wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

TEORI PERKEMBANGAN IMAN

 

I.                   Pembahasan

1.1. Pengertian Teori

Secara umum, teori (theory) adalah sebuah sistem konsep yang mengindikasikan adanya hubungan di antara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah fenomena. Menurut Jonathan H. Turner mendefenisikan teori sebagai “sebuah proses mengembangkan ide-ide yang membantu kita menjelaskan bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi.”

1.1.1.      Kegunaan Teori

Teori yang baik memiliki kegunaan (utility), dalam hal teori tersebut dapat memberitahukan banyak hal kepada kita mengenai komunikasi dan perilaku manusia. Hal ini memungkinkan kita untuk mengetahui beberapa elemen dari komunikasi yang sebelumnya tidak jelas. Dengan demikian, teori dapat membentuk dan mengubah perilaku kita.

 Penggunaan teori. Praktik yang sensitif secara spiritual menuntut suatu perluasan kerangka teoretiknya untuk mencakup teori- teori yang mengalamatkan dimensi spiritual dari keberfungsian dan pengalaman manusia.[1]

1.2. Pemahaman Tentang Perkembangan Iman

 Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. (Ibr. 11: 1).[2] Apabila berbicara tentang iman, maka pertama-tama yang harus dipahami adalah hal-hal mendasar tentang darimanakah iman itu. Dalam kehidupan komunitas Kristen, orang-orang percaya mengakui bahwa iman adalah pemberian Allah berdasarkan anugerah yang diberikan bagi orang yang berdosa. Hal ini jelas disampaikan dalam Alkitab “ Sebab karena kasih karunia kamu dlselamatkan oleh iman; itu bukan basil usahamu tetapi pemberian Allah, itu bukan basil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” (Ef. 2:8-9). Dengan demikian dipahamilah bahwa Alkitab menegaskan iman itu diperoleh semata-mata hanya karena melalui anugerah Allah. Tanpa anugerah Allah, tidak ada seorang pun yang dapat percaya kepada Kristus dan memperoleh keselamatan.

Seorang tokoh yang cukup berpengaruh dalam kekristenan yaitu Calvin dalam tulisan karyanya yang berjudul “Institutes of the Christian Religion” mendefinisikan juga pemahaman yang sejalan bahwa Iman adalah anugerah pemberian Allah.[3] Bukan Hanya Calvin, Thomas Aquinas juga, menyampaikan bahwa iman merupakan anugerah Allah.[4]

Dengan iman, seseorang dapat percaya bahwa Kristus adalah kebenaran sejati yang telah berinkarnasi ke dalam dunia untuk memberikan penebusan bagi dosa-dosa manusia. Sekalipun iman semata-mata merupakan pemberian Allah melalui karya Rob Kudus yang memanggil, mempertobatkan, memberikan iman, membenarkan, dan menguduskan orang percaya.[5]

Namun, bukan berarti manusia tidak perlu memberikan respons maupun tanggapan dan mempertanggungjawabkan iman yang diberi oleh Allah kepadanya. Setiap orang Kristen seharusnya dapat bertumbuh di dalam iman agar dapat semakin menyerupai Kristus. Seperti apa yang tertulis di dalam surat Efesus, "Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, yang rapi tersusun dan dilkat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota menerima pertumbuhannya dan membangun dirlnya dalam kasih (Ef. 4:16)." Menurut Abineno, di dalam surat Efesus ini, Paulus memakai istilah pertumbuhan dan pembangunan jemaat Istilah pertumbuhan menekankan pekerjaan Roh Kudus dan istilah pembangunan menekankan aktivitas manusia. namun, baginya kedua-duanya tetaplah menekankan pekerjaan Roh Kudus yang memakai manusia sebagai alat supaya manusia dapat mencapai kedewasaan penuh di dalam Kristus.[6]

 Kemudian, di dalam surat Kolose 2:6-7, "Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur." Di dalam bagian ini, Paulus berbicara kepada jemaat dl Kolose yang telah menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Paulus mengharapkan mereka dapat mempunyai pemahaman yang mendalam terhadap injil yang memimpin kepada pertumbuhan di dalam kerohanian.

 Keinginan dari seorang Kristen untuk mengalami pertumbuhan di dalam kerohanian maka akan terjadi kedewasaan kerohanian. Kedewasaan kerohanian berkaitan dengan bagaimana seseorang dapat menjadi beriman melalui anugerah Allah dan karya Roh Kudus di dalam dirinya sesuai dengan kapasitas masing-masing orang. Adapun kapasitas menjadi beriman berkaitan erat dengan proses perkembangan manusia.[7]

1.2.1.      Perkembangan Iman menurut James W. Fowler

 Fowler menjabarkan tentang pentingnya kehidupan iman seseorang sebagai realitas kehidupan yang mempunyai tahap perkembangan iman. Fowler memperlihatkan suatu skema yang memperlihatkan iman menurut tahap-tahap perkembangan hidup manusia karena ia meyakini bahwa setiap orang menetapkan hatinya untuk mempunyai keyakinan terhadap sesuatu atau seseorang.

Fokus pemikiran dari Fowler adalah mengidentifikasi dan mendeskripsikan perkiraan bentuk perkembangan tentang bagaimana seseorang dapat berpegang terhadap imannya.[8] Dalam pemahaman Fowler, iman merupakan sebuah kata kerja, sebuah tindakan aktif. Iman ini mengikuti perkembangan kognitif manusia dari bayi sampai dewasa.

Fowler berpandangan bahwa meyakini, mempercayai dan mengimani, semuanya berasal dari satu suku kata yaitu kata kerja “faithing”, yang diartikan sebagai suatu komitmen iman seseorang pada pusat transenden dari nilai dan kuasa (power), yang dengan-Nya, sang pribadi memaknai seluruh peristiwa dalam kehidupannya. Dalam hal ini, Johan Hasan berpendapat bahwa iman bisa saja tidak pada tradisi agama-agama yang kita kenal selama ini di Indonesia. Selain itu, berbicara tentang iman juga bukan sekadar percaya atau dengan mengatakannya dengan suara yang lantang agar didengar oleh orang lain. Pernyataan tentang iman dan formulasi doktrin tertentu bukan dari suatu agama pula, karena seorang yang tidak beragama pun menaruh iman, harapan, visi bahkan totalitas hidupnya pada sesuatu yang lain yang dianggap penting sebagai dasar yang menggerakannya dalam hidup.Kenyataan ini terjadi dalam setiap orang disekitar kita. Setiap orang mengalami pengalaman iman yang berbeda dengan waktu dan tahapan yang berbeda juga. Fowler memberikan gambaran tentang Faith Development Theory (Teori Perkembangan Iman) dalam 3 bagian, yakni:  Pertama, kepercayaan (faith). Fowler memandang kepercayaan sebagai bentuk upaya seseorang dalam merubah, menciptakan kemudiaan memelihara hal tersebut sebagai hal yang sangat berarti bagi kehidupannya. Terdapat 3 aspek yang dijelaskan oleh Fowler, yaitu:

1.      Iman adalah cara orang melihat hubungannya dengan orang lain,

2.      Iman sebagai representatif paradigma seseorang dalam mengartikan sesuatu secara umum dan mampu untuk mengartikan hal tersebut secara khusus pula,

3.      Iman dipahami sebagai pandangan seseorang tentang keseluruhan daripada nilai nilai kehidupan, serta kekuatan merupakan kewajiban yang harus dimiliki oleh seseorang karena hal tersebut berguna bagi diri sendiri dan sesama manusianya. Kedua, perkembangan (development).

Perkembangan tersebut dikenal sebagai proses perubahan kematangan wujud iman seseorang seseorang yang terjadi melalui beberapa tahap. Fowler menjelaskan bahwa perkembangan (development) berkaitan mental seseorang diproses dalam segala bidang dan pengalaman yang terjadi dalam kehidupannya. Kemudian hal tersebut dijadikan sebagai perumpamaan yang dapat ditafsirkan, diartikan dan dipahami dari masing-masing pribadi yang mengalaminya. Perkembangan dapat terbentuk dari masalahmasalah yang terjadi, karena dari masalah tersebut maka pribadi yang menjadi kuat dalam menghadapi setiap kenyataan yang terjadi. Ketiga, teori (theory).

Menurut Fowler, teori dapat tercipta dari setiap ilmu pengetahuan yang didalamnya terdapat sekumpulan hipotesis. Perlu dicatat bahwa teori bukan berbicara tentang pengetahuan belaka, melainkan pengetahuan yang kemudian diaplikasikan melalui praktiknya. Secara psikologis, teori perkembangan memiliki tujuan dalam untuk memahami serta merumuskan semua kejadian yang terjadi dalam perkembangan seseorang termasuk imannya.  Jadi, Faith Development Theory (teori perkembangan iman) merupakan suatu usaha ilmiah yang dilakukan Fowler untuk menguraikan secara empiris dan teoritis seluruh proses perkembangan iman dalam pengalaman hidup setiap orang. Melihat analisis yang dilakukan, maka Fowler berhasil membedakan tahapan tahapan perkembangan iman seseorang dari usia anak-anak sampai orang dewasa[9]

1.2.2.      Sekilas tentang James W. Fowler

James W. Fowler lahir di North Carolinam Amerika Serikat pada tahun 1940, dan beliau menutup usianya pada tanggal 16 Oktober 2015.11 Fowler mulai mengembangkan teorinya yaitu teori perkembagan iman, pada saat menjabat sebagai wakil pimpinan di sebuah perubahaan yaitu pusat pembinaan agama dan kebudayaan di tempat lahirnya (antara tahun 1968 – 1969). Ditempat tersebut dinamakan Interpreter’s House, pekerjaannya adalah sebagai pakar bimbingan dan konseling. Fowler mendengarkan banyak kesulitan hidup orangorang dan menjadi saksi perjuangan mereka dalam tujuan untuk menemukan kembali makna hidup. Disinilah Fowler mendapatkan suatu gambaran yaitu struktur pikiran yang biasa ditemukan pada banyak orang melalui hasil wawancara dari 500 orang yang berasal dari anak-anak dan orang tua. Hasil analisis wawancara tersebut memungkinkan Fowler untuk menyusun sebuah teori yang dikenal “Faith Development Theory (teori perkembangan iman)”. Teori ini menjadi teori baru yang yang digunakan untuk melihat tahapan perkembangan iman, baik secara empiris maupun teoritik. Seiring dengan berjalannya waktu, maka Fowler memutuskan untuk pindah ke Harvard (1969) dengan tujuan untuk mendalami secara mendalam tentang struktur-struktur pikiran yang ditemukan pada tempat diman ia bekerja, yaitu tentang perkembangan iman secara berangsur-angsur mulai menuju kepercayaan yang matang diinspirasi oleh teori Jean Piaget, Erik Erikson dan Lawrence Kohlberg. Fowler berusaha untuk menggabungkan dan mengembangkan dua tipe psikologi, psikososial dan struktur genetik menjadi teori perkembangan iman.[10]

1.2.3.       Tahap Perkembangan Iman James W. Fowler

1.2.3.1. Tahap Iman Intuitif-proyektif

Tahap iman pertama adalah tahap iman yang disebut sebagai intuitive-projective faith. Imannya didasarkan pada pemahaman yang tidak logis, karena sangat dipengaruhi oleh kemampuan imajinasinya. Di tahap ini seseorang mudah percaya pada hal-hal yang tidak logis seperti mujizat. Di tahap ini pula, seseorang percaya pada sesuatu yang dipercayai oleh orang-orang penting atau berpengaruh sekelilingnya, seperti orangtua, guru, sanak saudara. Imannya merupakan proyeksi dari orang-orang penting tadi.[11] Ini adalah iman sese- usja empat sampai delapan tahun, di mana makna dibuat dan kepercayaan dibentuk secara intuitif dan dengan cara meniru. Mengetahui terutama melalui intuisi, dan iman dibentuk dengan cara meniru suasana hati, contoh, dan tindakan-tindakan iman orang- orang lain yang penting yang dapat dilihat, terutama orang tua. Afeksi mendominasi. Mengetahui dan merasa bercampur. Otoritas berada dalam orang tua dan orang-orang dewasa yang penting. Anak mulai menemukan realitas yang melampaui pengalaman sehari-hari dan di sanalah ia bertemu dengan batas-batas kehidupan, mi- salnya kematian, batas-batas pengetahuan dan kekuasaan, dan sebagai- nya. Akan tetapi, kepercayaan dialaskan kepada orang tua dan orang- orang dewasa utama yang lain, dan dunia dikenal (diketahui) secara intuitif memproyeksikan makna dengan cara meniru orang-orang dewasa tersebut (oleh karena itu, nama tahap ini intuitif/proyektif). Tahap pertama adalah saat fantasi dan imajinasi yang bebas di mana gambaran-gambaran dan perasaan-perasaan yang dapat tahan lama (baik yang positif maupun negatif) dibentuk. Fakta dan fantasi belum dibedakan. Akibatnya, simbol-simbol diartikan secara harfiah dan Allah dipikirkan dalam istilah-istilah magis, antropomorfis (sebagai contoh, Allah adalah seorang pria tua yang memiliki janggut yang dapat mela- kukan apa saja). Memori dan kesadaran akan dirinya mulai timbul, dan kemampuan mengambil peran orang lain (empati) mulai ada, tetapi hanya dalam bentuk yang paling dasar.[12]

1.2.3.2.Tahap Iman Mitos-Harafiah

Tahap kedua adalah tahap iman yang disebut mythic-literal faith. Imannya didasarkan pada cerita / kisah yang diyakininya mengandung pesan kebenaran dan pesannya dipahami secara hurufiah.[13] Tahap ini kira-kira terjadi antara tujuh delapan sampai sebelas atau dua belas tahun. Tahap ini adalah tahap iman afiliatif di mana seseorang dengan lebih sadar untuk bergabung dan menjadi anggota kelompok terdekatnya atau komunitas iman. Orang tersebut sekarang datang, dengan antusias, untuk mempelajari "tradisi, bahasa, dan legenda-legenda" komunitas tertentu dan memakai merocka sebagai miliknya sendiri. Ini dapat terjadi karena sekarang ia memiliki kesadaran yang lebih besar mengenai perbedaan antara dirinya dan kumpulan orang-orang lain yang terdekat. Sekarang cara membuat makna lebih bersifat linear dan naratif daripada bersifat episodik seperti dalam tahap satu. Lingkungan akhir miliknya dikonseptualisasikan dalam cerita-cerita dan mite-mite yang di- artikan secara harfiah (oleh karena itu, nama tahap ini mitis/harfiah). Kehidupan tampak mulai muncul. Sekarang penalaran yang melebihi intuisi dapat dilakukan, tetapi penalarannya masih berupa hal-hal konkret yang berhubungan dengan pancaindra, mungkin dengan sedikit ab straksi. Anak mulai membedakan hal-hal yang natural dari hal-hal yang supernatural, tetapi Allah terus dipahami terutama dalam istilah-istilah antropomorfis. Maka, pada tahap ini, iman adalah iman "yang bergabung" seseorang secara sadar bergabung dengan kelompok sosial terdekat, meng- ambil cerita-ceritanya, simbol-simbolnya, mite-mitenya, dan ajaran-ajarannya, dan memahami mereka secara harfiah. Kata-kala dari orang- orang yang lebih tua yang penting, berkuasa atas kata-kata dari teman- teman sebayanya. Kemampuan empatinya bertambah, tetapi hanya bagi mereka "yang seperti kami", yaitu bagi para anggota kelompok terdekat.[14]

1.2.3.3.Tahap Iman Sintetik-Konvensional

Tahap ketiga adalah tahap iman yang disebut synthetic- conventional faith. Imannya didasarkan pada keyakinan iman dari komunitas yang mempunyai hubungan / relasi yang dekat dengannya.[15] Ketaatan mengikuti ibadah dan ajaran di gereja biasanya berkembang karena nasihat dan teladan orangtua Sikap anak kepada Tuhan juga banyak dipengaruhi apa yang dilihat pada kehidupan ayah dan ibunya. Karena kurangnya sikap kritis, biasa nya anak menerima saja apa, yang disampaikan orangtua dan guru atau pembina, sebagai kebenaran Dapat dikatakan bahwa cara beriman anak seperti itu dasarnya adalah peniruan (imitasi) walaupun tidak selalu keliru! Ada banyak orang dewasa sekalipun masih hidup dengan cara beriman berdasarkan tradisi, kebiasaan dan peniruan. Ketika anak memasuki masa remaja, pikirannya mulai lebih terbuka dan kritis Cukup banyak pertanyaan tentang iman dan kerohanian di hatinya bertumbuh. Sebagaimana uraian di atas mereka mulai mampu bernalar secara ilmiah dan hipotesis guna memperoleh jawaban yang sesungguhnya. Walau tidak selalu diungkapkan secara verbal, dalam diri mereka bertumbuh pertanyaan: "Apakah semua yang diajarkan kepada saya dan yang saya yakini sejak anak-anak itu benar demikian?" Daya tarik sikap dan pandangan teman-teman sebaya ikut memberi masukan baru bagi pertumbuhan rohani remaja. Dalam arti positif, cukup banyak remaja di gereja yang lebih giat di dalam mengikut Tuhan karena dukungan kawan-kawan atau para seniornya. Pengajaran yang benar dan jujur dari piminan jemaat turut menguatkan dukungan kawan-kawan itu. Dilihat dari teori perkembangan kepercayaan James Fowler, remaja berada pada tahapan cara beriman sintetis konvensional di mana berbagai pengalaman dan informasi dari beragam sumber, dimanipulasi kemamnuan berpikir hipotesis dan abstraknya guna membentuk dan memperkaya sikap berimannya. Sebagian remaja lanjut sudah mampu memiliki cara beriman individuatif-reflektif di mana mereka menentukan sikap dan pilihan terhadap apa dan siapa yang dipercayainya, yang dibangun atas dasat pengamatan dan pengalaman pribadinya Dalam arti negatif dapat kita amati bahwa tidak sedikit remaja gereja menjadi kurang berminat mengikuti ibadah karena keraguan yang ditanamkan teman-temannya. Bahkan, tidak jarang remaja yang memilih pindah keyakinan, beralih pada jenis sekte atau pemujaan baru karena pengaruh rekan-rekan atau sahabat dekat yang dimilikinya. Jadi, perubahan spiritual remaja terkait erat dengan sejumlah faktor termasuk perubahan kognitif dan konsep diri yang dialaminya, krisis yang tengah terjadi, pengaruh teman sebaya dan para senior (guru dan pembina), pengaruh keteladanan hidup orangtua, juga ajaran yang diikutinya. Bagaimanapun, dampak perubahan sosial dan kultural selalu turut memberi masukan bagi perkembangan spiritual remaja pada umumnya.[16]

1.2.3.4. Tahap Iman Individuatif-Reflketif

  Tahap individuative/reflective keempat adalah tahap Imannya iman yang disebut pada pandangan pribadi, terlepas dari hal-hal yang diyakini atau diharapkan oleh orang lain. Kelemahan dari tahapan ini adalah kebergantungan berlebihan terhadap pandangan pribadi, yang mana belum tentu benar. Dia ini cenderung bersikap menghakimi dan terlalu menekankan satu sisi dan mengabaikan yang lain.[17] Peralihan dari tahap ketiga ke tahap keempat adalah sangat penting terutama bagi kesi- nambungan perjalanan iman. Di sini sintesis konvensional tahap ketiga mulai runtuh karena tidak cocok antara dirinya dan pelbagai pengharapan konvensional dari "kelompok-kelompok" miliknya yang berbeda. Peralihan ke tahap keempat terjadi ketika kita tidak tahan lagi menjadi "orang yang berbeda" ketika kita ada bersama kelompok-kelompok yang berbeda, atau ketika kita menyadari bahwa kita tidak dapat menyerah- kan pembuatan makna kita bahkan pada otoritas yang tertinggi. Seka- rang tanggung jawab untuk melakukan sintesis dan membuat makna berubah dari mengandalkan otoritas konvensional ke arah bertanggung jawab sendiri atas komitmen-komitmen, gaya hidup-gaya hidup, kepercayaan-kepercayaan, dan sikap-sikap. Akibatnya, sekarang ada tingkat otonom yang berbeda secara kualitatif, melebihi tahap ketiga. ngetahui dan berhubungan dengan dunianya, identitas dan pandangan hidupnya, merupakan pilihan yang dipilih sendiri dan dibedakan dari sikap-sikap dan pengharapan-pengharapan orang lain oleh kesadaran sendiri. Sesungguhnya, mereka menjadi faktor-faktor yang diakui dalam cara menafsirkan, menilai, dan bereaksi terhadap pengalaman miliknya. Bahkan waktu seseorang mencapai iman yang lebih otonom, pada tahap keempat ada kesadaran baru yang ditemukan mengenai paradoks- paradoks dan polaritas-polaritas kehidupan. Keputusan-keputusan mengenai ambiguitas-ambiguitas kehidupan dan ketegangan-ketegangan yang berlawanan tidak lagi dapat dihindari sebagaimana ketika mereka berada pada tahap ketiga. Fowler mendaftarkan beberapa ketegangan yang berlawanan itu seperti "individu lawan komunitas; khusus lawan universal; relatif lawan absolut; melayani diri sendiri lawan melayani orang lain; otonomi lawan heteronomi; merasa lawan berpikir; subjek- tivitas lawan objektivitas." Sekarang kegiatan iman seseorang berusaha untuk menangani ketegangan-ketegangan ini dan mempertahankan ke- seimbangan di antara mereka. Akan tetapi, kecenderungan pada tahap keempat, khususnya dalam formulasinya yang awal, adalah merusak ketegangan dengan mendukung salah satu pihak.[18]

1.2.3.5.Tahap Iman Kongjungtif

Tahap kelima adalah tahap iman yang disebut conjunctive faith. Imannya tidak didasarkan pada keterbatasan pandangan pribadinya, namun lebih terbuka terhadap perbedaan pandangan orang lain, karena dirinya meyakini bahwa kebenaran Kristiani itu sifatnya multidimensional. Dengan demikian, dia lebih bersedia untuk berdialog dengan orang-orang yang berbeda pandangan/ keyakinan.[19]  Selanjutnya adalah dalam memasuki tahap iman kongjungtif, seseorang sudah mampu membedakan dan melihat kenyataan yang terjadi disekitarnya. Iman seseorang bisa saja dipertanyaan oleh dirinya sendiri, karena dipengaruhi dalam berbagai hal. Bisa saja di dalam keluarga, orang tersebut memiliki iman yang bagus, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa iman tersebut akan diragukan bahkan disingkirkan karena lebih percaya kepada apa yang dilihat bukan apa yang didengar. Selain persoalan tersebut, sisi positif pada tahap ini adalah kekuatan iman merupakan hal terpenting dalam kehidupan seseorang, di mana iman jauh lebih besar melapaui segala kekuatan yang dimiliki oleh seseorang. Artinya bahwa tahap ini menjadi tahap di mana seseorang dapat mengakui imannya sendiri.[20] Kegiatan iman pada tahap kelima jarang muncul sebelum setengah baya. Paradoks-paradoks yang sebelumnya dihadapi oleh sejumlah strategi pengurangan ketegangan sekarang diterima, diafirmasi dan ketegangan dimasukkan ke dalam cara "beriman" miliknya. Dalam bahasa sehari-hari, kehidupan tidak lagi dilihat dari sudut satu di antara dua, tetapi ada kerelaan untuk hidup ber- sama ambiguitas-ambiguitasnya. Tentu saja ini tidak berarti kembali ke relativisme dan ambivalensi. Sebaliknya, ada kualitas komitmen otonom yang baru terhadap pandangan miliknya sendiri, meskipun menghargai dan terbuka dengan tulus pada kebenaran-kebenaran yang ada dalam pandangan-pandangan orang lain. Sebagaimana telah disebut, hal tersebut bukan relativisme, tetapi pengakuan bahwa pandangan miliknya bukan kebenaran yang final. Ini memerlukan keterbukaan yang tulus pada orang-orang lain dan kerelaan untuk berdialog dengan mereka meskipun berisiko mengubah cara seseorang membuat makna dan berhubungan dengan dunia miliknya. Sistem milik seseorang dilihat keropos dan tidak lengkap bahkan di tengah-tengah komitmen yang kuat terhadap sistem miliknya sendiri. Hal-hal yang khusus dihargai, tetapi hanya karena hal-hal khusus yang memiliki kemungkinan yang univer- sal. Simbol-simbol milik seseorang diperhatikan dan diafirmasi, tetapi juga "dilihat terus" sampai ke kemungkinan yang melampaui mereka. [21]

1.2.3.6. Tahap Iman Akhir

  Tahap keenam adalah tahap iman yang disebut universalizing faith. Imannya didasarkan pada suatu keyakinan iman yang universal, sehingga integritas hidupnya selaras dengan keyakinannya. Fowler berpandangan bahwa tahap ini merupakan tahap tertinggi seseorang dalam perkembangan iman. Banyak hal akan dialami pada tahap ini, baik dalam dunia pekerjaan, keluarga, pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya. Tahap ini sebagai tahap di mana seseorang dianggap mencapai semua yang diinginkan dan berkomitmen untuk mampu mengatasi masalah dan persoalan yang menimpa hidupnya. Konflik tidak lagi dilihat sebagai hal yang baru, namun merupakan kenyataan yang harus dicari solusi untuk mengatasinya. Menurut penemu teori ini, tidak semua orang berhasil mencapai tahap perkembangan iman tertinggi ini. Banyak orang mengalami kegagalan karena dipengaruhi oleh banyak hal, sehingga hanya sedikit orang yang tekun bertahan yang mencapai tahap ini. Khusus tahap ini, Fowler memberikan contoh konkrit bahwa memang benar, hanya sedikit orang yang berhasil mencapai perkembangan iman tertinggi ini, antara lain: Mahatma Gandhi, Martin Luther King, Jr., dan Bunda Teresa. [22]

Orang yang berada pada tahap keenam tinggal di dunia seba- gai orang yang hadir untuk mengubah (transform). Pada lahap keenam, diri sendiri "menggunakan dan digunakan untuk mengubah realitas masa kini ke arah keadaan yang sebenarnya yang transenden"." Di sini hal-hal yang khusus dari kehidupan dihargai sebagai bejana-bejana hal- hal yang universal. Kehidupan dicintai, tetapi tidak dipertahankan secara kaku; kehidupan dijalani secara serius, tetapi tidak terlalu serius. Bagi orang-orang yang berada pada tahap keenam, komunitas manusia bersifat universal dan inklusif. Dalam istilah-istilah teologi, Kerajaan Allah adalah realitas yang dialami. Dalam istilah-istilah spiritual, tahap keenam adalah keadaan penyatuan yang paling sempurna dengan Allah dapat dilakukan dalam kekekalan.[23]

II.                Kesimpulan

Teori menjadi suatu hal yang mendasar, yang dibutuhkan dalam usaha perkembangan iman. Dengan adanya teori maka dapat mengembangkan ide-ide yang membantu kita menjelaskan bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi, artinya pemahaman tentang sesuatu yang ingin kita kembangkan menjadi lebih mendalam dan lebih mudah dijelaskan dan dipahami. Apabila berbicara tentang teori perkembangan iman, maka tokoh James W. Fowler adalah yang mengambil peranan besar dalam teori ini. Fowler menyampaikan bahwa perkembangan iman itu adalah perkembangan yang bertahap yang dimulai bahkan sejak masih bayi. Jadi memang benar bahwa iman adalah anugerah pemberian Allah. Tetapi dalam keberimanan itu, juga harus menunjukkan adanya tindakan aktif, yang semua itu dapat dipahami dalam tahap teori perkembangan iman.

III.             Daftar Pustaka

Abineno J.L. Ch., Pokok-Pokok Renting dari Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008

Alkitab, Ibrani 11: 1, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1974

Aquinas Thomas, Summa Theologica, Maryland: Christian Classics, 1948

Boiliu Esti R.,  Pendidikan agama Kristen dalam Perspektif Teori Perkembangan Iman James Fowler W., (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 17 no 2 (November 2021)

Calvin John, Institutes of the Christian Religion, terj. Henry Beveridee f, (Grand Rapids: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1997

Downs Perry G., The Power of Fowler, USA: Victor Books, 1995

H Thomas,  Christian religious education, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010

Hadiwijono Harun, Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007

Lie Tan Giok, Genereasi ke generasi, Bandung: PT Visi Anugerah Indonesia, 2018

R Esti. Boiliu,  Pendidikan agama Kristen dalam Perspektif Teori Perkembangan Iman James Fowler W., (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 17 no 2 (November 2021)

Roberts Albert R., Buku Pintar Pekerja Sosial, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009

Sidjabat Binsen Samuel, Membesarkan Anak dengan Kreatif, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2008

Supraktiknya A., Teori Perkembangan Kepercayaan: Kaiya-karya penting James W. Fowler, terj. Agus Cremers, Yogyakarta: Kanisius, 1995

IV.             Sumber Lain

Esti R. Boiliu,  Pendidikan agama Kristen dalam Perspektif Teori Perkembangan Iman

James W. Fowler, (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 17 no 2 (November 2021), Terdapat Dalam: file:///C:/Users/ACER/Downloads/146-Article%20Text-628-1-10-20211112.pdf



[1]Albert R. Roberts, Buku Pintar Pekerja Sosial, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 279.

[2]  Alkitab, Ibrani 11: 1, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1974), 267

[3] John Calvin, Institutes of the Christian Religion, terj. Henry Beveridee f, (Grand Rapids: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1997), 69. 

[4] Thomas Aquinas, Summa Theologica, (Maryland: Christian Classics, 1948), 1195.

[5]  Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007). 395.

[6] J.L. Ch. Abineno, Pokok-Pokok Renting dari Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 207

 

[7] A. Supraktiknya, Teori Perkembangan Kepercayaan: Kaiya-karya penting James W. Fowler, terj. Agus Cremers, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 38-39.

[8] Perry G. Downs, The Power of Fowler, (USA: Victor Books, 1995), 76. 

 

[9] Esti R. Boiliu,  Pendidikan agama Kristen dalam Perspektif Teori Perkembangan Iman James W. Fowler, (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 17 no 2 (November 2021), 175-176

 

[10] Esti R. Boiliu,  Pendidikan agama Kristen dalam Perspektif Teori Perkembangan Iman James W. Fowler, (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 17 no 2 (November 2021), Terdapat Dalam: file:///C:/Users/ACER/Downloads/146-Article%20Text-628-1-10-20211112.pdf, Pada Tanggal 02 April 2022, Pada Pukul 15.15 WIB, 174-175

[11] Tan Giok Lie, Genereasi ke generasi, (Bandung: PT Visi Anugerah Indonesia, 2018), 78.

[12] Thomas H, Groome,  Christian religious education, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 100-101

[13] Tan Giok Lie, Genereasi ke generasi, (Bandung: PT Visi Anugerah Indonesia, 2018), 79.

[14] Thomas H, Groome,  Christian religious education, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 101-102.

[15] Tan Giok Lie, Genereasi ke generasi, (Bandung: PT Visi Anugerah Indonesia, 2018), 79.

[16] Binsen Samuel Sidjabat, Membesarkan Anak dengan Kreatif, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2008)227-228

[17] Tan Giok Lie, Genereasi ke generasi, (Bandung: PT Visi Anugerah Indonesia, 2018), 79.

[18] Thomas H, Groome,  Christian religious education, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 103-104.

[19] Tan Giok Lie, Genereasi ke generasi, (Bandung: PT Visi Anugerah Indonesia, 2018), 79.

[20] Esti R. Boiliu,  Pendidikan agama Kristen dalam Perspektif Teori Perkembangan Iman James W. Fowler, (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 17 no 2 (November 2021), Terdapat Dalam: file:///C:/Users/ACER/Downloads/146-Article%20Text-628-1-10-20211112.pdf, Pada Tanggal 02 April 2022, Pada Pukul 13.32 WIB, 178  

[21]Thomas H, Groome,  Christian religious education, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),  105

[22] Esti R. Boiliu,  Pendidikan agama Kristen dalam Perspektif Teori Perkembangan Iman James W. Fowler, (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 17 no 2 (November 2021), Terdapat Dalam: file:///C:/Users/ACER/Downloads/146-Article%20Text-628-1-10-20211112.pdf, Pada Tanggal 02 April 2022, Pada Pukul 15.15 WIB, 179

[23] Thomas H, Groome,  Christian religious education, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 106


Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Mundosaragi
Total Pageviews