Monoteisme dan Kekerasan Terhadap “Yang Lain”


 I.       Pembahasan

1.1. Pengertian dan Sejarah Singkat Monoteisme

Secara etimologi monoteisme berasal dari bahasa Yunani monos (satu, tunggal) dan theos (Tuhan),[1] jika digabungkan berarti “Tuhan yang tunggal”. Artinya apabila ia ditarik kepada pemahaman beragama, monoteisme adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa Tuhan itu satu, sempurna, tak berubah, pencipta seluruh alam semesta, mewajibkan kebaktian terhadap satu entitas tertinggi.[2] Menurut konsep ini Tuhan secara radikal ontologis dianggap berbeda dari dunia. Ia juga dapat dipahami sebagai pribadi yang terlibat dan menguasai dunia, serta pantas disembah dan dihormati oleh segenap ciptaan.[3]

Adapun secara historis, keyakinan monoteisme untuk pertama kalinya hadir di bumi Israel, dan diperkenalkan oleh Yesaya “second Isaiah” (440 SM) ketika tragedi pembuangan atau diaspora kaum Yahudi “exile”. Selanjutnya keyakinan itu berangsur-angsur menyebar dan ditetapkan setelah kejadian pengasingan itu selesai (post-exilic).[4] Namun, para pakar menyebut nama salah satu Firaun (Pharaoh) yaitu Ikhnaton (Akhenaten) (1375-1358) sebagai yang pertama kali memiliki keyakinan secara monoteis.[5] Dalam hal ini mataharilah yang dianggap sebagai penguasa tunggal oleh kerajaan Mesir waktu itu (pertengahan abad ke-14 SM).[6] Akan tetapi keyakinan ini tidak berlangsung lama, karena ia sendiri bukanlah seorang yang religius. Sehingga menyebabkan ke-yakinannya tersebut tidak bisa tersebar dan dikenal luas.[7]

Kaum empirisisme, percaya bahwa agama pertama Musa identik dengan agama Akhenaton Mesir, berdasarkan teks Kisah Rasul 7: “Musa diajar dengan semua kebijaksanaan Mesir”. Bagi mereka, Musa merupakan Imam Mesir yang mendapat pencerahan yang kemudian dibuang keluar Mesir. Monoteisme Akhenaton Musa ini berbeda dengan agama Mesir. Musa Mesir yang monoteis tidak bisa diikuti oleh orang Yahudi, ia dibunuh dan kemudian digantikan oleh Musa Midian yang menyembah Allah.[8]

Para pakar yang termasuk menggugat gagasan bahwa manusia mengalami semacam evolusi dalam beragama adalah Andrew Lang(1844-1912) dan Wilhelm Schmidt.[9] Mereka berdua memiliki data hasil penelitian yang dilakukan, bahwa ada beberapa dari suku kuno sudah mem-percayai Tuhan secara monoteis. Walaupun memang masih jarang ditemukan keyakinan monoteismenya dilakukan secara eksplisit. Singkat kata, monoteisme adalah doktrin keagamaan yang berkeyakinan bahwa hanya ada satu Tuhan. Di mana ia merupakan tingkat terakhir keyakinan manusia terhadap yang Esa dalam beragama.

1.1.1.       Jenis-jenis Aliran Monoteisme

Terdapat berbagai bentuk kepercayaan monoteis, termasuk:[10]

1)      Teisme

Istilah yang mengacu kepada keyakinan akan Tuhan yang 'pribadi', artinya satu Tuhan dengan kepribadian yang khas, dan bukan sekadar suatu kekuatan ilahi saja.

2)      Deisme

Adalah bentuk monoteisme yang meyakini bahwa Tuhan itu ada. Namun demikian, seorang deis menolak gagasan bahwa tuhan ini ikut campur di dalam dunia. Jadi, deisme menolak wahyu yang khusus. Sifat Tuhan ini hanya dapat dikenal melalui nalar dan  pengamatan terhadap alam. Karena itu, seorang deis menolak hal-hal yang ajaib dan klaim  bahwa suatu agama atau kitab suci memiliki pengenalan akan Tuhan.

3)      Teisme Monistik

Adalah suatu bentuk monoteisme yang ada dalam Hindu. Teisme seperti ini berbeda dengan agama-agama Semit karena ia mencakup panenteisme, monisme, dan pada saat yang sama juga mencakup konsep tentang Tuhan yang pribadi sebagai Yang Tertinggi, Mahakuasa, dan universal. Tipe-tipe monoteisme yang lainnya adalah monisme bersyarat, aliran Ramanuja atau Vishishtadvaita, yang mengakui bahwa alam adalah bagian dari Tuhan, atau Narayana, suatu bentuk panenteisme, namun di dalam Yang Mahatinggi ini ada pluralitas jiwa dan Dvaita, yang berbeda dalam arti bahwa ia bersifat dualistik, karena Tuhan itu terpisah dan tidak bersifat panenteistik.

4)      Panteisme

Berpendapat bahwa alam sendiri itulah Tuhan. Pemikiran ini menyangkal kehadiran Yang Mahatinggi yang transenden dan yang bukan merupakan bagian dari alam. Tergantung akan pemahamannya, pandangan ini dapat dibandingkan sepadan dengan ateisme, deisme atau teisme.

5)      Panenteism

Adalah suatu bentuk teisme yang berkeyakinan bahwa alam adalah bagian dari Tuhan, tapi Tuhan tidaklah identik dengan alam. Pandangan ini diikuti oleh teologi proses dan juga Hindu. Menurut Hindu, alam adalah bagian dari Tuhan, tetapi Tuhan tidak sama dengan alam melainkan mentransendensikannya. Akan tetapi, berbeda dengan teologi  proses, Tuhan dalam Hinduisme itu Mahakuasa. Panenteisme dipahami sebagai "Tuhan ada di dalam alam sebagaimana jiwa berada di dalam tubuh". Dengan penjelasan yang sama, panenteisme juga disebut teisme monistik di dalam Hinduisme. Namun karena teologi proses juga tercakup di dalam definisi yang luas dari panenteisme dan tidak menerima kehadiran Yang Mahatinggi dan Yang Mahakuasa, pandangan Hindu dapat disebut sebagai teisme yang monistik.

6)      Monoteisme substansi

Ditemukan misalnya dalam sejumlah agama pribumi Afrika, yang berpendapat bahwa Tuhan yang banyak itu adalah perwujudan dari substansi yang satu yang ada di belakangnya, dan bahwa substansi yang ada di belakangnya itulah Allah. Pandangan ini banyak miripnya dengan pandangan Tritunggal Kristen tentang tiga pribadi yang mempunyai hakikat yang sama.

 

1.2. Agama dan Kekerasan

Jan Assmann seorang antropolog di Universitas Heidelberg Jerman, beberapa tahun yang lalu pernah menyengat telinga para teolog melalui tesisnya, bahwa kekerasan adalah harga yang tak terhindarkan dan harus dibayar oleh Monoteisme.[11] Sampai saat ini (Musa) agama didasarkan atas pembedaan antara murni-pantas dan tidak murni-najis atau antara yang suci dan yang profan. Tidak ada tempat bagi gagasan tentang dewa-dewi yang salah ... yang tidak boleh disembah. “Pembedaan yang dibuat Musa “(Mosaische Unterscheidung) melahirkan “Gegen Religion“, bernama Monoteisme. Sebaliknya Assmann menegaskan, bahwa dewa-dewa dalam kerangka agama-agama polities berfungsi dengan baik dalam relasi satu sama lain, sedemikian sehingga juga agama-agama politeis dapat menjadi sarana yang tangguh bagi upaya membangun hidup bersama yang menghargai pluralitas. “Dunia Perdewaan dahulu berciri internasional, karena sifat kosmisnya ... Tidak seorang pun menyangkal kenyataan adanya dewa-dewi asing. Demikian pula keabsahan bentuk-bentuk ibadat bangsa-bangsa asing tidak dipersoalkan. Bagi dunia politeisme antik istilah agama yang salah adalah sesuatu yang asing”.[12]

Monoteisme membawa sesuatu yang baru dan menggoncangkan. Tipe agama monoteis ini pada hakekatnya memandang agama yang lain sebagai tidak benar. Pola agama monoteis dengan demikian tidak dapat menjadi basis bagi terciptanya hidup bersama antar budaya, antar agama dalam masyarakat yang plural. ”Dalam gambaran mengenai Lembu emas ... tertanamlah potensi kebencian dan kekerasan yang terus menerus menjadi kenyataan dalam sejarah agama-agama monoteis.”[13] Kisah Keluaran sebagai mitos berdirinya agama monoteis menunjukkan bagaimana potensi kekerasan terhadap yang lain melekat pada agama-agama monoteis. Dan itu menjadi nyata dalam sejarah agama-agama monoteis itu. Pembedaan yang diintrodusir oleh Musa mengenai benar dan salah dalam hal agama harus dihapus kembali. Kita harus kembali ke dunia para dewa yang mengungkapkan kekayaan dan keragaman dunia dan penghuninya. Itu memungkinkan kita untuk hidup saling memahami keberbedaan dan bukan hidup dalam pertentangan. Assmann juga menunjukkan, betapa sebenarnya dalam Kitab Suci sendiri terlihat adanya kerinduan untuk kembali ke Mesir. Mesir adalah asal-usul semua agama. Begitulah seruan Assmann untuk kembali ke Mesir didasarkan keyakinan bahwa ”pembedaan yang dibuat Musa”, eksodus (lahirnya monoteisme) membawa intoleransi masuk ke dunia. Assmann sendiri kemudian memerinci gagasannya tentang kembali ke Mesir itu dengan meminjam gagasan Spinoza terkenal tentang ”Deus sivenatura.”

Dengan adanya ”pembedaan oleh Musa” masuk juga ke dalam dunia, kesadaran akan dosa dan kerinduan akan keselamatan. ”Dosa dan penebusan bukanlah tema Mesir.” Yang lebih menentukan dalam agama-agama Mesir lebih-lebih adalah optimisme moral, di mana seorang makan roti dengan gembira, karena yakin, bahwa Allah telah memberkati perbuatannya. ”Nampaknya demikian, bahwa dengan pembedaan yang dibuat oleh Musa, masuklah dosa ke dunia. Mungkin di sinilah letak motif paling penting untuk menolak pembedaan oleh Musa itu.”[14]

 

1.3. Iman Kristen tentang Allah Tritunggal

Perlu ditegaskan lagi, bahwa bagi Assmann pembedaan antara benar dan salah (sejak Musa dan monoteisme) berujung pada kategori sahabat dan musuh dalam hidup bermasyarakat. ”Musuh Allah adalah mereka yang berada dalam kesesatan dan menyembah berhala-berhala ... Allah adalah kebenaran, sedangkan dewa-dewi dari yang lain adalah kebohongan belaka. Lebih persis lagi: Pembedaan antara yang benar dan yang salah, antara yang baik dan buruk, antara yang lama dan baru, tidak dimengerti dalam paradigma evolusi melainkan revolusi. ”Agama-agama monoteis mengkonstruksi pertentangan antara yang lama dan yang baru tidak dalam arti evolutif melainkan secara revolusioner. Karena itu mereka menolak segala Agama yang lain dan lebih tua sebagai kekafiran dan penyembahan berhala. Semua agama monoteis adalah lawan dari agama. Dalam pandangan mereka, tidak ada jalan yang bersifat alamiah dan evolutif dari kesesatan penyembahan berhala menurut kebenaran monoteisme. Kebenaran itu hanya bisa datang dari luar, melalui pewahyuan.

Kisah Keluaran menegaskan adanya pertentangan antara Monoteisme dan penyembahan berhala. Mesir itu bukan hanya lambang dari penyembahan berhala, melainkan termasuk dalam masa lampau yang sudah lewat”.[15] Kisah  Keluaran yang terkenal itu nampaknya membenarkan kritik Assman. Dalam adegan pembebasan Keluaran 14-15 yang terkenal itu, Yahwe menyibakkan air laut untuk membiarkan Israel menyeberanginya dan kemudian membinasakan orang-orang Mesir … Setelah mengalahkan musuh-Nya Yahwe ikut dalam barisan kemenangan, naik ke kediaman-Nya di Gunung yang kudus, menimbulkan kegentaran dalam hati bangsa-bangsa lain (Kel 15: 13-18). Kuasa Allah dinyatakan dalam pembebasan umat Israel, pembinasaan orang-orang Mesir, dan kegentaran bangsa-bangsa lain … Ketika Israel berbaris untuk berperang melawan musuh duniawinya, Yahweh pun ikut berperang (bdk. Hak 5: 19-20; yes 4:21).[16]

Juga pluralisme ke dalam rupanya tidak dapat ditolerir. Assmann mengutip teks ini: “Sementara Israel tinggal di Sitim, mulailah bangsa itu berzinah dengan perempuan-perempuan Moab. Perempuan-perempuan ini mengajak bangsa itu ke korban sembelihan bagi allah mereka, lalu bangsa itu turut makan dari korban itu dan menyembah allah orang-orang itu. Ketika Israel berpasangan dengan Baal-Peor, bangkitlah murka Tuhan terhadap Israel; lalu berfirmanlah Tuhan kepada Musa: Tangkaplah semua orang yang mengepalai bangsa itu dan gantunglah mereka di hadapan Tuhan di tempat terang, supaya murka Tuhan yang bernyala-nyala itu surut dari pada Israel. Lalu berkatalah Musa kepada hakim-hakim Israel: “Baiklah masing-masing kamu membunuh orang-orangnya yang telah berpasangan dengan Baal Peor.” (Bilangan 25: 1-5).[17] Pendek kata: Agama yang potensial dan cenderung pada kekerasan demikian Assmann - tidak bisa atau lebih tepat tidak pantas/boleh menjadi agama bagi manusia.

 

1.4. Teologi Politik: Agama dan Demokrasi

Assmann tidak sendirian dalam simpatinya pada polytheisme dan kritiknya pada monoteisme. Menurut para kritikus monoteisme, kedekatan kekerasan dan monoteisme berakar pada logika identitas yang mendasari monoteisme. Odo Marquard misalnya melontarkan kritik pada Monoteisme, bukan hanya karena Monoteisme telah mensekularkan dunia (entmythologisierung, demitologisasi) serta mengorbankan keragaman sejarah demi sebuah sejarah (keselamatan). Monoteisme dikritik juga khususnya karena ia selalu berarti didudukkannya sebuah/seorang penguasa tunggal guna menciptakan kestabilan dan identitas. Monoteisme berarti percaya pada satu Allah dan itu berarti percaya pada satu-satunya Tuhan yang menuntut ketaatan mutlak.[18]

Teolog politik Carl Schmitt menegaskan, bahwa monoteisme secara tersembunyi masih dapat menjadi pembenaran bagi diktatur (yang ateis sekalipun), sejauh di sini kekuasaan dikelola tidak secara pluralistis melainkan totaliter, tunggal. Demikian pula dari belahan benua Amerika kita menemukan Richard Rorty berada pada arus serupa. Postmodernisme Rorty rupanya berujung pada Politeisme. Dalam salah satu karyanya ia mengutip Nietzsche sebagai berikut: ”Dalam Politeisme terkandung paham tentang kebebasan dan keragaman manusia, maksudnya: kekuatan untuk terus menerus menciptakan pandangan yang baru yang makin otentik, sedemikian rupa sehingga tentang manusia (berbeda dari binatang) harus dikatakan, bahwa padanya tidak ada perspektif dan horison yang tetap dan kekal ...”[19] Sebaliknya Monoteisme dipandang “kiranya sebagai bahaya terbesar dari kemanusiaan hingga kini.“ Begitulah mengikuti Nietzsche - Rorty melontarkan kritik pada para monoteis, para metafisikus, dan para etikus universal.

Semua itu bersalah dimata Rorty karena mengorbankan pluralitas manusia demi sebuah ideal, sebuah kebenaran dan satu Allah. “Barangsiapa memandang kesatuan antar manusia tidak semata sebagai sesuatu yang pada dasarnya buruk, melainkan sebagai sesuatu yang pada dirinya baik, orang itu percaya, bahwa ada sesuatu yang kita sebut hidup yang baik, satu kodrat kemanusian atau satu makna eksistensi manusia. Akan tetapi: Bila kita percaya pada gagasan seperti itu, kita menghalang-halangi gerak menuju penentuan diri yang kreatif.”[20]

 

1.5. Warisan yang Ambigu

Tidak mengherankan tentu saja, bahwa Assmann dengan tesisnya itu menuai banyak kritik. Salah satu kritik paling meyakinkan disuarakan oleh Erich Zenger. ”Jejak kekerasan yang dimaksud itu terutama nampak jelas pada teks-teks di mana belum terdapat gagasan tentang monoteisme yang sudah direfleksikan, melainkan pada teks-teks yang masih berpikir dan berbicara dalam kategori-kategori politeis yang berasal dari fase awal agama Israel sebagai mana tampak dalam Kitab Suci. Gambaran-gambaran tentang kekerasan dalam Kitab Suci Ibrani itu mendapat inspirasinya bukan dari monoteisme melainkan dari politeisme.“[21] Pada tataran yang sudah direfleksikan, Allah agama-agama monoteis justru adalah Allah bagi semua orang, bahkan (dalam taraf perkembangan refleksi yang paling jauh) juga (seharusnya) bagi para musuh. Jadi Monoteisme yang eksklusif dan tidak menghargai pluralitas adalah kontradiktif. Harga yang harus dibayar Monoteisme bukanlah kekerasan. Apa yang diperoleh dengan memilih Monoteisme adalah kebebasan!.[22] Demikian pula kita tahu, bahwa dalam Kitab Suci yang sama, kita temukan gambaran pewahyuan yang lain sekali, yaitu tentang Yesus Kristus yang anti kekerasan, yang mencintai musuh-musuhnya. “Pada lain pihak, Alkitab juga berpihak pada korban-korban sejarah, menyingkapkan polapola pengkambinghitaman, dan menghadirkan Allah sebagaimana dinyatakan dalam teladan tanpa kekerasan dan kematian Yesus. Allah masuk ke dalam sejarah dan mengidentifikasi diri dengan penderitaan orang tak bersalah. Dalam hal ini, Allah tidak meminta korban, sebaliknya justru bersedia menjadi korban. Warisan ini juga terjalin dalam tradisi panjang keprihatinan bagi orang-orang tertindas, skeptisisme terhadap kekuasaan dan usaha mencari perdamaian.”[23]

Penemuan-penemuan tersebut tentu saja menggembirakan dan menenangkan hati kita. Tetapi kalau kita jujur pada sejarah masa lalu (tetapi juga kenyataan sekarang), kita tokh tanpa perlu menyetujui Assmann bertanya-tanya, apakah agama-agama monoteis memang bersih dari praktek kekerasan terhadap yang lain? Rupanya tidak. Tanpa masuk dalam uraian detail historis, saya kira kita dapat mengatakan, bahwa sebagai penganut agama monoteis dengan segala ajarannya yang luhur, kita sebenarnya mewarisi sesuatu yang ambigu. ”Gereja mula-mula telah membuat kerangka untuk menafsirkan penyataan Allah, yang mengakui kehadiran Allah di tengah-tengah umat manusia, meskipun juga menilai tradisi-tradisi lain berdasar penyataan Allah di dalam Yesus Kristus. Dalam praktiknya, warisan zaman bapa-bapa gereja dan Abad Pertengahan terombang-ambing diantara pengakuan bahwa kebenaran Allah ditawarkan kepada semua manusia, dan anggapan bahwa mereka yang berada di luar gereja dikeluarkan dari keselamatan ... Dalam warisan tersebut terdapat hikmat yang luar biasa, namun juga tragedi yang luar biasa. Pada prinsipnya, gereja mula-mula mengakui kehadiran Allah ... bagi semua bangsa; namun dalam praktiknya, pengakuan tersebut tidak selalu menjadi kenyataan. Hampir selama periode bapa-bapa gereja dan Abad Pertengahan, permusuhan pahit mendominasi hubungan antar agama. Warisan alkitabiah yang ambigu, yang menampilkan baik perang suci maupun Yesus yang tanpa kekerasan, dimengerti sebagai dasar diskriminasi sistematik untuk melawan dan menganiaya orang-orang Yahudi, serta perang melawan umat Muslim. Keyakinan Kristen yang berlebihan bahwa penyataan Allah di dalam Yesus Kristus benar-benar jelas bagi semua manusia, berulangkali menyebabkan terjadinya kekejaman dan kutukan terhadap mereka yang tidak menerima klaim-klaim Kristen.”[24] Tentu saja itu hanya satu sisi dari kenyataan. Sudah pada abad pertengahan, kita berjumpa juga dengan mereka yang bersikap lebih murah hati dan inklusif dari pada para pejabat gereja Katolik sendiri. ”Beberapa orang Katolik yang sungguh-sungguh mengenal orang-orang Yahudi dan Muslim yang saleh, semakin yakin bahwa orang-orang tersebut mengenal Allah dan memiliki masa depan keselamatan ketimbang apa yang diperbolehkan oleh ajaran para pejabat Katolik. Warisan orang-orang Kristen mula-mula seperti Yustinus, Clemens dari Aleksandria dan Origenes yang melihat kehadiran Allah di antara semua bangsa, tetap merupakan sumber bagi masa depan.”[25]

 

1.6. Mewaspadai Godaan

Mengingat semua yang telah dikatakan, secara sederhana kita dapat berkata, kalau begitu sebenarnya tergantung manusianya. Bukan agama (monoteis) yang salah, bukan Allah yang kejam, tetapi manusianya. Tetapi justru manusia yang beriman, yang seringkali tidak dapat menghargai pluralitas.[26] Kepada Samuel P. Huntington dilontarkan kritik, bahwa dalam tesisnya tentang ”Clash of Civilizations“, ia terlalu memberi tempat yang berlebihan pada peran agama bagi terciptanya konflik. Bukan persaingan antara agama, bukan pula konflik yang lahir dari klaim-klaim mutlak agama-agama (monoteis) yang mengancam perdamaian, melainkan instrumentalisasi perasaan-perasaan religius melalui agitasi demi kepentingan politiklah yang menjadi penyebab terjadinya “Clash of Civilizations.“ Tanpa menolak kebenaran kritik tersebut (bahwa yang seringkali terjadi adalah agama yang ditunggangi kepentingan politik), saya kira ada bagian dari tesis Huntington yang dapat membantu kita memahami terjadinya kekerasan yang terjadi atas nama agama dengan lebih baik dan menjawab pertanyaan yang saya lontarkan di atas. Ia menegaskan, bahwa rupanya ada pula bentuk-bentuk instrumentalisasi kesadaran agama yang terjadi, bukan sebagai akibat dari propaganda dan agitasi politik. Atau saya tambahkan sendiri janganjangan struktur orang beragama itu sendiri memang rentan untuk disalahgunakan, ditunggangi kepentingan-kepentingan lain.

Huntington berbicara tentang kebutuhan psikologis akan identitas (pendefinisian diri) yang juga dapat masuk dalam kesadaran religius seseorang dan kemudian mengambil bentuk/mekanisme penegasan batas dari yang lain. Hal itu menjadi parah ketika, upaya penemuan identitas itu dibarengi dengan penegasan yang lain sebagai musuh. ”Bagi manusia yang sedang mencari identitasnya dan menemukan kembali ciri etnisnya, rupanya diperlukan musuh. Dan permusuhan yang secara potensial paling berbahaya kita temukan pada pertemuan antara budaya-budaya besar dunia.“[27] Khususnya Huntington melihat kemungkinan instrumentalisasi perasaan religius keagamaan ini pada agama kristiani dan islam. Keduanya memiliki warta yang bersifat universal merangkul semua orang, tetapi sekaligus harus menerima kenyataan, bahwa banyak orang lain tidak (mau) masuk dalam kelompok mereka. Khususnya bagi mereka (individu atau kelompok) yang secara politis, ekonomis dan sosial terancam, agama justru dapat memberi perasaan positif tentang identitas. Dalam keadaan seperti itu demikian Huntington - agama bukanlah „candu untuk rakyat, tetapi vitamin bagi mereka yang lemah.“[28] Kita berjumpa di sini pada hemat saya dengan kemungkinan, bahwa agama menjadi ”bangunan atas ideologis (ideologischen Überbau)”, bukan atas basis keterasingan ekonomis (Marx) tetapi atas bentuk keterasingan yang lain yaitu bentuk pencarian identitas di mana untuk itu orang (harus) dengan tegas membedakan dan memisahkan diri dari yang lain, bahkan menyingkirkan yang lain.

Mekanisme itu ternyata bukan sesuatu yang sama sekali baru, melainkan kita temukan juga dalam kitab suci (karena memang yang beriman itu tokh manusia juga); lebih tepat lagi, dalam perkembangan monoteisme biblis. Dalam kerangka Monolatrie (kepercayaan kepada Yahwe, tanpa menyangkal eksistensi allah-allah yang lain), kebesaran Yahwe tampak dalam hal-hal seperti ini, misalnya, bahwa Ia mendampingi umatNya, tetapi menenggelamkan para musuh (Keluaran 15:2-19). Eksistensi allah-allah lain tidak disangkal, tetapi Yahwe mengatasi/lebih kuat di banding allah-allah yang lain. ”Siapakah yang seperti Engkau, di antara para allah, ya Tuhan; siapakah seperti Engkau, mulia karena kekudusanMu, menakutkan karena perbuatanMu yang masyhur, Engkau pembuat keajaiban?“ (Kel 15:11). Peralihan kepada Monoteisme kemudian dapat dipandang sebagai peralihan menuju Universalisme etis. Bila Yahwe kini diyakini sebagai pencipta semua manusia dan dewa-dewa lain adalah „buatan tangan manusia belaka“ (Mazmur 115:4), maka hanya ada satu Allah yang universal. Dengan demikian juga mereka yang secara empiris nampak sebagai yang lain sekarang menjadi saudaraku, karena Yahwe yang sama. Kebesaran Yahwe sekarang tidak dialami dalam hal, bahwa Ia membinasakan bangsa lain, melainkan dalam hal ini, bahwa kasih-Nya menjangkau jauh lebih jauh dari kasih manusia. ”Belas kasihan manusia hanya merangkum sesamanya, sedangkan belas kasihan Tuhan melingkungi segalamakhluk.“(Sirakh18:13).

Seharusnya atas dasar itu, tidak akan ada lagi kekerasan terhadap yang lain, karena semua adalah saudara. Tetapi rupanya perkaranya tidak sesederhana itu. Monoteisme kendati klaim etisnya yang universal tetap masih mungkin menjadi sumber baru bagi kekerasan. Bila yang lain itu adalah saudaraku atas dasar Allah yang sama, maka bisa jadi kemarahan menjadi lebih besar kalau ternyata dia tidak mau menjadi saudaraku. Dalam arti itu seringkali pengakuan akan universalitas Yahwe disertai pula dengan kebencian terhadap mereka yang jahat. Misalnya: Setelah pemazmur memuji kebesaran ciptaan, ia tiba-tiba ingat akan mereka yang tidak mau percaya dan memuliakan Dia. Ia lalu berkata: ”Biarlah habis orang-orang berdosa dari bumi, dan biarlah orang-orang fasik tidak ada lagi! Pujilah Tuhan, hai jiwaku! Haleluya!” (Mazmur 104, 35). Diam-diam di sini iman monoteis akan Allah yang satu dan universal berubah menjadi proyeksi keterbatasan manusia mencintai sesama yang mengarah dan bermuara pada tindak kekerasan. Keterasingan pada basis menghasilkan bentuk penghayatan agama yang eksklusif dan diskriminatif, yang tak lain berupa bangunan atas ideologis dari keterasingan itu.

Mekanisme serupa kita temukan pula dalam Injil, dalam kisah tentang seorang yang bukan murid Yesus mengusir setan (Markus 9:38-41). ”Guru kami lihat seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi namaMu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” Tetapi kata Yesus: Jangan kamu cegah dia! Sebab tidak seorangpun yang telah mengadakan mujizat demi namaKu, dapat seketika itu juga mengumpat Aku.” Bagi para murid, pengakuan iman pada Yesus rupanya menjadi momen pembentukan identitas diri sedemikian rupa, sehingga mereka menuntut, bahwa orang lain pun mengikuti mereka (tidak cukup beriman padaYesus). Atas dasar iman monoteis akan Allah, seharusnya lahir pula etika yang universal, yang tidak memberi tempat bagi pengucilan siapa pun, yang lain. Tetapi tindakan beriman kita rupa-rupanya diam-diam (hampir) selalu disertai oleh fungsi sekunder yang laten berupa kebutuhan pendefinisian diri yang mengakibatkan pengucilan yang lain. Dan itu justru menjadi akut, manakala manusia dari berbagai kelompok (agama) hidup bersama dan perbedaan menjadi faktor yang amat menentukan. Fungsi sekunder yang laten tersebut tidak dapat didamaikan dengan isi dari agama-agama monoteis itu sendiri, yang percaya akan satu Allah yang juga mencintai mereka yang lain. Karena itu sesungguhnya fungsi sekunder yang dimaksud adalah sesuatu yang tidak legitim. Dalam kerangka ini pada hemat saya termasuk tugas teologi bahwa ia menjadi sebuah teori kritis atas kesadaran religius manusia. Sebagaimana ditegaskan oleh M. Horkheimer, tugas sebuah teori kritis adalah aufklärung/pencerahan terus menerus atas kesadaran manusia, menelanjangi kesadaran manusia, khususnya bila ia merasa bahwa ia berpikir/bekerja secara otonom, netral; dan menunjukkan, bahwa ada berbagai kepentingan dan mekanisme yang sering tidak disadarinya.[29] Tugas teori kritis adalah senantiasa mewaspadai ”Der Wille zur Macht” yang diam-diam hadir dalam setiap tindakan dan kesadaran kita.Demikian pula sebagai teori kritis, teologi bertugas terus menerus membawa pencerahan bagi kesadaran religius manusia beriman akan adanya berbagai kepentingan dan mekanisme pendefinisian diri yang berlebihan dan tanpa sadar dan mengakibatkan tindak pengucilan pada yang lain.

 

II.     Kesimpulan

Pembahasan monoteisme dan kekerasan ini didasarkan pada teori Assmann, dan tokoh-tokoh lainnya yang menolak Monoteisme dan mendukung Politeisme. Mereka berpendapat bahwa Monoteisme tidak memahami keberadaan tetapi hidup dalam pertentangan, mereka beranggapan bahwa Monoteisme telah mensekularkan dunia, serta mengorbankan keragaman sejarah demi sebuah sejarah (keselamatan). Dan dipandang sebagai bahaya yang paling besar dari kemanusiaan hingga saat ini, karena mengorbankan pluralitas demi sebuah ideal kebenaran dan satu Allah. sedangkan Erich Zinger dan tokoh lainnya mendukung Monoteisme ini, karena menurut mereka Monoteisme yang ekslusif dan tidak menghargai pluralistas adalah kontradiktif. Dan harga yang harus dibayar Monoteisme adalah bukan kekerasan. Apa yang diperoleh dengan memilih Monoteisme adalah kebebasan. Dan kekerasan dalam monoteisme tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhi seperti politik, yang merambah ke ranah sosial, religi-spiritual yang meliputi keyakinan iman dan juga etika moral bersama.

Sudah ditunjukkan bahwa monoteisme yang berakhir dengan kekerasan adalah monoteisme yang dipolitisasi. Pada masa kini pun agama seringkali digunakan dalam politik sebagai alatnya untuk melegitimasi bahwa hal itu adalah kehendak ilahi. Monoteisme yang sudah tercampur dengan politik ini tidak mungkin untuk memurnikannya kembali. Walau demikian masih ada langkah yang bisa diambil untuk menjauhkan monoteisme dari kekerasan antara lain dengan mengubah monoteisme yang ekslusif menjadi monoteisme yang inklusif. Monoteisme inklusif lebih merupakan monoteisme yang ramah karena meyakini bahwa satu Tuhan memiliki banyak penampakan atau wujud yang juga menjadi bagian/wujud dari Tuhan agama lain. Monoteisme inklusif ini menjadi jawaban atas polemik antara satu Tuhan dan banyak Tuhan, yakni masalah tentang tidak ada bedanya antara monoteisme universal dan politeisme yang kelihatan sama.

 

III.  Daftar Pustaka

Assmann, J, Moses der Agypter. Entzifferung einer Gedachtnispur, Munchen-Wien: Hanser 1998; “Monotheismus und die Sprache der Gewalt”, dalam: Das Gewaltpotential des Monotheismus und der dreiveine Gott (Hrsg. P. Walter), Freiburg im Breisgau: Herder 2005,

Assmann, Jan, The Price of Monotheism, Stanford: Stanford University Press, 2010.

C. Thiselton, Anthony, A Concise Encyclopedia of the Philosophy of Religion, England: Oneworld Publication, 2002.

D. Lefebure, L, Penyataan Allah, Agama, dan Kekerasan, Jakarta: BPK GunungMulia, 2003.

Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Ferm, Vergilius, An Encyclopedia of Religion, New York: The Philosophical Library, 1945.

H. Hick, John, Philosophy of Religion, Delhi: Dorling Kindersley, 2009. Lihat juga Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2005

H. Menke, Amnerkungenzu Magnus Striets, K,Monotheismus und Schopfungs differenz. Eine trinitats theology sche Erkundung”, dalam: Das Gewaltpotential des Monotheismus und der dreieine Gott (HRSG. P. Walter), Freiburg im Breisgau: Herder, 2005.

Horkheimer, M, Traditionelle und kritischeTheorie, in: ders., KritischeTheorie, Frankfurt 1977.

Lang, Andrew, The Making of Religion, London: Longmans Green and Co, 1898.

P. Huntington, S, Kampf der Kulturen. Die NeugestaltungderWeltpolitikim 21. Jahrhundert, München: Wien 1996.

Ratzinger, J, Glaube Wahrheit Toleranz: das Christentum und die Weltreligionen , Freiburg 2003.

Strasser, P, Gewaltentrennung in Gott? Auch einKapitelPolitischeTheologie, dalam:DasGewaltpotential des Monotheismus.

Striet, M,  Monotheismus und Schöpfungsdifferenz

Sudarminta, J, Dunia Manusia dan Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2008).

Wendel, S, TrinitarischerMonotheismus. Wie man dem Gewaltverdachtgegen den Monotheismuszuentrinnenvermag, dalam: DasGewaltpotential des Monotheismus und der dreieine Gott, Freiburg: Breisgau 2005.

Zenger, E, Der MosaischeMonotheismusimSpannungsfeld von Gewalttätigkeit und Gewaltverzicht. Eine Replik auf Jan Assmann, dalam: Das Gewaltpotential desMonotheismus.

 

Sumber lain

Dewa matahari (sun-God) dalam kasus ini mereka menyebutnya sebagai “Amun Re”. Lihat penjelasan lebih lanjut dalam William Foxwell Albright, From the Stone Age to Christianity Monotheism and the Historical Process, Baltimore: The Johns Hopkins Press, 1940.

https://www.academia.edu/6340365/_SAG_3053_Monoteisme, diaksestanggal 18 Oktober 2020, pukul 13:45 WIB.

Karya Rorty yang dimaksud adalah: Ein Prophet der Vielfalt. Kutipan di atas diambil dari: K.H. Menke, Anmerkungen, 160. Kalaupun ada agama, sebaiknya politeis, demikian Nietzsche. Jelas pula, bahwa penolakan Nietzsche atas monoteisme memiliki dasar yang berbeda dari Assmann.

Untuk berikut ini saya mengikuti: G. Neuhaus, Kein Weltfrieden ohne christlichen Absolutheitsanspruch. Eine religionstheologische Auseinandersetzung mit Hans Küngs „Projekt Weltethos“, Freiburg im Breisgau 1999.



[1] J. Sudarminta, Dunia Manusia dan Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 70.

[2] Vergilius Ferm, An Encyclopedia of Religion, (New York: The Philosophical Library, 1945), 504. Lihat juga The New International Webster’s Comprehensive Dictionary on the English Language, (Deluxe  Encyclopedic edition, Trident  Press International, 1996), 824.

[3] Anthony C. Thiselton, A Concise Encyclopedia of the Philosophy of Religion, (England: Oneworld Publication, 2002), 224.

[4] Vergilius Ferm, An Encyclopedia of Religion, 504. Lihat juga Michael Mach, Concepts of Jewish Monotheism During Hellenistic Period, dalam Carey C. Newman, The Jewish Roots of Christlogical Monotheism, (Leiden: Brill, 1999), 23.

[5] Jan Assmann, The Price of Monotheism, (Stanford: Stanford University Press, 2010), 32.

[6] Dewa matahari (sun-God) dalam kasus ini mereka menyebutnya sebagai “Amun Re”. Lihat penjelasan lebih lanjut dalam William Foxwell Albright, From the Stone Age to Christianity Monotheism and the Historical Process, (Baltimore: The Johns Hopkins Press, 1940), 165-166.

[7] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 121-122.

[8] Jan Assman, Moses the Egyptian: The Memory of Egypt in Western Monotheism, (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 158.

[9] Andrew Lang, The Making of Religion, (London: Longmans Green and Co, 1898).

[10] https://www.academia.edu/6340365/_SAG_3053_Monoteisme, diakses tanggal 28 September 2021, pukul 13:45 WIB.

[11] J. Assmann, Moses der Agypter. Entzifferung einer Gedachtnispur, Munchen-Wien: Hanser 1998; “Monotheismus und die Sprache der Gewalt”, dalam: Das Gewaltpotential des Monotheismus und der dreiveine Gott (Hrsg. P. Walter), Freiburg im Breisgau: Herder 2005, 18-38.

[12] J. Ratzinger, Glaube Wahrheit Toleranz: das Christentum und die Weltreligionen, (Freiburg 2003), 171.

[13] Ibid, 171.

[14] J. Ratzinger, Glaube Wahrheit Toleranz: das Christentum und die Weltreligionen, 173.

[15] K. H. Menke, Amnerkungen zu Magnus Striets “Monotheismus und Schopfungsdifferenz. Eine trinitatstheologische Erkundung”, dalam: Das Gewaltpotential des Monotheismus und der dreieine Gott (HRSG. P. Walter), Freiburg im Breisgau: Herder, 2005. 156.

[16] L. D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama, dan Kekerasan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 88-89.

[17] J. Assman, Monotheismus und die Sprache der Gewalt, 26.

[18] S. Wendel, Trinitarischer Monotheismus. Wie man dem Gewaltverdacht gegen den Monotheismus zu entrinnen vermag, dalam: Das Gewaltpotential des Monotheismus und der dreieine Gott, (Freiburg: Breisgau 2005), 119.

[19] Karya Rorty yang dimaksud adalah: Ein Prophet der Vielfalt. Kutipan di atas diambil dari: K.H. Menke, Anmerkungen, 160. Kalaupun ada agama, sebaiknya politeis, demikian Nietzsche. Jelas pula, bahwa penolakan Nietzsche atas monoteisme memiliki dasar yang berbeda dari Assmann.

[20] P. Strasser, Gewaltentrennung in Gott? Auch ein Kapitel Politische Theologie, dalam:Das Gewaltpotential des Monotheismus, 86.

[21] E. Zenger, Der Mosaische Monotheismus im Spannungsfeld von Gewalttätigkeit und Gewaltverzicht. Eine Replik auf Jan Assmann, dalam: Das Gewaltpotential des Monotheismus, 43.

[22] M. Striet, Monotheismus und Schöpfungsdifferenz, 136.

[23] L.D. Lefebure, Pernyataan Allah, 126-127.

[24] L.D. Lefebure, Pernyataan Allah, 171-172.

[25] L.D. Lefebure, Pernyataan Allah, 172-173.

[26] Untuk berikut ini saya mengikuti: G. Neuhaus, Kein Weltfrieden ohne christlichen Absolutheitsanspruch. Eine religionstheologische Auseinandersetzung mit Hans Küngs „Projekt Weltethos“, Freiburg im Breisgau 1999.

[27] S.P. Huntington, Kampf der Kulturen. Die Neugestaltung derWeltpolitik im 21. Jahrhundert, (München: Wien 1996), 18.

[28] S.P.Huntington, Kampf der Kulturen, 153.

[29] M. Horkheimer, Traditionelle und kritische Theorie, in: ders., Kritische Theorie, Frankfurt 1977, 521-575.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca selengkapnya disini ya