I.
Pendahuluan
Berbicara
mengenai arah dalam teologia Asia ini bukanlah hal yang sederhana. Apa yang
disebut teologia Asia itu sendiri sangat beraneka ragam, sama seperti
beranekaragamnya situasi Asia dari mana teologia itu diusahakan. Ada
berbagai-bagai latar belakang yang patut dipertimbangkan : agama, kebudayaan,
sejarah. Maka dari itu pada pertemuan kita kali ini kita akan membahas tentang
“Teologi Kristen Asia”, yang dimana Menggali persoalan kontekstual di Asia dan
Membangun Teologi Kristen Asia. Semoga pembahasan kita kali ini bisa menambah
wawasan dan bermanfaat bagi kita Tuhan
Yesus Memberkati.
II.
Pembahasan
2.1. Menuju Teologi Kristen
Asia
Dalam
sidang pembentukan Asosiasi Teologi Asia yang bertemu di hongkong, pada Januari
1974, dimana ada suatu ditinjau dari pendirian kaum Evangelikal konservatif di
India. Dimana pada saat itu Teologi Asia berkiprah begitu jauh, sehingga pada
pertemuan itu memutuskan atau berkata bahwa “Orang-orang Asia harus berada
dalam posisi yang lebih baik”. Teologi Kristen Asia yang bersifat pribumi yang
didasarkan atas Alkitab, mengingat konteks dan latar belakang penyataan Alkitab
banyak persamaannya dengan situasi kehidupan tradisional di Asia. Kendatipun
dalam kebanyakan penalaran Asia, tetapi (Ultimate)
yang bersifat impersonal dalam kebanyakaan penalaran Asia, tetapi pada saat
itu menyarankan agar titik pangkal bagi Teologi Kristen Asia adalah penekanan
Kristen pada Allah yang bersifat personal, dan pada iman sebagai hubungan
personal dengan Allah. Dua makna itu muncullah istilah “Teologi” adalah, pada
satu pihak, penyataan diri abadi dari Allah terkait dengan kata Theos, dan pada pihak lain, pemahaman
manusia akan Allah menurut kategori Logos
atau daya nalarnya. Misalnya, aspek penyataan dan transcendental dari Karl
Barth yang berkembang kea rah apa yang kerap disebut sebagai “Teologi
kerugmatika” atau dimensi insani penyataan dari Paul Tilich yang menuju
“Teologi apologetika”.[1]
2.2. Dasar Teologi Kristen di
Asia
Dasar
Teologi Kristen di Asia berawal pada Amanat. Amanat utamanya adalah tentang
sesuatu yang telah diberikan kepada semua orang, dan itu adalah mengenai fakta
Kristus, peristiwa keselamatan, seperti apa adanya dan yang tak berhak kita
modifikasikan yaitu yang; “telah disampaikan kepada orang-orang kudus” (Yud 3).
Pernah dikemukakan argumentasi bahwa tidak ada apa yang disebut injil murni,
karena injil bisa bersifat pribumi, maka baik isi maupun bentuknya harus
melalui proses transformasi, sama halnya dengan butir padi dan sekam yang harus
mati demi adanya beras. Tetapi persoalannya ialah bahwa dari kematian butir
padi beserta sekamnya, tidak akan tumbuh gandum melainkan hanya beras, dan
itupun bukannya jenis beras lainnya. Oleh karena itu, itulah sebagai dasar
Teologi Kristen di Asia.[2]
Yang dimana dasar Teologi Kristen di Asia ini memiliki suatu kemampuan dan
memberikan tanggapan yang bermakna terhadap injil dalam kerangka kontekstual
yang dapat disebut ialah “Teologi” apabila ia benar-benar kontekstual.[3]
Dimana kontkestual ini pada mulanya muncul sekitar tahun 1972 di dalam kalangan
Teological education Fund (Tef). Orang
yang pertama kali mengemukakan kontekstual ini diperkenalkan oleh “Shoki Coe”,
seorang teolog Asia asal Taiwan.[4]
2.2.1.
Dasar
dan Ciri-Ciri Teologi Kristen di Asia
Dasar
Teologi yang hidup lahir dari perjumpaan gereja yang hidup dengan dunianya.
Khususnya Teologi dalam hubungannya dengan kebangkitan kembali dan revolusi
Asia, karena kami percaya Allah sedang melaksanakan maksud-maksud-Nya di dalam
gerakan-gerakan dunia secular tersebut. Oleh karena itu adanya perkembangan ke
arah teologi yang otentik dan hidup di Asia yaitu:
1. Dalam
ibadah dan khotbah, dimana di banyak kalangan gereja-gereja di Asia, ibadah
dihayati sebagai sesuatu yang menjemukan dan miskin, dan khotbah-khotbahnya
mengalami semacam “Lesu darah”. Mengapa demikian? Karena pada saat itu dimana
Gereja-gereja di Asia sejauh ini, dan ini berlaku dalam skala besar, karena
tidak mengembankan tugas teologisnya dengan cukup serius, sebab sebagian
besarnya merasa puas menerima jawaban-jawaban yang sudah jadi dari teologi atau
konfesinya. Oleh karena itu pada teologi yang hidup harus berlandaskan
kehidupan ibadah jemaat yang lebih kaya dan penuh, karenanya untuk mencapai
tujuan tersebut Gereja-gereja Asia dan seminari-seminari teologi harus menaruh
perhatian segera dan mendesak pada pendidikan dan pendidikan ulang yang lebih
baik lagi.[5]
2.2.2.
Mencirikan
Teologi Kristen Asia
2.2.2.1.
Dasar dan ciri Alkitabiah:
Dalam
teologi yang kiblatnya Alkitabiah sebagai satu-satunya Teologi Kristen yang sah
bagi Asia yaitu:
1. Iman
Kristen memiliki dasar dan ciri historis berbeda dari kebanyakan agama lainnya,
dan Alkitab adalah satu-satunya kesaksian tertulis atas sejarah khas karya
penyelamatan Allah. Teologi Kristen ialah Kristus yang berinkarnasi, dan bukan
dogma atau prinsip abstrak dan universal apapun. Sebab Allah yang transenden
telah melaksanakan karya kongkret dank has pada waktu dan tempat yang khusus.
2. Konteks
dan latar belakang melalui mana firman Allah datang kepada manusia pada masa
Alkitab ternyata sangat mirip dengan situasi kehidupan di Asia masa kini. Dari
latar belakang sosio-budaya baik Perjanjian Lama maupun perjanjian Baru dalam
banyak hal adalah dengan situasi Asia kontemporer. Orang-orang Asia berada
dalam posisi yang lebih baik dalam rangka pengembangan penelitian ilmiah atas
Alkitab ketimbang mereka yang di barat. Akan menjadi suatu paradox manakala
perintah “Hormatilah ayahmu dan ibumu”, harus ditafsirkan oleh para cendikiawan
Barat terhadap orang-orang Kristen Asia. Mengingat Gereja Asia dewasa ini menghayati
kembali banyak situasi kehidupan Alkitabiah, tentunya hal itu memiliki
keuntungan-keuntungan tertentu bagi pengembangan pempribumian teologi ketimbang
gereja-gereja di Barat.
3. Alkitab
sendiri menyajikan kepada kita satu pola pengungkapan nalar yang bersifat
pribumi. Israel termasuk dalam budaya dunia dan juga warisan religiusnya. Dalam
seluruh Alkitab, firman Allah dipandang sebagai relevan dengan situasi dan
terkait pada waktu diucapkan. Para nabi Perjanjian Lama menyapa
kebutuhan-kebutuhan di sekitar mereka. Amanat Allah mengambil bentuk kongkret
dalam konteks kejahatan-kejahatan monarki, ketidakadilan sosial, penyembahan
Baal, sinkretisme, hukuman Allah yang akan datang dan sebagainya.[6]
2.2.3.
Pokok-Pokok
Persoalan Kontekstual di Asia
Dalam
pokok-pokok persoalan, dimana Kontekstual di Asia berbeda halnya dengan system
teologi Barat, maka sistematisasi teologi Kristen Asia apapun harus dibangun
sekitar penekanan tertentu yang belum tentu dirasakan sebagai isu-isu yang
relevan di Barat. Teologi-teologi Kristen dari masa dan tempat yang
bermacam-macam, kendati meliputi melalui satu atau lain cara pokok bahasan umum
yang sama, oleh karena itu kita harus mendapatkan perhatian khusus dan yang
barangkali bisa menjadi titik pangkal yang mengantar pada eksposisi keseluruhan
lingkup bidang tersebut. Bagi Calvin, faktor sentral teologi adalah kedaulatan
Allah, bagi Luther ialah dibenarkan karena iman, dan bagi Barth ialah firman
Allah dan inkarnasi. Kontekss di mana mereka hidup dan menulis serta
tantangan-tantangan zaman mereka itulah yang menetapkan penekanannya. Banyak di
antara teologi evangelical modern beranjak dari inspirasi dan
ketidak-dapat-salahan (infallibility).
Hanya dengan kepekaan yang tajam terhadap dunia sekitarnya, maka gereja di Asia
dapat memberikan kesadaran tentang bidang teologi. Karena itulah dimana memberi
kejelasan perihal penetapan metodologi mana yang akan ditempuh. Dalam konteks
sekian banyak mite-mite religious dan wawasan dunia sebagai maya belaka, apakah
pokok khusus teologi Kristen di Asia di ialah mengenai karya penebusan Allah
serta kendali dan rencana Allah di dalam rentang sejarah?. Bila ditinjau dari
kecondongan umum tentang impersonalitas dewa-dewa atau wawasan tentang agama
tanpa Allah, apakah penekanan Kristen justru diletakkan pada sifat hakiki Allah
yang personal dan pada intisari iman Kristen sebagai hubungan personal dengan
Allah? Dalam persoalan sitematisasi teologi Asia harus menempuh sistematisasi
yang digariskan oleh apa yang ditekankan oleh budaya dan pemikiran-pemikiran
penting di Asia. Misalnya, dalam teologi-teologi Barat, konsep monoteisme, ciri
Allah yang personal, realitas dosa, pengertian tentang keutuhan dunia sebagai
ajang karya Allah dan sebagainya, mungkin tidak memerlukan pengolahan
sepenuhnya, sedangkan di Asia mungkin itulah yang justru yang menjadi
pokok-pokok teologis yang paling hidup.
Persoalan
lain yang terkait pada apa yang disebut diatas ialah perihal pengunaan
istilah-istilah teologis. Dimana persoalan makna isinya kerap tidaklah masalah
bagi teologi Barat, karena latar belakang umum budaya Yudeo-Kristen mereka.
Orang-orang Israel kerap memakai istilah-istilah yang sama-sama berlaku di
dunia semit.[7]
2.2.4.
Orientasi
Pada Kebudayaan dan Agama-Agama Asia
Dengan
masalah relasi antara teologi dan kebudayaan dalam konteks Asia terdapat
sejumlah bidang bagi penyelidikan. Dalam system teologi Barat memperoleh
bentuknya dalam kancah latar belakang umum budaya Yudeo-Kristen. Peradaban
Barat itu sendiri, dalam kadar besar adalah hasil kekristenan. Dan kekristenan
Barat itu sendiri dalam kehidupan dan pemikirannya secara substansi dipengaruhi
oleh perdaban Barat. Arend Van Leeuwen malah lebih jauh melihat Kerajaan Allah
bermula dari peradaban Kristen Barat, dan yang sedang dalam proses pemapanannya
dalam dunia melalui perkembangan teknologi serta penaklukan masyarakat dan
kebudayaan “otokratik” Timur. Dapat kiranya kita mengatakan bahwa bagi
teolog-teolog Barat, sekalipun masalah hubungan Kristus dan kebudayaan dari
waktu ke waktu dimunculkan, namun tidak ada pergumulan nyata di antara keduanya
itu. Karya Niebuhr yang klasik “Christ
and Culture” yang mengikhtisarkan pembahasan di Barat sekitar pokok
tersebut. Dengan sejarah Asia menjadi isu yang membingungkan teolog-teolog
Asia. Misionaris modern Protestan ke Asia pada umumnya beranggapan bahwa
kebudayaan-kebudayaan nasional adalah korup dan anti Kristen, karena biasanya
diabaikan saja bila tidak dikatakan harus ditentang oleh orang-orang Kristen.
Mereka yang bertobat masuk agama Kristen telah “dibebaskan” dari kebudayaan-kebudayaan
tersebut agar bisa hidup terlindung dalam komunitas-komunitas Kristen. Pada
saaat yang bersamaan, misionaris Katolik Roma pada umumnya berpegang pada
pandangan klasik Romawi bahwa Kristus berada di atas kebudayaan. Hanya sedikit
saja jumlah misionaris ataupun orang-orang Kristen Asia yang secara serius
dalam kaitannya dengan Asia yang menerapakn keyakinan Calvin bahwa Kristus
memliki kuasa mengubah dan mentransformasikan kebudayaan dan tatanan sosial.
Gereja
Kristen di Asia selalu mengklaim bahwa kepada Kristus telah dikaruniakan segala
kuasa di dunia, di Asia, dan bahwa ia menebus manusia dan menciptakan tatanan
baru. Orang-orang Kristen Asia tak henti-hentinya berdoa. Bagi seorang teolog
Asia masalahnya menjadi lebih sulit bila ia berupaya mengembangkan teologi keprihatinan sosial Kristen di tengah kancah
tatanan sosial, politik, bukan Kristen atau bahkan anti Kristen.[8]
2.3. Pergumulan Teologi
Kontekstual di Asia
Teologi
kontekstual di Asia dimana Kristen
dipengaruhi oleh tradisi barat cenderung berefleksi tentang Allah, iman, kasih,
keselamatan dan penghakiman, yang menghasilkan teologi yang bergumul dengan
hal-hal abstrak-abstrak. Oleh karena
itulah Teologi harus bergumul dengan dunia bukan sebaliknya. Yang memberikan sebuah metode berteologi yang
bercorak Asia yang menggunakan, “Kerinduan dan pergumulan manusia akan kasih
karunia, pengampunan, persekutuan, keselamatan, dan kehidupan dalam
konteks-konteks pernyataan bagi teologi kristen di Asia.[9] Gereja dia Asia menemukann dirinya di tengah
mayoritas yang berkerap bersikap bermusuhan, dan di banyak tempat ia harus
terus-menerus “Membayar Harga” bagi apa yang diimaninya. Dengan demikian setiap
teolog apapun yang dikembangkan tak dapat hanya berupa teori munri belaka,
melainkan harus berupa keyakinan yang telah tumbuh secara mendalam dan telah
dijernihkan dalam konteks kebutuhan-kebutuhan dan tantangan-tantangan. Banyak dari penalaran
Barat tidak menyapa pada isu-isu persoalan di Asia. Ia berurusan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di Barat dan yang dibahas di sana. Karena
itu, untuk sebagian besar, pemikiran Barat, tinggal menjadi oleh akademis yang
baik bagi segelintir teoretikus Asia, namun bukan teologi yang hidup bagi
gereja. Penghambaran dan penyesatan teologis yang tengah dihadapi gereja Asia
dan yang menggerogoti kehidupan gereja, ternyata di impor dari Barat. [10]
2.3.1.
Dampak
Teologi Bagi Gereja di Asia
2.3.1.1. India
Penginjil cendikiawan India terkenal, Sadhu Sundar
Singh, pernah mengungkapkan dambaannya agar ia mampu memberikan “air kehidupan
dalam cangkir India” kepada sesama bangsanya. Di atas kita telah mencatat bahwa
berhubung injil datang kepada manusia dalam bentuk yang telah konkret dan
khusus dan bukan sebagai prinsip-prinsip universal serba abstrak, maka bentuk
dan isi bukanlah dua entitas yang dapat dipisahkan satu dari yang lainnya. Oleh
sebab itu, kiranya tidak dengan mudah seseorang dapat berbicara tentang “air
kehidupan dalam cangkir India” atau tentang pot bunga yang dibawa dari Barat dan
dipecahkan lalu tumbuhan itu berakar di tanah Asia, sebagaimana biasa dikatakan
oleh D. T. Niles. Sekalipun demikian, di dalam Alkitab bentuk yang diambil oleh Injil ternyata lebih dekat dengan
konteks Asia ketimbang dengna bentuk-bentuk teologi Barat, yang diwarisi gereja
dari para pendirinya. Karena di Asia agama-agama mempunyai pengaruh kuat dalam
kehidupan insan-insannya dan memainkan peranan penting dalam pembentukan
manusia, maka bagian esensial pempribumian kesaksian gereja ialah pemahaman
disertai perasaan simpati akan ciri-ciri yang menonjol dari agama-agama
tersebut. Agama-agama melambangkan upaya mencari Allah dengan penuh kesungguhan
hati yang dilakukan oleh orang yang tidak mengetahui upaya Allah mencari
manusia. Agama-agama mencakup dambaan yang mendalam terhadap Khaliknya,
pandangan dunianya, pemahaman dirinya, serta masyarakatnya.[11]
Unsur-unsur
ini masih terus berlangsung sampai masa kini, walaupun India telah mencapai
kemajuan. India termasuk dalam kelompok negara yang menggunakan energi nuklir,
dengan maksud agar dapat membebaskan diri masalah abadi kemiskinan. Tapi
nyatanya, India belum terbebaskan dari kemiskinan massalnya. Setengah dari
populasi India masih hidup dalam garis kemiskinan yang menimbulkan putus asa.
Karenanya, kemiskinan di India merupakan kemiskinan massal, dan dengan demikian
kemiskinan massal ini belum pernah terjadi dalam sejarah dan tidak ada
bandingannya di tempat mana pun di dunia ini. Karena itu tidak heran, India
digambarkan samudera kemiskinan.[12]
2.3.2.
Dalam
Membangun Pengakuan Iman di Asia
Pengakuan
iman dari gereja mana pun harus secara teguh didasarkan atas penyataan Kristus
serta pengalaman hidup gereja di wah terang Firman. Kredo, seperti Pengakuan
Iman Rasuli dan peng_ akuan Iman Nicaea, yang dipakai secara universal oleh
sernua gereja adalah produk dari kurun waktunya masing-masing, dan adalah hasil
akhir perjuangan melawan ajaran-ajaran sesat pada masanya. kredo itu melakukan
pengabaian yang serius atas beberapa aspek penting iman kita. Misalnya, tidak
disebut-sebut tentang keabsahan Firman yang tertulis, pembenaran oleh iman,
makna kamya Penda_ maian oleh Kristus, atau mengenai misi gereja. Nilai serba
mutlak tidak dapat diberikan pada kredo-kredo historis, walaupun memang tetap
instruktif bagi gereja. Bila orang-orang Kristen di Asia mulai memahami iman
dalam rangka kehidupan dan kebutuhan mereka, dan beranjak dari dalam, maka
konfesi yang hidup akan berkembang, yang akan menghubungkan iman alkitabiah
historis pada kehidupan dan tantangan-tantangan masa kini. Konfesi yang begitu
akan waspada terhadap ajaran-ajaran sesat, seraya memetik pelajaran dari
sejarah kekristenan dengan jalan lurus ke depan diseltai perbedaan yang sebenarnya.
Gereja yang hidup di tengah kancah mayoritas yang bermusuhan dan harus membuat
tuntutan yang berani bagi Tuhannya tak dapat sekadar terlena dalam imannya yang
serba samar dan serba tak pasti dalam pengajarannya. Kredo-kredo Kristen Barat
yang kita pakai tidak menghadapi tantangan-tantangan yang diperhadapkan kepada
gereja di Asia dewasa ini. Aspek lain dari masalah ini ialah kebhinekaan
konfesi denominasional yang terdapat di Asia. Terbagi-baginya denominasi gereja
di Asia, sebagian besar sekalipun bukan seluruhnya, adalah sekadar penerusan
keterpecahan Barat yang diimpor. Banyak di antaranya tumbuh karena isu-isu yang
bersifat parokial atau sepele dalam
jolak peltumbuhan gereja Barat. Denominasionalisme di Asia karenanya
menanggung dampak yang tidak menguntungkan dari proses pengeping-ngepingan
kekuatan minoritas kekeristenan yang memang kecil, yang lalu terpilah-pilah
dalam sejumlah besar kubu-kubu terpisah hanya karena alasan-alasan yang
bersifat historis dan parokial. Pengembangan pempribumian teologi di Asia harus
mendorong keesaan dan kerja sama pada dataran di tempat konfesi bisa
operasional daripada di dataran di tempat konfesi-konfesi denominasional hanya
berupa rumusan-rumusan teologis semata. Dan dengan demikian bisa memandang
perbedaan-perbedaan konfesional sebagai sekadar masalah-masalah periferal.
Warga sebuah keluarga dapat saling berselisih bila sedang berada dalam suasana
santai berleha-leha seraya tertutup bagi dirinya sendiri. Tetapi bilamana
mereka tengah berjuang menghadapi seorang penyerang terhadap keutuhan keluarga,
atau didesak untuk bertindak karena satu kebutuhan mendesak, maka mereka harus
bekerja sama selaku satu tubuh. Keesaan jenis itulah yang kita cari di Asia —
keesaan yang terarah ke misi, keesaan yang bertujuan, daripada sekadar keesaan
sebagai tujuan di dalam dirinya sendiri.[13]
2.3.3.
Mengembangkan
Keseluruhan Kehidupan Gereja di Asia
Teologi
pribumi selaku teologi yang operasional, jauh melampaui tingkatan yang murni
konseptual belaka. Ia akan mempengaruhu segala aspek kehidupan gereja, misalnya
kepemimpinannya, kemandirian finansial, music, arsitektur gereja serta
kesaksiannya. Pada umumnya dari jarak jauh gereja-gereja Asia dikontrol oleh
gereja-gereja induknya di Barat, yang menyediakan baik kunci kepemimpinanya
maupun santunan finansial. Situasi ini kini tengah mengalami perubahan pesat.
Tatkala gereja-gereja menjadi bebas mengembangkan ekspresi imannya sendiri,
maka pastilah akan kita jumpai banyak perkembangan tersebut tidak semuanya
memiliki arah tujuan yang tepat namun harus diantisipasikan manakah kreativitas
dan kebebasan sedang bekerja. Bagi gereja Kristen dalam manfaatkan music asli
setempat, tarian dan drama bagi ibadah dan kesaksiannya. Bentuk-bentuk ibadah
masa kini, yang sebagian besar identic dengan yang di Barat, harus memberi
tempat bagi pola-pola yang bersifat pribumi dan karenanya lebih bermakna.
Tampaknya
gereja di Asia dalam banyak hal menghayati hidup mereka dalam situasi yang
sangat mirip dengan gereja pada masa awal kerjaan Romawi. Hal itu memang benar
sehubungan dengan jenis oposisi yang dihadapinya, proses pembentukan
struktur-struktur yang berlangsung secara setahap demi setahapp, rasa
kemendesakan akan misi yang harus dilaksanakan secara segera, ketegangan yang
dunia religio-filosofis, serta pertumbuhannya yang ajek secara menyeluruh.
Gereja di asia, sama halnya dengan gereja di manapun juga, harus mempertahankan
ketegangan yang sehat antara menjadi bagian dari dunia ini aka menjadi milik
Allah- dengan kata lain, antara relevansi dan keunikannya, yang adalah problema
esensial pempribumian. Tetapi untuk termasuk dalam struktur dan teologi asing
adalah seumpama tanaman di dalam “rumah kaca tanaman”, yang memang aman dan
nyaman, namun tak terkait dengan tanah. Hanyalah kehidupan dilapangan terbuka,
dengan dinginnya malam dan panasnya siang, disertai badai, yang dapat menolong
gereja bertumbuh mantap dengan akar-akarnya yang dalam.
2.4. Menuju Pergumulan
Teologi Kontekstual di Asia
2.4.1.
Mukadimah
Kami
umat Kristen se-Asia, bersama dengan utusan-utusan yang bersifat persaudaraan
dari benua-benua lain, berhimpun di Wennappuwa, Sri Langka, dari tanggal 7
sampai 20 Januari 1979, didorong oleh rasa solidaritas kami dengan rakyat kami
dalam perjuangan mencapai kemanusian yang penuh dan disatukan oleh iman kami di
dalam Yesus Kristus. Dengan membawa pengalaman perjuangan dari negeri kami
masing-masing, kami datang untuk turut serta dalam hidup dan situasi rakyat
jelata di Sri Langka yang tengah memperjuangkan keadilan, melalui keikutsertaan
kami dalam program hidup bersama dalam rumah tangga penduduk selama empat hari,
Seusai hari-hari tersebut, kami makin mengerti akan persamaanpersamaan dan
perbedaan-perbedaan latar belakang kami sehingga dapat mempertajam pemahaman
kami baik atas kekayaan maupun penderitaan yang mendalam dari rakyat Asia. Sebagai
orang-orang Asia, kami menyadari tugas penting yang terbentang luas di hadapan
kami. Refleksi-refleksi kami, yang sudah dimulai di tengah kancah
realitas-realitas setempat kami, telah membantu memperkaya proses interaksi dan
saling berbagi perasaan di antara kami, yang telah bercekad memperjuangkan kaum
miskin di Asia. Pada saat yang sama, kami pun sadar bahwa refleksi ini hanyalah
sebagian saja dari awal pencarian teologi yang relevan di Asia secara kolektif
dan bersinambung.
2.4.2.
Konteks
Asia
Asia
menderita di bawah tumit kemiskinan yang dipaksakan. Kehidupannya dicabik-cabik
oleh kolonialisme yang berabad-abad selta oleh neo-kolonialisme baru-baru ini.
Kebudayaan-kebudayaannya disepelekan, relasi-relasi sosialnya dibuat menyimpang.
Daerah kumuh yang menyedihkan di kota-kota membengkak terus dengan datangnya
petani-petani miskin yang terusir dari tanah garapannya, makin memperjelas
gambaran kehidupan serba mewah di samping kemiskinan yang papa, suatu gambaran
yang sama yang terlihat di sebagian besar negara-negara di Asia. Kesenjangan
ekstrem ini adalah akibat kontradiksi kelas sosial, suatu dominasi yang
sinambung di Asia oleh kekuatan-kekuatan dari dalam maupun dari luar.
Konsekuensi pola dominasi kapitalis ini ialah bahwa semua hal, bahkan waktu dan
hidup itu sendiri, telah menjadi barang dagangan yang dapat dipasarkan. Hanya
minoritas kecil para pemilik modal yang menentukan kualitas hidup para buruh,
petani dan lain-lainnya, selta ng menentukan harga bayaran tenaga, kecakapan,
kepandaian mereka, demikian pula keuntungan materi yang dibutuhkan untuk menunjang
hal-hal tersebut. Apa yang dihasilkan, bagaimana dan di mana diproduksi, untuk
siapa diproduksi, adalah keputusan perusahaan-perusahaan transnasional dalam
persekongkolan dengan kaum lit nasional serta dukungan terbuka atau terselubung
kekuatan olitik dan militer. Perjuangan mengatasi kekuatan-kekuatan ini telah
diemban degan berani oleh pemuka-pemuka sosialis. Orde sosio-politik ini
ternyata searah dengan aspirasi rakyat Asia, di kawasan desa dan kota, karena menjanjikan hak menentukan nasib
sendiri serta menetapkan kondisi sosial
ekonomi yang menentukan kesejahteraan mereka. Sebagian besar Asia telah
berhasil, melalui perjuangan panjang, mencapai tatanan sosialis yang demikian.
Namun perlu ditambahkan bahwa transformasi sosialis di dalam negara-negara
tersebut belumlah lengkap, dan negara-negara itu tetap harus membebaskan diri
dari segala macam penyimpangan melalui upaya mengkritik diri sendiri yang
bersinambung. Demikian pula gerakan-gerakan sosialis di Asia tak akan tuntas
dalam perjuangan mereka untuk kemanusiaan yang penuh kalau tidak serempak
dilakukan pembebasan batiniah dari segala bentuk pencarian-diri dan
naluri-naluri yang eksploitatif. Tradisi yang kaya dari beberapa agama utama di
Asia (Hindu, Buddha, Islam, Kristen) menawarkan banyak inspirasi. Kekayaannya
tidak saja terungkap dalam rumusan-rumusan filsafat, tetapi juga dalam berbagai
bentuk kesenian, misalnya tarian dan drama, puisi dan kidung, dalam mitos dan
ritus, perumpamaan dan legenda. Hanya manakala kita bersedia terjun menyelam ke
dalam budaya rakyat, barulah perjuangan kita memperoleh matra pribumi.
Memang
sama benarnya bahwa fungsi sosial agama atau sistem budaya bersifat mendua. Di
masa lalu, agama-agama dan sistem budaya berperan menyahkan hubungan-hubungan
feodal, namun prinsip auto-kritik yang melekat di dalamnya kini dapat menjadi
sumber pembebasan dari dominasi nilai-nilai dan ideologi-ideologi kapitalis. Karena
itu, kami merasa konteks Asia yang menyuarakan syaratsyarat teologi Asia
terdiri dari perjuangan mencapai kemanusiaan yang penuh di dalam aspek-aspek
sosio-politik dan psikospiritual. Pembebasan seluruh umat manusia bersifat
sosial dan personal.[14]
2.4.3.
Pokok-Pokok
Persoalan Teologi Kontekstual di Asia
Satu
tanda penuh harapan muncul dengan makin berkembangnya kesadaran di antara
rakyat yang tenekan yang mengarah pada berdirinya dan bertambah banyaknya
organisasi kemasyaraktan baik di kota-kota maupun di daerah pedesaan. Sebagian
besar negara-negara Asia menyaksikan adanya berbagai pemberontakan petani dan
kerusuhan di kota-kota. Gejolak tersebut ternyata ditaklukkan oleh penindasan
berdarah, diintimidasi dengan pengurungan di Penjara dan penyiksaan, sehingga
banyak yang menjadi gerakan di bawah tanah dan perjuangan berkepanjangan
sebagai satu-satunya cara mengubah masyarakat yang bersangkutan. Seraya tidak sepenuhnya nyetujui penggunaan
kekerasan yang seringkali sulit dihindarkan tapi kami mempermasalahkan dan
menentang diberlakukannya "hukum dan ketertiban" yang ternyata
mengonsolidasi kontrol pihak elit penguasa sambil merintangi adanya
"penolakan atas dasar hati nurani" secara terorganisasi dari
mayoritas kaum textindas. Apabila kekerasan yang dilegalisasi tak memberi
peluang bagi rakyat untuk membebaskan diri dari kesengsaraan, kiranya kita tak
heran jika mereka pun terpaksa menggunakan kekerasan. Sudahkah gereja-gereja
cukup memahami berita yang tersirat di balik tindak kekerasan revolusioner
kemerdekaan politis, emansipasi sosial dan pembebasan dari kekerasan yang
"built in" dalam struktur ekonomi dan politik yang sekarang?
Kaum
muda di Asia yang adalah bagian terbesar penduduk Asia, terus-menerus menjadi
korban. Dari antara mereka, yang seharusnya merupakan sumber tenaga, malah makin
banyak yang menjadi penganggur dan penganggur s mu. Kekurangan fasilitas
pendidikan yang memadai dan menurunny kesempatan kerja di daerah pedesaan tempat
asal sebagian besar pemuda mengakibatkan beltambahnya arus migrasi ke
pusat-pusat kota. Sedangkan di kota-kota para pemuda dijadikan sasaran budaya
konsumtif dan pada gilirannya menjadi wahana dekulturalisasi. Kami juga
menggaris-bawahi betapa sebagian mahasiswa, pemuda dan pekerja telah memainkan
peranan penting selaku kekuatan kritis dan berdedikasi dalam rangka
memperjuangkan hak-hak dasar bagi rakyat teitindas. Namun serempak dengan itu,
mereka juga telah dijadikan pion dalam pertarungan kekuatan politis para
politisi dan kelompok kepentingan lain, sehingga kehilangan relevansinya yang
murni, malahan mereka dikorbankan menjadi mangsa kekerasan fisik yang brutal.
Sistem
pendidikan, terkait pada pusat-pusat kekuasaan yang mapan, disesuaikan demi
pengukuhan dominasi atas kaum muda, dipakai sekadar sebagai saluran mentransfer
kecakapan teknis serta pengetahuan asing tanpa merujuk pada nilai-nilai
kemanusiaan. Struktur pendidikan elitis berbentuk piramida digunakan untuk
mencetak orang-orang yang kalah, yang terus-menerus dieksploitir.
Demikian pula kami
sangat menyadari betapa kaum wanita telah dijadikan korban struktur dominasi
dan eksploitasi yang serupa. Dalam konteks agama dan budaya Asia, hubungan
antara pria dan wanita masih diwarnai oleh dominasi. Situasi ini lebih buruk di
kalangan masyarakat miskin. Dengan demikian wanita menghadapi penindasan ganda
yang tak termaafkan. Pada bidang ekonomi, masyarakat yang didominasi kaum pria
menurunkan "harga" tenaga buruh wanita dan membatasi lingkup peran
seita wanita dalam proses produksi di semua jajaran: lokal, nasional, regional
dan karenanya juga internasional. Di bidang politik, wanita sebenarnya
menyadari keadaan politik negaranya, namun di bidang ini pun kecakapan seita
kegiatannya sangat tersendat. Wanita secara jasmani dan intelektual memang
berada dalam posisi yang lebih peka-rawan, yaitu dalam masyarakat di mana
terjadi interaksi kekuatan tradisional dan modern (terutama turisme) yang
memaksa mereka berkompromi dengan nilai-nilai konsumtif masyarakat kapitalis.
Hal itu juga memaksa mereka ke dunia pelacuran. Bukannya mengutuk sistem yang
memaksa wanita ke pelacuran, malah wanitalah yang disalahkan kaum pria yang
mengeksploitasinya. Kami mengakui adanya minoritas etnis di tiap negara Asia.
Mereka adalah sektor yang paling tersingkir dari semua bidang, termasuk
ekonomi, politik dan kebudayaan. Mereka memperjuangkan hak menentukan nasib
sendiri melawan rintangan-rintangan berat, namun Perjuangan otentiknya sering
dimanfaatkan oleh pusat-pusat kekuasaan dalam rangka permainan antagonisme
rasial dengan kamuflase dili, dan dengan demikian mengganggu kesatuan
antar-golongan tersisih ini. Media-massa, termasuk media cetak, film, televisi
dan IainIainnya dikendalikan oleh kaum elit penguasa untuk mempropagandakan
sistem dominan nilai dan mitos mereka, memberi peluang bagi budaya yang tidak
manusiawi, individualistis dan konsumtif. Meskipun ada dominasi ini, kami juga
melihat munculnya mikromedia kreatif yang menggambarkan perjuangan rakyat yang
terdominasi secara realistis. Kami perlu mengemukakan pula dampak yang makin
besar dari urbanisasi dan industrialisasi irasional. Wanita, anak-anak dan pria
bersama-sama menghadapi penyusutan kesempatan dalam pendidikan, perumahan dan
pelayanan kesehatan, padahal kebutuhan sosial ini ditentukan oleh kekuatan
pasar. Dengan ditransfernya lahan produksi dan mekanisasi dari negara-negara
industrialis, maka polusi muncul di sebagian besar negara Asia, mengakibatkan
ketidakseimbangan ekologis. Dalam hal ini kami turut ikut serta dengan para
nelayan dalam perjuangan mengatasi praktek-praktek keji negaranegara teitentu
sepefti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan.
Kami juga
menyadari legitimasi yang diperankan agama sepanjang rentangan sejarah dalam
konteks Asia. Agama adalah bagian integral dalam keseluruhan masyarakat, tak
terpisahkan dari segala bidang kegiatnn. Banyak interaksi antara agama dan
politik telah berlangsung di Asia selama berabad-abad. Kini ada
gerakan-gerakan Pernbaruan sosial
penting yang diilhami agama-agama di luar institusi-institusi tradisional. Kita
perlu menggaris-bawahi unsur kritis. Yang terkandung dalam agama dan
kebudayaan. sosio-politis serius atas realitas keterlibatan dalam Politik dan
ideologi harus dipandang sebagai unsur vital kreatif untuk sebagai menyatukan
kritik manusia Di sini kita seraya menemukan memberinya daya diri di tengah kancah perjuangannya. Tindakan
budaya yang menciptakan simboldengan
kekayaan budaya lama.[15]
2.5. Membangun Teologi
Kontekstual di Asia
kita
bisa melihat semangat apa yang telah melahirkan teologi kontekstual. Ada tiga
semangat,
1. Semangat
untuk lepas dari kolonialisme. Semangat untuk lepas ini, tidak terbatas pada
kolonialisme fisik,tetapi juga kolonialisme pemikiran termasuk pemikiran agama
2. Ketidakpuasan
terhadap teologi dan pendidikan teologi yang tradisional
3. Semangat
untuk menemukan identitas.[16]
III.
Kesimpulan
Teologi
adalah sesuatu yang hidup, yang bersentuhan dengan inti eksistensinya selaku
umat Kristiani dan selaku gereja-gereja. Dimana teologi ini tidak dapat
dipahami sebagai sesuatu yang statis atau sebagai seperangkat rumusan baku yang
final. Teologi Kristen hanya dapat memenuhi tugasnya di Asia manakala selaku
gereja-gereja Asia, selaku hamba-hamba firman Allah dan penyataan dalam Yesus
Kristus, berbicara terhadap situasi Asia dan dari keterlibatan di dalamnya. .
Karena itulah dimana memberi kejelasan perihal penetapan metodologi mana yang
akan ditempuh. Dalam konteks sekian banyak mite-mite religious dan wawasan
dunia sebagai maya belaka, apakah pokok khusus teologi Kristen di Asia di ialah
mengenai karya penebusan Allah serta kendali dan rencana Allah di dalam rentang
sejarah?. Bila ditinjau dari kecondongan umum tentang impersonalitas dewa-dewa
atau wawasan tentang agama tanpa Allah,
IV.
Daftar
Pustaka
C.S. Song, Sebutkanlah nama-nama
kami teologi cerita dari perspektif Asia, Jakarta:BPK Gunung Mulia,1993
Elwood, Dauglas J., Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil
ke permukaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019
Shenk, Wilbert R., Contextual
Theology: The Last Frontier” in Sanneh, Lamin and Joel A. Carpenter, dalam the
Changing Face of Christiantity Africa The West, And The World, Oxford:
Oxford University Press, 2005
Singgih, Gerrid, Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan di
Antara Kontekstualisasi Teologis dengan interprestasi Alkitabiah, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1982
Tomatala, Y., D. Mis, Teologi Kontekstualisasi: Suatu Pengantar, Jakarta:
Gandum Mas, 2007
Yewangoe, A.A., Theologia
Crusis di Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989
[1] Dauglas J. Elwood, Teologi
Kristen Asia: Tema-tema yang tampil ke permukaan, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2019), 31-32
[2] Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil
ke permukaan, 32-33
[3] Y. Tomatala, D. Mis, Teologi
Kontekstualisasi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Gandum Mas, 2007), 2
[4] Wilbert R. Shenk, Contextual
Theology: The Last Frontier” in Sanneh, Lamin and Joel A. Carpenter, dalam the
Changing Face of Christiantity Africa The West, And The World, (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 192
[5] Dauglas J. Elwood, Teologi
Kristen Asia: Tema-tema yang tampil ke permukaan, 6-7
[6] Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil
ke permukaan,33-36
[7] Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil
ke permukaan, 36-37
[8] Dauglas J. Elwood, Teologi
Kristen Asia: Tema-tema yang tampil ke permukaan, 38-39
[9] C.S. Song, Sebutkanlah
nama-nama kami teologi cerita dari perspektif Asia, (Jakarta:BPK Gunung
Mulia,1993), 19.
[10] Dauglas J. Elwood, Teologi
Kristen Asia: Tema-tema yang tampil ke permukaan, 38-39
[11] Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil
ke permukaan, 44-45
[12] A.A.Yewangoe, Theologia
Crusis di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 39
[13] Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil
ke permukaan, 46-47
[14] Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil
ke permukaan, 74-76
[15] Dauglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang tampil
ke permukaan, 77-80
[16] Gerrid Singgih, Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan di Antara Kontekstualisasi Teologis dengan interprestasi Alkitabiah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 16-17.
Post a Comment