I.
Pembahasan
1.1.
Sekilas Tentang Teologi
Istilah
teologi berasal dari istilah Yunani, Theos, dan logos. Theos
berarti Allah atau Ilah, dan logos berarti perkataan (Firman). Jadi
makna teologi ialah wacana (ilmiah) mengenai Allah atau Ilah-ilah. Dalam Agama
Kristen, Teologi itu adalah mula-mula hanya membahas ajaran mengenai Allah,
kemudian artinya menjadi lebih luas, yaitu membahas keseluruhan ajaran dan
praktik Kristen.[1]
1.2.
Teologi Kontekstual
Dalam
pandangan Eka Darmaputera pada tahun 1988, mengatakan semua teologi pada
hakikatnya memang bersifat kontekstual. Namun, dalam kenyataannya ada banyak
pemahaman atas teologi kontekstual. Seperti menurut Bevans, secara etimologis,
teologi adalah pengetahuan tentang Allah, tetapi pada akhirnya Allah tidak
dapat dikenal melalui konsep-konsep dan gambaran-gambaran yang dibuat oleh
manusia, sebab Allah adalah misteri yang tidak terpahami dan tidak bisa
dilukiskan.
Istilah
kontekstual berkaitan dengan konteks dan teks. Menurut Sigurd Bergmann, istilah
konteks menunjuk pada apa yang mengelilingi dalam Bahasa latin con suatu
teks. Konteks berarti bagian-bagian dari sebuah kata yang mendahului dan
mengikuti teks, yang berguna untuk memahami teks tersebut. Makna linguistik
dari konteks ini dapat digunakan juga dalam bidang-bidang ilmu lainnya.
Sekarang ini konteks menunjukkan situasi sosial, budaya, dan ekologi dimana
didalamnya peristiwa terjadi.
Bevans
mendefinisikan Teologi Kontekstual sebagai usaha berteologi yang berusaha
memahami iman Kristen di dalam konteks khusus. Teologi kontekstual adalah
refleksi iman berdasarkan tiga sumber teologi (loci theologici): Kitab
Suci, tradisi dan pengalaman manusia masa kini (konteks). Jadi berteologi
kontekstual berarti berteologi dengan mempertimbangkan dua hal: pertama, pengalaman
iman di masa lampau yang tercatat dalam kitab-kitab suci dan terus
dipertahankan da dipelihara dalam tradisi. Kedua, pengalaman masa kini
atau konteks.[2]
1.2.1.
Sekilas
Tentang Sejarah Teologi Kontekstual
Kata
kontekstual berasal dari kata konteks. Sauter berpendapat bahwa istilah konteks
masih relative baru. Istilah ini muncul dalam kontroversi-kontroversi yang
terjadi pada akhir abad ke-16 dan parohan kedua abad ke-17. Pada awalnya
istilah ini berkembang di antara berbagai kecenderungan berteologi di Amerika
Serikat. Kemudian istilah ini semakin populer di antara para teolog. Awalnya,
konteks berarti koreksi atas suatu teks yang dinyatakan secara lisan atau
berbagai hubungan yang saling berkaitan secara sintaksis dalam suatu
teks. Untuk waktu yang lama, istilah konteks dibicarakan dalam kategori
linguistik dan hermeneutika yang menunjuk pada hubungan tanda-tanda (simbol,
makna konteks diperluas). Pada awalnya kata kontekstualisasi muncul dalam konteks
Pendidikan teologi dalam Theological Educasion Fund (TEF). Dimana
mendefinisikan kontekstualisasi sebagai kemampuan memberikan tanggapan yang
bermakna terhadap injil dalam kerangka situasinya sendiri. TEF juga menekankan
bahwa kontekstualisasi yang benar atau otentik adalah selalu bersifat kenabian,
yang timbul dari perjumpaan sejati antara firman Tuhan dan dunia-Nya, dan
bergerak untuk menantang dan mengubah situasi melalui keberakaran yang dalamdan
komitmen pada situasi historis yang sedang dihadapi. Lahirnya teologi ini pada
abad ke-20.[3]
1.3.
Revolusi Industri 5.0
1.3.1.
Latar
Belakang Revolusi Industri
Dalam
buku yang ditulis oleh Dr. Jon Riahman Sipayung yang berjudul “Tema-tema
Kontemporer” disampaikan bahwa Revolusi Industri merupakan periode industrialisasi
besar-besaran yang terjadi di tengah-tengah masyarakat global dunia ini.
Revolusi industri sudah terjadi pada akhir tahun 1700 hingga awal 1800, yang
dimulai dari Britinia Raya (Inggris) dan menyebar ke seluruh dunia. Ide yang
sangat mendasar lahirnya Revolusi industri yaitu adanya perubahan besar-besaran
terjadi dalam masyarakat.[4]
Sebelum
dunia masuk pada masa Revolusi Industri 5.0, tentu dunia sudah terlebih dahulu
mengalami masa Revolusi Indutri 1.0; 2.0; 3.0; 4.0, yang mana tentu dalam
setiap peralihannya memiliki cirinya masing-masing. Ciri yang paling mencolok
dapat dilihat dari Revolusi Indudtri 4.0 adalah bahwa menekankan adanya
efisiensi mesin dan peran manusia sudah berubah dan kegiatan mulai berubah
menjadi segalanya melalui internet. Dalam Revolusi Industri 4.0 ini yang jauh
makin dekat sebaliknya yang dekat semakin jauh. [5] inilah yang terjadi
sebelum akhirnya masyarakat mulai memasuki masa revolusi 5.0.
1.3.2.
Revolusi
Industri 5.0
Tentang
hal ini, dikutip dari sumber elektronik internet yang menjelaskan tentang
Revolusi Industri 5.0 di sampaikan demikian: Masyarakat 5.0 adalah suatu konsep masyarakat yang berpusat pada
manusia (human-centered) dan berbasis
teknologi (technology based) yang
dikembangkan oleh Jepang. Konsep ini lahir sebagai pengembangan dari revolusi
industri 4.0 yang dinilai berpotensi mendegradasi peran manusia.
Melalui
Masyarakat 5.0, kecerdasan buatan (artificial
intelligence) akan mentransformasi big data yang dikumpulkan
melalui internet pada segala bidang kehidupan (the
Internet of Things) menjadi suatu kearifan baru, yang akan
didedikasikan untuk meningkatkan kemampuan manusia membuka peluang-peluang bagi
kemanusiaan.
Di
Masyarakat 5.0, sejumlah besar informasi dari sensor di ruang fisik
terakumulasi di dunia maya. Di dunia maya, data besar ini dianalisis oleh
kecerdasan buatan atau artificial
intelligence (AI), dan hasil analisisnya diumpankan kembali ke manusia
dalam ruang fisik dalam berbagai bentuk.
Di
Masyarakat 4.0, praktik umum adalah mengumpulkan informasi melalui jaringan dan
menganalisisnya oleh manusia. Namun, dalam Masyarakat 5.0, orang, benda,
dan sistem semuanya terhubung di dunia maya dan hasil optimal yang diperoleh
oleh AI (artificial intelligence)
melebihi kemampuan manusia diberi feedback ke ruang fisik. Proses ini
membawa nilai baru bagi industri dan masyarakat dengan cara yang sebelumnya
tidak mungkin[6]
1.4.
Teologi Hadir di Tengah Revolusi Industri
Di
dalam buku yang berjudul “Meruntuhkan untuk membangun kembali” yang ditulis
oleh Pdt. Fajar Lim M.Th., dkk., disampaikan bahwa sekarang ini godaan materi
dan kuasa merupakan tantangan yang tidak kecil dalam hidup beriman. Tidak itu
saja, kondisi kehidupan beriman dewasa ini secara simultan (serentak)
menghadapi masyarakat yang memiliki kecencerungan pola mental pra-modern,
modern, dan post-modern.
·
Pra-modern:
orang masih percaya takdir sehingga tidak ada rencana dan usaha yang jelas
untuk mengubah kehidupan lebih maju.
·
Modern:
orang sangat mengangungkan kemampuan berpikir manusia (rasional) dengan
mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia memiliki kecenderungan
hidup mementingkan diri sendiri (individualisme), pencapaian tujuan erat
hubungannya dengan kekuasaan, juga bersifat hedonism (berbicara tentang
kepuasan hidup), memperalat orang lain yang dapat dibayar (premanisme). Juga
masyarakat yang haus akan kehormatan, kekayaan, kenikmatan, bahkan spiritual
mental tidak terpuaskan.
·
Post-Modern:
gagalnya akal, ilmu pengetahuan, teknologi, dan doktrin agama, maupun ideologi
dalam menimbulkan sikap yang semakin meragukan janji-janji, teori-teori,
rumusan-rumusan, dan kajian-kajian orang pintar atau yang dianggap pintar.
Secara sederhana mungkin dapat dikatakan bahwa di era ini manusia semakin sulit
percaya pada orang lain, dan memiliki sifat yang ingin memperbesar nama sendiri
dan membangung “kerajaannya” sendiri.[7]
Perubahan
yang terjadi dalam Revolusi ini tentu membawa kita pada perubahan, sebagai orang
percaya ditengah perubahan yang ada, tetap dituntut untuk tetap menjadi garam
dan terang di masyarakat. Sebagaimana kehadiran kristus itu yang hakekatnya
mengubah manusia kea rah yang lebih bermakna dan bermartabat. “Aku datang,
supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh.
10: 10). Perubahan yang dikerjakan Allah melalui Roh Kudus, mendorong manusia
untuk mengubah keadaannya, lingkungannya bahkan bangsanya kea rah yang lebih
baik dan sejahtera. [8]
Kemudian
sebagai orang percaya dalam perubahan-perubahan yang ada kita harus senantiasa
ingat bahwa kita dipanggil menjadi hamba Tuhan, Tuhan yang kita percaya adalah
Tuhan yang berkuasa atas seluruh kehidupan. Sebab Tuhan Yesus menjadi penguasa
di langit di bumi, dan dibawah bumi (Ef. 1:21-22; Flp. 2:9-11). Oleh karena itu
hamba Tuhan juga perlu menyadari bahwa ia melayani Tuhan penguasa segala
semester alam.[9]
Kesadaran inilah yang akan menjadi salah satu alasan mendorong orang percaya
untuk teguh dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang berkenan bagi Tuhan,
sampai masa kini.
1.4.1.
Menurut
Surat Paulus Pada Jemaat Roma
Dalam
menghadapi era Revolusi Industri, sebagai orang percaya maka harus memiliki
komitmen yang jelas tetap mengutamakan Yesus dan kehendak-Nya diatas setiap
relasi lainnya. Dalam menghadapi perkembangan jaman orang percaya tidak boleh
pasrah dan mengikuti arus perkembangan begitu saja, tetapi harus mampu melawan
arus yang perkembangan yang tidak sesuai dengan kehendak Yesus Kristus. Tetapi kita harus tetap
bertransformasi, sehingga kita tetap mampu membedakan manakah kehendak Allah:
apa yang baik…(Roma 12:2). Sebagai orang percaya ditegah perkembangan harus
tetap hidup kudus. Kudus berarti terpisah dari sikap yang tidak berkenan bagi
Allah, dan terikat pada kehendak Allah. Bahkan lebih tegasnya sebagai pribadi
yang telah dipanggil Tuhan menjadi saksi-Nya di dunia ini, haruslah berubah,
harus tampil beda dari gaya hidup duniawi. (Rom. 12: 2).[10]
1.4.2.
Menurut
Kitab Yakobus
Dalam
menghadapi masa Revolusi Industri, selain menjadi garam dan terang dunia, orang
percaya juga terpanggil untuk hidup dan menghidupi doa. Lewat doa orang percaya
akan membawa perubahan, baik bagi diri kita orang lain dan juga bangsa kita.
Sekalipun ada juga kritik yang mengatakan bahwa doa hanya buang-buang waktu
saja, tetapi bagi orang yang telah diubahkan Tuhan, doa orang benar, bila
dengan yakin di doakan, sangat besar kuasanya (Yak. 5: 16). Dengan kuasa doa
dapat mempengaruhi apa yang sedang terjadi di sekitar kita demi kebaikan.[11]
1.5.
Teologi Kontekstual Dalam Masyarakat 5.0: “Teologi Pengharapan”
Sejalan
dengan apa yang telah dipahami sebelumnya tentang Revolusi Industri, yang mana
semua mengubah tatanan masyarakat secara permanen, dan bahkan juga lebih
mendalam seperti yang disampaikan Vitalik Butrin yang dikutip Astrid Savitri,
menyebut: “Revolusi Industri memungkinkan kita, untuk pertama kalinya, untuk
mulai menggantikan kerja manusia dengan mesin.” Tentu hal ini menimbulkan
pergumulan-pergumulan bagi masyarakat. Pernyataan ini di kutip oleh Dr. Jon
Riahman Sipayung dalam bukunya “Tema-tema Kontemporer”. [12]
Maka,
dalam rangka menghadirkan suatu teologi menghadapi masyarakat 5.0 ini, kami
(para penulis) memilih untuk menampilkan teologi pengharapan. Tentu ada banyak
teologi yang dapat diangkat apabila berbicara tentang Revolusi Industri 5.0
tetapi melihat banyaknya pergumulan hidup yang dialami masyarakat karena
perkembangan yang ada ditambah lagi dampak dari kemajuan itu juga temasuk
mengakibatkan pandemi yang sedang hangat dibicarakan yaitu Covid 19, maka kami
rasa teologi pengharapan begitu relevan untuk diangkat sebagai teologi
kontekstual dalam masyarakat 5.0.
1.5.1.
Teologi
Pengharapan
Teologi
harapan merupakan karya besar yang diterbitkan tahun 1964. Teologi harapan
merupakan karya seorang teolog Jerman yang bernama Jurgen Moltman. Moltman
melihat bahwa iman Kristen dilihat sebagai sesuatu yang berada di masa depan.
Teologi
Penghapan merupakan teologi kebangkitan Yesus Kristus. Ini berhubungan dengan
eskatologi. Eskatologi merupakan penyataan penuh kerajaan Allah yang merupakan
misi gereja dalam penantian.[13] Teologi pengharapan
mengangkat pertanyaan tentang bentuk konkret yang diambil oleh suatu
pengharapan eskatologis yang hidup dalam masyarakat modern. Pusat kristologi
dan dasar teologi pengharapan Moltmann adalah pemahamannya tentang kebangkitan
Yesus yang disalib, sebagai suatu peristiwa janji eskatologis. Apa yang terjadi
pada Yesus yang tersalib di mana Ia diserahkan oleh Allah sebagai diriNya
sendiri.
Penyerahan Allah menandakan keadaan sosial
yang menyangkut ketritunggalan. Dalam hal ini doktrin ketritunggalan merupakan
kebebasan manusia dari belenggu maut yang mengancam. Hal ini jugalah yang
menjadi dasar pembebasan bagi masyarakat yang modern saat ini, Allah mampu
memberikan kebebasan untuk setiap pergumulan yang terjadi dalam masyarakat.
Maka hal yang benar apabila manusia terus berpengharapan pada Allah. Pembebasan
yang diberikan Allah menjadi jaminan bagi manusia. Teologi harapan dapat dibagi
dua, yakni harapan dan janji. Harapan dan janji merupakan pergerakan menanti
masa depan dengan bertumpu pada kebangkitan Kristus.[14]
Roma 4 dan Ibrani 11: 8-19 memberi contoh tentang
Abraham, bapa orang-orang percaya. Hidupnya mencerminkan apa yang dialami
seseorang ketika ia mengikut Allah sumber pengharapaan. Kehidupan Abraham
memperlihatkan bahwa bila kita percaya, ada hal-hal yang harus kita tinggalkan.
Bagi dia, sejarah berarti keluar dan kehidupan yang dia kenal menuju sesuatu
yang baru. Sama seperti Abraham maka dimasa yang serba modern ini dalam setiap
hal masyarakat juga harus senantiasa berpenghapan. Kehidupan orang percaya juga
melibatkan janji eskatologis tentang masa depan baru yang muncul dari
kreativitas Allah. Kita percaya bahwa janji tersebut akan digenapi, namun
sebelumnya kita tidak dapat menentukan bentuk penggenapan ini, karena Allah
mampu menggenapi janji-Nya dengan cara yang tak terduga oleh manusia. Secara
sederhana, pengharapan manusia adalah Allah sendiri. [15]
Manusia harus senantiasa berpegang teguh
pada pengharapan yang dari pada Allah. Mengapa? Dikutip dari buku “Layanilah
Tuhan dengan Semangat Menyala-nyala” disampaikan bahwa: Karena dalam Kristus,
bahkan apabila kita mati sekalipun namun dalam terang kebangkitan Kristus
menjamin kebangkitan setiap orang percaya. Hal ini disampaikan tegas oleh
Paulus yang mengatakan bahwa tanpa kebangkitan Kristus “sia-sialah pemberitaan
kami” (1 Kor 15: 14). Bahkan orang percaya diajak untuk percaya bahwa ada
kehidupan setelah kematian, dan hal inilah yang membuat orang percaya semakin
mamaknai hidupnya dengan baik karena ada telah didasarkan pada janji Allah.
Maka komitmen kita adalah “… jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan dan jika
mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup maupun mati, kita adalah milik
Tuhan.” (Roma 14:8). Komitmen ini mendorong kita memiliki semangat
mengaktualisasikan seruan Paulus (Rom. 12: 11; bnd. 1 Kor. 15: 58) demikan
dikatakan: “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala
dan layanilah Tuhan”.[16]
II.
Kesimpulan
Berteologi
kontekstual berarti berteologi dengan mempertimbangkan dua hal: pertama, pengalaman
iman di masa lampau yang tercatat dalam kitab-kitab suci dan terus
dipertahankan dan dipelihara dalam tradisi. Kedua, pengalaman masa kini
atau konteks. Pada masa yang sudah serba maju ini banyak sekali perubahan yang
terjadi dalam masyarakat baik yang positif maupun negatif, tak jarang juga
perubahan itu justru menimbulkan pergumulan hidup bagi masyarakat. Dalam hal
inilah teologi harus mampu terus hadir sesuai dengan konteks yang terjadi.
Berteologi
dalam konteks masyarakat 5.0 ini khususnya apabila kita menyoroti dari teologi
Perjanjian Baru, maka kita dapat melihat bahwa ditengah kemajuan dan perubahan,
orang percaya tetap diarahkan untuk menjadi garam dan terang dunia. Sama
seperti kehadiran Yesus yang membawa dampak baik demikianlah juga harusnya
kehadiran orang percaya membawa dampak baik ditengah perubahan-perubahan yang
ada dalam masyarakat (Mat. 5: 13-16; Yoh. 10:10), orang percaya harus
senantiasa menjaga kekudusan dirinya walaupun hidup ditengah masyarakat yang
memiliki sikap egois, hedonisme, premanisme dan lainya (Rom. 12:2). Orang percaya
juga harus senantiasa tekun dalam doa agar dimampukan membawa hal-hal yang baik
walaupun ditengah perubahan-perubahan (Yak. 5:16). Orang percaya memiliki
jaminan dalam menjalani hidupnya, itulah mengapa orang percaya harus tetap
berpengharapan pada Tuhan apapun yang terjadi terkhusus dalam konteks
masyarakat 5.0, kebangkitan Yesus Kristus mengalahkan maut menjadi jaminan bagi
orang percaya bahwa Allah mampu melepaskan dan memberi sukacita yang akan
datang bagi orang-orang yang berpengharapan dan mengandalkan-Nya. Maka, orang
percaya bukan menjadi anti dengan perubahan yang ada tapi harus tetap mampu
taat kepada Tuhan walaupun ditengah perubahan dan perkembangan zaman.
III.
Daftar
Pustaka
Aritonang Jan S., Teologi-teologi
Kontemporer, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018
F Drewes B. dan Mojau,
Julianus, Apa Itu Teologi, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2007
Hesselgrave David
J. dan Edward Rommen, Kontekstualisasi, Makna, Metode dan
Model,Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2010
Lim Fajar, Dkk., Meruntuhkan Untuk Membangun Kembali, Yogyakarta:
Kanisius,
2009
Moltmann Jurgen, Theology of Hope, Munich: SCM Press Ltd
Sipayung Jon Riahman,
dkk., Layanilah Tuhan Dengan Semangat
Menyala-nyala (Roma 12:
11) Buku Kenangan dan Syukuran ke-56
Tahun Pdt. Dr. Jon Riahman Sipayung,
Medan:
CV. Sinarta, 2021
Sipayung Jon Riahman, Tema-tema Kontemporer, Medan: CV.
Sinarta, 2020
IV.
Sumber
Lain
Super Administrator, MengenalSociety 5.0 Masyarakat 5.0, Terdapat
Dalam:
https://disperin.semarangkota.go.id/news/mengenal-society-5-0-masyarakat-5-0,
Diakses pada tanggal 31 Januari 2022, Pada Pukul 20.08 WIB
Teologi Pengharapan,
terdapat dalam:
file:///C:/Users/ACER/Downloads/Teol.Pengharapan.pdf
[1] Drewes B. F dan Mojau, Julianus, Apa
Itu Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 16-17
[2] Jan S. Aritonang, Teologi-teologi
Kontemporer, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 245-247.
[3]Jan S. Aritonang, Teologi-teologi
Kontemporer, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 248-253.
[4] Jon Riahman Sipayung, Tema-tema Kontemporer, (Medan: CV.
Sinarta, 2020), 81
[5]
Jon Riahman Sipayung, Tema-tema
Kontemporer, (Medan: CV. Sinarta, 2020), 83-84
[6] Super Administrator, MengenalSociety 5.0 Masyarakat 5.0, Terdapat
Dalam:
https://disperin.semarangkota.go.id/news/mengenal-society-5-0-masyarakat-5-0,
Diakses pada tanggal 31 Januari 2022, Pada Pukul 20.08 WIB
[7] Fajar Lim, Dkk., Meruntuhkan Untuk Membangun Kembali, (Yogyakarta:
Kanisius, 2009), 442-444
[8]
Jon Riahman Sipayung, Tema-tema
Kontemporer, (Medan: CV. Sinarta, 2020), 89
[9] Fajar
Lim, Dkk., Meruntuhkan Untuk Membangun
Kembali, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 447
[10] Jon Riahman Sipayung, Tema-tema Kontemporer, (Medan: CV.
Sinarta, 2020), 88
[11]
Jon Riahman Sipayung, Tema-tema
Kontemporer, (Medan: CV. Sinarta, 2020), 90
[12] Jon Riahman Sipayung, Tema-tema Kontemporer, (Medan: CV.
Sinarta, 2020), 81
[13] Teologi Pengharapan, terdapat
dalam: file:///C:/Users/ACER/Downloads/Teol.Pengharapan.pdf, diaksese pada
tanggal 31 Januari 2022, pukul 20:58 WIB
[14] Jurgen Moltmann, Theology of Hope, (Munich: SCM Press Ltd), 5
[15] David J.
Hesselgrave dan Edward Rommen, Kontekstualisasi,
Makna, Metode dan Model (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2010),
66
[16] Jon Riahman Sipayung, dkk., Layanilah Tuhan Dengan Semangat
Menyala-nyala (Roma 12: 11) Buku Kenangan dan Syukuran ke-56 Tahun Pdt. Dr. Jon
Riahman Sipayung, (Medan: CV. Sinarta, 2021) 76-78
Post a Comment