II.
Pembahasan
2.1.Letak
Geografis Kalimantan
Pulau
Kalimantan terletak di sebelah utara pulau Jawa, sebelah timur Selat Malaka, sebelah barat
pulau Sulawesi dan sebelah selatan Filipina. Luas pulau Kalimantan adalah 743.330
km². Pulau Kalimantan dikelilingi oleh Laut Cina
Selatan di bagian barat dan utara-barat, Laut Sulu di
utara-timur, Laut Sulawesi dan Selat Makassar di timur
serta Laut Jawa dan Selat Karimata di bagian
selatan. Sungai-sungai terpanjang di Kalimantan adalah Sungai Kapuas (1143 km)
di Kalimantan
Barat, Indonesia, Sungai Barito (880
km) di Kalimantan
Tengah, Indonesia, Sungai
Mahakam (980 km) di Kalimantan Timur,
Indonesia, Sungai Rajang (562,5
km) di Serawak, Malaysia.[1]
2.2. Latar Belakang Masuknya Kristen ke Kalimantan
Pekabaran injil di Kalimantan untuk pertama
kalinya baru diusahakan dalam abad ke-19. Sebelum itu pada abad ke-17 misi
Katolik Roma mencoba memasuki daerah Kalimantan Selatan yakni pada waktu
Portugis berusaha memperoleh pangkalan-pangkalan bagi perdagangannya di daerah
itu. Tetapi usaha itu gagal, tambahan pula seorang padri yang bernama
Ventimiglia akhirnya dibunuh (1691), sesudah itu sejumlah penduduk kampung
Dayak yang telah dikristenkannya murtad.[2] Pada
tahun 1706/1707 seorang misionaris Terekat Teatin tiba di Banjarmasin, dan
bermaksud berkunjung ke pedalaman untuk bertemu dengan umat rekannya,
Ventimiglia, tetapi beliau di bunuh di tengah jalan. Pada tahun 1712 benteng
kompeni Inggris di Banjarmasin, yang pada awal abad ke-18 direbut dari orang
Portugis, diserbu dan dimusnahkan oleh penduduk setempat. Pada tahun 1723 tiga
misionaris diutus ke Banjarmasin untuk mencari kesempatan pergi ke pedalaman.
Akan tetapi sultan melarang mereka masuk ke pedalaman, bahkan mengancam
penduduk yang berani mengantar misionaris itu dengan hukuman mati.[3]
Pada tahun 1829 pendeta Medhurts yang bekerja di
kalangan orang-orang Tionghoa di Batavia, mengunjungi Kalimantan Barat dan
Selatan dan ia mengirim laporan tentang keadaan disana ke Eropa.[4] Pada
tahun 1830, tersiarlah berita – berita mengenai pulau Kalimantan di
Jerman, dengan cerita mengenai ratusan ribu suku Dayak yang masih jauh
tertinggal dalam peradaban dan yang tak pernah mendengar tentang terang Injil
itu. Empat tahun kemudian dalam sidang umum RMG pada tanggal 4 juni 1834,
diputuskanlah untuk menjadikan pulau Kalimantan sebagai suatu daerah
Pekabaran Injil yang baru. Sehingga pada tanggal 15 juli 1834,
ditahbiskanlah dua orang penginjil dan kemudian diutus ke pulau Kalimantan
untuk pertama kalinya yaitu Barstein dan Heyer. Pada tahun itu juga tanggal
13 Desember 1834 tibalah mereka berdua di ibukota Jakarta. Namun setibanya
mereka disana mereka terpaksa harus tertahan agak lama karena menunggu ijin
dari pemerintah kolonial ketika itu. Pada bulan april 1835 penginjil Heyer
terpaksa kembali ke tanah airnya karena kesehatan tubuhnya tak mengijinkan dan
tidak sesuai dengan iklim tropis di Indonesia. Setelah kurang lebih 6 bulan
menanti, berunding dan berkonsultasi dengan pemerintah kolonial, akhirnya
Barstein diijinkan juga melanjutkan perjalanannya menuju Kalimantan.[5] Ia
mengadakan perjalanan yang jauh di sepanjang pantai pulau itu, dan akhirnya
memilih Banjarmasin sebagai pangkalan untuk PI. Barstein sendiri menetap di
kota itu melayani orang-orang Kristen setempat, yakni orang-orang Eropa dan
orang-orang Indonesia dari daerah lain. Disamping itu dia bekerja
ditengah-tengah orang bukan Kristen di Banjarmasin, yaitu orang-orang Tionghoa,
Dayak dan Melayu hasilnya sedikit sekali. Sebagaimana biasa, orang-orang
menolak terhadap pemberitaan Firman. Pernah Barstein dilarang menggunakan ruang
kebaktian di gedung-gedung pemerintah karena berani mengecam kehidupan para
pegawai yang kurang senonoh.[6] Dari
Banjarmasin ini diadakanlah perkunjungan dan perjalanan ke pedalaman, sepanjang
Sei Barito, Kahayan, Kapuas. Demikian pula kunjungan-kunjungan ke daerah lain
seperti Sei Katiangan, Antaya, dan daerah Kotawaringin. Dalam perjalanannya
ini, disebuah kampung bernama Gohong (Kahayan) Barstein angkat saudara dengan
darah (Hangkat hampahari hatunding daha dalam bahasa Dayak) dengan kepala
suku disitu. Sejak itulah Barstein dianggap sebagai saudara orang Dayak karena
ia telah bertukar darah dengan kepala suku mereka.[7]
Administrasi kolonial tidak merasa senang dengan
misionaris asing, tetapi pada tahun 1836 mereka memberikan izin untuk memulai
pekerjaan para misionaris di Banjarmasin. Antara tahun 1834 – 1859 RMG mengutus
20 misionaris ke Kalimantan. Tetapi, banyak diantara mereka yang meninggal
dunia atau harus meninggalkan pekerjaan karena alasan kesehatan, sampai awal
pemberontakan Hidayat tidak pernah lebih dari 7 misionaris yang bekerja di
Kalimantan. Di samping itu pada tahun 1839, American Board Of
Commissioners For Foreign Missions (Pekabaran Injil Methodis), memulai usaha PI
di Pontianak dan sekitarnya. Tetapi berhubung dengan kesulitan bahasa dan
lain-lain maka usaha itu dihentikan pada tahun 1850. Usaha yang mula-mula yang
dilakukan oleh RMG untuk mendekati suku Dayak terjadilah di daerah hilir sungai
Murong, Kapuas, Kahayan, dan Barito. Di tepi sungai Murong didirikan suatu
stasi yaitu Bethabara, yang merupakan usaha terakhir dari pada pekabaran injil
yang pertama di India ialah Danish Halische Mission. Usaha tersebut kemudian
diambil alih oleh RMG pada tahun 1845. Di dekatnya itu, yakni di Palingkau pada
tahun 1840 didirikanlah stasi yang kedua. Juga di hilir sungai Kahayan para
Pekabar Injil mencoba mendirikan stasi-stasi. Untuk sementara waktu Gohong
menjadi pusat Pekabaran Injil (1841-1845). Sejak tahun 1851 maka daerah-daerah
di tepi sungai Barito juga mendapat perhatian Pekabaran Injil. Mereka juga
mencoba beberapa cara lain untuk menarik perhatian penduduk Dayak itu. Salah
satu jalan yang ditempuh ialah menebus budak-budak orang-orang kaya. Memang
kira-kira 1100 orang Dayak dapat ditebus dan dikumpulkan dalam kampung-kampung
yang baru di sekitar stasi (kampung-kampung Pandeling).[8]
Para zendeling menetap di sebuah kampung dan
mereka langsung mendirikan sebuah sekolah dan mulai mengadakan
kebaktian-kebaktian. Dalam segala kegiatan mereka, mereka menggunakan bahasa
Dayak. Hubungan dengan anggota-anggota masyarakat kampung dipupuk juga dengan
jalan kunjungan kerumah, dengan pengobatan dan dengan usaha untuk meningkatkan
tarap ekonomis mereka. Secara khusus mereka berusaha untuk memasukkan cara-cara
bercocok tanam yang baru. Mereka diharuskan pula mengirimkan anak-anak mereka
ke sekolah zending. Pemerintah bahkan melarang diadakannya upacara-upacara
agama suku pada hari minggu, supaya kebaktian Kristen tidak terganggu. Memang
sejumlah orang Dayak, termasuk beberapa orang kepala, berhasil dibaptis setelah
waktu yang relatif singkat. Baptisan pertama berlangsung di Palingkau pada
tanggal 10 April 1839 oleh Hupperts, yang kedua di bulan Oktober 1842, tetapi
setelah peristiwa kedua ini, masyarakat Dayak menyatakan perang kepada
orang-orang Kristen dan mereka ini murtad lagi kecuali satu orang saja, yaitu
kepala Ambo (Nikodemus yang sangat disegani orang). Di kalangan suku Maanyan
orang pertama yang dibaptis dibunuh dengan racun (1852), dan orang malah
mencoba meracuni zendeling dan isterinya. Rakyat tidak mengakui lagi kepala
mereka kalau ia masuk Kristen malah sebaliknya mereka memilih seorang kapala
baru.[9]
2.3.Kekristenan
di Kalimantan pada masa Nasionalisme
2.3.1. Pertumbuhan
Pada tahun
1930-an, kemandirian orang-orang Kristen Dayak selaku gereja mulai diwujudkan.
Tentu selama bekerja di Kalimantan zending sudah memakai tenaga pembantu
bumiputera. Salah seorang yang patut disebut dalam hubungan ini ialah kepala
suku F. Dingang di Mengkatip, yang membawa sejumlah besar anak buahnya untuk
dibaptis bersama dia dan yang merupakan tokoh utama dalam perkembangan gereja
selanjutnya. Agar memperoleh tenaga pemimpin yang terdidik,
Pada tahun 1832 lembaga
pendidikan guru di Banjarmasin ditingkatkan menjadi sekolah Teologi. Pada
tanggal 4 April 1935 diresmikanlah Gereja Dayak Evangelis yang berdiri sendiri,
dan pada hari berikutnya ditahbiskan kelima orang pendeta Dayak yang pertama,
diantaranya H. Dingang, seorang anak kepala suku F. Dingang.[10]
2.3.3. Pergumulan
Bukan hanya perang Hidayat yang menyebabkan banyaknya
pertumpahan darah. Tetapi efek perang dunia 1
mengakibatkan tanda darah di benua Eropa pada tahun 1914. Adapun perang
dunia 1 berlangsung sampai tahun 1918, demikian pula pekerjaan
gerejawi di Kalimantan secara langsung merasakan pula pukulan-pukulan perang ini.
Pengerja-pengerja Zending Barmen pada saat itu harus
hidup apa adanya, tanpa ada menerima apa-apa dari Eropa.[11]
2.4.Kekritenan
di Kalimantan pada masa Jepang
2.4.1. Pertumbuhan
Pada bulan Januari 1944, Borneo Minseibu (Kantor
pusat pemerintahan), yakni kepala pemerintah Jepang di Banjarmasin secara resmi
mengakui berdirinya atau adanya Gereja Dayak di Kalimantan. Sejak itu nama
gereja diubah ke dalam Bahasa Jepang yaitu Minami Borneo Dayak Kristo
Kyo Kyokai (Gereja Dayak Kristen Borneo Selatan) dalam hal ini juga
cara peribadatan diubah demikian pula bentuk-bentuk khotbah, dengan alasan
bahwa semuanya itu berbentuk dan berbau Eropa. Sebelumnya pada akhir tahun
1943, tanggal 15 desember, tibalah di Banjarmasin Pdt Prof. H. Shirato, yang
kemudian juga berkunjung ke kuala Kapuas, yang menyatakan bahwa pada gereja di
kalimatan ini akan akan di berikan beberapa pengerja, yakni Pendeta-pendeta
jepang selaku penasihat-penasihat gereja. Maka pada tahun 1944 tibalah
berturut-turut dibanjarmasin, Pdt. S. Honda, Pdt. K. Kaneda, dan Pdt
Suzuki. Walapun ketiga pendeta jepang ini datanglah selaku pegawai
pemerintah mereka, dan dalam beberapa hal mereka tentunya memihak dan
menunjukan loyalitas mereka terhadap bangsanya, namum tak dapat di sangkal
bahwa mereka ini adalah gembala-gembala suruhan Allah yang satu juga.[12]
2.4.2. Pergumulan
Pada tanggal 11 Februari 1942 tentara
matahari terbit (Jepang) menguasai dan menduduki Banjarmasin. Saat itu GDE
terputus hubungannya dengan para pekerja zending. Para pekerja zending
yang tetap setia melayani GDE, kini tak di ijinkan lagi melanjudkan
pekerjaannya.[13] Sebelum missionaries
yang berasal dari negara netral seperti swiss, dan negara sekutu seperti jerman
sempat di ijinkan bekerja, tetapi kemudian mereka semuanya dipulangkan ke negrinya.
Banyak juga diantara mereka yang dibunuh oleh pihak jepang dengan tuduhan
bersekutu dengan belanda. Gereja-gereja yang diasa oleh zending inin pun
mengalami pukulan yang berat. Pada waktu itu gereja-gereja harus berdiri
sendiri baik dari segi tenaga maupun keuangan. Di satu puhak keadaan ini sangat
menyedihkan namun di pihak lain pristiwa ini membantu gereja untuk bertumbuh
secara dewasa. Selain itu jepang juga
melakukan penyitaan terhadap harta milik gereja dan dijadikan milik kerajaan,
seperti gedung-gedung sekolah, rumah sakit, dan bahkan gereja di banjar masin
digunakan sebagai markas besar tentara.[14] Pada
tahun 1942 tenaga bangsa Swiss pun dilarang oleh penguasa jepang untuk
melanjutkan pekerjaannya. Oleh Jepang seorang anggota Majelis Sinode dari
kalangan suku Dayak diangkat menjadi ketua.
2.5.Kekristenan
di Kalimantan pada masa Reformasi
2.5.1. Pertumbuhan
Sejak abad ke 19 secara perlahan secara
perlahan-lahan suku Dayak (selain etnis Tionghoa), masuk Kristen: sebagian
besar tetap dengan agama sukunya (yang secara umum disebut Kaharingan),
sedangkan yang belakangan masuk Islam sering disebut dengan nada agak
merendahkan sebagai orang Bakumpai. Sejak akhir abad ke-19 datang juga suku
Madura yang ada pada umumnya Islam; mereka pada mulanya bekerja di pertambangan
dan perkebunan, tetapi kemudian berkembang menjadi pedagang dan pengusaha yang
memiliki lahan. Di antara orang Dayak, yang paling banyak terlibat dalam
konflik adalah penganut agama Kaharingan, kendati di sana-sini mereka yang
sudak Kristen juga terlibat.[15]
2.5.2. Pergumulan
Pada masa Reformasi ini terjadi kerusuhan di
daerah Sanggauledo, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, pada waktu itu terjadi
perang antara suku Dayak dan Madura. Masyarakat Dayak menilai bahwa warga
Madura sebagai pendatang tidak menghormati dan menyesuaikan diri dengan adat
istiadat Dayak: sebaliknya berusaha menguasai lahan, harta, maupun bidang
kehidupan lainnya, termasuk tempat-tempat dan benda-benda yang dianggap sakral,
dengan cara-cara yang dinilai kurang santun. Lalu pertikaian ini berlanjut dan
meluas ke Kalimantan Tengah dan mencapai puncaknya di Sampit pada tahun 2001,
antara suku Dayak dan Melayu Versus Madura. Perang antar etnis ini tak jarang
diramaikan oleh teriakan-teriakan berisi ungkapan keagamaan, sehingga dapat
menimbulkan kesan bahwa itu adalah juga pertikaian antar agama. Pada peristiwa
ini warga Madura sempat diperkuat oleh pasukan yang datang dengan semangat dan
tujuan “jihad” yang dikirim dari pulau Madura secara bergelombang. Kalaupun ada
pertikaian di antara yang berbeda agama, penyebabnya bukanlah hal-hal yang
bersifat keagamaan, melainkan permasalahan dan perasaan diperlakukan tidak
adil, di berbagai bidang kehidupan: sosial, budaya, politik, ekonomi. Para
pejabat pemerintah maupun tokoh adat dari kedua belah pihak berulang kali
menegaskan bahwa yang terjadi adalah pertikaian etnis, tetapi selalu ada saja
yang memanas-manaskan situasi dengan mengatakan bahwa itu adalah perang antara
penganut agama Islam dan Kristen.
2.6.Tokoh
kekristenan di Kalimantan
Barnstein
Sesudah
berlayar kurang lebih 44 hari dengan menumpang sebuah kapal layar, maka pada
tanggal 26 Juni 1835, tibalah Barnstein di Banjarmasin di bumi Kalimantan.
Dengan kedatangannya mula-mula ini, maka seluruh perhatiannya ditunjukkan bagi
usaha mempelajari dan menyelidiki segala kemungkinan, serta mengadakan
perjalanan-perjalanan observasi dan orientasi untuk pekerjaan pekabaran Injil
di pulau ini. Beliau mengunjungi beberapa tempat di daerah-daerah pedalaman
Kalimantan, seperti sungai Kahayan, sungai Kapuas dan Barito. Daerah Kalimantan
Barat juga dikunjungi oleh Barnstein, terutama melihat keadaan suku Dayak
sepanjang Sungai Kapuas Bohang. Dalam perjalanannya ini, di sebuah kampung
bernama Gohong (Kahayan) Barnstein “angkat saudara darah” (hangkat hampahari hatunding
daha) dengan kepala suku di situ. Sejak itulah Barnstein dianggap sebagai
saudara orang Dayak karena ia telah bertukar darah dengan kepala suku mereka.
Dari
keseluruhan perjalanan orientasi dan observasi ini, Barnstein mengambil
kesimpulan bahwa daerah Dayak di bagian Kalimantan Selatan dan tengah
menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar dan terbuka bagi permulaan
perkabaran injil. Setahun kemudian, tanggal 3 Desember 1836 tibalah tiga orang
penginjil lagi yakni Becker, Hupperts, dan Krusmann yang kemudian langsung di
tempatkan di daerah pedalaman. Selama Barnstein di Banjarmasin, telah banyak
penginjil yang datang dan pergi, semuanya diatur dan diselenggarakan olehnya.
Demikianlah beliau bertindak dalam pengertian kedudukan praeses yang kemudian.
Kedatangan Barnstein dan seluruh perilaku hidupnya telah membawa berkat yang
besar bagi penyebaran Injil di Kalimantan ini, dan bagi orang-orang yang selama
ini duduk di dalam kegelapan, Barnstein merupakan utusan Kristus sendiri untuk
membawa terang yang sejati itu, “yang menerangi tiap-tiap orang”.[16]
2.9. Gereja-Gereja di Kalimantan
2.9.1
GDE (Gereja Dayak Evangelis)
Keputusan
Sinode di Mandomai (1930) untuk menyatukan seluruh jemaat Kristen di Kalimantan
dalam satu ikatan Gereja Dayak, bukanlah suatu keputusan menurut manusia dan
kehendak yang sia-sia, melainkan suatu keputusan yang dipimpin dan diilhamkan
oleh Roh Kudus sendiri. Keinginan dan hasrat suci ini bukanlah diletakkan dari
luar atau disebabkan oleh desakan faktor-faktor pertimbangan kemanusiaan,
melainkan lahir dari kerinduan orang Dayak untuk mengambil tanggung jawab
sepenuhnya dalam penyebaran Berita Keselamatan untuk suku bangsa dan
masyarakatnya di Kalimantan. Namun, tak dapat disangkal begitu saja, bahwa
dalam perwujudan hasrat kerinduan ini banyak pula kesulitan dan kesukaran yang
dihadapi. Terutama disebabkan oleh adanya beberapa unsur yang masih menghalangi,
antar lain:
1.
Belum adanya orang-orang suku Dayak yang
telah menjadi pendeta walaupun jumlah guru dan pemberita-pemberita Injil sudah
agak lumayan. Keadaan demikian menyebabkan dimulainya pendidikan teologi pada
tahun 1932 selama kira-kira tiga tahun, yang diikuti oleh lima orang kandidat,
yang terdiri dari tenaga-tenaga pilihan, lulusan Seminari Banjarmasin dan yang
telah bekerja. Sekolah teologi ini berada di bawah pimpinan Epple. Kelima
kandidat ini berhasil menyelesaikan pendidikan mereka dan mereka merupakan
pendeta-pendeta nasional pertama untuk daerah Kalimantan.
2.
Jemaat-jemaat yang ada dan timbul selama
ini boleh dikatakan belum cukup dewasa, baik secara rohani maupun secara
organisatoris. Hampir semua jemaat masih sangat bergantung pada pengerja-pengerja
zending.
3.
Rasa tanggung jawab terutama di bidang
keuangan masih sangat tipis sekali. Pada umumnya, hingga saat itu jemaat-jemaat
belum menyadari arti “kurban”, walaupun memang sudah ada jemaat-jemaat yang
mulai menunjukkan tanda-tanda yang memberikan harapan besar.
Pada
sisi lain, di pihak Zending Basel pun timbul keragu-raguan dan kebimbangan
mengenai jemaat Dayak yang ada pada saat itu. Namun, justru di sinilah
kelihatan rahasia kuasa Allah yang seringkali tidak tampak oleh
manusia. Bahwa asas Allah itu berdiri tetap dan bahwa Allahlah yang mengenal
orang-orangNya. Dengan menyadari bahwa Kristus Yesus sendirilah yang mengenal
orang-orangNya dan firman yang telah diberitakan selama seabad ini, maka Dia
pulalah yang mau menghimpunkan seluruh sidang jemaatNya di Kalimantan dengan
menerima dan memakai segala kekurangannya. Atas dasar tersebut, maka dalam
konferensi para pengerja zending pada tahun 1935 di Banjarmasin, yang dihadiri
oleh H. Witschi (Inspektor Zending Basel untuk Kalimantan), Dr. H. Kreamer dan
Mr. S.C. Graaf van Randwijck (konsul zending di Jakarta ketika itu), telah
dibahas kemungkinan-kemungkinan berdirinya Gereja Dayak. Konferensi ini
menghasilkan suatu rencana “Peraturan Gereja Dayak Evangelis”.
Segera
sesudah konferensi para pengerja zending tersebut, diadakanlah Sinode Umum yang
Kedua dari seluruh jemaat di Kalimantan pada tanggal 2-6 April 1935 di Kuala
Kapuas, dengan mengambil tempat di gedung Gereja Barimba. Sinode ini juga
dihadiri oleh Inspector H. Witschi dan Mr. S.C. Graaf van Randwijck. Dalam
sinode inilah, diambil keputusan untuk membulatkan diri dalam satu ikatan
Gereja. Sinode yang dihadiri oleh tiga puluh orang dari suku bangsa Dayak dan
delapan penginjil Zending Basel, pada tanggal 4 April 1935 pukul 12 siang,
telah menerima Peraturang Gereja yang direncanakan itu, dengan satu demi satu
telah menjawab dengan berkata, “Ya, aku mengaku”, dan kemudian sambil berdiri
semua anggota Sinode mengikrarkan kalimat berikut: “Guru kami hanya satu saja,
yaitu Yesus Kristus dan kita sekalian semuanya bersaudara”.
Pada
tanggal 24 April 1935 Gereja Dayak Evangelis yang sudah resmi diakui sebagai
Badan Hukum, menurut keputusan No. 33 dan No. 217 dan berkedudukan di
Banjarmasin. Sejak itu Sinode di Kuala Kapuas ini dianggap sebagai Sinode Umum
yang pertama Gereja Dayak Evangelis (GDE). Dan dalam Sinode ini pula, anggota
Majelis Sinode (Sinodale Commissie) yang dipilih di Mandomai tahun 1930,
disahkan.[17]
2.9.2. GKE
(Gereja Kalimantan Evangelis)
Perubahan
Hari Lahir atau Berdirinya Gereja Kalimantan Evangelis dari tanggal 4 April
1935 Menjadi 10 April 1839. Menurut Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe (Ketua Umum
PGI Periode 2004-2009, 2009- 2014), berdasarkan tradisi gereja ada tiga (3)
dasar sebagai patokan dalam rangka menentukan waktu lahir atau berdirinya suatu
organisasi gereja, misalnya: GKE, HKBP, GBKP, GPIB, dst. Adapun 3 dasar patokan
tersebut adalah sebagai berikut:
ü Dihitung
sejak pertama kali missionaris datang dan menginjak kakinya di suatu daerah
atau tempat tertentu.
ü Dihitung
sejak pertama kali dilaksanakan baptisan kudus bagi warga pribumi atau warga
setempat.
ü Dihitung
sejak penyerahan atau pelimpahan suatu tanggung jawab pengelolaan manajemen
organisasi gereja oleh suatu badan misi kepada badan atau gereja lokal
(misalnya: Badan Zending Basel ke gereja lokal, yaitu GDE pada tahun 1935).
Rupanya,
para tokoh GDE atau GKE pada masa lalu mengambil dasar yang ke 3 sebagai
patokan menentukan waktu lahir atau berdirinya Gereja Kalimantan Evangelis,
yaitu tanggal 4 April 1935. Pada tanggal 4 April 1935, dalam Sinode Umum yang
kedua di Kuala Kapuas di gedung Gereja Barimba, peserta Sinode Umum yang
terdiri dari tiga puluh orang suku bangsa Dayak dan delapan Penginjil Zending
Basel dengan penuh percaya dan pengharapan sepakat mengambil keputusan untuk membulatkan
diri dalam suatu ikatan Gereja yang dinamakan dengan: Gereja Dayak Evangelis
(GDE).
Dengan
kejadian yang penuh kehikmatan dan iman ini, berdirilah secara resmi Gereja
Dayak Evangelis pada tanggal 4 April 1935Selanjutnya disadari oleh kesadaran
akan panggilan selaku gereja yang diutus ke dalam dunia, dijiwai oleh semangat
oikumenis dan paham kebangsaan, maka pada Sinode Umum V Gereja Dayak Evangelis,
tanggal 5-9 Nopember 1950 di Banjarmasin, nama Gereja Dayak Evangelis diubah
menjadi “Gereja Kalimantan Evangelis”, disingkat “GKE”. Namun waktu lahir atau
berdirinya Gereja Kalimantan Evangelis tetap tanggal 4 April 1935 (bukan tahun
1950).
Itu
artinya sebutan GDE dan GKE hanya penamaan organisasi tertulis saja, sedangkan
gereja (“GKE”) itu dalam pengertian persekutuan orang-orang percaya di
Kalimantan sudah lahir dan ada sejak pertama kali orang Dayak atau orang
pribumi Kalimantan dibaptis pada tanggal 10 April 1839 di Bethabara yang
selanjutnya menjadi cikal-bakal anggota GDE kemudian menjadi anggota GKE sampai
sekarang ini. Dalam kaitan usul kemungkinan dilakukan perubahan waktu lahir
atau berdirinya Gereja Kalimantan Evangelis mengacu pada 3 dasar patokan di
atas, maka dapat diambil untuk dipilih waktu lahir atau berdirinya GKE adalah
sebagai berikut:
·
Tanggal 26 Juli 1835, Penginjil pertama
Barnstein tiba di Banjarmasin.
·
Tanggal 10 April 1839, pertama kali warga
Dayak pribumi dibaptis oleh Penginjil Hupperts di Bethabara (jalur sungai
Murong yang menghubungka dua sungai besar, yakni Barito dan Kapuas.
·
Tanggal 4 April 1935, Sinode Umum ke-II,
ada 30 orang dari suku bangsa Dayak bersama delapan Penginjil Zending Basel
dengan penuh percaya dan pengharapan diambil keputusan membulatkan diri dalam
satu ikatan gereja, yaitu Gereja Dayak Evangelis.
Atas
dasar berbagai pertimbangan dan perenungan yang mendalam terhadap fakta sejarah
Pekabaran Injil di Kalimantan (fakta historis organisasi, ideal-teologis), maka
Sidang IV Majelis Sinode GKE tanggal 10-12 Maret tahun 2014 di Banjarmasin,
sepakat memilih alasan kedua dengan mengusul perubahan waktu lahir Gereja
Kalimantan Evangelis dari tanggal 4 April 1935 menjadi tanggal 10 April 1839
dengan pertimbangan sebagai berikut:
·
Tanggal 10 April 1839 adalah hari dan
waktu yang sangat istimewa dan bersejarah bagi orang Dayak pribumi, karena
pertama kali beberapa orang Dayak pribumi dibaptis (menjadi Kristen) dan
orang-orang Dayak Pribumi yang dibaptis inilah yang selanjutnya menjadi “cikal
bakal” anggota Gereja Dayak Evangelis atau selanjutnya gereja Kalimantan
Evangelis. Artinya, tidaklah akan lahir dan berdiri GDE pada tahun 1935 kalau
tidak ada orang-orng Dayak yang dibaptis menjadi Kristen sebelum tahun 1935.
·
Secara keseluruhan sejak tanggal 10 April
1839 sampai dengan 4 April 1935 sudah ada 10.000 orang Kristen yang telah
dibaptis oleh para missionaris. Artinya, 10.000 orang Kristen inilah yang
menjadi anggota gereja Dayak Evangelis pada tanggal 4 April 1935. Pada tahun
1839 didirikan pangkalan (setasi) yang pertama kali di daerah Dayak, yaitu
Bethabara (jalan sungai Murong) oleh penginjil Berger. Pangkalan (setasi) ini
merupakan pusat kedua setelah Banjarmasin sebagai tempat mengatur dan
melaksanakan strategi tugas pekabaran Injil di pulau Kalimantan. Berdasarkan
alasan butir a, b, dan c di atas, maka rasanya kurang terlalu tepat diambil
waktu lahir GKE pada tanggal 4 April 1935, karena menggambarkan seakan-akan
sejak tahun 1935 itulah baru ada warga jemaat GDE atau GKE di Kalimantan, dan
GDE/GKE usianya Nampak relatif begitu muda disbanding saudaranya HKBP (padahal
GKE dan HKBP merupakan hasil pekabaran Injil oleh badan Zending yang sama,
yaitu Rheinische Missionsgesellschaft zu Barmen/RMG dari Jerman/awal abad 19.
·
Tanggal 4 April 1935 adalah hari lahirnya
Gereja Dayak Evangelis (GDE), dan bukan Gereja Kalimantan Evangelis (GKE),
karena GKE baru lahir dan berdiri ditetapkan dalam Sinode Umum V GDE pada
tanggal 5-9 Nopember 1950 di Banjarmasin (perubahan dai gereja suku menjadi
gereja non suku). Kalau konsisten pakai logika transisi hakikat organisasi,
maka tahun lahir dan jadi GKE adalah bulan Nopember 1950. Atas dasar logika
ini, maka juga kurang tepat kalau GKE lahir pada tanggal 4 April 1935.
·
Dengan memilih tanggal 10 April 1839
sebagai waktu lahirnya GKE, berarti warga GKE menghormati, menghargai,
mengenang dan bersyukur atas peristiwa pertama kali beberapa orang Dayak
dibaptis dan didirikan pangkalan (setasi) pekabaran Injil pertama kali di
daerah Dayak. Beberapa orang Dayak yang telah dibaptis pada tanggal 10 April
1839 merupakan cikal bakal anggota GDE pada tahun 1935 yang selanjutnya menjadi
anggota GKE pada tahun 1950.
·
Hubungan sejarah masa lalu, yaitu buah
Pekabaran Injil yang dilakukan oleh Badan Zending Barmen (Jerman) dan Badan
Zending Basel (Swiss) tidak bisa dipisahkan dengan Pekabaran Injil yang
dilakukan oleh pada tokoh-tokoh GDE atau GKE, yaitu terus bertambahnya
orang-orang dibaptis menjadi Kristen (sejak 10 April1839-sekarang).
Pertimbangan
perubahan nama dan transisi tugas tanggung jawab organisasi badan misi gereja
adalah hal yang nomor dua. Nomor satu dan utama adalah orang-orang pribumi
Kalimantan (“orang Dayak”) menjadi Kristen adalah sebagai dasar patokan lahir
dan berdirinya gereja (GKE). Gereja adalah berarti sekumpulan atau perekutuan
orang-orang percaya kepada Kristus (hakikat utama gereja adalah orang atau
manusia Kristen, bukan organisasi). Sejalan dengan ungkapan di atas, Pdt. Dr. Fridolin
Ukur mengatakan: “Sejarah sebelum berdirinya GDE sebagai gereja yang berdiri
sendiri, justru dianggap sangat penting dan tidak diabaikan begitu saja.
Malahan dianggap sebagai “akar” sejarah pertumbuhannya. Sebab itu, kedatangan
penginjil pertama di Kalimantan pada tahun 1835, dipandang selaku titik
permulaan sejarah Gereja Kalimantan. Di sini jelaslah bahwa GKE hendak
menghubungkan unsur-unsur historis-organisasi dengan unsur-unsur
ideal-teologis. Dari pengertian di atas diperoleh gambaran yang memberikan
isyarat, bahwa Pdt. Fridolin Ukur mengajukan usul yang lain yakni kedatangan
Penginjil pertama di Kalimantan dapat dijadikan sebagai dasar patokan bagi
penentuan waktu lahir atau berdirinya gereja (GKE).
Berdasarkan
argumentasi dan penjelasan di atas, maka sangat layak dan aktual apabila Sinode
Umum XXIII GKE Tahun 2015 di Tamiang Layang ini melakukan evaluasi dan kajian
yang mendalam akan adanya kemungkinan melakukan perubahan waktu lahir atau
berdirinya GKE sebagaimana telah disebutkan di atas. Dalam suatu kegiatan
Seminar Pekabaran Injil tahun 2009 di Palangka Raya, Ketua Umum PGI, yaitu Pdt.
Dr. Andreas A. Yewangoe pernah mengatakan dalam kata sambutannya kiranya GKE
dapat mempertimbangkan kembali untuk melakukan evaluasi tentang penetapan waktu
lahir atau berdirinya GKE tidak pada tanggal 4 April 1935, tetapi tahun 1835
atau 1839 (Missionaris pertama kali tiba di Kalimantan atau pertama kali warga
pribumi dibaptis). Adapun beberapa proses tahapan yang telah ditempuh dalam
kaitan kemungkinan adanya perubahan hari lahir atau berdirinya GKE adalah
sebagai berikut:
·
Dalam Raker II dan Sidang IV Majelis
Sinode GKE tanggal 10-12 Maret tahun 2014 di Banjarmasin telah diusul perubahan
hari lahir GKE dan usul tersebut dapat diterima untuk lebih lanjut dibahas dan
dikaji lebih dalam pada Sinode Umum XXIII GKE tahun 2015 di Tamiang Layang.
·
Usul perubahan tersebut telah dikaji
melalui seminar.
·
Hasil seminar tersebut telah
disosialisasikan kepada warga GKE (terutama tokoh-tokoh GKE) dalam rangka
menghimpun masukan, ususl, tanggapan dan saran.
·
Akhirnya, usul perubahan tersebut diajukan
untuk dibahas lebih komprehensif dalam Sinode Umum XXIII GKE tahun 2015 di
Tamiang Layang. Berbagai tahapan proses tersebut di atas telah dilakukan dengan
baik dan sukses, sehingga perubahan waktu lahir atau beridirnya GKE tersebut
telah diputuskan dan ditetapkan dalam Sinode Umum XXIII GKE tahun 2015 di
Tamiang Layang. Perubahan Hari Lahir Atau Berdirinya Gereja Kalimantan
Evangelis dari tanggal 4 April 1935. Menjadi 10 April 1839.[18]
2.9.3. GKKB
Perintisan
awal GKKB adalah dengan berdirinya tiga gereja utama di Singkawang, Pontianak,
dan Pemangkat yang kemudian bergabung dan mendirikan organisasi untuk
menyatukan ketiga gereja tersebut. Ketiga gereja tersebut sama-sama berfokus
pada kelompok Tionghoa. Gereja di Singkawang berdiri tahun 1906, buah hasil
pelayanan misionaris Amerika. Wilayah Singkawang merupakan daerah konsentrasi
etnis Tionghoa, yang bahkan dalam sejarahnya merekalah yang membuka wilayah
Singkawang yang termasuk dalam wilayah kerajaan Sambas (Pemkot Pontianak,
2011). Pada tanggal 6 Juni 1935, Gereja Pontianak ini resmi didirikan dengan
nama Tiong Hua Kie Tok Kauw Hwee [Gereja Protestan Tionghoa] di Jalan Kampung
Bali (sekarang Jl. Sisingamangaraja XII). Setelah masa kemerdekaan Indonesia,
beberapa misionaris dari OMF Internasional memberi pelayanan di Pemangkat dan
sekitarnya, hingga akhirnya tahun 1963, secara resmi didirikan Gereja Pemangkat
Ketiga gereja induk di Singkawang, Pontianak, dan Pemangkat ini awalnya
merupakan gereja yang berdiri sendiri dan melakukan pelayanan terpisah. Pada
tahun 1960 mulai dirintis dan digalang kemungkinan untuk bergabung dan
mendirikan satu organisasi yang mempersatukan ketiga gereja utama tersebut
beserta gereja-gereja pengembangannya. Akhirnya tahun 1966 usaha penggabungan
ketiga gereja ini berhasil, dengan menggunakan nama Tiong Hua Kie Tok Kauw Hwee
dan gereja Jemaat Pontianak sebagai pusatnya Pada tahun 1965 terjadi peristiwa
Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI).
Peristiwa
ini mengakibatkan munculnya kecurigaan dan permusuhan terhadap etnis Tionghoa,
bahkan muncul gerakan anti-Cina. Oleh karena itu gereja-gereja yang dikelola
oleh warga Tionghoa ini berupaya untuk menyesuaikan diri. Setelah penggabungan
ketiga gereja tahun 1966, di tahun 1967 nama Tiong Hua Kie Tok Kauw Hwee
diganti menjadi Gereja Kristen Kalimantan Barat (GKKB). Peristiwa penting
lainnya adalah Amandemen Tata Dasar GKKB pada saat Sidang Raya tahun 1980 yang
menetapkan terbentuknya Badan Pengurus Majelis Pusat GKKB sebagai pelaksana
harian Sinode GKKB. Dengan demikian GKKB Jemaat Pontianak tidak lagi sebagai
pusat GKKB. Gereja Kristen Kalimantan Barat (GKKB) dewasa ini menerapkan sistem
keorganisasian yang modern, dengan menerapkan sistem sinodal. Jenjang majelis
di GKKB meliputi: Majelis Pusat GKKB (sinode), Majelis Wilayah GKKB (klasis),
dan Majelis Jemaat GKKB. Periode tahun 2007-2011, ketua Majelis Sinode adalah
Pdt. William Herjinto, dengan ketua Dewan Pendeta dan Penginjil adalah Pdt.
Samuel Fu. Adapun ketua GKKB Wilayah Pontianak Ev. Tjioe Kheng Hun, ketua GKKB
Wilayah Singkawang Pdt. Alvin Bong, dan ketua GKKB Wilayah Pemangkat Pdt.
Yohanes Suwarno.
Perkembangan
GKKB sekarang ini dapat dilihat dari anggota Sinode GKKB yang sampai September
2010 telah memiliki 32 anggota gereja, yang terdiri dari 20 jemaat dan 12 Pos
Pengabaran Injil (PI) dengan jumlah anggota jemaat sekitar 15.500 jiwa menurut
data di Sinode GKKB, atau 19.255 jiwa menurut data di Bimas Kristen Provinsi
Kalimantan Barat. Dari jumlah anggota jemaat tersebut, menurut Pdt. Williem
Herjinto, Ketua Sinode, yang berasal dari etnis Tionghoa lebih dari 90%,
sebagian kecil lainnya dari etnis Batak, Dayak, dan Jawa. Adapun Hamba Tuhan
yang bergabung dalam pelayanan di GKKB sebanyak 17 orang pendeta dan 68 orang
penginjil. Di GKKB Jemaat Pontianak terdapat 2 pendeta yaitu Pdt. Samuel Fu dan
Pdt. William Herjinto, serta 20 orang penginjil. Majelis pusat (sinode) GKKB
berkedudukan di Kota Pontianak, yakni di Jl. Gajah Mada no. 250 Kota Pontianak.
Lokasi ini satu kompleks dengan GKKB Jemaat Pontianak. Dari tempat inilah
pelayanan GKKB berpusat dilakukan. Pelayanan yang dilakukan oleh GKKB berada di
wilayah Kalimantan Barat. Wilayah ini terutama berada di rentang daerah
perkotaan yakni dari jalur Pontianak-Singkawang-Pemangkat, dan sebagian kecil
yang berada di wilayah pedalaman. Pelayanan GKKB ditujukan pada wilayah-wilayah
di mana komunitas Tionghoa banyak tinggal.
Pelayanan
GKKB dilakukan oleh gereja-gereja anggota GKKB. Anggota GKKB terdiri dari
jemaat GKKB dan Pos PI yang jumlahnya semakin berkembang. Hal ini karena
Majelis Pusat GKKB maupun Majelis Jemaat GKKB membuka Pos-pos Pekabaran Injil
(Pos PI) di wilayah-wilayah yang potensial untuk berkembang, terutama di daerah
yang banyak terdapat etnis Tionghoa. Pospos PI yang telah memenuhi syarat pun
akhirnya dapat meningkatkan status menjadi Jemaat GKKB. Anggota jemaat Gereja
Kristen Kalimantan Barat (GKKB) lebih dari 90% berasal dari etnis Tionghoa.
Anggota dari etnis lain, seperti Dayak, Jawa, Batak, dan lainnya sangat sedikit.
Meskipun GKKB terbuka keanggotaannya bagi etnis lain, akan tetapi aspek sejarah
dan orientasi penyebaran yang terkait secara langsung dengan etnis Tionghoa di
Kalimantan Barat menjadikan GKKB dipandang ekslusif sebagai gereja orang
Tionghoa. Dari kesejarahannya, cikal bakal GKKB adalah Tiong Hua Kie Tok Kauw
Hwee [Gereja Protestan Tionghoa)], yang berdiri dalam komunitas etnik Tionghoa,
baik yang ada di Singkawang, Pontianak, maupun Pemangkat. Terlebih lagi setelah
masa kemerdekaan, gereja induk di Pontianak dan juga pendirian gereja induk di
Pemangkat mendapat dukungan dari OMF (Overseas Missionary Fellowship)
International, sebuah lembaga penginjilan yang juga awalnya berbasis di Cina,
Tiongkok (Saud).
Dengan
demikian, wajar apabila perhatian penginjilan dilakukan terhadap kalangan etnis
Tionghoa. Hal tersebut juga dikuatkan dengan rumusan Visi GKKB, yang secara
jelas menyebut GKKB sebagai Gereja Tionghoa, yakni: “Gereja Tionghoa yang
dibangun di atas dasar kebenaran Alkitab untuk menghadirkan Kerajaan Allah di
tengah masyarakat Kalimantan Barat”. Oleh karena itu anggota jemaat GKKB
mayoritas berasal dari etnis Tionghoa, dan misionari yang dilakukan pun
ditujukan pada kelompok etnis ini. Lokasilokasi jemaat GKKB hampir semuanya
merupakan lingkungan etnis Tionghoa. Termasuk wilayah-wilayah yang baru dibuka
Pos Pekabaran Injil (Pos PI) juga merupakan wilayah yang banyak dihuni oleh
warga Tionghoa. Sebagaimana hal ini juga diakui oleh Pdt. William Herjinto,
Ketua Sinode, dan Ev. Seniman, salah seorang penginjil GKKB, bahwa GKKB lebih
menfokuskan untuk mengabarkan Injil kepada “saudara-saudara”, yakni warga etnis
Tionghoa. GKKB menjadikan etnis Tionghoa sebagai basis pengembangannya
merupakan pilihan yang logis. Tidak saja karena faktor sejarah berdirinya GKKB saja,
tetapi juga terkait dengan konteks sosial politik di Kalimantan Barat, bahkan
nasional. Etnis Tionghoa pada masa Orde Baru membawa beban sejarah akibat
peristiwa G30S/PKI di tahun 1965, dan khusus di Kalimantan Barat berlanjut pada
peristiwa PARAKU tahun 1967. Dua peristiwa yang menandai awal Orde Baru
tersebut, situasi sosial politik masyarakat Tionghoa di Indonesia mengalami
perubahan drastis. Hal ini karena PKI memiliki hubungan secara ideologis dan
politik dengan Republik Rakyat Cina (RRC) dan juga Rusia (Uni Soviet) yang
berideologi Sosialis Komunis. Akibatnya, muncul kecurigaan dan antipati
terhadap kelompok etnis Tionghoa ini (Madjid, 1998: 411).
Hal ini karena warga yang berasal dari etnis
Tionghoa juga dipandang mendukung komunis. Sikap anti komunisme dibangun
setelah peristiwa gestok atau G30S yang dinilai melibatkan Partai Komunis
Indonesia (PKI), sehingga apapun yang berbau Cina dipandang rendah (Husodo,
1985: 38). Terlebih sejarah politik Tionghoa di Kalimantan Barat ini sering
dikaitkan dengan peristiwa konfrontasi Indonesia dengan Malaysia yang dikenal
sebagai peristiwa PARAKU. Kelompok PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Serawak) dan
PARAKU (Pasukan Rakwat Kalimantan Utara) yang terdiri dari orang-orang Cina
Komunis atau Leftist (kiri) bersikap oposan terhadap pemerintah RI dan Malaysia
(Orde Lama, 1997: 122-125). Pandangan negatif, bahkan perlakuan diskriminatif
selama Orde Baru terhadap etnis Tionghoa, baik oleh pemerintah maupun
masyarakat lain yang lebih dominan menyebabkan pilihan untuk bergerak di
lingkungan etnis sendiri menjadi pilihan paling rasional. Pada masa Orde Baru,
bahkan sampai era reformasi dewasa ini, pandangan stereotip, bahkan kecurigaan
terhadap etnis Tionghoa masih terjadi. Oleh karena itu, aktivitas pekabaran
injil yang dilakukan oleh GKKB secara langsung ditujukan pada kelompok etnis di
luar Tionghoa dapat berpotensi konflik. Wilayah Kalimantan Barat dalam
sejarahnya, etnis Melayu memiliki status sosial yang lebih tinggi dibandingkan
etnis lain. Hal ini karena saat bekuasanya kerajaan-kerajaan di Kalimantan,
Melayu memiliki tiga keraton yang besar dan berkuasa, yakni Keraton Kadariyah
di Pontianak, Keraton Amantu Billah di Mempawah, dan Keraton Sambas di Sambas
(Cahyono, 2008: 50).
Aspek
kesejarahan ini membentuk pandangan bahwa kebudayaan Melayu adalah kebudayaan
yang utama. Terlebih, etnis Melayu identik dengan agama Islam yang dianut oleh
mayoritas masyarakat Indonesia, maupun lokal Kalimantan Barat. Hal ini semakin
menguatkan munculnya kebudayaan Melayu, dan Islam sebagai kebudayaan dominan.
Posisi etnis Tionghoa sebagai minoritas secara kuantitas, memunculkan
kekuatiran terhadap tekanan dari kelompok lain. Terlebih juga dalam lingkungan
di mana masih terbangun kebudayaan dominan, maka pekabaran injil pada etnis
yang memegang dominasi budaya dapat menimbulkan persoalan karena akan dipandang
sebagai suatu ancaman. Oleh karena itu pilihan yang logis adalah menjadikan
etnis Tionghoa sendiri sebagai orientasi pengembangan GKKB. Pilihan orientasi
pekabaran Injil kepada etnis Tionghoa, juga menunjukkan pandangan ekslusif
masyarakat Tionghoa. Dalam konteks minoritas ini, pandangan ekslusif ini suatu
hal yang wajar. sikap ekslusfi ini sebagai upaya resistensi melalui upaya
solidaritas kelompok. Tionghoa telah mengalami penyebaran penduduk di dunia,
sekaligus mereka berhasil mengembangkan perasaan solidaritas antar kelompok
yang sangat tinggi. Mereka mengembangkan “Bounder line” atau garis pembatas
yang cukup ketat dalam mengembangkan usaha dan kehidupan di mana mereka berada.
Mereka merasa telah terputus dengan tanah leluhur mereka, mereka sendiri telah
menjadi “minoritas” di suatu daerah, sehingga kalau tidak mengembangkan model
solidaritas kelompok mereka akan terkucil dan mati (Salim, 2002: 185).
Minoritas
etnis Tionghoa tidak secara kuat terserap dalam kebudayaan dominan, tetapi juga
tidak berada di dasar struktur kelas di masyarakat. Etnis Tionghoa menempati
posisi yang disebut minoritas menengah (middleman). Kelompok ini tetap
mempertahankan warisan budaya mereka dan berjuang sendiri masuk ke dalam suatu
posisi yang unik di jenjang menengah struktur sosial ekonomi. Ciri-cirinya
adalah tidak terkonsentrasi pada sosial ekonomi tingkat bawah, mereka justru
cenderung menduduki posisi menengah dalam struktur kelas; mereka cenderung berkonsentrasi
pada pekerjaan di sektor perdagangan dan perniagaan, dan mereka juga sering
dipekerjakan sebagai agen-agen kontraktor tenaga kerja, pengumpul sewa, pemberi
pinjaman uang, dan perantara dan mereka biasanya mempunyai solidaritas dan
kesadaran etnik yang sangat tinggi, yang pada umumnya membuat mereka terpisah
dan menentang asimilasi ke dalam kebudayaan yang dominan (Sonderson, 1993:
382-383). Pengembangan GKKB pada kelompok etnis Tionghoa sebagai “etnisnya
sendiri” merupakan bagian dari strategi etnis Tionghoa sebagai inti jemaat GKKB
untuk menjaga eksistensinya di lingkungan yang telah terbentuk budaya dominan.
Terlebih sejarah etnis Tionghoa, terutama pada masa Ode Baru, menerima stigma
sosial. Strategi ini sebenarnya adalah resistensi etnis Tionghoa di GKKB
melalui tindakan yang oleh James Scott disebut Coping. Coping adalah tindakan
yang diambil untuk menghindari atau mengawasi keadaan, berupa menghindar, diam,
menolak membangkang, atau menolak bekerjasama (Farida, 2006: 19-50). Dengan
memilih “etnisnya sendiri”, maka GKKB tengah memelihara eksistensinya dan
menjaga agar tetap survive dengan tidak memancing persoalan dengan kelompok
lain yang dapat menimbulkan kesulitan bagi dirinya untuk tetap survive di
tengah dominasi budaya Melayu atau Dayak. Oleh karena itu, meskipun GKKB
bersifat terbuka, tetapi dalam prakteknya GKKB lebih memilih sasaran pekabaran
Injil pada kelompok etnis Tionghoa.
2.10. Peran Gereja di Kalimantan dalam
Penggunaan Bahasa Indonesia
Adanya
Alkitab berbahasa Dayak Ngaju di Kalimantan tidak menghilangkan peran bahasa
Melayu saat itu. Masyarakat Kalimantan adalah masyarakat etnis yang memiliki
bahasa subsuku masing-masing. Oleh karena itu, Alkitab berbahasa Dayak Ngaju
tidak dapat digunakan, kecuali untuk orang Dayak Ngaju. Bahasa Melayu atau
bahasa Indonesialah yang kemudian berperan dalam penginjilan kepada subsuku
Dayak lainnya dan juga menjadi bahasa yang digunakan oleh GDE/GKE. Ukur (2002:
262) mengatakan bahwa dokumen “Peraturan Gereja Dayak Evangelis” Tahun
1935 hanya ia temukan dalam bahasa Dayak Ngaju, Belanda, dan Jerman. Namun,
pada fakta di kehidupan jemaat, dokumen lainnya seperti surat kesaksian
permandian suci atau surat baptis ditemukan dalam dua bahasa, yaitu Melayu dan
Belanda. Dokumen gereja setelah Indonesia merdeka, yaitu peraturan yang
dikeluarkan tahun 1950 dan seterusnya, dengan konsisten menggunakan bahasa
Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa dokumen yang digunakan dalam kehidupan
bergereja merupakan dokumen berbahasa Indonesia.
Jemaat
gereja yang telah tinggal wilayah Gereja Kalimantan Evangelis sejak 1950-an
menuturkan bahwa ketika mereka kecil, liturgi atau tata ibadah di wilayahnya
telah menggunakan bahasa Indonesia. Pada Sekolah Minggu (ibadah atau kegiatan
keagamaan untuk anak-anak) digunakan bahasa Indonesia dan sedikit bahasa
daerah. Ketika masyarakat yang tinggal di sebuah wilayah adalah masyarakat yang
memahami bahasa subsuku yang sama, ibadah lingkungan di rumah-rumah jemaat yang
dilakukan secara bergiliran dilakukan dalam bahasa daerah, tetapi dengan
pembacaan Alkitab dan kidung pujian berbahasa Indonesia. Di Tamiang Layang
sendiri, ibadah rumah lingkungan berbahasa Maanyan dilakukan hingga tahun
1990-an. Ketika pemekaran wilayah menjadi kabupaten dan banyak pendatang yang
tidak mampu berbahasa Maanyan di sana, masyarakat menjadi multietnis sekaligus
multilingual. Ibadah lingkungan pun dilakukan dengan bahasa Indonesia.[19]
III.
Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa masuknya Kekristenan di
Kalimantan itu dimulai ketika Pekabar Injil datang pada Abad-19, namun
sebelum Abad itu pada abad ke-17 misi Katolik Roma pernah juga mencoba memasuki
daerah Kalimantan Selatan yakni pada waktu Portugis berusaha memperoleh
pangkalan-pangkalan bagi perdagangannya di daerah itu. Tetapi usaha itu gagal,
tambahan pula seorang padri yang bernama Ventimiglia akhirnya dibunuh (1691),
sesudah itu sejumlah penduduk kampung Dayak yang telah dikristenkannya murtad.
Begitu juga Pada zaman VOC, dimana seorang utusan Injil yang mempunyai
kebangsaan Belanda tewas sebagai martir tatkala melayani di daerah
pedalaman. Kemudian, beberapa orang penginjil Jerman berhasil memasuki
Kalimantan selatan dari kota Banjarmasin pada tahun 1836. Pada masa Hindia Belanda ini juga banyak terdapat
beberapa peristiwa, salah satunya ialah Perang Hidayat. Sejak masa ini,
permulaan abad ke-19, sudah ada perjanjian antara pemerintah Belanda dengan
sultan kerajaan Banjarmasin sekitarnya. Demikian juga halnya pada masa Jepang,
dimana pada saat itu sudah berkembang gereja GDE, namun masih ada saja
tantangan-tantangan yang dihadapi. Jadi, memang Kekristenan di Kalimantan mulai
dari awal masuknya sampai pada masa orde baru masih banyak menghadapi peristiwa
yang begitu rumit, namun ini bukan salah satu faktor penghambat pertumbuhan
kekristenan di Kalimantan, tetapi menjadi salah satu faktor pendorong untuk
pertumbuhan Gereja sendiri.
IV.
Daftar Pustaka
Kruger Th. Muller, Sejarah
Gereja di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 1966).
Poesponegoro Djoened Marwati, Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993).
den End Th. Van, Ragi
Carita I: Sejarah gereja di Indonesia tahun 1500-1860-an, (Jakarta:
BPK - GM, 2007).
Pals Daniel L., Seven Theories of Religion (New York:
Oxford University Press, 1996).
Dillistone F.W., Daya Kekuatan Simbol, diterjemahkan oleh
A.Widyamartaya, (Yogyakarta: Kanisius, 2006).
Culver Jonathan E., Sejarah Gereja
Indonesia, (Bandung: Biji Sesawi, 2014).
Aritonang Jan S., Sejarah Perjumpaan
Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2015).
Ukur Fridolin, Tuaiannya Sungguh Banyak: Sejarah Gereja
Kalimantan Evangelis Sejak Tahun 1835.
J. Weitjens dan Th. Van den End, SJ, Ragi
Carita 2: Sejarah gereja di Indonesia tahun 1500-1860-an.
F. L. Cooley &F. Ukur, Jerih
dan Juang: Laporan Nasional Survey Menyeluruh Gereja di Indonesia, (Jakarta:
LPS-DGI, 1979).
P RamaTulus, Agama Sebagai Identitas Sosial, (Disertasi:
Universitas Kristen Satya Wacana, 2010), 38-45.
V.
Sumber Lain
https://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan.
https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/2938/bahasa-indonesia-dalam-sejarah-penyebaran-injil-di-kalimantan
[1]
https://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan, diakses pada tanggal 23 Februari 2022, pukul
23.08 WIB.
[2]Th.
Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, 145.
[3]G. Van
Schie, Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam Konteks Sejarah
Agama-Agama Lain, (Jakarta: OBOR, 1995), 14.
[4]Th. Van
den End, Ragi Carita I: Sejarah gereja di Indonesia tahun 1500-1860-an,
189.
[5]Fridolin.
Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak, (Jakarta ; BPK – Gunung Mulia,
2002), 8.
[6]Th. Van
den End, Ragi Carita I: Sejarah gereja di Indonesia tahun 1500-1860-an,
190.
[7]Fridolin.
Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak, 9.
[8]Th.
Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, 147.
[9]Th. Van
den End, Ragi Carita I: Sejarah gereja di Indonesia tahun 1500-1860-an,
191.
[10]Th. Van den End dan J. Weitjens, SJ, Ragi Carita 2: Sejarah
gereja di Indonesia tahun 1500-1860-an, 176-177.
[11]Fridolin Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak, 21-22.
[12]Fridolin Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak, 61.
[13]Fridolin Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak, 56.
[14]F. Ukur & F. L. Cooley, Jerih dan Juang:
Laporan Nasional Survey Menyeluruh Gereja di Indonesia, (Jakarta:
LPS-DGI, 1979), 507.
[15]Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan
Islam di Indonesia, 560-561.
[16]Fridolin
Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak; Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis
Sejak Tahun 1835, 9-10.
[17] Fridolin Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak,
35-39.
[18]
RamaTulus P, Agama Sebagai Identitas Sosial, (Disertasi:Universitas
Kristen Satya Wacana, 2010), 38-45.
[19] https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/2938/bahasa-indonesia-dalam-sejarah-penyebaran-injil-di-kalimantan, diakse pada Rabu, 9 Maret 2022.
Post a Comment