wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

Sejarah Kekristenan di Papua (Irian Jaya)

 




II.                Pembahasan

2.1. Sekitar Papua (Irian Jaya)

 

Papua memiliki kurang lebih 251 suku dan sub suku dengan ragam budaya yang berbeda-beda. Keragaman budaya ini terbentuk oleh beberapa sistem yang berkembang di setiap masyarakatnya. Tidak heran jika ditemukan banyak perbedaan diantara keragaman budaya di Papua. Sebelum masuknya Agama Kristen ke Papua, masyarakat Papua telah memiliki kepercayaan sendiri. Masyarakat Papua percaya bahwa dalam kehidupan ini mereka dilindungi oleh roh nenek moyang mereka. Masing-masing suku mempercayai adanya satu dewa atau tuhan yang berkuasa atas dewa-dewa. Misalnya pada orang Biak Numfor, dewa tertingginya disebut “Manseren Nanggi”; orang Wandamen menyebut “Syen Allah” dan orang Moi menyebut “Fun Nah”.[1] Mata pencaharian penduduk Papua dikelompokkan dalan tiga wilayah geografis yang berbeda serta menentukan cara hidup rakyat Papua secara umum yakni: daerah pantai yang dihuni nelayan dan pelaut; daerah pegunungan yang dihuni para petani dengan pola berpindah-pindah dan berburu; serta wilayah sangat jarang penduduknya, yakni tanah rawa diantara pantai dan pegunungan dihuni kelompok semi nomadik bermata pencaharian berburu, menangkap ikan dan mengumpulkan bahan makanan.[2]

Provinsi Papua sebelumnya bernama Irian Jaya yang mencakup seluruh wilayah Papua bagian Barat. Sejak tahun 2003, dibagi menjadi dua provinsi dengan bagian Timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya memakai nama Papua Barat. Provinsi Papua merupakan provinsi terbesar di Indonesia.[3] Dimulai tanggal 12 Januari 1855, dengan sekunar “Ternate” ditempuh kurang lebih tiga minggu, 25 hari kemudian Ottow dan Geissler memasuki Teluk Doreh. Tepat tanggal, 5 Februari 1855, hari minggu pagi yang cerah, jam 06.00 sekunar Ternate membuang sauhnya didepan kampung Mansinam, pelabuhan Doreh.[4]

Pada tahun 1863 UZV berencana mengirim zendeling-zendeling mereka ke Papua. Para perintis di Irian pun sadar bahwa tenaga mereka kurang. Karena itu mereka meminta bantuan dari Eropa.[5] Keputusan untuk memilih Papua sebagai salah satu medan kerja UZV tidak terlepas dari dorongan Heldring yang sebelumnya telah merintis usaha pekabaran Injil di Papua melalui utusan-utusan tukang. Sebab pada waktu itu keadaan di Papua masih dalam proses perintisan dan penanaman Injil Kristus karena masih banyak kekafiran serta agama Suku yang masih kuat. Utusan –utusan pertama UZV yang dikirim ke Papua adalah: J.L. Van Hasselt, Th.F Klaassen sudah berkeluarga dan Otterspoor masih bujangan. Mereka tiba di teluk Doreh (Manokwari) pada 18 April 1863.[6]

2.2. Sejarah Pekabaran Injil di Papua (Irian Jaya)

Sejak abad ke-15 atau ke-16, Irian Barat dikuasai oleh Tidore. Tidore tidak mendirikan pemerintahan yang teratur di daerah itu sehingga 1828 Bagian Barat pulau Irian dijajah oleh Belanda diberi nama Niew Guinea. 1898 penjajahan itu diteguhkan dengan di dirikannya aparat pemerintahan modern. Waktu itu suku-suku di damaikan. Antara tahun 1898-1942 ibu kota Irian ialah Monokwari, di ujung Timur laut daerah kepala Burung. Pada abad ke-19, penduduk Irian masih menganut kepercayaan lama, beberapa kelompok di daerah raja Ampat sudah masuk Islam karena pengaruh pendatang dari Maluku. Di Irian Jaya mereka membuat patung anggota keluarga yang sudah meninggal yang disebut korwar. Di kampung orang Biak dan Numfor terdapat gedung-gedung besar, yang bertiang patung nenek moyang yaitu Rumsram, tempat ini menjadi pusat pendidikan para pemuda, pusat sakral. Gerakan Koreri ada di Irian yang mengajarkan tentang mitos tentang manseren mengundi. Penduduk Irian yakin ketika mengundi akan kembali ke waktu-waktu khususnya pada saat genting, mereka menari-nari, makan dibawah pimpinan konoor. para zending tidak menyukai hal itu, pemerintahan Belanda juga.

Ada beberapa istilah agama asli orang-orang Irian ini yaitu patung anggota keluarga yang sudah meninggal di sebut Korwae. Di kampung-kampung orang Biar dan Numtor juga terdapat gedung-gedung besar yang bertiang  patung-patung nenek moyang yaitu Rumsram, gedung itu menjadi tempat tinggal dan pusat pendidikan para pemuda sekaligus pusat sakral. Kekristenan di Irian Jaya dimulai dari Tidore, dari Zending Jerman yaitu pada saat Kekristenan Belanda tepatnya berada dipulau Mansinam. Selama masa sebelum kedatangan pemberita Injil pertama, raja-raja disebelah barat Irian Jaya sering masuk dan berakar di Maluku Utara(Kira-kira Tahun 1450-1475), sejak Tanah Irian dilihat untuk pertama kali oleh orang barat (pada Tahun 1511-1512) didapatkan pula oleh penjajah-penjajah Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan lain-lain.[7]

2.3. Kekristenan Di Papua (Irian Jaya) Pada Masa Hindia-Belanda (1800-1942)

Pada akhir abad ke-18 Irian Barat mendapat perhatian dunia ketika orang Inggris menyelidiki pantai Barat Irian Jaya pada Tahun 1784, ketika itu orang Inggris lah yang mencoba menduduki Irian Barat, pada Tahun 1898 barulah Pemerintah Belanda menanamkan kekuasaannya di Irian dan berpusat di Monokwai, pada Tahun 1860 di Kwawi (Pantai daratan) yaitu Tidore.[8]

Pada Tanggal 5 Febuari 1855 mendaratlah dua orang utusan tukang dipulau Mansinam di seberang Manokwari yakni J.G. Geissler dan C.W. Ottow. Mereka sama sekali tidak menduga kesulitan-kesulitan yang tak terhitung banyaknya yang akan menimpanya, penduduk Mansinam tak mempedulikan kedua orang itu sedikit pun, penduduk-penduduk itu sama sekali tak suka bergaul, kayu-kayu untuk mendirikan rumah tidak mereka berikan bahkan memberikan tenaga kerja pun tidak, meskipun kepada mereka  diberikan dijanjikan upay. Penyakit-penyakit  yang hebat menimpa kedua pekabar injil itu sehingga mereka harus ditampung diatas sebuah kapal perang lalu dibawa ke Ternate untuk dirawat. Biarpun mereka mengalami kesulitan tetapi mereka tetap bertahan juga di dalam usahanya, pada Tahun 1860 di Kwawi (Pantai daratan) yaitu Tidore ditempatkanlah oleh seorang penginjil. Geissler dan Ottow bekerja sebagai Zendling dan juga sebagai Tukang. Mereka mulai bekerja dengan tangan sendiri yaitu menebang pohon, membangun rumah sendiri kemudian hari mereka berdagang untuk menghidupi diri, disamping mendapat tunjangan dari pemerintah sebagai imbalan jasa menyelamatkan awak kapal yang terdampar. Metode yang mereka ajarkan dalam mengabarkan Injil adalah yang pertama, pengkabar Injil berupa kebaktian diadakan dihari Minggu pagi dirumah sendiri, caranya secara asasi sama seperti di Jemaat yang sudah lama berdiri: ada doa, ada nyanyian, ada Khotbah, Khotbah itu berpokok pada penawaran keselamatan kekal bagi orang yang mau bertobat. Agar orang Irian tertarik maka sehabis kebaktian mereka itu disuguhi tembakau atau gambir.[9] Pada tahun 1859 kebaktian mulai diadakan ddalam bahasa Numfor dan pada Tahun 1861 sudah diterbitkan beberapa kumpulan lagu-lagu Kristen dalam bahasa itu dan sebelum 1870 beberapa Kitab Perjanjian Baru sudah berhasil diterjemahkan, selain itu para Zendeling itu juga mendirikan sekolah-sekolah supaya Anak-anak di Irian dapat belajar dan mereka juga mendengarkan cerita-cerita Alkitab dan menyanyi lagu-lagu Kristen. Para Zendling inipun melakukan pendekatan melalui generasi muda dengan dua cara mereka mendirikan sekolah-sekolah supaya anak-anak dapat belajar melalui 3M ( membaca, menulis, menghitung) mereka mengharapkan agar anak-anak itu bisa tumbuh tanpa mengalami pengaruh yang tidak baik dai lingkungannya sehingga setelah dewasa bisa menjadi kelompok inti Jemaat Kristen bahkan membantu dalam karya pengkabaran Injil.[10] Setelah dewasa orang-orang tebusan ini bersama dengan orang Irian merdeka yang telah dibabtis diharuskan tinggal dalam sebuah kampung Kristen meskipun pada metode ini keberatan-keberatan akan tetapi dikemudian hari dihasilkan juga beberapa tenaga bermutu, seperti filipus dan Guru Petrus Kafiar sekitar Tahun 1875-1926, Filipus ditahbiskan menjadi anggota majelis Jemaat sekaligus sebagai penginjil. Dan Petrus sebagai seorangt Guru yang mengajar disekolah dan sebagai pengabar Injil.[11]

Sekitar Tahun 1907, secara tak diduga, berubah sama sekali. Dipulau Roon ada seorang pemuda Kristen yang pernah ditebus Zendeling Bink, namanya Yan Ayamiseba Ia meninggal dunia akibat kecelakaan waktu sedang membuat perahu. Tiga hai sebelum Ia meninggal, Yan bermimpi: melalui pintu emas ia masuk kedalam uangan yang berdinding emas, tapi disuruh pergi dulu, sebab namanya belum dimuat dalam buku besar yang tersimpan disana. Namun, ia diperbolehkan kembali dalam waktu 3 hari. Mimpi itu mengandung unsur-unsur, mitos-mitos Roon: di Negri jiwa, “sorga” orang Roon, terdapat rumah emas, tempat orang merdeka yang sudah meninggal dunia pergi. Akan tetapi, mimpi itu bermakna Injili: sebenarnya Yan, sebagai seorang tebusan, tidak dapat mengharap, sesudah kematiannya, boleh memasuki tempat tinggal orang merdeka, tapi disini tembok-tembok pemisah dirubuhkan. Setelah bangun dari tidur, Yan mengajak semua orang yang datang menengok dia agar bertobat karena hanya melalui tangga emas yakni Injil, dapatlah orang memasuki ruang emas itu. Anjuran itu meninggalkan pesan yang dalam.kini amanat Kristen dibawakan oleh seorang Irian dan berhasil diungkapkan dalam bentuk yang sesuai dengan agama dan kebudayaan Irian. Maka sekonyong-konyong ternayata berita Injil telah mengenai hati penduduk Roon: mereka berudyun-duyun datang kerumah Zendeling menyerahkan korwar-korwar mereka dan lain-lain, lalu pada malam tahun baru benda-benda itu dibakar. Gerakan itu lekas menjalar kedaera-daerah lain: ke daerah Teluk Berau, Pulau-pulau Biak, dan Numfor, Raja Ampat Dll. Ternyata dimana-mana hati orang sudah disiapkan untuk Injil oleh penyebaran cerita-cerita Alkitab seperti yang dilaporkan tadi, dan oleh penancapan-penancapan kekuasaan Belanda yang menyebabkan terbuka nya jalan untuk berdamai dan yang sekaligus membuat mereka menjadi bimbang tentang apa yang menjadi tuntutan penguasa baru itu. Ketika sudah tiba waktunya, cukuplah satu cetusan api untuk menyalakan seluruh daerah itu.[12]

2.4.Kekristenan di Papua (Irian Jaya) Pada Masa Jepang (1942-1949)

Bermula dari masuknya Jepang dari Ternate ke Irian Barat yang di akibatkan pada awal tahun 1942 hilangnya pimpinan Gereja, sebab semua pekerja Zendeling ditawan dan dibawa keluar dari Irian. Kehidupan jemaat mengalami pergolakan karena perang dunia II yang menjadi penyebabnya di daerah-daerah lain seperti Ambon semua guru tewas di bunuh oleh Jepang. Selain perang dunia ke II Gereja di Irian Jaya tidak mendapatkan pelayanan Sakramen belum ditahbiskannya orang-orang Indonesia menjadi Pendeta. Pada saat itu keadaan sukar sekali dan pekerjaan pengkabar Injil serta pelayanan bisa mengakibatkan Guru-guru jemaat dan penjinjil lainnya meninggalkan pekerjaannya. Anak-anak sekolah dan para orang tua dibawah pimpinan gurunya dipaksa bekerja keras untuk kepentingan Jepang. Jadi penderitaan dan bahaya fisik berat sekali selama perang berlangsung namun sekali itu timbul juga pergerakan-pergerakan sukuisme yang di dalamnya terlibat unsur-unsur agama yaitu campuran agama Nenek moyang dan mite-mite dengan agama Kristen, hal ini timbul karena pemaklumam di bidang agama dan pemerintahan. Kehidupan material dan mental spritualitas rusak karena peperangan. Kehidupan rohani dan jemaat terjadi juga di daerah biak, gedung-gedung sekolah dan Gereja dibinasakan serta terjadi pembunuhan akibat perang antar suku.[13] Pada masa perang dunia II, jemaat-jemaat di Irian mengalami goncangan yang sangat besar, di daerah-daerah tertentu semua Guru Jemaat bersama keluarganya tewas terbunuh oleh Jepang.[14]

Selama Jepang belum menyerah (tanggal 15 Agustus 1945) wilayah Irian Jaya dipergunakan sebagai basis menyerang terus tentara Jepang. Segi-segi negatif dari keadaan perang tidak lagi dirasakan seberat dulu oleh rakyat Irian, akan tetapi segi-segi positif dari perdamaaian belum sama sekali dapat dicicipi oleh mereka. Pada tahun 1946, perhubungan dengan dunia luar, khususnya Zending UZV di negeri Belanda baru dipulihkan dengan suatu perkunjungan orientasi yang dilakukan oleh beberapa pendeta Belanda yang ditawan Jepang. Tetapi Jenderal Mac Arthur berhasil memenangkan perang tersebut, dan berhasil menang atas angkatan laut Jepang. Banyak kapal torpedo dan sebuah kapal selam jepang ditenggelamkan oleh pasukan Amerika. Kemudian, Mac. Arthur melanjutkan perangnya dan menjadikan Filipina sebagai pangkalan. Dari sini mereka dengan mudah dapat menyerang lawan yang ada di beberapa kepulauan Indonesia khususnya bagian timur seperti Papua. Strategi yang dipakai Mac. Arthur sangat bagus sehingga semua pulau dibebaskan dari Jepang, termasuk kota Hollandia (Jayapura) di Papua.[15] Pada tahun 1945 sejumlah pengantar jemaat diangkat menjadi pejabat-zending. Pendeta Belanda yang di tawan di Jepang pada Tahun 1946 berhasil di bebaskan, mereka antara lain adalah: Pendeta Wetstein, Ten Haaft, Spreeuwenverg, Randel dan Tetserl. Dengan kedatangan mereka dan Pendeta-pendeta dari negri Belanda maka tiap-tiap Resot telah dapat di tempati oleh seorang Pendeta.[16] 1948 konferensi para zending menetapkan tata gereja sementara selaku kerangka perkembangan keaarah gereja yang mandiri. Pada tahun ini juga pertama kali seorang Irian (guru F.J.S. Rumainum) dimasukkan ke sekolah Teologi di Makasar.[17]

2.5. Kekristenan di Papua (Irian Jaya) Pada Masa Orde Lama (1950- 1965)

Pada tahun 1950 hadir wakil-wakil penduduk asli dalam konperensi pendeta-pendeta Zendeling di Serui, suatu konperensi yang memegang pimpinan umum Gereja di Irian. Pada tahun 1954 di adakan Sinode Persiapan Gereja Kristen Injili di Serui untuk mempersiapkan. Tata gereja dan lain-lain yang perlu untuk berdirinya GKI IB pada tahun 1956. Dan di tengah segala kesibukan ini pada tanggal 5 Februari 1955 peringatan 100 tahun PI di Irian Barat di rayakan di mana-mana di Irian dan di Nederland antara lain dengan mendirikan suatu dana untuk pendidikan anak-anak asli Irian Barat. Maksud dan cita-cita mengenai pembentukan Gereja Kristen Injili di Nederland Nieuw Guinea atau Papua, telah dimulai dan didorong ke arah yang lebih kongkrit. Rencana itu secara luas dibahas pada komperensi persiapan (proto sinode) di Serui 1954. Cita–cita serta usaha dan kerja keras dalam waktu yang panjang melalui pekabar Injil dari berbagai etnis, suku dan latar belakang, bermuara pada pembentukan Gereja Kristen Injili di Nederlands Nieuw Guinea dan Gereja ini hadir bagi seluruh umat yang ada di Tanah Papua. Bukan sebuah mimpi, melainkan suatu kenyataan dari Tuhan, atas kehendakNya yang Agung maka lahirlah gereja Tuhan di Tanah Papua. Melalui Sidang Sinode Umum pertama dijemaat Harapan Abepura, tanggal 18-26 Oktober 1956, dapat diresmikan pembentukan Gereja Kristen Injili di Nederlands Nieuw Guinea (sekarang GKI Di Tanah Papua). Badan Pekerja Harian Sinode Umum (BPHSU) terpilih periode 1956-1960:

Ketua : Pdt. Filip Jakop Spener Rumainum;

Wakil Ketua : Pdt. H. Mori Musendi;

Sekretaris : Dr. F.C. Kamma; dan

Bendahara : G.W. de Kater, ditambah dengan tiga anggota lainnya.

Gereja Kristen Injili di Tanah Papua sejak terbentuk 1956, memiliki 186 bakal jemaat, 580 Jemaat, 9 resort dan 1 klasis bebahasa Belanda dan terdapat 130.000 lebih orang Kristen.[18]

Sinode Umum GKI Irian Jaya yang pertama berlangsung dari tanggal 16-29 Oktober 1956 di Abepura (dekat Jaya Pura sekarang). GKI IB dinyatakan berdiri secara resmi tanggal 26 Oktober 1956 kemudian di sahkannya sebagai Gereja oleh Gubernur Nederlands. Nieuw Guinea dalam surat keputusannya tertanggal 8 Pebruari 1957. Pada waktu GKI di lantik menjadi Gereja yang berdiri sesudah terdapat sembilan resort dan satu klasis berbahasa Belanda. Sinode-sinode Resort itu terdiri dari utusan-utusan dari klasis-klasis yang membentuk resort yang di pilih secara gerejani. Sedang utusan-utusan atau anggota klasis di pilih dari jemaat-jemaat yang terdapat dalam klasis. Jadi anggota-anggota sinode umum itulah utusan resort yang telah di pilih secara gerejani dan demokratif. Demikianlah gambaran tentang GKI oleh Pdt. F.J.S. Rumainum yang di pilih ketua sinode umum oleh sinode yang pertama itu. Walaupun kebijaksanaan Zendeling yang di paparkan di atas berhasil di laksanakan, sehingga pada waktu berdiri sendiri GKI sudah mempunyai lebih banyak pendeta asli dari pendeta utusan namun peranan dan pengaruh dari pihak Zendeling masih besar dalam GKI di Irian Barat. Sekretaris dan Bendahara sinode umum I (yang bersama ketua dan satu atau dua anggota dari Jayapura merupakan badan pekerja sinode umum) adalah orang Belanda (Kamma dan de Kater). Sampai dengan tahun 1962 tatap ada seorang Ketua Zendeling (atau Terrinleider), orang Belanda yang bertugas di Ibu Kota Irian Barat. Oleh sinode umum ke-II bulan Agustus 1960 Pdt Rumainum di pilih kembali sebagai ketua Pdt S. Liboran di pilih mengganti de Kater sebagai Bendahara, dan (Pdt. Rigters mengganti Kamma sebagai Sekretaris). Pada sinode umum ke-III, bulan Desember 1962, semua anggota BPSU sudah orang Irian dengan pilihannya Pdt. M. Koibur sebagai Sekretaris mengganti Rigters. Jadi sampai akhir priode pertama ini selesailah peralihan semua jabatan kepada orang Irian, walaupun beberapa dari pejabat baru itu belum lama manjadi Pendeta.[19]

GKI Irian yang merupakan rapat sinode sebagai Missionaer UZV didaerah pantai sejak 1860 dan oragnisasi zending AS didalam setelah perang pasifik.[20] Pemerintah Hindia Belanda kembali dengan tentara sekutu dan melanjutkan pemerintahannya atas Irian Barat sampai pada tanggal 1 mei 1963 pada masa ini gereja di Irian Jaya diushakan pembangunannya kembali oleh Zending Belanda, karena sebelumnya telah rusak akibat perang dunia II. Pada perode ini negeri Belanda terjadi sesuatu terorganisasi dari UZV kedalam suatu bentuk baru pada tahun 1951 dengan nama Zendeling Der Nederlendse Hervormde Kerk (ZNHK), hal ini mempersiapkan GKI untuk berdiri sendiri, konsolidasi pembangunan kembali agar kokoh, pendidikan dan persekolahan dibangun seluas-luasnya dengan bantuan dengan pemerintah pada tahun 1955, membari subsidi penuuh kepada sekolah-sekolah Zending bahkan menyerahkan seluruh bidang pendidikan kepada 2 badan swasta, Zending NHK dan misi katolik.[21]  

GKI menjadi gereja terbesar di Papua. Terjadi dinamika selama periode awal-awal integrasi Indonesia. Mereka mengembangkan teologi untuk beradaptasi dan bekerja sama dalam rangka untuk bertahan. Salah satu perdebatan yang mengemuka adalah untuk penerimaan ideologi negara Pancasila sebagai asas tunggal. Campur tangan militer besar. Masyarakat dimiliki oleh pemerintah bukan sebaliknya. Para pemimpin gereja yang pro-pemerintah dan juga yang tetap kritis dan berpegang teguh pada cita-cita pembebasan. Dalam setiap sikap yang diambil, mereka menggunakan pendekatan teologis sebagai bagian dari strategi. Sebagai bagian bentuk sikap, gereja-gereja independent terbentuk pada masa ini. Dari masyarakat grass root teologi pembebasan lahir dan bertumbuh. Ketika rombongan orang Papua bertemu Presiden B.J. Habibie untuk menuntut kemerdekaan, mereka seperti Musa yang menuntut kemerdekaan bagi bangsa Isreal dari Firaun. Gereja dan kekristenan adalah faktor yang sangat penting bagi pembentukan identitas Papua. Gereja membuka wilayah-wilayah yang tak terjangkau dan membangun pendidikan untuk orang Papua di area pendidikan, layanan kesehatan dan juga partisipasi politik. Gereja juga merupakan aktor penting untuk menjaga Papua sebagai tanah damai dan mencegah upaya-upaya kekerasan dan provokasi konflik horizontal seperti yang terjadi di Ambon dan Poso.[22]

2.6. Kekristenan di Papua (Irian Jaya) Pada Masa Orde Baru (1966-1998)

Pada masa Orde Baru pekabaran Injil pun semangkin ditingkatkan ke daerah-daerah pendalaman Irian Jaya khususnya kepada suku Timika di Timika ada seorang pelayan/ utusan Zending untuk mengabarkan Injil yaitu Isak Ownamawe. Akan tetapi pada tahun 1948, penginjil Ownamawe pergi ke Fak-fak untuk melanjutkan pendidikan PGAK. Karena itu pelayanan di Timika dilanjutkan oleh pdt. Noakh Nawipa.[23]  Pada tahun 1962 seluruh urusan sekolah diserahkan kepada Yayasan persekolahan Kristen. Kerja sosial di kota-kota yang sedang terbentuk, pekerjaan dikalangan pemuda, organisasi-organisasi wanita beserta latihan kadernya, usaha dibidang bacaan yang berupa lanjutan dari kerja Lembaga Alkitab Belanda, yang telah diperluas jadi bagian bacaan sebuah percetakan sendiri. Semua itu secara berangsur-angsur mulain dijaiankan oleh Gereja Kristen Injili yang masih muda itu. Pada tahun yang sama juga GKI-Irian Jaya masuk menjadi anggota DGI/PGI (Dewan/ Persekutuan gereja-gereja di Indonesia) dan EACC (konferensi Kristen Asia Timur), dan WCC (dewan gereja-gereja sedunia).[24]  Pada masa ini juga yaitu tepatnya pada tahun 1987 Gereja KINGMI yang telah berdiri sebelumnya di Irian Jaya telah membuka sekolah STT Walter Post Jayapura dengan alasan untuk melayani Gereja yang terus-menerus meningkat. Lembaga pendidikan ini dibuka untuk menyiapkan kader-kader petugas gereja yang lebih siap menghadapi perubahan-perubahan zaman. Pada tahun 1988, sekolah ini mendapat tambahan tenaga dosen yaitu Pdt. Hendrik Jacop, M.Div dan ibu Christian Jacob dan Jhon Dayapo S.Th.[25]

Selain dari pada Gereja Kingmi dan GKI-Irian Jaya, ternyata di Irian juga terdapat Gereja Protesan Indonesia. Gereja ini terbentuk di Irian Jaya pada tahun 1985. Gereja ini terbentuk karena adanya suatu perundingan antara GPM dan Irian Jaya, yaitu bahwa sebelumnya Gereja Protestan ini terdiri dari 3 klasis yaitu yaitu Fak-fak, Kaimana dan Merauke yang merupakan termasuk dalam wilayah GPM. Akan tetapi Fak-fak meminta agar daerah mereka dimasukkan ke dalam wilayah pelayanan GKI-Irian Jaya. Akibat hal tersebut terjadi perundingan antara GPM dan GKI-Irian Jaya. Pada tahun 1971 terdapat  suatu keputusan bahwa GPM menyerahkan seluruh jemaat Fak-fak kepada GKI-Irian Jaya dan mengenai daerah lain akan di bicarakan kemudian. Namun, lama kelamaan ketiga daerah ini membentuk Gereja sendiri dengan nama Gereja Protestan Indonesia di Irian Jaya.  Gereja ini memiliki anggota jemaat sebanyak 27.000 pada tahun 2000 dan berkantor pusat di Fak-fak pada tahun 1997. Gereja diterima menjadi anggota PGI pada tahun 1997.

2.7. Kekristenan di Papua (Irian Jaya) Pada Masa Reformasi (1998-Sekarang)

Sejak awal berdirinya, GKI di Tanah Papua adalah suatu gereja yang bersifat oikumenis, dan bukan gereja suku. Oleh karena itu, anggota-anggota jemaat GKI berasal dari orang Papua sendiri dan orang-orang bukan Papua dari berbagai suku dan bangsa serta dari berbagai latarbelakang keanggotaan gereja. Kehadiran dan keberadaan GKI di Tanah Papua adalah kehendak Tuhan untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah yang nyata di tengah keterbelakangan, keterasingan, kebodohan dan kemiskinan. Oleh pemberitaan Injil peradaban baru Papua dimulai dan terus berlangsung sampai sekarang ini. Sejak Sinode GKI berdiri di tanah Papua pada 26 Oktober 1956 sampai 26 Oktober 2011, sudah sebelas orang yang telah memimpin Sinode GKI. Berikut Ketua Badan Pekerja Am Sinode GKI di tanah Papua selama lima puluh lima tahun secara berturut-turut. 

1.      Pendeta F.J.S. Rumainum (almarhum) asal Biak

Dia dipilih dalam Sidang Umum GKI Irian Jaya pertama yang diseleng-garakan 16 – 29 Oktober 1956 di Abepura. Dalam masa kepemimpinannya GKI di Irian jaya Barat diresmikan melalui surat keputusan yang ditanda tangani Gubernur Nederlands Nieuw Guinea, pada 8 Pebruari 1957. Dalam periode  ini   telah   terjadi   beberapa   peristiwa  penting, diantaranya : GKI di Papua menjadi Anggota Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI) Jakarta dan menjadi anggota DewanGereja-gereja Dunia (DGD) setelah diterima dalam Sidang Raya Gereja-gereja se-dunia di Uppsala, Swedia pada Juli 1968. Inilah awal sikap politik gereja memperjuangkan Papua menjadi wilayah Indonesia. Dilaksanakanlah Trikora 1962. Peralihan Papua dari kekuasaan pemerintahan Belanda kepada Indonesia. Persiapan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PAPERA) Papua, Rumainum menjadi Ketua BPAS GKI di Tanah Papua selama tiga periode secara berturut-turut, 1956 – 1968.

2.      Pendeta Jan Mamoribo (almarhum) asal Biak

Menjadi Ketua BPAS GKI di Tanah  Papua kedua, periode 1968 – 1971. Selama periode ini, GKI tidak secara langsung terlibat dalam persiapan pelaksanaan Pepera. Penanganan warga jemaat yang menjadi korban pelaksanaan Pepera. Penanganan pengungsi. Persiapan pelaksanaan pemilu pertama bersama pemerintah Indonesia awal  Orde  Baru.  Dimasa kepemimpinannya, banyak pendeta menjadi anggota legislative dengan alasan sumber daya manusia dangat memadai. Sejak itu dan seterusnya banyak pendeta menjadi politisi yang kemudian sulit memisahkan pekerjaan sebagai hamba Tuhan dan tugas sebagai politisi. Setelah turun dari jabatan ketua, Pdt. Jan Mamoribo menjadi Ketua DPRD Irian Jaya periode 1971 – 1975, dan menjadi Wakil Gubernur Irian Jaya bersama Gubernur Acub Zainal selama setahun, 1975 – 1976.

3.      Pendeta Mesakh Koibur Asal Biak

Menjadi Ketua BPAS GKI di Tanah Papua keempat periode 1977 – 1979. Sebelum menjadi ketua, dia orang Papua pertama yang menjadi sekretaris selama dua periode di jaman ketua GKI dipimpin orang Belanda. Dijaman ini situasi kian normal, pembangunan muali digiatkan.  Mesakh   Koibur  sekretaris  pertama Sinode GKI bersama Pdt.  Rumainum    membuat     Surat  Gembala kepada Wali Gereja Kristen Injili agar memilih ikut Indonesia, serta rakyat Papua ikut pemilu kedua tahun 1977. Setelah habis masa jabatan, Pdt. Mesakh Koibur menjadi anggota DPRD Provinsi Irian Jaya periode 1977 – 1982.

4.      Pendeta Willem Maloali Asal Sentani

Menjadi ketua BPAS GKI di Tanah Papua ketiga, periode 1971 – 1977. Pemerintan Orde Baru dimulai. Pada periode ini gereja lebih banyak terlibat dalam pelaksanaan proyek pembangunan. Tetapi juga gereja menghadapi pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang pertama di Manokwari pimpinan Awom   bersaudara,   masyarakat   tidak setuju pemerintah Indonesia melaksanakan pembangunan di Papua. Terjadi pengeboman di jayawijaya saat J.B. Wenas menjadi Dandim di sana. Pada masa ini gereja di perhadapkan pada pilihan yang sulit. Selain melaksanakan pembangunan juga harus menghadapi tuduhan sebagai pendukung Gerekan OPM. Maloali menjadi Ketua DPRD Irian Jaya periode 1982 – 1987, menjadi anggota DPR RI dari fraksi Partai Golongan Karya periode 1992 – 1999.

5.      Pendeta Lukas Sabarofek Asal Biak

Menjadi ketua BPAS GKI di Tanah Papua yang kelima periode 1979 – 1980. Dia menjadi ketua pengganti antar waktu, sehingga melaksanakan tugas-tugas ketua umumnya, Mesakh Koibur yang dipilih menjadi anggota DPRD Provinsi Irian Jaya. Lukas yang saat itu wakil ketua dipilih menjadi ketua pengganti antar waktu melalui rapat  pekerja    lengkap    BPAS GKI,  pada  Juli 1979 di Serui. Setelah habis masa jabatan, dia menjadi anggota DPR RI dari Fraksi PDIP selma lima tahun, 1999 – 2004.

6.      Pendeta Penehas Sawen Asal Biak

Menjadi ketua BPAS GKI di Tanah Papua keenam, periode 1980 – 1988. Periode ini gereja menghadapi masalah yang paling sulit dalam memberikan pelayanan firman Tuhan. Situasi yang sedang pulih saat itu kemudian terjadi gejolak sosial politik yang luar biasa. Terjadi pengungsian secara besar-besaran ke Papua Neuw    Guinea.    Terjadi    penangkapan dan pembunuhan Group Musik Mambesak Arnold Ap. GKI bersama Keuskupan Jayapura dan gereja-gereja di wilayah Pasifik bekerja sama memberikan pelayanan pastoral bagi pengungsi di tempat pengungsian di Papua Neuw Guinea. Gereja kemudian terlibat dalam pemulihan hubungan diplomatik akibat pengungsian. Mengatur warga di lintas batas. Dalam melakukan pekerjaan itu, Sawen dibantu sekretarisnya Pdt. Phil Erari. Setelah tidak lagi menjadi ketua, Sawen menjadi anggota DPR Papua periode 2004 – 2009.

7.      Pendeta Willem F. Rumsarwir, S.Th. Asal Biak

Menjadi ketua BPAS GKI di Tanah Papua ke tujuh, periode 1988 – 1996. Situasi Papua semakin membaik, namun terjadi perubahan politik di Indonesia, terjadi peralihan dari kekuasaan Orde Baru ke reformasi. Isu Hak Azasi Manusia (HAM) dan lingkungan hidup mulai terungkap ke permukaan. Gereja banyak terlibat dalam  upaya    penegakkan (HAM). Kontekstualisasi teologia Melanesia mulai dikembangkan di lingkungan gereja. Setelah habis masa jabatan, Rumsarwir menjadi anggota MPR RI utusan daerah Papua periode 1992 – 1997. Menjadi anggota DPR RI Fraksi Partai Golongan Karya periode 1997 – 1999. Dan sekarang menjadi anggota Majelis Rakyat Papua mewakili unsur agama, periode 2005 – 2010.

8.      Pendeta Herman Saud, M.Th. Asal Sorong

Menjadi Ketua BPAS GKI di Tanah Papua kedelapan periode 1996 – 2005, ini adalah periode mengambang kontekstualisasi teologia Melanesia mulai digiatkan di lingkungan jemaat terjadi reformasi politik di Indonesia yang kemudian berkembang menjadi krisis multimensi yang berkepanjangan. Aspirasi rakyat Papua menuntut merdeka terlepas dari Indonesia  mulai   muncul  disertai  pengibaran bendera Bintang Kejora di seluruh pelosok tanah Papua. Terjadi Biak berdarah 1997.Benturan tawaran antara Merdeka dengan Otonomi  Khusus dari pemerintah pusat, terjadi benturan kepentingan yang kemudian timbul konflik Irian Jaya Barat dan Papua. Pelaksanaan Mubes dan Kongres Papua. Penculikan dan pembunuhan Ketua Dewan Presidium Papua Theys Hiyo Eluay. Terjadi berbagai kekerasan politik oleh aparat di mana-mana di Papua. Gereja mulai mempelopori Papua sebagai Zona Damai. Suaka politik warga Papua ke Australia. Pembentukan Persekutuan Gereja-Gereja di Papua. Dan membangun komunikasi lintas agama.Setelah turun dari jabatan, Herman Saud terus ikut berjuang dalam dialog antar lembaga untuk membangun budaya damai di Papua bersama lintas agama : Keuskupan Jayapura (Katolik), Islam, Hindu dan Budha, Lembaga Swadaya Masyarakat serta tokoh agama dan tokoh masyarakat.

 

9.      Pendeta Corinus Berotabui, M.Th.(almarhum) Asal Yapen Waropen

Menjadi ketua BPAS GKI di Tanah Papua kesembilan periode 2006 – 2011. Periode ini tetap melanjutkan pekerjaan pelayanan jemaat, juga terus membina komunikasi lintas agama untuk membangun budaya damai di Tanah Papua. Terlibat dalam penyelesaian bentrokan Abepura 16 Maret 2006. Pelaksanaan pembangunan di Papua melalui Otonomi Khusus. Persiapan perayaan 50 tahun GKI di Tanah Papua.Perkembangan Sinode GKI di   Tanah   Papua    sejak    terbentuk   26 Oktober 1956 sampai sekarang lebih banyak gereja terlibat dalam penyelesaian masalah politik. Sesuai visi dan misi gereja yaitu melayani, bersaksi dan bersekutu dalam tindakan nyata : melindungi, melayani, menyelamatkan umat serta berlaku sebagai agen perubahan.

10.  Pendeta Yemima Krey, STh Asal Biak

Menjadi ketua BP AS GKI di Tanah Papua yang kesepuluh, periode 2008–2011. Menjadi ketua pengganti antar waktu, Pdt.Yemima Krey yang sebelumnya menjabat Sekretaris BPAS juga Alumni STT GKI Isak Semuel Keyne. Kepemimpinannya memiliki kepribadian tinggi yang mencerminkan sosok Bin Syowi yang disiplin, dan mengedepankan Tri Panggilan Gereja yakni Bersekutu, Bersaksi dan Melayani.[26]

11.  Pendeta Albeth Yoku, S.Th Asal Jayapura

Menjadi Ketua BP AS di Tanah Papua yang ke sebelas periode 2011-2016. Sebelum menduduki jabatan wakil sekretaris sinode, menjadi Kepala Departemen PI Wilayah Kepala Burung. Kemudian hasil sidang sinode di Jayapura bulan Oktober tahun 2011 beliau diangkat sebagai Ketua BP AM Sinode GKI di Tanah Papua. Membangun kemitraan   dengan  gereja   luar   dalam rangka meningkatkan sumber daya generasi muda dan meningkatkan kinerja aparatur gereja di Tanah Papua. Menjadi harapan Albert Yoku, mari kita bersama-sama warga GKI di Tanah Papua bersaksi, bersekutu dan melayani. Mambangun kualitas iman Kristiani di Tanah Papua. Beliau juga pecetus Persekutuan Kaum Bapak di Tanah Papua.

Pada tanggal 11-16 Maret 2017, Sidang Sinode GKI Papua telah memilih Badan Pengurus Sinode GKI di Tanah Papua Periode 2017-2022. Adapun susunan Badan Pengurus Sinode GKI di Tanah Papua:

Ketua : Pdt. Andrikus Mofu, M.Th.

Wakil Ketua : Pdt. Hizkia Rollo, S.Th.

Sekretaris : Pdt. Daniel J. Kaigere, S.Si. (Teol.)

Wakil Sekretaris : Pdt. Syahnur Abbas, S.Th.

Bendahara : Nikodemus Satya, S.E.[27]

2.8.Gereja Pertama  di Papua (Irian Jaya)

2.8.1.      Gereja Baptis Anugerah di Papua

Pada tahun 1949, persekutuan Gereja-gereja Baptis New South Wales, Australia mengirim utusan Injil mereka ke Papua Nieuw Gunea (PNG), bersama dengan Missionary Adviantion Fellowshif (MAF) Australia, membuka pos-pos pelayanan dengan semua misionaris di PNG. Pada tahun 1955, Norm dan Sheila Draper membuka lapangan terbang dan melayani di pos Baiyer River (Kumbareta) dan Lumusa. Pada suatu hari di lapangan terbang itu mendarat pesawat MAF tersebut dikemudikan oleh pilot Charles Mellis  yang baru terbang dari Papua Barat (Pada saat itu disebut Netherlands New Guinea atau Dutch New Guine). Pilot Charles Mellis menerangkan sedikit tentang Lembah Baliem kepada Norm dan Sheila Draper. Dia menekankan supaya Misionari dari Australia datang melayani di Papua  (Netherlands New Guinea atau Dutch New Guine), karena negara Australia adalah negara yang terdekat dengan Papua. Pilot Charles Mellis mengatakan kepada Norm dan Sheila Draper bahwa orang babtis Australia harus mulai pikirkan tentang pelayanan di Papua dalam bidang penginjilan, kesehatan dan pendidikan.[28]

      Di awal perkembangan Gereja Baptis mula-mula banyak tantangan yang di hadapi secara intrnal dan eksternal. Perkembangan Gereja Baptis melewati berliku-liku, suka dan duka dalam kehidupan umat Baptis. Walaupun demikian kualitas kehidupan dijalani oleh Gereja yang berasaskan Akitabiah ini terlihat dan menarik jiwa-jiwa, bagaikan ibarat magnet. Secara umum perkembangan Gereja Baptis menjadi dua bagian. Yang pertama, daerah Balim Utara Beam – Kwiyawagi . yang kedua adalah diluar daerah Balim Utara antara lain Wamena, Jayapura, Sorong, Serui,Manokwari,Nabire, Timika, Biak, Merauke, dan Puncak Jaya.[29]

2.9. Tokoh-tokoh Kekristenan Gereja di Papua (Irian Jaya)

2.9.1.      C.W. Ottow dan J.G. Geissler

Yang merintis usaha PI di Irian Jaya ialah dua orag Jerman, hasil didikan Gossner, yang kemudian diutus oleh Heldring, yaitu C.W. Ottow dan J.G. Geissler. Tahun 1852 mereka telah tiba di Batavia, tetapi karena mereka bukan orang Belanda, mereka lama sekali harus menantikan izin menetap di Irian. Pada tahun 1854 mereka berada di Ternate. Setelah memperoleh izin dari sultan Tidore, mereka mengadakan pelayaran tiga minggu dengan sebuah kapal dagang dan mendarat di pulau Mansinam, yang didiami suku Numfor (5 Februari 1855). Ottow dan Geissler menempuh pekerjaan dengan cara yang sesuai dengan metode yang telah dianjurkan kepada mereka oleh Gossner dan Heldring. Mereka adalah zendeling-tukang, maka mereka segera bekerja dengan tangan mereka. Tetapi di samping berdagang mereka berupaya sekuat tenaga untuk mengikuti panggilan meyebarkarkan injil dan memerang agama kafir. Yang pertama, pekabaran inji itu, berupa kebaktian yang diadakan pada hari Minggu padi di rumah sendiri. Caranya secara asasi sama seperti di jemaat yang sudah lama berdiri: ada doa, ada nyanyian, ada khotbah. Khotbah itu berpokok penawaran keselamatan kekal bagi orang yang mau bertobat dan pengancaman kebinasaan kekafirannya. Agar orang Irian tertarik, maka sehabis kebaktian mereka disuguhi tembakau atau gambir. Mula-mula bahasa pengantar ialah bahasa Melayu, tetapi pada tahun 1859 kebaktian mulai diadakan dalam bahasa Numfor. Pada tahun 1861 sudah dapat diterbitkan sebuah kumpulan lagu-lagu Kristen dalam bahasa itu dan sebelum 1870 beberapa kitab Perjanjian Baru sudah berhasil diterjemahkan.[30]

2.9.2.      Van Hasselt Jr

Sekalipun fajar di Irian sudah terbit, namun di Negeri Belanda orang belum mengetahuinya. Di sana masih berkumandang juga gaung pengalaman-pengalaman Van Hasselt Jr. dan laporan-laporan Metz dan Van Balen. Maka Van Hasselt, yang sedang cuti di negeri Belanda, menulis: "Di tengah segala hal yang meningkatkan semangat kami, kami merasa tertekan oleh kekurangan uang, iman dan cinta serta kegembiraan, yang dialami juga oleh lembaga-lembaga pekabaran Injil. Dan bila kami mendengar tentang jeleknya pekerjaan itu, maka kami pun berharap agar Tuhan mengutus Malaikat-malaikat-Nya untuk membawakan Injil, yaitu tentara Malaikat, yang tidak akan sakit, tidak akan mati dan tidak akan memerlukan biaya perjalanan." Adapun yang ia lakukan ialah :

a.   Tindakan pertama: mendidik lebih banyak anak muda untuk di ikutsertakan dalam karya zendeling, juga di pos-pos zendeling sehingga para zendeling akan sempat melakukan karyanya yang sebenarnya.

b.   Diputuskan untuk memberitakan kelulusan kepada Saudara Van Hasselt Jr. Dan Van Starrenburg dalam mempelajari keadaan negeri dan rakyatnya melalui pelajaran-pelajaran.

Van Hasselt Jr. Dan D.B. Starrenburg yang masih muda itu di beri tugas melaksanakan kebijakan baru itu. Pada akhir tahun pertama kegiatan Hueting (akhir 1897) sudah terjadi kebangunan besar di Halmahera, yang akan berlangsung terus bertahun-tahun lamanya, dan yang mengakibatkan bergeraknya rakyat banyak. Kebangunan ini didahului oleh “Gerakan Andil” (Andi adalah Ratu Adil) yang dapat di perbandingkan dengan gerekan-gerakan koreri di wilayah orang Nunfor dan Biak. Terutama Huetinglah yang mampu memanfaatkan saat yang secara psikologis tepat itu. Ia segera bertindak di saat memuncaknya gerakan ini dan mampu menjuruskan gerakan itu di jalan Agama Kristen. Banyak daerah menyatakan mau menerima Injil dan terjadilah kekurangan tenaga pengajar. [31]

2.10.                    Pergumulan Yang Terjadi Pada Masa Kekristenan Di Papua (Irian Jaya)

1. Setelah kedatangan tentara Jepang ke Irian Jaya pada permulaan Tahun 1942 ialah hilangnya pimpinan Gereja, sebab semua pekerja zending ditawan dan di bawa keluar  dari Irian. Resort-resort ditinggalkan tanpa pimpinan, begitu juga semua lembaga dan usaha. Keadaan sukar sekali, pelayanan mengalami kesulitan. Ada yang dibunuh, ketakutan terhadap tentara Jepang mengakibatkan guru-guru jemaat dan penginjil lain meninggalkan pekerjaannya.[32]

2. Pada masa Perang Dunia II, jemaat-jemaat di Irian mengalami goncangan besar. Di daerah-daerah tertentu, semua guru Ambon bersama keluarganya tewas terbunuh oleh orang Jepang. Di daerah lain berlangsung gerakan anti-jepang berupa gerakan Koreri, yang ditumpas dengan banyak pertumpahan darah. Hal ini disebabkan tekanan dari Jepang sehingga kegiatan jemaat menjadi terbatas.[33]

3. Apa yang sejak tahun 1956 dipersiapkan oleh tenaga inti zending di Belanda (Kijne, Kamma, Kabel dan ten Kate), yaitu agar GKI dapat menjadi suatu gereja yang berdiri sendiri secara kuat di dalam suatu negara Papua merdeka, tidak terjadi demikian. Dan kenyataan inilah yang menghadapkan GKI Irian Jaya pada suatu situasi yang serba sulit setelah wilayah Irian Jaya masuk kedalam kekuasaan RI. Walaupun pimpinan tertinggi badan zending NHK berpaham Irian Jaya harus masuk republik Indonesia, utusan-utusannya di Irian Jaya yang paling berpengaruh dalam gereja Kristen Injili berpendapat bahwa GKI harus berdiri sendiri bebas dalam negara Papua merdeka. Dan hal ini menambah berat pergumulan GKI setelah Irian Jaya dimasukkan dalam kekuasaan RI.

4. Dalam pemerintahan Republik Indonesia (1963-1971) terjadi peristiwa-peristiwa yang sangat penting. Pada tanggal 1Mei 1963 dilakukan penyerahan pemerintah atas wilayah Irian Jaya dari UNTEA ke Pemerintah RI. Banyak perhatian Irian Jaya mulai dipusatkan pada persiapan untuk Penentuan Pendapat Rakyat (PAPERA) akan tetapi masih ada unsur-unsur Operasi Papua Medeka (OPM). Dan pada masa perwujudtan ini banyak hal-hal yang dialami oleh banyak orang Irian yang meninggalkan bekas-bekas yang memerlukan waktu untuk untuk hilang rasa pedihnya.[34]

III.             Kesimpulan

Gereja Irian Jaya tidak terlepas dari tantangan yang harus dijawabnya dalam tahun-tahun sesudah 1950an Irian menjadi rebutan antara Indonesia dengan Belanda. Pemerintah Belanda memberikan banyak janji yang kemudian tidak dapat ia penuhi. Sejak tahun 1855 barulah muncul dua orang pekabar Injil dan mereka lah yang merintis pengkabaran injil disana. Awalnya, orang-orang Irian Jaya sangat tidak suka bergaul karena sifat inilah yang menjadi hambatan bagi para pengkabar Injil tersebut. Tetapi para Pekabar Injil memiliki metode pendekatan sehingga menarik perhatian warga dan dari situlah kekristenan semakin tersebar hingga sekarang ini.

IV.             Daftar Pustaka

R. Mansoben, Jozhua, Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, (Jakarta: LIPI-RUL, 1995)

Kamma , Ajaib Di Mata Kita, Jilid I, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981)

Weitjens, End,  Ragi Carita 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016)

Van Den End J. Th, Ragi Carita 2, (Jakarta: BPK GM 2015)

Muller Kruger, Th, Sejarah Gereja Di Indonesia, (Jakarta: BPK GM, 1966)

Heuken SJ, A, Ensiklopedia Greja IV Ph-To

Kranendonk & A.F. Van Toor, B.W, Jejak Seorang Pengkabar Injil Di Papua Gerrit Kuijt, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017)

F & Cooly F.L, Ukur, Benih Yang Tumbuh VIII, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-Gereja di Indonesia, 1997)

Sihar Aritonang and Karel Steenbrink, Jan, A History of Christianity in Indonesia

Rumaseb, Alex, Sejarah Gereja Kemah Injil Indonesia di Tanah Papua

Den End & J.Weitjens, Van, Ragi Carita 2,( Jakarta : BPK-GM, 1993)

Van den End & J. Weitjens, Th, Ragi Cerita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an- sekarang, (Jakarta:Gunung Mulia,2008)

Sumber Lain:

https://www.kompasiana.com/sejarah-masuknya-agama-kristen-di-papua. Diakses pada tanggal 22 Februari 2022, Pukul 10:19

http://ypslmanokwari.blogspot.com/2012/02/pimpinan-sinode-gki-di-tanah-papua-1956.html, diakses pada Rabu, 22 Februari 2022  Pukul 15.21WIB

https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Kristen_Injili_di_Tanah_Papua, diakses pada Kamis, 23 Februari 2022, Pukul 10.32 WIB

Provinsi Papua Dalam Angka 2019, www.papua.bps.go.id. Diakses tanggal 22 Februari 2022, Pukul 10.21



[1] https://www.kompasiana.com/sejarah-masuknya-agama-kristen-di-papua. Diakses pada tanggal 22 Februari 2022, Pukul 10:19

[2] Jozhua R. Mansoben, Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, (Jakarta: LIPI-RUL, 1995), 65

[3] Provinsi Papua Dalam Angka 2019, www.papua.bps.go.id. Diakses tanggal 22 Februari 2022, Pukul 10.21

[4] Kamma , Ajaib Di Mata Kita, Jilid I, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 87.

[5]End dan  Weitjens, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 123.

[6]Kamma, Ajaib Di Mata Kita, Jilid I, 185 – 186.

[7] Th. Van Den End J. Ragi Carita 2, (Jakarta: BPK GM 2015), 120-121.

[8] Th, Muller Kruger, Sejarah Gereja Di Indonesia, (Jakarta: BPK GM, 1966), 86-87.

[9]  Th. Van den End & J. Weitjens, Ragi Carita 2, ( Jakarta: BPK GM, 2008), 121-122.

[10] Th. Van den End & J. Weitjens, Ragi Carita 2, 123

[11]  Th. Van den End & J. Weitjens, Ajaib di Mata Kita, (Jakarta: BPK GM, 2006), 213.

[12]  Th. Van den End & J. Weitjens, Ragi Carita 2, 125-126.

[13] A.Heuken SJ, Ensiklopedia Greja IV Ph-To, 378.

[14] Th. van den End & J.Weitjens, SJ, Ragi Carita 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 130.

[15] B.W. Kranendonk & A.F. Van Toor, Jejak Seorang Pengkabar Injil Di Papua Gerrit Kuijt, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), 70.

[16] Ukur.F & Cooly F.L, Benih Yang Tumbuh VIII, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-Gereja di Indonesia, 1997), 29-30.

[17] Van den End, Ragi Cerita 2, 130.

[18] F.C. Kamma, Ajaib Di Mata Kita, Jilid III, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 518-519.

[19] Ukur.F.& Cooly.F.L, Benih Yang Tumbuh VIII, 30-32.

[20] A. Henken, Ensiklopedia Gereja A-G, 384-385.

[21] Ukur.F.& Cooly.F.L, Benih Yang Tumbuh VIII, 29.

[22] Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink, A History of Christianity in Indonesia, 374-375.

[23] F.C. Kamma, Ajaib Di Mata Kita, (Jakarta: BPK-GM, 1994), 434.

[24] F.C. Kamma, Ajaib Di Mata Kita, 527-528.

[25]  F. Ukur dan F.L. Cooley, Benih Yang Tumbuh VIII, (Jakarta: BPK-GM), 129.

[26]  http://ypslmanokwari.blogspot.com/2012/02/pimpinan-sinode-gki-di-tanah-papua-1956.html, diakses pada Rabu, 22 Februari 2022  Pukul 15.21WIB.

[27] https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Kristen_Injili_di_Tanah_Papua, diakses pada Kamis, 23 Februari 2022, Pukul 10.32 WIB.

[28] Alex Rumaseb, Sejarah Gereja Kemah Injil Indonesia di Tanah Papua, 22.

[29] Ibid…., 204. 

[30]  End Th, Van den & Weitjens, J, Ragi Cerita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an- sekarang, (Jakarta:Gunung Mulia,2008), 122.

[31]  F.C.Kamma, Ajaib di Mata Kita III, 169-170.

[32]  F Ukur.& Cooly.F.L, Benih Yang Tumbuh VIII, 27.

[33] Van Den End J.Weitjens, Ragi Carita 2,( Jakarta : BPK-GM, 1993), 130.

[34] [34]  F Ukur.& Cooly.F.L, Benih Yang Tumbuh VIII, 33-34


Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Mundosaragi
Total Pageviews