAN
DI MINAHASA
I.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah suatu Negara yang kaya akan budaya,
suku, dan kaya akan pulau-pulau dan juga banyaknya daerah-daerah yang sudah
mengenal agama Kristen seperti kekristenan di Minahasa, pada pertemuan kali ini
kita akan membahas bagaimana Pertumbuhan dan perkembangan Kekeristenan di
Minahasa, Kekristenan di
Minahasa pada masa VOC, Kekristenan di Minahasa pada masa Hindia-Belanda,
Kekristenan di Minahasa pada masa Nasionalisme,
Kekristenan di Minahasa pada masa Jepang,
Kekristenan di Minahasa pada masa Orde Lama,
Kekristenan di Minahasa pada masa Orde Baru, Kekristenan di Minahasa pada masa Reformasi- Sekarang,
dan siapa Tokoh-tokoh Yang Kristen yang berpengaruh di Minahasa.
II.
PEMBAHASAN
2.1.Letak Geografis Minahasa
Minahasa adalah tanah wilayah yang terletak di bagian
Pulau Sulawesi. Jika dilihat dalam peta Dunia, daerah ini berukuran kecil saja
dengan latak Geografis 1.32 LU dan 124.55 BT dan daerah ini tidak besar dari
Kabupaten Bogor yang berada di Kepulauan Jawa Barat jika diamati lewat peta
Indonesia. Daerah ini, walaupun memiliki wilayah yang kecil namun ada
keunggulan besar yang dimiliki, bila dilihat dari aspek sosial, budaya,
historis, antropologis, etnografis, filosofi, psikologia, geopolitik dan
geostrategic yang masing-masing aspek ini memiliki daya tarik tersendiri dan
merupakan potensi yang pantas untuk diperhitungkan.[1]
Pada abad ke-17 sekitar tahun 1693 nama Minahasa
diciptakan oleh orang pribumi Minahasa yang terdiri dari dasar kata Esa yang
artinya satu, kemudian ditambah dengan awalan kata Minaha. Kata Minaha dan Esa
dalam pelafalanya menjadi Minahasa atau Minaesa yang terdapat diartikan telah
bersatu. Minahasa barulah diresmi digunakan sejak abad ke-19.[2]
Satu keunikan yang juga dimiliki oleh daerah Minahasa yakni Primordialisme yang
tumbuh dikalangan masayarakat setempat tanpa arogansi, dibandingkan dengan
subetnis lain yang ada di Nusantara.
2.2. Keadaaan Minahasa Sebelum
Masuknya Agama
Sebelum masuknya Islam dan Kekristenan
penduduk asli Sulawesi Utara masih menganut kepercayaan asli, yang umumnya
bersifat animisme dan dinamisme. Kepercayaan asli inilah yang dianggap sebagai
agama dan kepercayaan yang benar, seperti Toani Tolotang, Patuntung, dan Aluk
Todolo.[3] Kepercayaan
tua yang dianut oleh keseluruhan anak-anak suku yang berada di Minahasa, yaitu
suatu masa di mana penduduknya masih hidup bersahaja atau primitif, yang oleh
bangsa Belanda menyebutnya “alifuru”. Sistem
religi dalam suku Minahasa berangkat dari fenomena-fenomena ekspresi khas
budaya yang telah berakar lama dalam
kehidupan konkrit masyarakat dan orang Minahasa pada segala aspek kehidupannya
jauh sebelum Injil masuk di Minahasa. Mereka
percaya kepada satu kuasa
tertinggi yang menyatakan diri lewat
leluhur. Percaya bahwa ada kuasa
tertinggi yang memberkati, melindungi,
menuntun, menyembuhkan di saat sakit, tetapi juga yang menghukum di saat hidup
dalam ketidaktaatan.[4]
2.3. Latar Belakang Masuknya
Kekristenan di Minahasa
Dalam tahun 1560-an agama Kristen mendapat tempat berpijak di
Sulawesi Utara dan kepulauan Sangir-Talaud. Di sini pula, penyebaran Kekristenan
jalin-menjalin dengan persaingan antara orang-orang Portugis dan Ternate,
kemudian orang-orang Spanyol dan orang-orang Belanda. Pada tahun
1536, Sultan Hairun bermaksud hendak mengirimkan pasukan-pasukan tentara ke
Sulawesi Utara untuk menaklukkan daerah itu. Rencana itu tercium oleh
orang-orang Portugis, dan mereka tidak suka akan perluasan kekuasaan sultan
yang akan menjadi akibatnya. Oleh karena itu mereka berusaha mendahului sultan.
Dua korakora Portugis berlayar ke Sulawesi, dan tentu saja seorang misionaris
ikut-serta dalam ekspedisi itu. Mereka sampai di Menado pada bulan Mei 1563.
“Menado” itu adalah Menado lama, yang terletak di suatu pulau kecil lepas
pantai Minahasa. Pulau ini tampaknya lebih banyak mempunnyai hubungan dengan
dunia luar daripada daratan Minahasa dan organisasi politisnya sudah berupa
kerajaan, padahal daerah-daerah Minahasa lainnya masih teratur secara
tradisionil. Sesampai di Menado, sang misionaris, Pater Magelhaes, disambut
dengan gembira. Penduduk ingin sekali menerima agama orang-orang Portugis.
Pater Magelhaes menggunakan waktu dua minggu dalam mengajar mereka tentang
pokok-pokok agama Kristen, “disesuaikan dengan daya pengertian mereka”.[5]
Seperti halnya dengan gereja-gereja di Maluku,
di Timor dan di Sangir Talaud, maka gereja di Minahasa berasal dari zaman VOC,
bahkan sebenarnya sudah dari zaman Portugis. Di daerah Minahasan injil
diperdengarkan untuk pertama kalinya pada tahun 1563. Seorang padri yang
bernama Magelhaes membaptis seorang raja beserta dengan kira-kira 1500
orang penduduk.[6]
Orang-orang Minahasa masuk Kristen secara massal. 75% penduduk Tondano telah dibaptis setelah zending bekerja disana 25 tahun
lamanya. Setelah setengah abad (1880) ada 80.000 orang Kristen di seluruh
Minahasa, disamping 17.000 orang yang masih menganut agama nenek-moyang.
Kemajuan itu terjadi tanpa adanya tekanan dari pihak pemerintah Belanda. Cukup
banyak orang yang bersedia menanggung beban tambahan, yakni katekisasi-sidi. [7]
2.3.1. Kekristenan
di Minahasa pada masa VOC
2.3.1.1.Pertumbuhan
Pada tanggal 20
Maret 1602 dibentuk Vereenidge Ost-Indische Companie, kongsi
dagang Hindia Timur sering juga disebut kompeni.[8] Pada masa VOC lahirlah gereja yang bercorak
Calvinis, badan-badan pekabaran Injil ini tidak bersifat konfesional, dalam
arti tidak bermaksud mempropagandakan ajaran atau pengakuan suatu aliran atau
lembaga gereja tertentu, namun bertujuan memberitakan Injil Kristus apa adanya.[9]
J. Kam adalah seorang rasul Maluku yang terkenal, sesudah 28 tahun ia berangkat
dari Ambon untuk mengunjungi kepulauan di Sulawesi Utara. Mulai saat itu
perhatian Gereja Protestan Indonesia dicurahkan kepada Minahasa[10]
2.3.1.2.Perkembangan
VOC
sepenuhnya mengambil alih kekuasaan, orang-orang katolik di protestankan,
tetapi tidak dipelihara atau digembalakan dengan sungguh-sungguh, sehingga
mereka tidak mampu bertahan menghadapi penyebaran Islam.[11] J. Kam adalah
satu-satunya pendeta Gereja Protestan di Indonesia Timur, maka ia bertanggung
jawab atas jemaat-jemaat di Sulawesi Utara. Pada tahun 1817 ia berkunjung
kesana. Tetapi karena ia mempunyai jiwa seorang zendeling, ia tidak dapat
merasa puas dengan hanya memelihara jemaat-jemaat yang sudah ada. Ia
mendatangkan seorang guru dari Ambon, dan dari NZG dimintanya utusan-utusan
baru, dan dua diantaranya dikirimnya ke Minahasa (1822)[12]. Jemaat-jemaat di kuatkan dan dihidupkan oleh pelayanan
yang tak kenal lelah oleh Joseph Kam.[13]
2.3.1.3.Pergumulan
Dibawah pemerintahan VOC maka Minahasa mendapat
perhatian yang lebih besar dari pada waktu sebelumnya. Pada tahun 1677 seorang
pendeta Belanda di tempatkan di Manado, tetapi sering pemeliharaan gerejanya
ditugaskan kepada pendeta Belanda yang berkedudukan di Ternate, sehingga
bertahun-tahun lamanya tidak ada terdapat seorang pendeta disana. Antara tahun
1789-1827 tidaklah dilakukan lagi pemeliharaan gerejani.[14]
2.3.2. Kekristenan
di Minahasa pada masa Hindia-Belanda
2.3.2.1.Pertumbuhan
Pada tanggal 31 desember 1799 VOC dibubarkan segala milik dan
hutangnya diserahkan kepada pemerintah republik Belanda.[15] Bersamaan dengan berakhirnya abad ke-18, tamat
pula riwayat VOC dalam usia 200 tahun. Faktor yang terutama menyebabkan
bangkrutnya VOC ialah sikap dan moral yang jelek para pegawainya, sehingga
terjadi kecurangan dalam pembukuan, korupsi dan utangnya semakin banyak. [16]
Pembubaran VOC oleh pemerintah Belanda disebabkan karena hutang-hutang VOC yang
semakin meningkat, kekacauan ekonomi dan sosial akibat sistem monopoli yang
ketat dan ditambah lagi dengan munculnya saingan-saingan di lautan yang cukup
ampuh dan memperebutkan hak monopoli yang selama ini berada ditangan VOC.[17]
Pemerintah Belanda yang baru mulai menguasai daerah-daerah jajahan secara
langsung. Azas-azas pencerahan hendak digunakan dalam tata pemerintahan.
Kepentingan rakyat Indonesia harus dimajukan dalam segala hal. Dan negara tidak
akan campur tangan lagi dalam soal-soal agama, melainkan bersikap “netral”.[18]
2.3.2.2.Perkembangan
Pemerintah kolonial Belanda tidak lagi melihat dirinya sebagai “penguasa
Kristen”. Terhadap
segala persoalan keagamaan ia bersikap netral, dengan mengikuti dasar kebebasan
agama yang telah di proklamasikan oleh Daendels di tahun 1808.[19] Selama abad
ke-19, Manado tetap merupakan daerah GPI, sedangkan wilayah Minahasa lainnya
diberikan kepada NZG untuk digarap. Sekarang wilayah tersebut oleh penggarapnya
dikembalikan kepada “pemiliknya” dengan laba yang besar: orang-orang Kristen di
daerah tersebut dari beberapa ribu telah bertambah menjadi 80.000 orang. Mereka
ini sekarang dimasukkan ke dalam kerangkah organisasi GPI[20]
2.3.2.3.Pergumulan
Sekolah-sekolah telah didirikan berdasarkan keinginan orang-orang
Minahasa sendiri. Jadi dari mereka ini bisa diminta untuk membiayai sendiri
bangunan dan alat-alat. Gaji guru-guru ditanggung oleh NZG. Tetapi agama
Kristen dibawa atas prakarsa orang-orang Belanda, dan adalah sulit untuk
meminta penganut-penganut agama suku membiayai usaha pengkristenan mereka.
Sekolah merupakan salah satu alat pekabaran Injil dan pembinaan jemaat yang
paling jitu dan yang paling banyak dipakai gereja. Hingga pada akhirnya NZG
menghadapi kesulitan keuangan. Lembaga itu tidak mampu lagi
membiayai pekerjaannya di Minahasa. Pengurus
NZG dan pekerja-pekerja di lapangan sungguh-sungguh yain bahwa jemaat-jemaat di
Minahasa belum cukup matang. Oleh karena itu mereka menempuh jalan lain. Di
Sulawesi Utara, sudah ada jemaat-jemaat Kristen sejak zaman VOC, sehingga
pemerintah Hindia Belanda yang “netral” itu pun merasa bertanggungjawab
atasnya..[21]
2.3.3. Kekristenan
di Minahasa pada masa Nasionalisme
2.3.3.1.Pertumbuhan
Awal munculnya gerakan ini pada tahun 1908 sebagai suatu gerakan di
antara mahasiswa-mahasiswa sekolah kedokteran di Jakarta dan mula-mula
memperlihatkan pengaruh kebudayaan Jawa yang agak kuat. Pada tahun 1928
muncullah suatu gerakan pemuda seluruh Indonesia, diikat oleh “Sumpah Pemuda”
yang mengikrarkan satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa
(bahasa Indonesia). Dalam perkembangan ini, cita-cita bersama yaitu negara dan
suatu bangsa yang merdeka, dalam kesadaran berbagai kelompok manusia,
dihubungkan dengan berbagai cita-cita religious dan sosial.[22]
Sama seperti di Maluku, begitu pula di Minahasa nasionalisme
merupakan tanah yang subur buat
keinginan berdiri sendiri dalam lingkungan gereja. Dan minahasa pun, usaha yang
nyata bersumber pada sidang raya GPI tahun 1916. Dalam rangka persiapan sidang
itu, untuk pertama kali utusan jemaat dari seluruh Minahasa sempat berkumpul.
Tindakan nyata ke arah gereja berdiri sendiri baru mulai diambil pada tahun
1927.[23]
2.3.3.2.Perkembangan
Salah satu ciri yang menonjol dalam kehidupan umat Kristen di
Indonesia pada periode ini adalah kesadaran gereja akan pengenalan dirinya dalam
rangka pergerakan nasionalisme yang sedang berkobar di berbagai daerah.
Semangat kebangsaan nampak dalam kedewasaan di kalangan pemimpin-pemimpin
pribumi agar supaya kepemimpinan gereja dipindahkan dari tangan missionaris ke
orang-orang Indonesia.[24]
2.3.3.3.Pergumulan
Pada tahun itu Dr. H. Kraemer datang ke
Minahasa. Oleh NZG dan pengurus GPI ia telah diminta untuk bersama dengan
konsul Zending menjadi pengantara dalam perselisihan antara “pihak Zending”
dengan “pihak gereja”, yaitu guru-guru jemaat dan para pendeta bantu pribumi.
Justru pada saat itu lah antara kedua kelompok memuncak. Guru-guru malah telah
melancarkan gagasan pemisahan dari GPI. Kraemer berhasil
meredahkan ketegangan, namun sadar lah ia bahwa perdamaian untuk seterusnya
hanya dapat diperoleh kalau organisasi gereja di Minahasa dirombak. Dibentuklah
komisi XII yang bertugas mempersiapkan organisasi itu. Ditengah-tengah
kesulitan dan pertikaian komisi itu berhasil menyusun peraturan untuk Majelis
Gereja (diberlakukan 1930). Dengan demikian, telah diletakkan dasar yang kokoh
bagi sistem pemerintah gereja yang menyediakan tempat yang wajar bagi jemaat
setempat serta para pelayannya. Untuk selanjutnya panatua dan diaken akan
dipilih oleh jemaat, jumlah serta masa jabatan mereka diatur, dan yang menjadi
ketua majelis ialah pelayan firman setempat. Sebelumnya, dijemaat yang dipimpin
seorang guru jemaat, yang menjadi ketua ialah pendeta pribumi, meskipun tokoh ini tinggal ditempat
lain. Sesudah itu pekerjaan reoganisasi berjalan dengan lebih lancar, berkat
berubah suasana yang telah terjadi dalam GPI. Komisi XII bersama rapat pendeta
pribumi diangkat menjadi proto-sinode
dan ditugaskan menyusun peraturan-peraturan berikutnya, khusunya
peraturan klasis dan sinode. Setelah pekerjaan itu selesai, maka dipilihlah
sidang-sidang klasis dan sinode (proto-sinode dalam arti kata yang sebenarnya).
Proto-sinode ini menilai peraturan yang disusun, dan setelah peraturan itu
diberi bentuknya yang defenitif pengurus GPI menerimanya dan berdirilah GMIM
pada tanggal 30 September 1934. [25]
2.3.4. Kekristenan
di Minahasa pada masa Jepang[26]
2.3.4.1.Pertumbuhan
Pada tanggal 11 Januari 1942 pasukan Jepang
memasuki Minahasa. Dalam rapat yang diadakan pada tanggal 2 Februari 1942 Pdt.
AZR Wenas, ketua II GMIM, mengambil alih tugas pimpinan sinode dari pendeta
Belanda yang sudah ditawan. Sementara itu, pihak tentara Jepang membentuk
kantor agama. Kantor ini dipimpin seorang pendeta Jepang, yang bernama
Hamazaki; oleh GMIM diperbantukan dua pendeta Minahasa. Para petugas kantor agama harus memberi kursus-kursus
kepada para pemimpin agama, mengunjungi jemaat-jemaat, memberi keterangan
mengenai Jepang, mengatur ketenangan antar agama/golongan, memberi bantuan
material, dan membela/melindungi jemaat-jemaat dan pemimpin-pemimpinnya kalau
itu perlu.
2.3.4.2.Perkembangan
Pemerintahan Jepang memberi kebebasan
beribadah, dan malahan menawarkan untuk menanggung gaji pendeta, yang
sebelumnya dibayar oleh pemerintah Hindia-Belanda. Tetapi gereja menolak
tawaran itu, sebab khawatir kalau-kalau dengan demikian ia kehilangan kebebasan
terhadap pemerintahan duniawi.
2.3.4.3.Pergumulan
Penguasa Jepang mempersulit kehidupan gereja,
dengan melarang menyelenggarakan sekolah di gedung-gedung gereja dan
menempatkan sekolah-sekolah milik gereja dibawah pengawasan Jepang, dengan
menutup sejumlah gedung gereja, dan dengan menuntut supaya bendera Jepang
dibentangkan disemua gedung gereja serta diberi hormat pada permulaan setiap
kebaktian. Rakyat menderita karena dikerahkan secara bergilir untuk bekerja
sebagai romusya, menciptakan berbagai sarana pertahanan untuk tentara Jepang. Kehidupan gerejawi mengalami halangan juga karena
serangan-serangan sekutu berupa pemboman yang hebat, yang menyebabkan rakyat
menyingir ke kebun-kebun. Mekipun demikian, berkat upaya kantor agama,
kehidupan gereja dalam keseluruhannya berjalan terus. Keadaan menyebabkan
jemaat bertambah sadar mengenai tanggung jawab.
2.3.5. Kekristenan
di Minahasa pada masa Orde Lama
2.3.5.1.Pertumbuhan
Dimasa orde
lama, sewaktu politik menjadi panglima gereja, sepenuhnya siuman bahwa gereja
tidak bisa diidentikkan dengan segala cita-cita politik. Dengan pengembangan
gagasan Nasakom, sikap pemerintah terhadap gereja memang positif karena
pemerintah berkeinginan kuat untuk menghimpun semua golongan dan kekuatan tanpa
kehilangan identitas masing-masing demi mencapai tujuan revolusi: masyarakat
adil dan makmur. Pada waktu itu gereja
tidak ikut terjebak dalam arus pengkultusan individu.[27]
2.3.5.2.Perkembangan
Pada masa orde lama ditandai juga dengan adanya usaha pendidikan
oleh GMIM memiliki jaringan sekolah, rumah sakit, dan usaha sosial yang sangat
luas. Menurut pandangan ketuanya, pdt. Wenas, gereja harus sanggup menawarkan
pendidikan Kristen dari TKK sampai tingkat universitas. Maka didirikanlah
sejumlah sekolah menengah Kristen dan (1965) universitas Kristen Indonesia
Tomohon (UKIT). Akademi theologia yang sudah ada sejak tahun 1956
digabungkan dengan UKIT menjadi fakultas theologia. Usaha di bidang pendidikan
ini dipimpin oleh dinas persekolahan, yang anggotanya diangkat oleh sinode.
Begitu pula GMIM memiliki 5 rumah sakit yang besar, klinik bersalin, panti
asuhan dan seterusnya.[28]
2.3.5.3.Pergumulan
Dalam masa 1875-1935, kekristenan di Minahasa
mengalami kemacetan dalam perkembangannya menuju gereja yang berdiri sendiri. Akan tetapi berkat perubahan yang terjadi di kalangan
orang Minahasa sendiri dan dalam lingkungan pimpinan gereja berkebangsaan
Belanda, maka akhirnya tujuan itu tercapai juga. Selama masa itu, di Minahasa
sering terjadi suasana tegang antara empat unsur penting: Zending, gereja
(GPI), pemerintah dan tokoh-tokoh Minahasa yang sudah aktif di bidang politik
dan gereja. Ketegangan itu membawa banyak
kesulitan, tetapi sempat menjadi pula pencetus pendobrakan kemacetan tersebut.
Yang penting juga ialah: pihak-pihak yang bersangkutan, khususnya Zending dan
gereja telah mulai melihat bahwa kemandirian gereja bukanlah tahap terakhir
dalam perkembangan orang Kristen Minahasa menuju ketingkat kekristenan yang
sempurna, melainkan titik tolak untuk pertumbuhan rohani dalam mengahadapi
tantangan-tantangan dalam lingkungan sendiri.[29]
2.3.6. Kekristenan
di Minahasa pada masa Orde Baru
2.3.6.1.Pertumbuhan
Dalam periode orde baru, pemerintah sangat menyadari pentingnya
peranan agama terutama untuk memberikan kekuatan mental bagi rakyat sehingga
tidak terpengaruh oleh paham-paham yang menentang agama. Dalam keadaan demikian
kerjasama antara gereja dan pemerintah menunjukkan gambaran yang positif dan
sehat.
Juga dalam iklim pembangunan tambah disadari betapa pentingnya peranan agama
untuk mempersiapkan dan memantapkan kematangan mental rohani seluruh bangsa,
sehingga cita-cita pembangunan dapat dilaksanakan secara wajar dan menyeluruh.
Dalam hubungan ini gereja di
Indonesia semakin dewasa dalam sikap teologis politisnya.[30]
2.3.6.2.Perkembangan
Setelah terjadi peristiwa G 30 S yang dianggap oleh
umum selaku perbuatan kaum ateis, maka pemerintah menganjurkan kepada rakyat
agar memilih salah satu diantara agama dan kepercayaan yang diakui sah oleh
pemerintah. Anjuran ini telah mendorong banyak orang untuk
memilih agama yang sesuai dengan hati nuraninya.
Berbeda dengan sikap golongan-golongan lain, yang menakut-nakuti rakyat, agar
supaya memilih agama mereka masing-masing, gereja sebaliknya membuka diri
seluas-luasnya dan mengabarkan Injil perdamaian yang setia, menjelaskan isi
pengharapannya dengan lebut dan hormat, serta melayani siapa saja yang
memerlukan pertolongan.Sikap ini membuat lebih banyak orang memilih agama
Kristen.[31]
Pemerintah
sangat menyadari pentingnya peranan agama terutama untuk memberikan kekuatan
mental bagi rakyat sehingga tidak terpengaruh dengan paham-paham agama. Dalam
keadaan demikian, kerjasama antara gereja dan pemerintah menunjukan gambaran
yang positif dan sehat. Juga dalam iklim pembangunan tambah disadari betapa
pentingnya peranan agama untuk mempersiapkan dan memantapkan mental rohani
seluruh bangsa, sehingga cita-cita pembangunan dapat dilaksanakan secara wajar
dan menyeluruh. Dalam hubungan gereja ini, gereja Indonesia semakin dewasa
dalam sikap teologis positifnya.[32]
2.3.7. Kekristenan
di Minahasa pada masa Reformasi- Sekarang
2.3.7.1.Pertumbuhan
Antara tahun 1945-1971, daerah Minahasa mengalami pergolakan politik
hampir terus-menerus. Ada perjuangan kemerdekaan, ada pemilu tahun 1955 dengan
timbulnya partai komunis, ada pemberontakan terhadap pemerintah pusat
(PERMESTA) yang berlangsung 1957-1961, ada G30S, ada pemilu 1971.
Ditengah pergolakan ini, pdt. Wenas memimpin gereja Minahasa dengan tegas. Yang
penting bagi dia ialah, gereja tidak boleh begitu saja berpihak pada salah satu
kekuasaan politik, apa pun atau siapa pun itu. Maka dalam tahun 1950-an GMIM
menentang tuntutan totaliter partai komunis.[33]
2.3.7.2.Perkembangan
Pada tahun 1954, GMIM
mengeluarkan pernyataan yang isinya antara lain sebagai berikut, “gereja
menolak ajaran-ajaran yang dikandung oleh komunisme sebagai suatu ideologi,
oleh karena tafsiran komunisme mengenai manusia dan sejarah bertentangan dengan
Alkitab. Gereja menolak tiap-tiap tuntutan ideologi lain yang mengangggap dan
memperlakukan manusia sebagai barang yang dapat dikorbankan untuk kepentingan
ekonomi dan politik dari salah satu golongan masyarakat”.
Beberapa tahun kemudian, gereja tidak mau memihak PERMESTA. Akan tetapi, GMIM
mengecam pemboman yang dilakukan pemerintah pusat dan yang terutama membawa
kerugian untuk penduduk sipil. Pdt. Wenas menjadi pengantara, yang mendapat
kepercayaan kedua belah pihak.[34]
Kekristenan
pada suatu masa adalah ‘barang baru’ di Minahasa. Namun kini, ia telah menjadi
bagian dari kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya orang-orang Minahasa.
Artinya, proses yang dinamis dan itu terjadi secara sengaja atau tidak sengaja
telah menjadikan kekristenan sebagai bagian dari kebudayaan Minahasa. GMIM,
sebagai gereja yang memiliki umat terbanyak di tanah Minahasa memiliki tanggung
jawab untuk “mengusahakan dan memelihara” kehidupan bersama di Minahasa dan
dunia yang lebih luas. Sebagai sebuah persekutuan orang-orang percaya, dalam
kesadaran iman, itu dipahami sebagai tanggung jawab rohani GMIM. Namun, dalam
praksisnya panggilan itu adalah juga bagian dari tanggung jawab kebudayaan
GMIM.[35]
2.3.7.3.Pergumulan
Di zaman
kemerdekaan, gereja mengalami gelombang cobaan yang cukup kritis. Di beberapa
daerah, gereja mengalami kesengsaraan yang cukup perih, akibat aksi-aksi teror
dari gerombolan D I sampai T II.Namun sikap pemerintah dan gereja jelas dan
mantap, melindungu dan membantu membebaskan dari gangguan gerombolan tersebut
sampai akhirnya gerombolan D I sampai T II dapat ditumpaskan.[36]
2.4. Gereja- gereja di Minahasa
2.4.1.
GMIM
Persiapan menuju gereja yang berdiri sendiri terutama
dilakukan oleh tokoh-tokoh Belanda, meskipun ada orang Minahasa yang ikut
berbicara. [37]
Pada sidang am Gereja Protestan pada tahun 1916 untuk pertama kalinya timbullah
rencana supaya didalam lingkungan Gereja Protestan dibentuk gereja daerah.
Suatu komperensi para pendeta dengan para pendeta pembantu di Makassar pada
tahun 1927 menyusun lebih jauh sebuah rencana. Tetapi barulah pada tahun 1934
berdiri sinode yang pertama, sehingga sejak tahun itu berdiri sendirilah Gereja
di Minahasa. Namanya menjadi Gereja Masehi Injili Minahasa. Sebenarnya keadaan gereja
protestan pada waktu itu tidak memungkinkan untuk mengambil keputusan yang
begitu penting. Gereja belum memiliki kebebasan untuk mengurus masalahnya
sendiri. Segala sesuatu mengenai peraturan dan keuangan gereja bergantung
kepada pemerintah. Tetapi dorongan dari orang-orang kristen di Minahasa
demikian hebatnya, sehingga berdirilah GMIM pada tahun 1934, setahun lebih
dahulu dari kebebasan yang diberikan kepada gereja protestan seluruhnya untuk
mengadakan peraturannya sendiri, sehingga tidak tergantung lagi kepada
pemerintahan. Dengan didirikannya GMIM sebagai gereja yang berdiri sendiri maka
berlakulah pula suatu tata gereja yang baru. Dengan berdirinya GMIM terbukalah
kesempatan bagi gereja untuk bergerak lebih dari pada dahulu. Begitu GMIM
mempergunakan kebebasannya yang baru, persoalan sekolah-sekolah Kristen dapat
diselesaikannya. [38]
Pada tahun 1950 sinode GMIM menerima tata gereja
yang baru. Majelis jemaat-jemaat tersebut diberi wewenang lebih besar
daripada yang dimiliki majelis jemaat gaya lama. GMIM memiliki jaringan
sekolah, rumah sakit dan usaha sosial yang sangat luas. Akademi
Theologia yang sudah ada sejak tahun 1956 digabungkan dengan UKIT menjadi
fakultas Theologia. Usaha dibidang pendidikan ini dipimpin oleh dinas
persekolahan, yang anggotanya diangkat oleh sinode. Begitu pula GMIM
memiliki 5 rumah sakit yang besar, klinik bersalin, panti asuhan dan
seterusnya. [39]
2.4.2. KGPM adalah Kerapatan Gereja Protestan Minahasa
Muncul dan
berdirinya KGPM pada tahun 1933, sebagai satu gereja di Minahasa, merupakan
jawaban atas berbagai masalah yang ada pada Gereja Negara (Indische Kerk) yang
menguasai kehidupan kerohanian jemaat-jemaat protestan sejak permulaan abad
ke-19 sampai dengan permulaan abad ke-20. Namun, kelahiran KGPM itu tidaklah
secara tiba-tiba, melainkan melalui suatu proses perjuangan yang cukup lama
dengan dasar dan latar belakang yang kuat seperti: kepincangan/kelemahan
Indishe Kerk (aspek gerejawi/rohani), kepincangan social dan situasi perjuangan
bangsa Indonesia ketika itu.
Berbagai kelemahan dan kepincangan itu dihayati oleh
jemaat-jemaat dan kemudian sadar, bahwa hal-hal itu harus diatasi. Lahirlah
gagasan untuk memperbaiki dan mengadakan perubahan atas cara kerja Indische
Kerk yng mana usah-usaha itu pada puncaknya ditandai dengan berdirinya KGPM,
sebagai gereja yang berusaha berbuat untuk mengikis segala kepincangan yang
dialami dlam kehidupan gereja. Itulah yang kemudian dilakukan KGPM kemudian
dengan berusaha menumbuhkan dan mengembangkan sikap serta nilai yang
bertentangan dengan apa yang berkembang dalam Indische Kerk.
Sesungguhnya,
apa yang dilakukan KGPM adalah ingin mengembalikan gereja pada misinya, yakni
mewujudkan karya penyelamatan umat-Nya dan bukan sebaliknya, gereja dengan
birokrasinya berlaku sebagai lembaga pemerintah yang menindas dan membelenggu
kemerdekaan jemaat-jemaat dalam sikap dan bertindak dengan penuh percaya diri
dalam beribadah[40]
2.4.3. Gereja Pantekosta Indonesia
GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret
1929. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun dengan menumpang kapal motor Van Der
Hagen dari Surabaya menuju tanah Toar Lumimuut, Minahasa. Tanggal 13 Maret
1929, mereka tiba di pelabuhan Amurang,” kata Pdt. Hendrik Otto Herman Awuy
(meninggal 12 Maret 2012), tokoh gereja Pantekosta di Sulawesi Utara pada
perayaan HUT GPdI di Sulawesi Utara ke 82 tahun di Tondano. Kamis, 14 November 1929 di kampung Tondei, Minahasa bagian
Selatan. Seorang perantau di Tanah Jawa, pulang kampung. Jan Lumenta, namanya.
Dia datang bukan sekadar pesiar. Di tanah rantau, dia telah berketetapan hati
untuk menjadi penginjil dalam semangat gerakan Pantekosta. Bersama dia Julianus
Repi. di desa ini, mereka mengadakan ibadah pertama kali di rumah
keluarga Ismail Lumenta-Merentek. Orang tua Jan Lumenta. “Ibadah perdana De
Pinkstergemente telah menggunakan alat musik berupa gitar sehingga
banyak yang beribadah,” tulis Ferlandy Wongkar dalam Sejarah
Pertumbuhan Kekristenan, Suatu Kajian Historis Tentang Pertumbuhan Denominasi
Gereja di Desa Tondei Dari Tahun 1908-1986. Meski di desa Tondei kebanyakan
sudah memeluk Kristen Protestan atau Indische Kerk, namun
Lumenta dan Repi berhasil membaptis sebanyak 37 orang di sungai bernama Rari’ngis.
“Tentunya yang dibaptis berasal dari Jemaat Indische Kerk,” kata
Wongkar mengutip penuturan tokoh-tokoh GPdI di sana. Pada 30 Maret 1923, sebuah
tonggak penting perkembangan Gereja Pantekosta di Indonesia terjadi. Di Pasar
Sore-plein, Cepu Cornelius E. Groesbeek dan Johan Thiessen, membaptis 13
orang. Di antara mereka yang menerima baptisan adalah FG van Gessel dan
istrinya, SIP Lumoinding dan istrinya, serta Agust Kops. FG van Gessel
kemudian menjadi pemimpin jemaat di Cepu. C. van der Laan dalam Pinksterbeweging
in Nederland mengatakan, Johan Thiessen (1869-1953) sudah lama berada
di Hindia Belanda, yaitu sejak 1901. Hingga tahun 1912 ia bekerja sebagai
misionaris Gereja Baptis. Namun kemudian, ia beralih ke gerakan Pantekosta.
Pada tahun 1923 Thiessen mendirikan De Pinksterbeweging (Gereja
Gerakan Pentekosta) di Bandung. Pada tahun 1924, berdiri pula De
Pinksterkerk in Indonesië (Gereja Pentekosta di Indonesia). Sumber
lain menyebut namanya, Vereeniging De Pinkstergemeente in Nederlandsch
Oost-Indie. Gereja ini menurut van der Laan lebih berkarakter Indonesia.[41]
2.4.4.
Gereja Bala Keselamatan
Bala Keselamatan hadir di
sekitar 105 negara dengan ratusan ribu perwira dan prajurit, menyelenggarakan
ribuan sarana pelayanan sosial, sebagai wahana pemberitaan Injil. Sedangkan di
Indonesia sendiri, Bala Keselamatan hadir sejak tahun 1894 melalui dua perwira
BK asal belanda, yaitu staf kapten J.G. Brouwer dan Ensign Letnan Muda A. Van
Emmerik. Awalnya pemerintah Hindia-Belanda keberatan dengan atas kehadirannya
di sini, karena kuatir bahwa BK akan menimbulkan gangguan. Tapi setelah
pimpinan BK di Belanda memberi penjelasan kepada menteri daerah jajahan,
diberilah izin kepada kedua opsir itu. Mereka memulai pekerjaannya memberikan
pelayanan kemanusiaan di Purworejo Jateng, dari sana kemudian meluas keberbagai
lokasi. Pusat kegiatan dan latihan mereka semula 1903 berada di Kedung Pani
Semarang. Pada tahun 1913 kantor pusatnya dipindahkan ke Bandung dengan nama
Kantor Pusat Teritorial Bala Keselamatan di Indonesia, sedangkan pusat
latihannya sejak 1950 dipindahkan ke Jakarta. Semula Indonesia masuk teritorial
Australia, tapi sejak 1905 menjadi teritorial sendiri awalnya teritorial Jawa,
kemudian teritorial Indonesia, setelah perluasan dari ke daerah lain terutama
Sulawesi, berhubung di daerah Jawa Tengah terjadi banjir dan kelaparan yang
terjadi 1902. Kemudian kelompok ini membentuk Koloni Salib Putih untuk menolong
korban bencana itu, dan kemudian ketua koloni ini transmigrasi ke Sulawesi
Tengah, yang kemudian berkembang pesat menjadi pangkalan pekabaran Injil dan
Pelayanan Sosial rumah sakit dan sekolah. Perwira dan prajurit Bala Keselamatan
dari luar negeri berhasil mengambil hati masyarakat Sulawesi Tengah kerena
kesediaan serta kemampuan mereka beradaptasi dan berintegrasi dengan kehidupan
dan budaya masyarakat tanpa mengorbankan identitasnya. Setelah Sulawesi Tengah,
perluasan berlanjut ke Sumatra Timur pada 1914 atas permintaan tuan kebun di
sana untuk menolong mereka mendirikan rumah sakit kusta, pengobatan ini
dikolaborasikan dengan penginjilan dan pelayanan rohani. Kemudian kita akan
menemukan Bala Keselamatan di Jawa, Bali, Sulawesi, Sumatera, Maluku, dan NTT
dalam berbagai wadah pelayanan sosial: panti asuhan, panti karya, panti werdha,
rumah sakit umum, poliklinik, perumahan ibu dan bayi. Jadi, perkembangan Bala
Keselamatan hingga ke banyak negara, di samping keeksentrikannya, tidak bisa
dilepaskan dari rancangan dan strategi Bala Keselamatan sebagai pejuang
kemanusiaan dengan mengupayakan—sebagai satu-satunya harapan dan tujuan BK—pembebasan
umat manusia secara permanen dari kemalangan dan ketertindasan.[42]
2.4.5.
Gereja Masehi Advent hari Ke-7
Perkembangan GMAHK di Manado taklepas dari
pengaruh seorang muda Minahasa asal Ratahan yang bernama Samuel Rantung yang
menerima pekabaran Advent hari Ketujuh di Batavia dari pemuda Batak yang
bernama Immanuel Siregar. Pemuda Minahasa Samuel Rantung dibaptis oleh Pdt. R.
W. Munson di batavia, tanggal 29 Maret 1911. Samuel Rantung kemudian bekerja
dipercetakan bersama Immanuel Siregar, membatu penerbitan buku-buku dan majalah
Utusan Perjanjian Melayu di Sukabumi dibawah pimpinan Pendeta R. W. Munson.
Penyerahan Samuel Rantung, istri dan M.E. Direja dalam doa dan kerja yang
sungguh-sungguh menyampaikan Injil ditengah-tengah masyarakat yang belum
menjadi Kristen (alifuru dalam bahasa daera Lowu, Ratahan). Menghasilkan
jiwa-jiwa kepada Kristus. Sebanyak 22 jiwa, telah menerima baptisan tanggal 30
Desember 1921 oleh Pdt. F.A. Detamore.Nama-nama mereka tercantum dalam daftar
keanggotaan GMAHK sebagai anggota baptis yang pertama di Minahasa bahkan
diseluruh Indonesia Timur.[43]
2.5.Kehidupan
Zending di Minahasa [44]
Para pendeta dan pekabar Injil yang dari
Minahasa melakukan kunjungan ke Sangir-Talaud mendesak NZG agar menangani karya
PI di pulau-pulau itu. Tetapi NZG, selain memiliki lapangan kerja di Maluku,
Timor, dan Minahasa, baru saja mulai mengutus tenaga ke Jawa Timur, sehingga
merasa tidak mampu. Maka Panitia Zendeling-tukang merasa terpanggil untuk
mengisi lowongan itu. Dalam tahun 1857, sesudah dua tahun dalam perjalanan,
empat zendeling-tukang mendarat di pulau-pulau Sangir. Dua tahun kemudian empat
orang lagi tiba di Talaud. Sesuai dengan asas yang dianut oleh Panitia
tersebut, mereka tidak mendapat gaji yang tetap. Namun, pemerintah mengakui
jemaat-jemaat di Sangir sebagai jemaat-jemaat VOC, sehingga bersedia
menyediakan anggaran untuk para pekerja baru itu. Mereka kebanyakan orang
Jerman dari kelompok Gossner. Yang menjadi tokoh yang terkenal di antara mereka
ialah E.T. Steller, yang selama masa 1857-1897 bekerja di Manganitu, Sangir
Besar.
Steller bersama rekan-rekannya segera
menjalankan upaya untuk membenahi jemaat. Mereka ingin supaya semua anggota
memiliki kesalehan hati dan kesucian hidup. Secara negatif, mereka memberantas
kepercayaan takhyul, kebiasaan minum-minuman keras dan perkawinan yang banyak
terdapat di kalangan orang Kristen. Secara positif, mereka secepat mungkin
mulai menggunakan bahasa daerah sebagai ganti bahasa Melayu. Beberapa bagian
Alkitab mereka terjemahkan ke dalam bahasa daerah (1883, PB dalam logat Siau;
1942, PB dalam bahasaSangir), begitu pula Katekismus Heidelberg (1871),
Perjalanan seorang Musafir karangan J. Bunyan, dan lain-lain. Jumlah kebaktian
diperbanyak: pada hari Minggu petang bahan yang telah dikhotbahkan dalam
kebaktian pagi dibahas lagi, disusul oleh katekisasi dan Sekolah Minggu.
Tiap-tiap hari diadakan kebaktian pagi dan malam, yang juga digunakan untuk
maksud pengajaran agama. Tiap bulan ada kumpulan pekabaran Injil di Manganitu.
Di sana diberikan keterangan mengenai karya PI di seluruh dunia, lalu diadakan
doa syafaat serta pengumpulan dana untuk karya itu. Di samping itu, Steller
banyak berkunjung ke rumah anggota jemaat, khususnya yang sakit atau yang jatuh
dalam dosa, dan rumah zendeling itu pun terbuka bagi orang Sangir. Bertentangan
dengan para pendeta yang telah datang berkunjung sebelum tahun 1857, Steller
dan mayoritas teman-temannya enggan membaptis orang dewasa kalau tidak ada
persiapan yang matang. Lamanya persiapan itu harus minimal satu tahun, tetapi
kalau zendeling meragukan mutu kepercayaan sang calon, baptisan itu pun ditunda
sampai tiga empat tahun. Lebih baik jemaat-Jemaat yang kecil dan setia daripada
yang besar namun suam-suam kuku, demikian pandangan mereka.
Tunjangan yang diperolehnya dari
pemerintah tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga zendeling sendiri,
apalagi keluarga besar yang terdiri dari anak-anak asuh dan lain-lain. Oleh
Panitia Zendeling tukang mereka telah disuruh mencari rejeki melalui kecakapan
masing-masing selaku tukang. Tetapi bagaimana seorang pembuat kereta dapat
mencari nafkah di negeri yang tidak ada jalan-jalan, atau seorang tukang sepatu
di tempat orang tidak memakai sepatu? Khususnya dalam tahun-tahun pertama para
pekabar Injil itu sungguh melarat, apalagi di Talaud. Di situ para zendeling
terpaksa hidup sesuai dengan pola penduduk setempat, termasuk jenis makanan,
serta mengawini putri daerah. Steller mencari jalan keluar dengan membuka hutan
di pegunungan atas Manganitu. Dengan demikian lahirlah perkebunan "Gunung”,
yang bisa berhasil karena sang zendeling sendiri dengan tidak mengenal lelah
membabat pohon-pohon dan mengerjakan kebun itu. Tetapi yang dihasilkan
"Gunung" itu bukan hanya pendapatan tambahan bagi kas Steller ataupun
bagi kas zending. Perkebunan itu dijadikan sebagai di seluruh karya PI, karena
merupakan persemaian tenaga pemimpin dalam gereja dan juga dalam masyarakat
luas. Sesuai dengan cita-cita pieitis Steller ingin merombak seluruh pola
kehidupan masyarakat Sangir. Ia ingin membina orang yang, di samping menjadi
pribadi yang saleh, juga biasa dengan kehidupan yang teratur, yang menghargai
pekerjaan keras dan, meskipun termasuk golongan bangsawan, tidaklah, menghina
pekerjaan tangan. Anak-anak yang menawarkan diri untuk menjadi anak asuh di
"Gunung'" mendapat pendidikan sekolah pada malam hari; pada siang
hari mereka bekerja di kebun, dan pagi serta malam mereka diikut-sertakan dalam
ibadah doa, sehingga di situ dijalankan kehidupan yang subur dalam kerangka
liturgis yang kokoh. Jumlahnya bisa sampai 90 orang sekaligus, dan mereka
tinggal di sana lima sampai sepuluh tahun atau lebih. Di antara para tamatan
“Gunung", banyak yang menjadi guru/penghantar jemaat ataupun kepala
kampung, atau merantau ke daerah lain menjadi mantri kesehatan dan lain-lain.
Salah satu hasil sampingan usahanya ialah bahwa pada masa kelaparan Steller
dapat menyediakan bahan makanan untuk orang banyak.
2.5.1.
Riedel
Riedel sedikit banyak
mewaliki sifat angkatan utusan zending yang pertama di Minahasa. Ia adalah
seorang Jerman, sama seperti Kam, ia berasal dari keluarga yang setia kepada
gereja negara (yakni gereja lutheri), ia termasuk lapisan masyarakat menengah
kebawah – selama abad ke 19 hampir semua utusan Injil berasal dari golongan
masyarakat ini. Riedel muda mengalami suatu krisis rohani maupun jasmani. Ia
berjanji kepada Tuhan bahwa, jikalau ia sembuh, ia akan memberikan seluruh
kehidupannya untuk pekerjaan Tuhan.Pada tahun 1831 Riedel datang ke Minahasa
setelah selama satu tahun menerima bimbingan dari Kam di Ambon. Mereka akan
membawa Injil kepada orang-orang yang masih menganut agama suku. Pada tahun
1850, jumlah zendeling telah naik menjadi sepuluh orang.[45]
Pendekatan yang
dilakukan Riedel kepada orang-orang Minahasa dilakukan sedemikian rupa,
perbedaan dalam hal pengertian mengenai agama Kristen tidak mengakibatkan
permusuhan dari pihak orang-orang Tondano. Ia tidak memaki orang-orang Kristen
karena mereka kurang rajin datang ke gereja, ia tidak menyerang agama suku
dengan kata-kata yang pedas. Tetapi, ia bersikap ramah terhadap semua orang, ia
bergaul dengan mereka secara santai, dan apabila mereka datang kerumahnya
mereka diberi kopi dan kue, ia mengajarkan agama Kristen secana intensif
menurut pandangannya sendiri. Ia segera mulai mengadakan kebaktian hari Minggu
dalam bahasa Melayu, dan melayankan Perjamuan Kudus kepada anggota-anggota sidi
yang sedikit saja jumlahnya. Dikemudian hari ia mengundang orang agar datang ke
rumahnya pada sore hari, supaya bersama-sama mengadakan penelaahan Alkitab,
berdoa dan bernyanyi. Angkatan muda diberi pengajaran agama di sekolah, dan
ketika muncul calon-calon baptisan, mereka ini diberi katekisasi. Melalui
pendekatan ini, dalam waktu beberapa tahun saja Riedel dapat menembus sikap
acuh tak acuh dan perlawanan yang terdapat di Tondano. Dalam tahun 1834 mulai
ada orang, yaitu seorang tokoh agama suku(walian), yang minta dibaptis. Jumlah
orang Kristen melonjak, sesudah 8 tahun Riedel bekerja telah perlu didirikan
bangunan gereja yang baru dengan 800 tempat duduk. Kalau ada orang yang hendak
masuk Kristen, Riedel pertama-tama berusaha untuk membuat ia bersungguh-sungguh
mengerti apa itu arti dosa, kemudian berbicara mengenai Injil, kasih dan rahmat
Allah didalam Yesus Kristus. Dan ia menegaskan bahwa Roh Kudus perlu membaharui
batin orang, agar orang itu dapat mengahayati hal-hal ini. [46]
2.6. Pergumulan dan Perkembangan
Kekristenan di Minahasa
Pada tahun 1834 mulai
ada orang, diantaranya seorang tokoh agama suku yang minta dibaptis. Jumlah
orang Kristen melonjak dan begitu besarnya jumlah orang Kristen yang dibaptis
sehingga Riedel mendapat teguran dari pihak pengurus NZG: jangan-jangan ia
menerima orang dengan terlalu gampang. Sekitar tahun 1850, 70% penduduk daerah
Tondano sudah dibaptis. Ketika Riedel ditegur, ia menjawab: “saya tidak
menyesal bahwa saya telah melayankannya kepada begitu banyak orang, sebab
baptisan itu menjadi dasar untuk menegur mereka dengan memperingatkan mereka
akan perjanjian baptisan”. [47]
Orang-orang Minahasa
betul-betul menerima agama Kristen dengan sungguh hati. Mereka bersedia
mentaati peraturan-peraturan agama mereka yang baru. Akibatnya tidak banyak
terdapat kasus-kasus disiplin gerejani. Namun, apabila tokoh yang telah
mengajarkan peraturan-peraturan itu dan yang mengawasi pelaksanaannya sudah
pergi atau misalkan meninggal dan belum ada penggantinya maka hal ini akan
menyebabkan kemerosotan. Para zendeling menuntut supaya orang-orang Minahasa
meninggalkan banyak hal yang telah berurat-berakar dalam masyarakatnya.
Ternyata hal itu sulit untuk dilaksanakan sepenuhnya. Banyak orang tetap berpegang
pada kebiasaan-kebiasaan lama. Di Tondano sekitar tahun 1880 sudah dikristenkan
seluruhnya, namun orang kembali menyelenggarakan upacara-upacara agama suku
ketika mereka tertimpa wabah termasuk peristiwa alam dan gempa bumi (1884).
Tentu saja para zendeling sendiri tidak bisa langsung melayani 100.000 orang
lebih. Sejak permulaan, membutuhkan tenaga pembantu disekolah-sekolah dan
dijemaat-jemaat. Dikemudian hari (1851), zending mendirikan sekolah pendidikan
(SPG) yang termasyhur di Tanawangko, dibawah pimpinan zendeling Graafland. Guru
sekolah merangkap sebagai guru jemaat. Tetapi ternyata dibutuhkan pula tenaga
yang mengabdikan diri hanya kepada pelayanan di jemaat-jemaat saja. Ketika pada
tahun 1847 Adrianus Angkuw, guru di Sonder dan bekas murid Riedel, ditahbiskan
menjadi pelayan jemaat, ia diberi gelar “penolong” atau “zendeling-pembantu”.
Pada tahun 1879 sudah ada 30 “pembantu pribumi”.[48]
Sikap pemerintahan
terhadap perkembangan zending di Minahasa tidaklah tetap. Hal ini terutama
disebabkan jarak jauh antara Minahasa dan pusat, sehingga para zendeling
bergantung pada ragam pegawai-pegawai setempat. Namun, ada pula pegawai-pegawai
yang karena alasan pribadi atau alasan lain membenci zending. Mereka ini
menentangnya secara langsung dengan mengajak penduduk memelihara tari-tarian
serta upacara-upacara agama nenek-moyang. Atau kepada para kepala mereka diberi
isyarat bahwa zending tidak mendapat anugerah dari pemerintah, lalu kepala itu
dengan rela “menterjemahkan” isyarat itu menjadi gangguan bagi jemaat-jemaat
setempat, sampai-sampai ada orang Kristen yang dipukul karena telah pergi ke
gereja pada hari minggu pagi. Tetapi semua tindakan itu tidak dapat menghambat
gerakan massal kearah agama kristen. [49]
2.7.Misi Kekristenan di Minahasa
Dalam agama Kristen seperti yang dianut orang-orang
Minahasa dalam abad yang lalu, terdapat corak pietistis dibarangi oleh corak
agama suku. Agama suku belum hilang peranannya disamping agama yang baru. Corak
keagamaan orang-orang Kristen Minahasa dalam abad yang lalu dipengaruhi oleh
kekristenan pada utusan Injil dari Barat, tetapi tidak sama dengan corak yang
dibawa dari Barat itu. Tentu saja para zendeling sendiri tidak bisa langsung
melayani 100.000 orang lebih. Mereka membutuhkan tenaga pembantu
disekolah-sekolah dan di jemaat-jemaat. Sama seperti disemua lapang pI begitu
pula di Minahasa sekolah merupakan salah satu alat pekabaran Injil dan
pembinaan jemaat yang paling jitu dan yang paling banyak di pakai.
Sekolah-sekolah rakyat yang didirikan NZG adalah sangat sederhana, malahan
terlantar. Tetapi tarafnya cocok dengan taraf perkembangan masyarakat. [50]
Usaha pengkristenan didaerah Minahasa itu bukanlah
menjadi usaha gereja protestan, melainkan semata-mata usaha pekabaran Injil,
NZG lah yang mengusahakannya. Seperti halnya diberbagai daerah di Indonesia
Timur, terjadilah juga di Minahasa suatu kerja sama antara gereja dengan
Pekabaran Injil, tetapi dalam pada itu harus diakui bahwa para pekerja
Pekabaran Injil melakukan tugasnya dengan bebas dan tanpa syarat-syarat
gerejani. Dalam tempo 30 tahun kelihatanlah seluruh Minahasa sudah diduduki
oleh Pekabaran Injil, dan setelah 40 tahun hampir selesailah pengkristenannya.
Kebijakan para pekerja pekabaran Injil yang menduduki seluruh Minahasa dengan
menempatkan banyak tenaga sekaligus. Pengkristenan daerah Minahasa merupakan
suatu contoh dari pada pengkristenan massa. Metode yang digunakan para
pekabaran Injil tidaklah berlainan dari pada metode pekabaran Injil di
daerah-daerah yang lain dan yang tak mengalami kemajuan yang sama. Evengelisasi,
khotbah, katekisasi, perkunjungan rumah tangga itu lah pekerjaan yang sering
dilakukan dimanapun. [51]
III.
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat kami simpulkan bahwa
sebelum kekristenan masuk ke Minahasa masyarakat setempat sangat memegang teguh
kepercayaan mereka atau yang disebut sebagai agama suku. Dalam pendekatannya
kekristenan dikaitkan dengan dewa-dewi masyarakat Minahasa dalam memahami
penginjilan yang dilakukan oleh para zendeling. Para zendeling juga melakukan
pendekatan dengan memberikan ilmu pengetahuan dan juga ilmu pendidikan agama.
Di setiap masanya selalu ada pergumulan dan rintangan yang dihadapi dalam hal
kehidupan kekristenan dan gereja di Minahasa. dimana sikap pemerintahan terhadap perkembangan zending di
Minahasa tidaklah tetap. Hal ini terutama disebabkan jarak jauh antara Minahasa
dan pusat, sehingga para zendeling bergantung pada ragam pegawai-pegawai
setempat.
IV.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang Jan
S., Sejarah Perjumpaan Kristen Dan Islam
di Indonesia, Jakarta: Gunung Mulia, 2004.
Berkhof H.
dan Enklaar I. H.,Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Depdikbud, Sejarah Kebudayaan Sulawesi, Jakarta: cv. Dwi Jaya Karya, 1995.
End Th. Van Den & SJ J. Weitjens, , Sejarah
Gereja di Indonesia tahun 1860-an- Sekarang Ragi Carita 2, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2021.
End Van Den, Sejarah Gereja di
Indonesia Tahun 1500-1860an Ragi Carita 1.
Leongkong Beatrix B. B., The Cristian Evangelical Church In Minahasa Durung
The Japanese Occupation, Jakarta, 1987.
Kruger Th. Muller, Sejarah Gereja di
Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995.
Schie G. Van, Rangkuman Sejarah
Gereja Kristiani, Jakarta: OBOR, 1995.
Sulu Phill. M., Quo Vadis Tou Minahasa? (Goresan Peristiwa Melintas Masa)
Dari Keunggulan Sampai Kelengahan, Yogyakarta: Graha Cendikia, 2006.
Ukur F & Cooley F. L., Jerih dan Juang, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi-DGI, 1979
Wellem F. D., Riwayat Hidup Singkat
Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003
Sumber
Lain
T2_752017015_BAB
III.pdf (uksw.edu), diakses pada tanggal 08 Februari 2022, pukul 10:00 WIB.
GMIM dan
Kebudayaan Minahasa di Abad 21 | (wordpress.com), diakses pada tanggal 08 Februari 2022,
pukul 10:49 WIB.
https://text-id.123dok.com/document/dzx5jo2nq-sejarah-dan-perkembangan-gereja-bala-keselamatan.html/
diakses pada hari sabtu 12 febuari 2022 pukul 14:05
[1]Phill.
M. Sulu, Quo Vadis Tou Minahasa? (Goresan Peristiwa Melintas Masa) Dari
Keunggulan Sampai Kelengahan, (Yogyakarta: Graha Cendikia, 2006), hal 1
[2]Beatrix
B. B. Leongkong, The Cristian Evangelical Church In Minahasa Durung The
Japanese Occupation (Jakarta, 1987), hal 4
[3] Depdikbud, Sejarah Kebudayaan Sulawesi
(Jakarta: cv. Dwi Jaya Karya, 1995), 31.
[4] T2_752017015_BAB
III.pdf (uksw.edu), diakses pada tanggal 08 Februari 2022,
pukul 10:00 WIB.
[5] Van
Den End, Sejarah Gereja di Indonesia
Tahun 1500-1860an Ragi Carita 1,80.
[6]Th.
Muller Kruger, Sejarah Gereja di
Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 105.
[7]Th.
Van Den End, Sejarah Gereja di Indonesia
Tahun 1500-1860an Ragi Carita 1, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021),
175-176.
[8] H. Berkhof, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2017), 236.
[9] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen Dan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 77-78.
[10]Th.
Muller Kruger, Sejarah Gereja di
Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 106.
[11] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen Dan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 41.
[12]Th.
Van Den End, Sejarah Gereja di Indonesia
Tahun 1500-1860an Ragi Carita 1, 170.
[13] F.
D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat
Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, 111.
[14] Th.
Muller Kruger, Sejarah Gereja di
Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 106.
[15]H. Berkhof dan I. H.
Enklaar,Sejarah Gereja (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2012), 244.
[16] G.
Van Schie, Rangkuman Sejarah Gereja
Kristiani, (Jakarta: OBOR, 1995), 5.
[17] F. Ukur & F. L. Cooley, Jerih dan
Juang (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi-DGI, 1979), 472.
[18] Van
Den End, Sejarah Gereja di Indonesia
Tahun 1500-1860an Ragi Carita 1, 144-145.
[19]F. Ukur dan F. L.
Cooley, Jerih dan Juang, 475.
[20] Th. Van den End, Ragi Cerita 1, 179-181.
[21]Th. Van den End, Ragi Cerita 1, 179-181.
[22] M. Eryk Kamsori, Ilmu Pengetahuan
Sosial Sejarah, (Bogor:
Regini, 2006), 82.
[23] Th. Van Den End, Ragi Carita 2 (Jakarta: Gunung Mulia, 2016), 93.
[24] F. Ukur & F. L. Cooley, Jerih
dan Juang, 497-499.
[25] Th. Van Den End, Ragi Carita 2 (Jakarta: Gunung Mulia, 2016), 93.
[26] Th. Van Den End & J. Weitjens, SJ, Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1860-an-
Sekarang Ragi Carita 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021), 96-97.
[28]Th. Van den End &
J. Weitjens, RagiCarita 2, 98.
[29] Th. Van Den End dan J. weitjens, Ragi Carita 2,
99-100.
[30]F. Ukur dan F. L.
Cooley, Jerih dan Juang, 370-371.
[32] F. Ukur & F. L. Cooley, Jerih
dan Juang, 370-371.
[33] Th. Van den End &
J. Weitjens, RagiCarita 2, 98.
[34]Th. Van den End & J.
Weitjens, RagiCarita 2, 99.
[35] GMIM dan
Kebudayaan Minahasa di Abad 21 | (wordpress.com), diakses pada tanggal 08 Februari 2022, pukul 10:49 WIB.
[36] F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang,370.
[37] Th. Van den End &
J. Weitjens, RagiCarita 2, 95.
[38] Th.
Muller Kruger, Sejarah Gereja di
Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 115-116.
[39] Th. Van den End, Ragi Carita II, 95-98
[40]https://id.wikipedia.org/wiki/Kerapatan_Gereja_Protestan_Minahasa#Pertumbuhan_dan_Perkembangan_KGPM/
diakses pada hari sabtu 12 febuari 2022 pukul 10:07
[41] https://katanisme.blogspot.com/2018/08/awal-mula-gerakan-pantekosta-di-tanah.html/diakses
pada hari sabtu 12 febuari 2022 pukul 10:20
[42] https://text-id.123dok.com/document/dzx5jo2nq-sejarah-dan-perkembangan-gereja-bala-keselamatan.html/
diakses pada hari sabtu 12 febuari 2022 pukul 14:05
[43]
7http://id.wikipedia.org/wiki/Edisi khusus 90 tahun Advent di Indonesia Timur,/diakses
pada hari sabtu 12 febuari 2022pukul 13: 15
[44] Th. Van den End &
J. Weitjens, Ragi Cerita 2, 144-146.
[45]Th.
Van Den End, Sejarah Gereja di Indonesia
Tahun 1500-1860an Ragi Carita 1, 170-171.
[46]Th.
Van Den End, Sejarah Gereja di Indonesia
Tahun 1500-1860an Ragi Carita 1, 172-174.
[47]Th.
Van Den End, Sejarah Gereja di Indonesia
Tahun 1500-1860an Ragi Carita 1, 173-174.
[48]
Th. Van Den End, Sejarah Gereja di
Indonesia Tahun 1500-1860an Ragi Carita 1, 176-178.
[49]Th.
Van Den End, Sejarah Gereja di Indonesia
Tahun 1500-1860an Ragi Carita 1, 180
[50] Th. Van den End, Ragi Cerita 1, 179-180.
[51] Th.
Muller Kruger, Sejarah Gereja di
Indonesia, 107-108
Post a Comment