Teologi Kristen Asia

 

                                                    

I.                   Pendahuluan

Berbicara mengenai arah dalam teologia Asia ini bukanlah hal yang sederhana. Apa yang disebut teologia Asia itu sendiri sangat beraneka ragam, sama seperti beranekaragamnya situasi Asia dari mana teologia itu diusahakan. Ada berbagai-bagai latar belakang yang patut dipertimbangkan : agama, kebudayaan, sejarah. Maka dari itu pada pertemuan kita kali ini kita akan membahas tentang “Teologi Kristen Asia”, yang dimana Menggali persoalan kontekstual di Asia dan Membangun Teologi Kristen Asia. Semoga pembahasan kita kali ini bisa menambah wawasan  dan bermanfaat bagi kita Tuhan Yesus Memberkati.

II.                Pembahasan

2.1. Menuju Teologi Kristen Asia

Dalam sidang pembentukan Asosiasi Teologi Asia yang bertemu di hongkong, pada Januari 1974, dimana ada suatu ditinjau dari pendirian kaum Evangelikal konservatif di India. Dimana pada saat itu Teologi Asia berkiprah begitu jauh, sehingga pada pertemuan itu memutuskan atau berkata bahwa “Orang-orang Asia harus berada dalam posisi yang lebih baik”. Teologi Kristen Asia yang bersifat pribumi yang didasarkan atas Alkitab, mengingat konteks dan latar belakang penyataan Alkitab banyak persamaannya dengan situasi kehidupan tradisional di Asia. Kendatipun dalam kebanyakan penalaran Asia, tetapi (Ultimate) yang bersifat impersonal dalam kebanyakaan penalaran Asia, tetapi pada saat itu menyarankan agar titik pangkal bagi Teologi Kristen Asia adalah penekanan Kristen pada Allah yang bersifat personal, dan pada iman sebagai hubungan personal dengan Allah. Dua makna itu muncullah istilah “Teologi” adalah, pada satu pihak, penyataan diri abadi dari Allah terkait dengan kata Theos, dan pada pihak lain, pemahaman manusia akan Allah menurut kategori Logos atau daya nalarnya. Misalnya, aspek penyataan dan transcendental dari Karl Barth yang berkembang kea rah apa yang kerap disebut sebagai “Teologi kerugmatika” atau dimensi insani penyataan dari Paul Tilich yang menuju “Teologi apologetika”.[1]

2.2. Dasar Teologi Kristen di Asia

Dasar Teologi Kristen di Asia berawal pada Amanat. Amanat utamanya adalah tentang sesuatu yang telah diberikan kepada semua orang, dan itu adalah mengenai fakta Kristus, peristiwa keselamatan, seperti apa adanya dan yang tak berhak kita modifikasikan yaitu yang; “telah disampaikan kepada orang-orang kudus” (Yud 3). Pernah dikemukakan argumentasi bahwa tidak ada apa yang disebut injil murni, karena injil bisa bersifat pribumi, maka baik isi maupun bentuknya harus melalui proses transformasi, sama halnya dengan butir padi dan sekam yang harus mati demi adanya beras. Tetapi persoalannya ialah bahwa dari kematian butir padi beserta sekamnya, tidak akan tumbuh gandum melainkan hanya beras, dan itupun bukannya jenis beras lainnya. Oleh karena itu, itulah sebagai dasar Teologi Kristen di Asia.[2] Yang dimana dasar Teologi Kristen di Asia ini memiliki suatu kemampuan dan memberikan tanggapan yang bermakna terhadap injil dalam kerangka kontekstual yang dapat disebut ialah “Teologi” apabila ia benar-benar kontekstual.[3] Dimana kontkestual ini pada mulanya muncul sekitar tahun 1972 di dalam kalangan Teological education Fund (Tef). Orang yang pertama kali mengemukakan kontekstual ini diperkenalkan oleh “Shoki Coe”, seorang teolog Asia asal Taiwan.[4]

2.2.1.      Dasar dan Ciri-Ciri Teologi Kristen di Asia

Dasar Teologi yang hidup lahir dari perjumpaan gereja yang hidup dengan dunianya. Khususnya Teologi dalam hubungannya dengan kebangkitan kembali dan revolusi Asia, karena kami percaya Allah sedang melaksanakan maksud-maksud-Nya di dalam gerakan-gerakan dunia secular tersebut. Oleh karena itu adanya perkembangan ke arah teologi yang otentik dan hidup di Asia yaitu:

1.      Dalam ibadah dan khotbah, dimana di banyak kalangan gereja-gereja di Asia, ibadah dihayati sebagai sesuatu yang menjemukan dan miskin, dan khotbah-khotbahnya mengalami semacam “Lesu darah”. Mengapa demikian? Karena pada saat itu dimana Gereja-gereja di Asia sejauh ini, dan ini berlaku dalam skala besar, karena tidak mengembankan tugas teologisnya dengan cukup serius, sebab sebagian besarnya merasa puas menerima jawaban-jawaban yang sudah jadi dari teologi atau konfesinya. Oleh karena itu pada teologi yang hidup harus berlandaskan kehidupan ibadah jemaat yang lebih kaya dan penuh, karenanya untuk mencapai tujuan tersebut Gereja-gereja Asia dan seminari-seminari teologi harus menaruh perhatian segera dan mendesak pada pendidikan dan pendidikan ulang yang lebih baik lagi.[5]

2.2.2.      Mencirikan Teologi Kristen Asia

2.2.2.1. Dasar dan ciri Alkitabiah:

Dalam teologi yang kiblatnya Alkitabiah sebagai satu-satunya Teologi Kristen yang sah bagi Asia yaitu:

1.      Iman Kristen memiliki dasar dan ciri historis berbeda dari kebanyakan agama lainnya, dan Alkitab adalah satu-satunya kesaksian tertulis atas sejarah khas karya penyelamatan Allah. Teologi Kristen ialah Kristus yang berinkarnasi, dan bukan dogma atau prinsip abstrak dan universal apapun. Sebab Allah yang transenden telah melaksanakan karya kongkret dank has pada waktu dan tempat yang khusus.

2.      Konteks dan latar belakang melalui mana firman Allah datang kepada manusia pada masa Alkitab ternyata sangat mirip dengan situasi kehidupan di Asia masa kini. Dari latar belakang sosio-budaya baik Perjanjian Lama maupun perjanjian Baru dalam banyak hal adalah dengan situasi Asia kontemporer. Orang-orang Asia berada dalam posisi yang lebih baik dalam rangka pengembangan penelitian ilmiah atas Alkitab ketimbang mereka yang di barat. Akan menjadi suatu paradox manakala perintah “Hormatilah ayahmu dan ibumu”, harus ditafsirkan oleh para cendikiawan Barat terhadap orang-orang Kristen Asia. Mengingat Gereja Asia dewasa ini menghayati kembali banyak situasi kehidupan Alkitabiah, tentunya hal itu memiliki keuntungan-keuntungan tertentu bagi pengembangan pempribumian teologi ketimbang gereja-gereja di Barat.

3.      Alkitab sendiri menyajikan kepada kita satu pola pengungkapan nalar yang bersifat pribumi. Israel termasuk dalam budaya dunia dan juga warisan religiusnya. Dalam seluruh Alkitab, firman Allah dipandang sebagai relevan dengan situasi dan terkait pada waktu diucapkan. Para nabi Perjanjian Lama menyapa kebutuhan-kebutuhan di sekitar mereka. Amanat Allah mengambil bentuk kongkret dalam konteks kejahatan-kejahatan monarki, ketidakadilan sosial, penyembahan Baal, sinkretisme, hukuman Allah yang akan datang dan sebagainya.[6]

2.2.3.      Pokok-Pokok Persoalan Kontekstual di Asia

Dalam pokok-pokok persoalan, dimana Kontekstual di Asia berbeda halnya dengan system teologi Barat, maka sistematisasi teologi Kristen Asia apapun harus dibangun sekitar penekanan tertentu yang belum tentu dirasakan sebagai isu-isu yang relevan di Barat. Teologi-teologi Kristen dari masa dan tempat yang bermacam-macam, kendati meliputi melalui satu atau lain cara pokok bahasan umum yang sama, oleh karena itu kita harus mendapatkan perhatian khusus dan yang barangkali bisa menjadi titik pangkal yang mengantar pada eksposisi keseluruhan lingkup bidang tersebut. Bagi Calvin, faktor sentral teologi adalah kedaulatan Allah, bagi Luther ialah dibenarkan karena iman, dan bagi Barth ialah firman Allah dan inkarnasi. Kontekss di mana mereka hidup dan menulis serta tantangan-tantangan zaman mereka itulah yang menetapkan penekanannya. Banyak di antara teologi evangelical modern beranjak dari inspirasi dan ketidak-dapat-salahan (infallibility). Hanya dengan kepekaan yang tajam terhadap dunia sekitarnya, maka gereja di Asia dapat memberikan kesadaran tentang bidang teologi. Karena itulah dimana memberi kejelasan perihal penetapan metodologi mana yang akan ditempuh. Dalam konteks sekian banyak mite-mite religious dan wawasan dunia sebagai maya belaka, apakah pokok khusus teologi Kristen di Asia di ialah mengenai karya penebusan Allah serta kendali dan rencana Allah di dalam rentang sejarah?. Bila ditinjau dari kecondongan umum tentang impersonalitas dewa-dewa atau wawasan tentang agama tanpa Allah, apakah penekanan Kristen justru diletakkan pada sifat hakiki Allah yang personal dan pada intisari iman Kristen sebagai hubungan personal dengan Allah? Dalam persoalan sitematisasi teologi Asia harus menempuh sistematisasi yang digariskan oleh apa yang ditekankan oleh budaya dan pemikiran-pemikiran penting di Asia. Misalnya, dalam teologi-teologi Barat, konsep monoteisme, ciri Allah yang personal, realitas dosa, pengertian tentang keutuhan dunia sebagai ajang karya Allah dan sebagainya, mungkin tidak memerlukan pengolahan sepenuhnya, sedangkan di Asia mungkin itulah yang justru yang menjadi pokok-pokok teologis yang paling hidup.

Persoalan lain yang terkait pada apa yang disebut diatas ialah perihal pengunaan istilah-istilah teologis. Dimana persoalan makna isinya kerap tidaklah masalah bagi teologi Barat, karena latar belakang umum budaya Yudeo-Kristen mereka. Orang-orang Israel kerap memakai istilah-istilah yang sama-sama berlaku di dunia semit.[7]

2.2.4.      Orientasi Pada Kebudayaan dan Agama-Agama Asia

Dengan masalah relasi antara teologi dan kebudayaan dalam konteks Asia terdapat sejumlah bidang bagi penyelidikan. Dalam system teologi Barat memperoleh bentuknya dalam kancah latar belakang umum budaya Yudeo-Kristen. Peradaban Barat itu sendiri, dalam kadar besar adalah hasil kekristenan. Dan kekristenan Barat itu sendiri dalam kehidupan dan pemikirannya secara substansi dipengaruhi oleh perdaban Barat. Arend Van Leeuwen malah lebih jauh melihat Kerajaan Allah bermula dari peradaban Kristen Barat, dan yang sedang dalam proses pemapanannya dalam dunia melalui perkembangan teknologi serta penaklukan masyarakat dan kebudayaan “otokratik” Timur. Dapat kiranya kita mengatakan bahwa bagi teolog-teolog Barat, sekalipun masalah hubungan Kristus dan kebudayaan dari waktu ke waktu dimunculkan, namun tidak ada pergumulan nyata di antara keduanya itu. Karya Niebuhr yang klasik “Christ and Culture” yang mengikhtisarkan pembahasan di Barat sekitar pokok tersebut. Dengan sejarah Asia menjadi isu yang membingungkan teolog-teolog Asia. Misionaris modern Protestan ke Asia pada umumnya beranggapan bahwa kebudayaan-kebudayaan nasional adalah korup dan anti Kristen, karena biasanya diabaikan saja bila tidak dikatakan harus ditentang oleh orang-orang Kristen. Mereka yang bertobat masuk agama Kristen telah “dibebaskan” dari kebudayaan-kebudayaan tersebut agar bisa hidup terlindung dalam komunitas-komunitas Kristen. Pada saaat yang bersamaan, misionaris Katolik Roma pada umumnya berpegang pada pandangan klasik Romawi bahwa Kristus berada di atas kebudayaan. Hanya sedikit saja jumlah misionaris ataupun orang-orang Kristen Asia yang secara serius dalam kaitannya dengan Asia yang menerapakn keyakinan Calvin bahwa Kristus memliki kuasa mengubah dan mentransformasikan kebudayaan dan tatanan sosial.

Gereja Kristen di Asia selalu mengklaim bahwa kepada Kristus telah dikaruniakan segala kuasa di dunia, di Asia, dan bahwa ia menebus manusia dan menciptakan tatanan baru. Orang-orang Kristen Asia tak henti-hentinya berdoa. Bagi seorang teolog Asia masalahnya menjadi lebih sulit bila ia berupaya mengembangkan teologi  keprihatinan sosial Kristen di tengah kancah tatanan sosial, politik, bukan Kristen atau bahkan anti Kristen.[8]

2.3. Pergumulan Teologi Kontekstual di Asia

Teologi kontekstual di Asia dimana  Kristen dipengaruhi oleh tradisi barat cenderung berefleksi tentang Allah, iman, kasih, keselamatan dan penghakiman, yang menghasilkan teologi yang bergumul dengan hal-hal abstrak-abstrak.  Oleh karena itulah Teologi harus bergumul dengan dunia bukan sebaliknya.  Yang memberikan sebuah metode berteologi yang bercorak Asia yang menggunakan, “Kerinduan dan pergumulan manusia akan kasih karunia, pengampunan, persekutuan, keselamatan, dan kehidupan dalam konteks-konteks pernyataan bagi teologi kristen di Asia.[9]  Gereja dia Asia menemukann dirinya di tengah mayoritas yang berkerap bersikap bermusuhan, dan di banyak tempat ia harus terus-menerus “Membayar Harga” bagi apa yang diimaninya. Dengan demikian setiap teolog apapun yang dikembangkan tak dapat hanya berupa teori munri belaka, melainkan harus berupa keyakinan yang telah tumbuh secara mendalam dan telah dijernihkan dalam konteks kebutuhan-kebutuhan dan  tantangan-tantangan. Banyak dari penalaran Barat tidak menyapa pada isu-isu persoalan di Asia. Ia berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di Barat dan yang dibahas di sana. Karena itu, untuk sebagian besar, pemikiran Barat, tinggal menjadi oleh akademis yang baik bagi segelintir teoretikus Asia, namun bukan teologi yang hidup bagi gereja. Penghambaran dan penyesatan teologis yang tengah dihadapi gereja Asia dan yang menggerogoti kehidupan gereja, ternyata di impor dari Barat. [10]

2.3.1.      Dampak Teologi Bagi Gereja di Asia

2.3.1.1. India

Penginjil cendikiawan India terkenal, Sadhu Sundar Singh, pernah mengungkapkan dambaannya agar ia mampu memberikan “air kehidupan dalam cangkir India” kepada sesama bangsanya. Di atas kita telah mencatat bahwa berhubung injil datang kepada manusia dalam bentuk yang telah konkret dan khusus dan bukan sebagai prinsip-prinsip universal serba abstrak, maka bentuk dan isi bukanlah dua entitas yang dapat dipisahkan satu dari yang lainnya. Oleh sebab itu, kiranya tidak dengan mudah seseorang dapat berbicara tentang “air kehidupan dalam cangkir India” atau tentang pot bunga yang dibawa dari Barat dan dipecahkan lalu tumbuhan itu berakar di tanah Asia, sebagaimana biasa dikatakan oleh D. T. Niles. Sekalipun demikian, di dalam Alkitab bentuk yang diambil  oleh Injil ternyata lebih dekat dengan konteks Asia ketimbang dengna bentuk-bentuk teologi Barat, yang diwarisi gereja dari para pendirinya. Karena di Asia agama-agama mempunyai pengaruh kuat dalam kehidupan insan-insannya dan memainkan peranan penting dalam pembentukan manusia, maka bagian esensial pempribumian kesaksian gereja ialah pemahaman disertai perasaan simpati akan ciri-ciri yang menonjol dari agama-agama tersebut. Agama-agama melambangkan upaya mencari Allah dengan penuh kesungguhan hati yang dilakukan oleh orang yang tidak mengetahui upaya Allah mencari manusia. Agama-agama mencakup dambaan yang mendalam terhadap Khaliknya, pandangan dunianya, pemahaman dirinya, serta masyarakatnya.[11]

Unsur-unsur ini masih terus berlangsung sampai masa kini, walaupun India telah mencapai kemajuan. India termasuk dalam kelompok negara yang menggunakan energi nuklir, dengan maksud agar dapat membebaskan diri masalah abadi kemiskinan. Tapi nyatanya, India belum terbebaskan dari kemiskinan massalnya. Setengah dari populasi India masih hidup dalam garis kemiskinan yang menimbulkan putus asa. Karenanya, kemiskinan di India merupakan kemiskinan massal, dan dengan demikian kemiskinan massal ini belum pernah terjadi dalam sejarah dan tidak ada bandingannya di tempat mana pun di dunia ini. Karena itu tidak heran, India digambarkan samudera kemiskinan.[12]

2.3.2.      Dalam Membangun Pengakuan Iman di Asia

Pengakuan iman dari gereja mana pun harus secara teguh didasarkan atas penyataan Kristus serta pengalaman hidup gereja di wah terang Firman. Kredo, seperti Pengakuan Iman Rasuli dan peng_ akuan Iman Nicaea, yang dipakai secara universal oleh sernua gereja adalah produk dari kurun waktunya masing-masing, dan adalah hasil akhir perjuangan melawan ajaran-ajaran sesat pada masanya. kredo itu melakukan pengabaian yang serius atas beberapa aspek penting iman kita. Misalnya, tidak disebut-sebut tentang keabsahan Firman yang tertulis, pembenaran oleh iman, makna kamya Penda_ maian oleh Kristus, atau mengenai misi gereja. Nilai serba mutlak tidak dapat diberikan pada kredo-kredo historis, walaupun memang tetap instruktif bagi gereja. Bila orang-orang Kristen di Asia mulai memahami iman dalam rangka kehidupan dan kebutuhan mereka, dan beranjak dari dalam, maka konfesi yang hidup akan berkembang, yang akan menghubungkan iman alkitabiah historis pada kehidupan dan tantangan-tantangan masa kini. Konfesi yang begitu akan waspada terhadap ajaran-ajaran sesat, seraya memetik pelajaran dari sejarah kekristenan dengan jalan lurus ke depan diseltai perbedaan yang sebenarnya. Gereja yang hidup di tengah kancah mayoritas yang bermusuhan dan harus membuat tuntutan yang berani bagi Tuhannya tak dapat sekadar terlena dalam imannya yang serba samar dan serba tak pasti dalam pengajarannya. Kredo-kredo Kristen Barat yang kita pakai tidak menghadapi tantangan-tantangan yang diperhadapkan kepada gereja di Asia dewasa ini. Aspek lain dari masalah ini ialah kebhinekaan konfesi denominasional yang terdapat di Asia. Terbagi-baginya denominasi gereja di Asia, sebagian besar sekalipun bukan seluruhnya, adalah sekadar penerusan keterpecahan Barat yang diimpor. Banyak di antaranya tumbuh karena isu-isu yang bersifat parokial atau sepele dalam  jolak peltumbuhan gereja Barat. Denominasionalisme di Asia karenanya menanggung dampak yang tidak menguntungkan dari proses pengeping-ngepingan kekuatan minoritas kekeristenan yang memang kecil, yang lalu terpilah-pilah dalam sejumlah besar kubu-kubu terpisah hanya karena alasan-alasan yang bersifat historis dan parokial. Pengembangan pempribumian teologi di Asia harus mendorong keesaan dan kerja sama pada dataran di tempat konfesi bisa operasional daripada di dataran di tempat konfesi-konfesi denominasional hanya berupa rumusan-rumusan teologis semata. Dan dengan demikian bisa memandang perbedaan-perbedaan konfesional sebagai sekadar masalah-masalah periferal. Warga sebuah keluarga dapat saling berselisih bila sedang berada dalam suasana santai berleha-leha seraya tertutup bagi dirinya sendiri. Tetapi bilamana mereka tengah berjuang menghadapi seorang penyerang terhadap keutuhan keluarga, atau didesak untuk bertindak karena satu kebutuhan mendesak, maka mereka harus bekerja sama selaku satu tubuh. Keesaan jenis itulah yang kita cari di Asia — keesaan yang terarah ke misi, keesaan yang bertujuan, daripada sekadar keesaan sebagai tujuan di dalam dirinya sendiri.[13]

2.3.3.      Mengembangkan Keseluruhan Kehidupan Gereja di Asia

Teologi pribumi selaku teologi yang operasional, jauh melampaui tingkatan yang murni konseptual belaka. Ia akan mempengaruhu segala aspek kehidupan gereja, misalnya kepemimpinannya, kemandirian finansial, music, arsitektur gereja serta kesaksiannya. Pada umumnya dari jarak jauh gereja-gereja Asia dikontrol oleh gereja-gereja induknya di Barat, yang menyediakan baik kunci kepemimpinanya maupun santunan finansial. Situasi ini kini tengah mengalami perubahan pesat. Tatkala gereja-gereja menjadi bebas mengembangkan ekspresi imannya sendiri, maka pastilah akan kita jumpai banyak perkembangan tersebut tidak semuanya memiliki arah tujuan yang tepat namun harus diantisipasikan manakah kreativitas dan kebebasan sedang bekerja. Bagi gereja Kristen dalam manfaatkan music asli setempat, tarian dan drama bagi ibadah dan kesaksiannya. Bentuk-bentuk ibadah masa kini, yang sebagian besar identic dengan yang di Barat, harus memberi tempat bagi pola-pola yang bersifat pribumi dan karenanya lebih bermakna.

Tampaknya gereja di Asia dalam banyak hal menghayati hidup mereka dalam situasi yang sangat mirip dengan gereja pada masa awal kerjaan Romawi. Hal itu memang benar sehubungan dengan jenis oposisi yang dihadapinya, proses pembentukan struktur-struktur yang berlangsung secara setahap demi setahapp, rasa kemendesakan akan misi yang harus dilaksanakan secara segera, ketegangan yang dunia religio-filosofis, serta pertumbuhannya yang ajek secara menyeluruh. Gereja di asia, sama halnya dengan gereja di manapun juga, harus mempertahankan ketegangan yang sehat antara menjadi bagian dari dunia ini aka menjadi milik Allah- dengan kata lain, antara relevansi dan keunikannya, yang adalah problema esensial pempribumian. Tetapi untuk termasuk dalam struktur dan teologi asing adalah seumpama tanaman di dalam “rumah kaca tanaman”, yang memang aman dan nyaman, namun tak terkait dengan tanah. Hanyalah kehidupan dilapangan terbuka, dengan dinginnya malam dan panasnya siang, disertai badai, yang dapat menolong gereja bertumbuh mantap dengan akar-akarnya yang dalam.

2.4. Menuju Pergumulan Teologi Kontekstual di  Asia

2.4.1.      Mukadimah

Kami umat Kristen se-Asia, bersama dengan utusan-utusan yang bersifat persaudaraan dari benua-benua lain, berhimpun di Wennappuwa, Sri Langka, dari tanggal 7 sampai 20 Januari 1979, didorong oleh rasa solidaritas kami dengan rakyat kami dalam perjuangan mencapai kemanusian yang penuh dan disatukan oleh iman kami di dalam Yesus Kristus. Dengan membawa pengalaman perjuangan dari negeri kami masing-masing, kami datang untuk turut serta dalam hidup dan situasi rakyat jelata di Sri Langka yang tengah memperjuangkan keadilan, melalui keikutsertaan kami dalam program hidup bersama dalam rumah tangga penduduk selama empat hari, Seusai hari-hari tersebut, kami makin mengerti akan persamaanpersamaan dan perbedaan-perbedaan latar belakang kami sehingga dapat mempertajam pemahaman kami baik atas kekayaan maupun penderitaan yang mendalam dari rakyat Asia. Sebagai orang-orang Asia, kami menyadari tugas penting yang terbentang luas di hadapan kami. Refleksi-refleksi kami, yang sudah dimulai di tengah kancah realitas-realitas setempat kami, telah membantu memperkaya proses interaksi dan saling berbagi perasaan di antara kami, yang telah bercekad memperjuangkan kaum miskin di Asia. Pada saat yang sama, kami pun sadar bahwa refleksi ini hanyalah sebagian saja dari awal pencarian teologi yang relevan di Asia secara kolektif dan bersinambung.

2.4.2.      Konteks Asia

Asia menderita di bawah tumit kemiskinan yang dipaksakan. Kehidupannya dicabik-cabik oleh kolonialisme yang berabad-abad selta oleh neo-kolonialisme baru-baru ini. Kebudayaan-kebudayaannya disepelekan, relasi-relasi sosialnya dibuat menyimpang. Daerah kumuh yang menyedihkan di kota-kota membengkak terus dengan datangnya petani-petani miskin yang terusir dari tanah garapannya, makin memperjelas gambaran kehidupan serba mewah di samping kemiskinan yang papa, suatu gambaran yang sama yang terlihat di sebagian besar negara-negara di Asia. Kesenjangan ekstrem ini adalah akibat kontradiksi kelas sosial, suatu dominasi yang sinambung di Asia oleh kekuatan-kekuatan dari dalam maupun dari luar. Konsekuensi pola dominasi kapitalis ini ialah bahwa semua hal, bahkan waktu dan hidup itu sendiri, telah menjadi barang dagangan yang dapat dipasarkan. Hanya minoritas kecil para pemilik modal yang menentukan kualitas hidup para buruh, petani dan lain-lainnya, selta ng menentukan harga bayaran tenaga, kecakapan, kepandaian mereka, demikian pula keuntungan materi yang dibutuhkan untuk menunjang hal-hal tersebut. Apa yang dihasilkan, bagaimana dan di mana diproduksi, untuk siapa diproduksi, adalah keputusan perusahaan-perusahaan transnasional dalam persekongkolan dengan kaum lit nasional serta dukungan terbuka atau terselubung kekuatan olitik dan militer. Perjuangan mengatasi kekuatan-kekuatan ini telah diemban degan berani oleh pemuka-pemuka sosialis. Orde sosio-politik ini ternyata searah dengan aspirasi rakyat Asia, di kawasan desa dan kota,  karena menjanjikan hak menentukan nasib sendiri serta menetapkan  kondisi sosial ekonomi yang menentukan kesejahteraan mereka. Sebagian besar Asia telah berhasil, melalui perjuangan panjang, mencapai tatanan sosialis yang demikian. Namun perlu ditambahkan bahwa transformasi sosialis di dalam negara-negara tersebut belumlah lengkap, dan negara-negara itu tetap harus membebaskan diri dari segala macam penyimpangan melalui upaya mengkritik diri sendiri yang bersinambung. Demikian pula gerakan-gerakan sosialis di Asia tak akan tuntas dalam perjuangan mereka untuk kemanusiaan yang penuh kalau tidak serempak dilakukan pembebasan batiniah dari segala bentuk pencarian-diri dan naluri-naluri yang eksploitatif. Tradisi yang kaya dari beberapa agama utama di Asia (Hindu, Buddha, Islam, Kristen) menawarkan banyak inspirasi. Kekayaannya tidak saja terungkap dalam rumusan-rumusan filsafat, tetapi juga dalam berbagai bentuk kesenian, misalnya tarian dan drama, puisi dan kidung, dalam mitos dan ritus, perumpamaan dan legenda. Hanya manakala kita bersedia terjun menyelam ke dalam budaya rakyat, barulah perjuangan kita memperoleh matra pribumi.

Memang sama benarnya bahwa fungsi sosial agama atau sistem budaya bersifat mendua. Di masa lalu, agama-agama dan sistem budaya berperan menyahkan hubungan-hubungan feodal, namun prinsip auto-kritik yang melekat di dalamnya kini dapat menjadi sumber pembebasan dari dominasi nilai-nilai dan ideologi-ideologi kapitalis. Karena itu, kami merasa konteks Asia yang menyuarakan syaratsyarat teologi Asia terdiri dari perjuangan mencapai kemanusiaan yang penuh di dalam aspek-aspek sosio-politik dan psikospiritual. Pembebasan seluruh umat manusia bersifat sosial dan personal.[14]

2.4.3.      Pokok-Pokok Persoalan Teologi Kontekstual di Asia

Satu tanda penuh harapan muncul dengan makin berkembangnya kesadaran di antara rakyat yang tenekan yang mengarah pada berdirinya dan bertambah banyaknya organisasi kemasyaraktan baik di kota-kota maupun di daerah pedesaan. Sebagian besar negara-negara Asia menyaksikan adanya berbagai pemberontakan petani dan kerusuhan di kota-kota. Gejolak tersebut ternyata ditaklukkan oleh penindasan berdarah, diintimidasi dengan pengurungan di Penjara dan penyiksaan, sehingga banyak yang menjadi gerakan di bawah tanah dan perjuangan berkepanjangan sebagai satu-satunya cara mengubah masyarakat yang bersangkutan.  Seraya tidak sepenuhnya nyetujui penggunaan kekerasan yang seringkali sulit dihindarkan tapi kami mempermasalahkan dan menentang diberlakukannya "hukum dan ketertiban" yang ternyata mengonsolidasi kontrol pihak elit penguasa sambil merintangi adanya "penolakan atas dasar hati nurani" secara terorganisasi dari mayoritas kaum textindas. Apabila kekerasan yang dilegalisasi tak memberi peluang bagi rakyat untuk membebaskan diri dari kesengsaraan, kiranya kita tak heran jika mereka pun terpaksa menggunakan kekerasan. Sudahkah gereja-gereja cukup memahami berita yang tersirat di balik tindak kekerasan revolusioner kemerdekaan politis, emansipasi sosial dan pembebasan dari kekerasan yang "built in" dalam struktur ekonomi dan politik yang sekarang?

Kaum muda di Asia yang adalah bagian terbesar penduduk Asia, terus-menerus menjadi korban. Dari antara mereka, yang seharusnya merupakan sumber tenaga, malah makin banyak yang menjadi penganggur dan penganggur s mu. Kekurangan fasilitas pendidikan yang memadai dan menurunny kesempatan kerja di daerah pedesaan tempat asal sebagian besar pemuda mengakibatkan beltambahnya arus migrasi ke pusat-pusat kota. Sedangkan di kota-kota para pemuda dijadikan sasaran budaya konsumtif dan pada gilirannya menjadi wahana dekulturalisasi. Kami juga menggaris-bawahi betapa sebagian mahasiswa, pemuda dan pekerja telah memainkan peranan penting selaku kekuatan kritis dan berdedikasi dalam rangka memperjuangkan hak-hak dasar bagi rakyat teitindas. Namun serempak dengan itu, mereka juga telah dijadikan pion dalam pertarungan kekuatan politis para politisi dan kelompok kepentingan lain, sehingga kehilangan relevansinya yang murni, malahan mereka dikorbankan menjadi mangsa kekerasan fisik yang brutal.

Sistem pendidikan, terkait pada pusat-pusat kekuasaan yang mapan, disesuaikan demi pengukuhan dominasi atas kaum muda, dipakai sekadar sebagai saluran mentransfer kecakapan teknis serta pengetahuan asing tanpa merujuk pada nilai-nilai kemanusiaan. Struktur pendidikan elitis berbentuk piramida digunakan untuk mencetak orang-orang yang kalah, yang terus-menerus dieksploitir.

Demikian pula kami sangat menyadari betapa kaum wanita telah dijadikan korban struktur dominasi dan eksploitasi yang serupa. Dalam konteks agama dan budaya Asia, hubungan antara pria dan wanita masih diwarnai oleh dominasi. Situasi ini lebih buruk di kalangan masyarakat miskin. Dengan demikian wanita menghadapi penindasan ganda yang tak termaafkan. Pada bidang ekonomi, masyarakat yang didominasi kaum pria menurunkan "harga" tenaga buruh wanita dan membatasi lingkup peran seita wanita dalam proses produksi di semua jajaran: lokal, nasional, regional dan karenanya juga internasional. Di bidang politik, wanita sebenarnya menyadari keadaan politik negaranya, namun di bidang ini pun kecakapan seita kegiatannya sangat tersendat. Wanita secara jasmani dan intelektual memang berada dalam posisi yang lebih peka-rawan, yaitu dalam masyarakat di mana terjadi interaksi kekuatan tradisional dan modern (terutama turisme) yang memaksa mereka berkompromi dengan nilai-nilai konsumtif masyarakat kapitalis. Hal itu juga memaksa mereka ke dunia pelacuran. Bukannya mengutuk sistem yang memaksa wanita ke pelacuran, malah wanitalah yang disalahkan kaum pria yang mengeksploitasinya. Kami mengakui adanya minoritas etnis di tiap negara Asia. Mereka adalah sektor yang paling tersingkir dari semua bidang, termasuk ekonomi, politik dan kebudayaan. Mereka memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri melawan rintangan-rintangan berat, namun Perjuangan otentiknya sering dimanfaatkan oleh pusat-pusat kekuasaan dalam rangka permainan antagonisme rasial dengan kamuflase dili, dan dengan demikian mengganggu kesatuan antar-golongan tersisih ini. Media-massa, termasuk media cetak, film, televisi dan IainIainnya dikendalikan oleh kaum elit penguasa untuk mempropagandakan sistem dominan nilai dan mitos mereka, memberi peluang bagi budaya yang tidak manusiawi, individualistis dan konsumtif. Meskipun ada dominasi ini, kami juga melihat munculnya mikromedia kreatif yang menggambarkan perjuangan rakyat yang terdominasi secara realistis. Kami perlu mengemukakan pula dampak yang makin besar dari urbanisasi dan industrialisasi irasional. Wanita, anak-anak dan pria bersama-sama menghadapi penyusutan kesempatan dalam pendidikan, perumahan dan pelayanan kesehatan, padahal kebutuhan sosial ini ditentukan oleh kekuatan pasar. Dengan ditransfernya lahan produksi dan mekanisasi dari negara-negara industrialis, maka polusi muncul di sebagian besar negara Asia, mengakibatkan ketidakseimbangan ekologis. Dalam hal ini kami turut ikut serta dengan para nelayan dalam perjuangan mengatasi praktek-praktek keji negaranegara teitentu sepefti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan.

Kami juga menyadari legitimasi yang diperankan agama sepanjang rentangan sejarah dalam konteks Asia. Agama adalah bagian integral dalam keseluruhan masyarakat, tak terpisahkan dari segala bidang kegiatnn. Banyak interaksi antara agama dan politik telah berlangsung di Asia selama berabad-abad. Kini ada gerakan-gerakan  Pernbaruan sosial penting yang diilhami agama-agama di luar institusi-institusi tradisional. Kita perlu menggaris-bawahi unsur kritis. Yang terkandung dalam agama dan kebudayaan. sosio-politis serius atas realitas keterlibatan dalam Politik dan ideologi harus dipandang sebagai unsur vital kreatif untuk sebagai menyatukan kritik manusia Di sini kita seraya menemukan memberinya daya  diri di tengah kancah perjuangannya. Tindakan budaya yang  menciptakan simboldengan kekayaan budaya lama.[15]

2.5. Membangun Teologi Kontekstual di Asia

kita bisa melihat semangat apa yang telah melahirkan teologi kontekstual. Ada tiga semangat,

1.      Semangat untuk lepas dari kolonialisme. Semangat untuk lepas ini, tidak terbatas pada kolonialisme fisik,tetapi juga kolonialisme pemikiran termasuk pemikiran agama

2.      Ketidakpuasan terhadap teologi dan pendidikan teologi yang tradisional

3.      Semangat untuk menemukan identitas.[16]

III.             Kesimpulan

      Teologi adalah sesuatu yang hidup, yang bersentuhan dengan inti eksistensinya selaku umat Kristiani dan selaku gereja-gereja. Dimana teologi ini tidak dapat dipahami sebagai sesuatu yang statis atau sebagai seperangkat rumusan baku yang final. Teologi Kristen hanya dapat memenuhi tugasnya di Asia manakala selaku gereja-gereja Asia, selaku hamba-hamba firman Allah dan penyataan dalam Yesus Kristus, berbicara terhadap situasi Asia dan dari keterlibatan di dalamnya. . Karena itulah dimana memberi kejelasan perihal penetapan metodologi mana yang akan ditempuh. Dalam konteks sekian banyak mite-mite religious dan wawasan dunia sebagai maya belaka, apakah pokok khusus teologi Kristen di Asia di ialah mengenai karya penebusan Allah serta kendali dan rencana Allah di dalam rentang sejarah?. Bila ditinjau dari kecondongan umum tentang impersonalitas dewa-dewa atau wawasan tentang agama tanpa Allah,

IV.             Daftar Pustaka

C.S. Song, Sebutkanlah nama-nama kami teologi cerita dari perspektif Asia, Jakarta:BPK Gunung Mulia,1993

Elwood, Dauglas J., Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil ke permukaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019

Shenk, Wilbert R.,  Contextual Theology: The Last Frontier” in Sanneh, Lamin and Joel A. Carpenter, dalam the Changing Face of Christiantity Africa The West, And The World, Oxford: Oxford University Press, 2005

Singgih, Gerrid,  Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan di Antara Kontekstualisasi Teologis dengan interprestasi Alkitabiah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982

Tomatala, Y., D. Mis, Teologi Kontekstualisasi: Suatu Pengantar, Jakarta: Gandum Mas, 2007

Yewangoe, A.A.,  Theologia Crusis di Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989

 



[1] Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil ke permukaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), 31-32

[2]  Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil ke permukaan, 32-33

[3] Y. Tomatala, D. Mis, Teologi Kontekstualisasi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Gandum Mas, 2007), 2

[4] Wilbert R. Shenk, Contextual Theology: The Last Frontier” in Sanneh, Lamin and Joel A. Carpenter, dalam the Changing Face of Christiantity Africa The West, And The World, (Oxford: Oxford University Press, 2005), 192

[5] Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil ke permukaan, 6-7

[6]  Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil ke permukaan,33-36

[7]  Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil ke permukaan, 36-37

[8] Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil ke permukaan, 38-39

[9] C.S. Song, Sebutkanlah nama-nama kami teologi cerita dari perspektif Asia, (Jakarta:BPK Gunung Mulia,1993), 19.

[10] Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil ke permukaan, 38-39

[11]  Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil ke permukaan, 44-45

[12] A.A.Yewangoe, Theologia Crusis di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 39

[13]  Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil ke permukaan, 46-47

[14]  Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil ke permukaan, 74-76

[15]  Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil ke permukaan, 77-80

[16] Gerrid Singgih, Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan di Antara Kontekstualisasi Teologis dengan interprestasi Alkitabiah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 16-17.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca selengkapnya disini ya