HOSPITALITAS ALLAH DALAM PERJANJIAN BARU

 

I.                   Pembahasan

2.1. Pengertian Hospitalitas

Kata “hospitality” berasal dari kata Latin “hospes” yang berarti tamu.[1] Kata “hospes” sendiri adalah gabungan dua kata Latin lain, “hostis” dan “pets”. Kata “hostis” berarti “orang asing,” namun juga memiliki konotasi “musuh.” Di sini muncul ambiguitas makna kata; “ia dapat menjadi musuh atau menjadi tamu”. Asosiasi makna “orang asing” dan “musuh” di dalam kata “hostis” mungkin muncul karena kemenduaan atau ambiguitas dari orang asing itu sendiri. Dari kata “hostis” itu dikenal kata dalam Bahasa Inggris “hostile” dan “hostility”, sedangkan kata “pets” (potis, potes, potentia) berarti “memiliki kuasa.” Dari penggalian makna kata “hospes” dapat diartikan bahwa baik tuan rumah maupun tamu memiliki kuasa yang sama. Keduanya layak diperlakukan sekaligus memperlakukan hal-hal yang semestinya.[2]

Kata “hospitalitas” ini juga dipengaruhi oleh kata Yunani philoxenia (φιλοξενία), yang terdiri atas dua kata, philos atau philia (kasih persahabatan) dan xenos (orang asing). Kata “xenos” menunjuk pada orang asing yang menerima sambutan atau tuan rumah yang melakukan penyambutan terhadap orang lain. Dalam Encyclopedia of Religion and Ethics dipakai kata xenodocheō (xenos dan dechomai) yang berarti “menerima orang asing”, “mengasihi orang asing sebagai sahabat” atau “menyahabati orang asing”.[3] Maria Harris mendefinisikan hospitalitas sebagai perbuatan menerima yang lain sebagaimana diri mereka sendiri.[4] Secara sederhana, bisa juga dikatakan bahwa hospitalitas merupakan keterbukaan bagi yang berbeda serta merupakan lawan dari sikap defensif atau eksklusif terhadap yang berbeda.

Dalam hal ini, hospitalitas merupakan perwujudan dari ungkapan rasa kehangatan dalam menerima orang lain, rasa hormat, serta persahabatan dan persaudaraan kepada orang lain, terutama terutama kepada tamu yang datang. Jadi, hospitalitas merupakan kesediaan dan sikap membuka diri terhadap kehadiran orang asing/tamu atau kerelaan untuk menerima tamu. Ringkasnya, hospitalitas adalah cinta yang diberikan seseorang kepada orang asing.[5] Kata “hospitalitas” dalam bahasa Indonesia pada umumnya sama arti dan maknanya dengan “keramahtamahan”. “Ramah” berarti “baik hati dan menarik budi bahasanya; manis tutur kata dan sikapnya; suka bergaul dan menyenangkan dalam pergaulan. “Keramahan berarti “sifat ramah; kebaikan hati dalam keakraban. “Ramah-tamah” berarti “amat ramah; pertemuan kekeluargaan (untuk perkenalan dan sebagainya)”. Keramahtamahan berarti “hal-hal yang ramah.”[6]

 

2.2.      Warisan Hospitalitas dalam Alkitab

2.2.1.      Pengertian Hospitalitas dalam Perjanjian Lama

a.    Hospitalitas dalam Tradisi Yahudi

Hospitalitas dalam Tradisi Yahudi Orang-orang Yahudi dalam Perjanjian Lama menyebut tradisi menerima tamu baik kepada sesama warga maupun kepada orang asing dengan sebutan “hakhnasat orkhim”, artinya “membawa masuk para tamu, menjamu para tamu di dalam rumah”. Orang asing yang mau menumpang (menginap) adalah kebal; ia tidak boleh dirugikan, diakali, dan diperdayai. Tuan rumah harus menjamin dan menjaga jiwa dan raga, kehormatan dan nama, tubuh dan nyawa tamunya. Bahkan jikalau orang asing itu musuh, haruslah dihormati, supaya jangan ia bertindak sebagai musuh. Dengan begitu, mungkin terjadi dari lawan menjadi kawan karena mungkin saja orang asing itu tidak datang sebagai sahabat dan mau menggunakan kuasa saktinya untuk mengutuk seisi keluarga.

Barangkali ia seorang dewa yang menyamar sebagai manusia, supaya jangan dikenal, dengan maksud untuk memeriksa dan meneliti seperti pengintai. Tuan rumah wajib menghormati, menguduskan dan memelihara hak dan kebutuhan orang asing. Kekebalan tamu merupakan kewajiban bagi tuan rumah. Rumah yang menerima tamu adalah suatu tempat suaka untuk tamu itu selama mereka berada di dalamnya. Mereka harus menerima perlakuan setia kawan dari tuan rumah. Orang asing harus menikmati perlindungan hukum yang sama dengan tuan rumah/tuan tanah sebagai anak-anak negeri.

Di kemudian hari, hospitalitas diperluas maknanya dari menerima tamu menjadi kepada siapapun, termasuk orang miskin, orang-orang tersisih dan terabaikan, orang asing, dan orang lain yang memiliki status sosial lebih rendah dari pada tuan rumah.

b.   Hospitalitas Abraham, Lot, dan Rahab

Salah satu model pengalaman perjumpaan dengan orang asing yang dicatat dalam Perjanjian Lama adalah pengalaman Abraham berjumpa dengan ketiga orang asing (Kej. 18:1-8). Abraham pernah melayani tiga orang asing itu di kemahnya yang dilakukan dengan penuh rasa iklas. Abraham beserta Sara memberikan hospitalitas yang luar biasa kepada orang asing yang menguji mereka. Abraham insaf akan kedatangan ketiga orang asing yang tidak dikenalnya. Abaraham tidak mengetahui siapa mereka; Abraham menganggap mereka itu adalah musafir biasa dari negeri yang jauh. Walaupun ia tidak mengenali mereka, meskipun mereka mengganggu waktu istirahatnya pada siang hari, kendatipun Abraham sekali-kali tidak punya kewajiban adat-istiadat terhadap mereka, namun dengan tidak menimbang sekejap mata juga Abraham bangkit dengan segera dari pintu kemahnya, yakni dari tempat duduknya untuk menyambut para tamunya itu.

Abraham menerima dengan baik serta menunjukkan penghormatan yang tertinggi kepada mereka; Abraham sujud dengan wajahnya menyentuh tanah. Sikap itu ia tunjukkan karena dalam kebiasaan masyarakat pengembara bahwa orang asing mempunyai kesaktian; dapat membawa bahaya yang mengancam. Abraham menerima orang asing itu dan memperlakukannya dengan baik sekali, supaya jangan orang asing itu mempraktikkan kuasanya dan merugikan Abraham. Abraham menggelari (menyapa) orang-orang asing itu dengan “tuan-tuanku” yang bersambutan dengan “hambamu” sebagai gelar untuk dirinya sendiri. Dengan ini Abraham menyatakan dirinya siap sedia memberi pertolongan apa saja dan pelayanan kepada orang asing itu. Bentuk jamak dari kata “tuan-tuanku” dalam bahasa Ibrani bersamaan dengan sapaan “Tuhanku”. Dengan mengundang dan mempersilahkan orang melarat dan yang haus dahaga itu ke dalam rumah tangganya, maka dengan tidak sengaja Abraham mengundang Tuhan sendiri.

Abraham memberikan minuman dan makanan. Air itu ditawarkan oleh Abraham untuk diminum dan mencuci kaki yang panas dan berdebu. Itulah adat penghormatan yang pertama untuk seorang tamu. Kemudian memberikan tiga sukat makanan. Ukuran itu adalah ukuran untuk raja. Menurut perhitungan biasa, hal itu berarti tiga puluh enam liter tepung, suatu jumlah atau ukuran yang luar biasa besarnya, jika makanan hanya disediakan untuk tiga orang saja. Mereka menerima makanan itu, dan dengan demikian mereka menerima baik persahabatan tamu yang ditawarkan Abaraham. Bersama itu mereka mengikat dan mewajibkan diri mereka kepada Abraham dan kaum keluarganya. Mereka sekarang tidak dapat lagi bertindak sebagai musuh, seteru, hantu atau jin, karena mereka sudah pernah makan di dalam rumah tangga Abraham. Persekutuan makan mengadakan dan mendirikan kesejahteraan, keamanan, perdamaian atau perjanjian di antara dua partai. “Lawan” (hostis) telah menjadi “kawan” (hospes). Perseteruan menjadi persahabatan; konfrontasi menjadi konfederasi; pukulan menjadi panduan; perang menjadi damai. Makanan itu bukanlah hanya pengisi perut yang disertai percakapan yang enak, melainkan upacara adat untuk mendirikan persahabatan yang tetap atau untuk mengikat perjanjian. Yahwe Allahnya Israel, yang tersembunyi dalam ketiga orang itu menerima korban Abraham sambil memakan dan meminum apa yang dihidangkan. Allah memperkenankan korban Abraham dan mengaruniakan perjanjian-Nya kepadanya, yaitu keselamatan.

Lot mempraktekkan hal yang sama ketika ia menerima dua orang tamu (Kej. 19:1-29). Sedari jauh ketika Lot melihat kedua orang itu, ia mengundang tetamu itu untuk menginap di rumahnya karena hari sudah senja menjelang malam. Lot memberikan air pembasuhan kaki dan juga menyediakan makanan dan minuman. Bahkan Lot sampai merelakan kedua anaknya kepada para perusuh yang akan menghardik tamunya. Hospitalitas Lot dalam menerima tamu sangat teruji. Karena itulah, Lot dan keluarganya (kecuali istrinya menjadi tiang garam karena menoleh ke belakang) diselamatkan dari pembumi-hangusan kota Sodom dan Gomora. Hospitalitas Lot disambut Allah dengan memberikan keselamatan. Hospitalitas lainnya ditunjukan oleh salah seorang perempuan dalam Perjanjian Lama, yaitu Rahab orang Yeriko (Yos. 2:1-24). Rahab mempunyai pekerjaan yang tidak pantas, yaitu perempuan sundal. Dalam profesi seperti itu, melayankan hospitalitas kepada tamu adalah hal yang lumrah. Tentu sebagai balasannya adalah uang. Tetapi ketika dua orang tamu yang datang dari Israel bermalam di penginapannya, Rahab memperlihatkan hospitalitasnya secara berlebihan. Ia melindungi tamunya dari orang-orang Yeriko yang hendak menangkap tamu tersebut.

Padahal Rahab tidak mempunyai kewajiban sedikit pun untuk melakukan hal itu. Kewajiban dan haknya adalah melayani tamu lalu mendapat uang. Tetapi hospitalitas Rahab tidak sebatas transaksi. Ia menyadari bahwa tamu adalah orang yang harus dilindungi, walaupun kekuatannya sebagai perempuan tidak cukup untuk itu. Bahkan ada dalam keyakinanya bahwa tamu yang datang dari Israel itu adalah utusan Allah Israel. Benar saja, hospitalitas perempuan sundal yang menyembah berhala ini disambut oleh Allah dengan memberikan anugerah keselamatan kepada Rahab dan keluarganya. Hospitalitas yang dramatis dan heroik itulah yang mencatatkan nama Rahab sebagai salah satu nenek dari keturunan Sang Juruselamat, Yesus (Mat. 1:5).[7]

2.2.2.      Pengertian Hospitalitas dalam Perjanjian Baru

1.        Hospitalitas dalam Kata Philoxenia

Hospitalitas dalam Perjanjian Baru berasal dari kata philoxenia (φιλοξενία). Beberapa teks Alkitab yang dapat kita jadikan rujukan, yang secara eksplisit berbicara mengenai hospitalitas pada orang asing. “Bantulah dalam kekurangan orangorang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan– philoxenia” (Rm. 12:13). “Peliharalah kasih persaudaraan–philadelphia. Jangan kamu lupa memberi tumpangan– philoxenias kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat” (Ibr. 13:1-2). “Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tidak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan –philoxenos, cakap mengajar orang” (1 Tim. 3:2). Suka memberi tumpangan–philoxenos, suka akan yang baik, bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri” (Tit. 1:8). “Berilah tumpangan–philoxenos seorang akan yang lain dengan tidak bersungut-sungut” (1 Ptr. 4:9). “Tidak jauh dari tempat itu ada tanah milik gubernur pulau itu. Gubernur itu namanya Publius. Ia menyambut kami dan menjamu–xenizō kami dengan ramahnya selama tiga hari” (Kis. 28:7). Salam kepada kamu dari Gayus, yang member tumpangan–xenos kepadaku, dan kepada seluruh jemaat. Salam kepada kamu dari Erastus, bendahara negeri, dan dariKwartus, saudara kita” (Rm. 16:23). “Dan yang terbukti telah melakukan pekerjaan yang baik, seperti mengasuh anak, memberi tumpangan–xenodocheō, membasuh kaki saudara-saudara seiman, menolong orang yang hidup dalam kesesakan. Pendeknya mereka yang telah menggunakan segala kesempatan untuk berbuat baik” (1 Tim. 5:10). Kata-kata tersebut di atas merujuk pada suatu relasi yang memperkaya atau membangun dari yang asing.[8]

2.        Hospitalitas Yesus

·         Ajaran-Nya

Ajaran-Nya Inti ajaran Yesus adalah kasih (Mat. 22:37-40). Ajaran itu disadur dari tradisi Hukum Taurat di dalam Perjanjian Lama. Pola pelaksanaan Hukum Taurat cenderung memaksa, sedangkan kasih lebih pada ajakan yang lembut. Berbicara tentang kasih tentu berbicara tentang hospitalitas karena di dalam kasih (apalagi kasih yang diajarkan Yesus) tersirat semua unsur dalam hospitalitas. Orang-orang yang mengikuti Yesus berharap Yesus akan mendirikan Kerajaan Allah secara fisik. Kenyataannya, Yesus membangun Kerajaan Allah justru dalam bentuk relasi Allah dan manusia. Allah yang diajarkan Yesus bukan Allah yang menghakimi, justru Allah yang mau bersahabat dengan manusia. “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba … tetapi Aku menyebut kamu sahabat” (Yoh. 15:15). Bahkan, Ia menegaskan, “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabatsahabatnya” (Yoh. 15:13). Yesus mengajarkan sebuah sudut pandang baru sekaligus berbeda mengenai hubungan dengan Allah dan umat manusia serta manusia dengan sesamanya.

Dalam memberitakan kerajaan Allah itu, Yesus berjumpa dengan kelompok-kelompok masyarakat Yahudi pada masa itu dan memberlakukan hospitalitas kepada siapa saja yang Ia jumpai. Di dalam Yesus, kita melihat Allah sebagai tuan rumah (the host), yang menawarkan hospitalitas kepada sesama manusia yang membuka diri untuk menerima hospitalitas Allah.[9] Hospitalitas Yesus juga terlihat dalam soal makanan. Ajaran Yesus tentang jamuan makan bertentangan dengan perjamuan tertutup yang berpusat pada hukum kekudusan menjadi perjamuan yang terbuka untuk siapa saja.[10] Kita melihat dalam narasi-narasi Injil bahwa Yesus duduk makan bersama dengan orang-orang yang dianggap berdosa, sehingga membuat kaum farisi dan para iman mengatakan: “Ia menerima orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka” (Luk. 15:2). Yesus menerima orang-orang yang berdosa dan Yesus juga diterima oleh orang-orang berdosa.[11]

Perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang baik hati (Luk. 10) bahkan pengalaman Yesus sendiri dengan perempuan Samaria (Luk. 4) menunjukkan betapa Yesus sungguh-sungguh mau terlibat dalam persoalan manusia. Dalam perumpamaan dan pengalaman Yesus itu, Allah memberikan totalitas hospitalitasNya kepada menusia dan juga menerima hospitalitas dari manusia.[12]

·         Pergaulan-Nya

Pergaulan-Nya Pola pergaulan Yesus dipenuhi dengan tindakan hospitalitas. Hal ini terlihat umpamanya dari pemilihan kedua belas murid-Nya. Semua murid itu pada awalnya adalah pribadi yang tidak dikenal Yesus. Murid-murid Yesus dari latar belakang berbeda-beda; baik ekonomi, status sosial, pendidikan dan kerohanian. Murid-murid adalah orang-orang yang menerima hospitalitas dari Yesus. Yesus membuka diri dan mau menerima keberadaan murid-murid-Nya.

Demikian sebaliknya, murid-murid mau menerima dan mengikuti Yesus. Hospitalitas Yesus disambut hospitalitas para murid. Di sini, hospitalitas Allah datang kepada manusia untuk menjadi kawan sekerja dalam misi Allah.[13]Kepada para pengikut-Nya, Yesus mengajarkan untuk saling menyambut dan menerima antar satu dengan yang lainnya. Yesus juga mengajarkan kepada para pengikut-Nya untuk membuka pintu rumah mereka bagi semua orang bahkan bagi orang miskin dan orang-orang catat. Yesus bersahabat dengan orang-orang yang mempunyai reputasi buruk dalam kehidupan masyarakat: orang samaria, pemungut cukai, perempuan pelacur, dan lain-lain. Injil Sinoptik kaya dengan cerita-cerita mengenai hospitalitas yang diberlakukan Yesus. Salah satu contohnya adalah khotbah di bukit. Di dalam teks tersebut berbagai macam orang kaya miskin, lapar, lemah di sambut melalui hospitalitas dari Yesus. Yesus di gambarkan sebagai earthly host. Yesus menolak cara pandang ordinary host yang mengundang teman-teman, rekan atau kolega, dan tetangga-tetangga yang kaya.[14]

3.        Hospitalitas di Kisah Pentakosta

Kisah Para Rasul yang meneruskan Injil Lukas mengawali kisah-kisah perjalanan misi para murid, khususnya Paulus, dengan kisah Pentakosta (Kis. 2:1- 13). Ketika para murid bersembunyi di dalam ketakutan, Roh Kudus hadir sebagai “lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing” (ay. 3). Roh yang satu hadir dalam lidah yang banyak dan beragam. Akibatnya, “penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain” (ay. 4). Kunjungan Allah yang sebelumnya berlangsung di dalam Kristus, kini berlangsung melalui Roh Kudus. Hati yang berkobar di dalam kisah Emaus mendapatkan paralelnya di dalam pengalaman kepenuhan oleh Roh Kudus di dalam kisah Pentakosta. Juga, keberanian dan semangat kedua murid Emaus untuk bercerita paralel dengan keberanian para murid Pentakosta berkata-kata dalam bahasa lain (glossolalia).

Melalui para murid itu, “perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah” (ay. 11) disampaikan. Allah mengunjungi bangsabangsa melalui kuasa Roh Kudus yang hadir di dalam diri para murid. Singkatnya, jika di dalam kisah Emaus, Allah menjadi Tuan Rumah atau Nyonya Rumah bagi manusia, di dalam kisah Pentakosta, Allah menjadi Tamu bagi bangsa-bangsa. Atau, melalui Kristus, Allah menyambut manusia sebagai tamu-tamu-Nya; melalui Roh Kudus Allah disambut sebagai Tamu bagi bangsa-bangsa.[15]

4.        Hospitalitas Paulus

Paulus pada awalnya adalah orang yang sangat membenci orang Kristen. Setelah namanya berganti dari Saulus menjadi Paulus, ia justru sangat berhospitalitas kepada orang-orang Kristen. Peristiwa itu dimulai di kota Damsyik ketika Tuhan “berhospitalitas”  kepadanya. Dia yang tadinya “orang asing” kini menjadi salah satu “tuan rumah” dalam pekerjaan pemberitaan Injil. Dalam perjalanan pastoralnya, Paulus menerima banyak hospitalitas dari jemaat yang dikunjunginya.Ia diterima baik, bahkan ia kadang mendapat hospitalitas secara istimewa. Sikap hospitalitas Paulus yang paling menonjol adalah seruannya mengenai relasi orang Yahudi dan non Yahudi.

Di dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus memberitakan suatu Injil yang berisi tentang “tidak ada perbedaan” antara Kristen Yahudi dan Kristen bukan Yahudi.Bentuk hospitalitas yang disampaikan oleh Paulus adalah memberikan ruang demi suatu relasi antar orang-orang Yahudi bukan Yahudi dalam sebuah sikap terbuka menerima yang membangun antar kedua kelompok tersebut sebagai manusia dan saudara di dalam Kristus. Pada masa itu, orang Gereja Masa Kini.” Kristen bukan Yahudi dianggap sebagai orang asing. Paulus menegaskan bahwa istilah philadelphia (kasih terhadap saudara) mesti diimbangi dengan philoxenia –kasih terhadap orang asing. Artinya, kasih terhadap orang Kristen Yahudi sama kadarnya dengan kasih terhadap orang Kristen bukan Yahudi. Paulus menekankan penerimaan yang membangun satu dengan yang lainnya.[16]

Surat kepada jemaat Roma menegaskan bahwa jemaat Roma (Rm. 14:15) menerima yang berbeda atau yang lain dan menahan diri dari menghakimi yang lain.[17] Hospitalitas dalam PL dan PB adalah hospitalitas yang berkaitan dengan komitmen di antara tamu dan tuan rumah. Relasi yang mempertahankan komitmen tersebut diekspresikan dalam mutualitas dan penyambutan, yang mencakup relasi perjanjian.Dalam hal ini maka hospitalitas itu adalah suatu katalisator untuk menciptakan dan mempertahankan kemitraan dalam Injil, dan juga merupakan suatu kondisi fundamental dari misi dan ekspansi gereja perdana, yaitu sebagai tanda dari kemanusiaan yang baru (new Humanity).[18]

 

2.3.      Makna Hospitalitas

Menerima tamu (hospitalitas) tentu bukan kebiasaan yang aneh dalam kehidupan kita. Hampir dalam seluruh kebudayaan masyarakat manusia di dunia dapat ditemukan berbagai tradisi unik dalam menerima dan menjamu tamu atau orang asing. Tradisi-tradisi seperti ini ada juga di Indonesia. Namun, kadangkala keramahan tidak lagi muncul dari hati. Misalnya saja, saat mengunjungi bank, seseorang akan menerima sapaan pegawai atau pun petugas keamanannya.

Kata-kata sapaannya tertata dan seragam, tetapi tanpa rasa dan tidak kontak dengan yang disapa. Mimik wajah dan bahasa tubuh terlihat tidak alamiah. Itu merupakan hasil latihan. Sebaliknya, sekalipun mungkin bukan dengan bahasa “sekolahan”, di toko-toko kelontong kecil ataupun di pasar, kita sering lebih merasa hangat disambut. Keramahan yang muncul karena tugas atau dari hati, dapat dirasakan bedanya.  Sikap atau perbuatan hospitalitas juga sangat dibutuhkan dalam perputaran dunia bisnis.

Di sana hospitalitas dituntut untuk mendatangkan keuntungan. Seorang atau lembaga produsen harus melayankan hospitalitas kepada calon konsumen. Tujuannya supaya calon konsumen itu mau melaksanakan transaksi jual beli, dan mau menjadi pelanggan tetap karya rasa nyaman dan hangat produsen. Dengan demikian konsumen mengikatkan dirinya dengan produsen. Hospitalitas menjadi komponen penting terhadap kepuasan diri seseorang atau lembaga pelanggang/ konsumen. Hospitalis menjadi semacam industri.[19]

 

2.4.      Hospitalitas dan Orang Asing

The American Heritage Dictionary mendefinisikan orang asing sebagai “seseorang yang bukan teman atau kenalan” atau sebagai “pendatang baru atau orang luar”. Orang asing bukan hanya sosok pribadi yang belum pernah bertemu sebelumnya melainkan juga sosok pribadi yang kita ketahui tetapi dianggap sebagai orang luar. Anggota keluarga atau sahabat orang-orang Kristen dalam Jemaat setempat kita dapat menjadi orang-orang asing bagi kita.

Pandangan tentang orang asing yang lazim ini tak perlu dilihat secara negatif. Kalau kita mengikuti panggilan Tuhan untuk mencintai orang asing dan jika kita menerima konsep kuno tentang orang asing sebagai seseorang yang membawa penghiburan dan kegembiraan yang mengejutkan. Namun, kerap kali kita memilih untuk menganggap orang asing yang tidak kita kenal atau berbeda dengan kita sebagai ancaman dan sebagai orang yang menakutkan lingkaran permusuhan itu harus diputuskan.lingkaran itu dapat diputuskan melalui Hospitalitas. kata Hospitalitas membangkitkan suatu gambaran yang lembut, kebaikan yang manis, percakapan yang santun, minum teh bersama, kehangatan makanan pembuka dan selimut yang harum di tempat tidur kamar tamu.

Contoh Hospitalitas dapat dilihat di  Injil Lukas 10:38-42. Yesus sedang dalam perjalanan menuju Yerusalem ketika ia dan para muridnya memerlukan tempat untuk tinggal dan makan untuk dimakan. Marta dan Maria dengan gembira menerima mereka. Hospitalitas yang menaruh perhatian kepada tamu adalah hospitalitas yang menerima tamu tanpa syarat yang mendengarkan perkataan Sang Guru melalui kehadiran tamu. Hospitalitas sejati lebih dari sekadar yang mengundang orang-orang makan, Hospitalitas lebih dari pada suatu tindakan. Bahkan lebih daripada suatu keadaan pikiran yang kita bangkitkan sekarang dan demi kebaikan kita. Hospitalitas merupakan suatu cara khusus Memandang dunia, dalam bentuk paling sederhana hospitalitas merupakan cara memandang orang asing melalui mata Yesus. Ini berarti memilih mencari Yesus dalam diri orang asing. Hospitalitas berarti mencintai orang asing.[20]

 

2.5.      Hospitalitas Allah

Hospitalitas adalah inti dari relasi Allah dan manusia, sekaligus menjadi inti dari relasi antarmanusia yang harus dibangun oleh orang-orang percaya. Bahkan, ketika kita menjadi tuan rumah atau nyonya rumah bagi seorang asing, pada saat bersamaan kita menjadi tamu bagi rumah-batin orang asing tersebut. Selain itu, menjadi tuan rumah atau nyonya rumah bagi orang asing tentu memiliki risiko yang besar, sebab bisa jadi orang asing tersebut menyakiti tuan rumah atau nyonya rumah (menjadi hostis). Namun, tanpa keberanian mengambil risiko itu persahabatan tidak akan terjadi. Di sisi lain, orang asing juga memiliki risiko untuk memasuki rumah lain, menyerahkan diri untuk menjadi bagian dari komunitas yang mungkin dapat menyakitinya.

Lebih dari itu, hospitalitas menuntut tuan rumah atau nyonya rumah untuk menerima tamu sebagai adanya mereka; demikian pula tuntutan tersebut berlaku bagi tamu terhadap tuan rumah atau nyonya rumah. Lebih dari itu, patut dipahami bahwa hospitalitas gereja sesungguhnya merupakan respons atas dan usaha meneladani hospitalitas Allah yang dengan rahmat-Nya melimpahi kita dengan cinta dan mengundang kita untuk berpartisipasi ke dalam persekutuan Trinitaris. Jika hospitalitas ilahi tersebut berwatak tanpa-syarat, maka hospitalitas manusiawi juga harus diusahakan untuk tidak menuntut imbalan atau upah.[21]

 

 

2.6.      Membentuk Kembali Teologi Hospitalitas di Tengah Kemajemukan

Membentuk Teologi hospitalitas di tengah kemajemukan yaitu Teologi hospitalitas antar agama menjadi suatu sarana untuk menerima mereka yang berbeda, dengan keramahtamahan dalam menyambut yang lain (other) memampukan manusia untuk memiliki keutamaan  dalam identitas dan keterbukaan, sehingga bisa berbaur dengan yang lainnya. Keramahtamahan ini bukan sekadar konsep umum yang orang-orang tahu tentang hospitality pada umumnya, yaitu memberi kepada mereka yang lapar, miskin. Namun, lebih kepada bagaimana kita memberikan diri dan membuat ruang dalam hati kita untuk mendengarkan dan mengerti mereka yang berbeda, karena peristiwa-peristiwa yang terjadi saat ini lebih kebanyakan kepada bagaimana mereka minta dimengerti dan didengarkan.

Dan Membentuk Teologi hospitalitas di tengah kemajemukan seseorang itu harus menerapkan didalam dirinya Hospitalitas, yang dimana iya harus mampu menerima/ mencintai orang asing tanpa harus membeda-bedakan agamanya. Karena melalui Teologi Hospitalitas ini lah yang akan meruntuhkan dinding pemisah, dinding ras, etnisitas, kelas sosial dan sebagainya. Dan karena kita tinggal diindonesia maka kita harus harus saling menerima satu sama yang lain, dimana Indonesia mempunyai keanekaragaman, jadi kita harus menrima orang asing. Gereja juga perlu mengembangkan dan menggemakan kembali apa yang disebut dengan teologi keramahtamahan (hospitalitas). Hospitalitas atau keramahtamahan berasal dari kata bahasa Yunani φιλοξενία (philoxenia) yang terdiri dari dua kata yaitu, philos(kasih) danxenos(orang asing, yang lain). Kata tersebut secara literal berarti mencintai yang lain, mencintai orang asing. Dari istilah tersebut tampak bahwa hospitalitas terkait erat dengan kasih. Manusia memang dapat memilih untuk mengasihi atau tidak mengasihi.Akan tetapi, sesungguhnya kasih bukanlah pilihan. Ia menjadi kewajiban dari orang percaya. Untuk itu, setiap orang percaya dituntut untukmenunjukkan keramahtamahan sebagai sebuah tanggung jawab.[22] Menumbuhkan hospitalitas di tengah Kemajemukan adalah seperti sikap ramah, murah senyum, bersahabat, suka bercanda, hangat dan selalu riang dan mau menyapa orang lain ketika bertemu di jalan.

-          Saling menghormati dan menghargai, ikut dalam kegiatan kebersamaan seperti lomba desa, dan kesediaan untukmembantu orang lain walaupun berbeda suku dan agama.

-          Merasa bebas bergaul walaupun masih kuatir dan jaga-jaga diri.

-          Bersedia hidup bertetangga dengan mereka yang berbeda suku dan agama.

-          Kesediaan untuk berkunjung pada hari raya agama lain, walaupun hanya pada keluarga-keluarga dekat atau kenalan dekat

-          Gotong royong, hidup saling tolong-menolong, saling menghargai dan terbuka dalam hal berpendapat.

-          Saling pengertian, saling menghormati saling menguatkan, dan saling berbagi dalam kehidupan. Yang kuat berbagi dengan yang lemah. Saling memberi dan menerima.-Terlibat secara aktif dan sukarela dalam pesta suka dan duka.-Saling membantu dan berbagi baik materi, waktu ataupun tenaga dalam semua bidang kehidupan. Baik dalam pesta pernikahan, dalam kedukaan ataupun dalam pertanian.[23]

II.                Kesimpulan

Hospitalitas lebih daripada suatu tindakan. Bahkan lebih daripada suatu keadaan pikiran yang kita bangkitkan sekarang dan demi kebaikan kita.hospitalitas merupakan suatu cara khusus memandang dunia. Dalam bentuk paling sederhana, hospitalitas merupakan cara memandang orang asing melalui mata Yesus. Ini berarti memilih mencari Yesus dalam diri orang asing sehingga ini berarti bahwa hospitalitas itu mencintai orang asing. Kita harus mengikuti panggilan Tuhan untuk mencintai orang asing. Dimana Tuhan tidak pernah membeda-bedakan orang dihadapan-Nya baik orang miskin, kaya, pelacur dan lain sebagaianya. Dengan kita belajar dari Hospitalitas Allah maka akan menerima Tuhan sebagai tuan rumah dan tamu dalam kehidupan kita yang tentunya tidak aka nada lagi penolakan akan Tuhan seperti dalam Yoh 1:11. Jadi hospitalitas adalah cinta yang diberikan seseorang kepada orang asing dan Hospitalitas adalah cara orang-orang Kristen menyatakan hospitalitas Allah dalam Tuhan Yesus Kristus.

III.             Daftar Pustaka

Adiprasetya, Joas, “Hospitalitas: Wajah Sosial Gereja Masa Kini”,  http://gkipi.org/hospitalitaswajah-sosial-gereja-masa-kini/

Antone, Hope S., Pendidikan Kristiani Kontekstual: Mempertimbangkan Realitas Kemajemukan dalam Pendidikan Agama, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-IV, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2008.

Encyclopedia of Religion, Provo, Utah: Macmillan Publishing, 1955.

Harris, Ian M., Fashion Me A People, Louisvelle: John Knox Press, 1989.

Hastings, James, Encyclopedia of Religion and Ethics Vol. VI, New York: Charles Scribner‟s Sons, 1951.

Hershberger, Michele, Hospitalitas-Orang Asing: Teman atau Ancaman?, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.

Morokuhi, Ones, Tradisi Hospitalitas untuk Pendidikan Perdamaian di Poso, http://repository.uki.ac.id/71/1/Tradisi%20Hospitalitas%20untuk%20Pendidikan%20Perdamaian%20di%20Poso%20-%20Ones%20Morokuhi%20-%20hal%2022-82.pdf

Newlands, George & Smith, Alan, Hospitable God:The Transformative Dream, London: Routledge, 2010

Pohl, Christine D, “Responding to the Strangers; Insight from the Christian Tradition”, dalam Studies in Christian Ethics 19.1, London: SAGE Publication, 2006.

Pohl, Chritine D, Making Room: Recovering Hospitality as a Christian Tradition, London: Westminster John Knox Press, 2008.

Richards, Lawrence O., Christian Education: Seeking to Become Like Jesus Christ, Michigan: Zondervan Publications, 1975.

Simarmata, Harun Darmawanto, “Hospitalitas: Warisan Tradisi Kristen; Meretas sebuah Model Pendidikan Kristiani bagi Kehidupan Bergereja di Dunia yang Penuh Perbedaan”, Tesis M.Th., STT Jakarta, 2010.

Wrobleski, Jesica, The Limits of Hospitality, Minnesota: Liturgical Press, 2012.



[1]Encyclopedia of Religion, (Provo, Utah: Macmillan Publishing, 1955), 471.

[2]Jesica  Wrobleski, The Limits of Hospitality, (Minnesota: Liturgical Press, 2012). 15.

[3] James Hastings, Encyclopedia of Religion and Ethics Vol. VI, (New York: Charles Scribner‟s Sons, 1951), 808.

[4] Ian M. Harris, Fashion Me A People, (Louisvelle: John Knox Press, 1989), 87.

[5] Michele Hershberger, Hospitalitas-Orang Asing: Teman ata uAncaman?,  (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 10.

[6]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-IV, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 1136; 1221.

[7] Ones Morokuhi, Tradisi Hospitalitas untuk Pendidikan Perdamaian di Poso, dalam http://repository.uki.ac.id/71/1/Tradisi%20Hospitalitas%20untuk%20Pendidikan%20Perdamaian%20di%20Poso%20-%20Ones%20Morokuhi%20-%20hal%2022-82.pdf yang diakses pada tanggal 24 November 2021 pukul 14.26 WIB

[8] Jesica  Wrobleski, The Limits of Hospitality, 24.

[9]Harun Darmawanto Simarmata, “Hospitalitas: Warisan Tradisi Kristen; Meretas sebuah Model Pendidikan Kristiani bagi Kehidupan Bergereja di Dunia yang Penuh Perbedaan.” Tesis M.Th., STT Jakarta, 2010, 37-38

[10] Hope S. Antone, Pendidikan Kristiani Kontekstual: Mempertimbangkan Realitas Kemajemukan dalam Pendidikan Agama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010), 28-29.

[11]Harun Darmawanto Simarmata, “Hospitalitas: Warisan Tradisi Kristen; Meretas sebuah Model Pendidikan Kristiani bagi Kehidupan Bergereja di Dunia yang Penuh Perbedaan.” Tesis M.Th., STT Jakarta, 2010, 34

[12]Michele Hershberger, Hospitalitas—Orang Asing: Teman atau Ancaman?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 67-74

[13]Joas Adiprasetya, “Hospitalitas: Wajah Sosial Gereja Masa Kini dalam http://gkipi.org/hospitalitaswajah-sosial-gereja-masa-kini/ yang diakses pada tanggal 24 November 2021 pukul 15:51 WIB

[14]Chritine D Pohl, Making Room: Recovering Hospitality as a Christian Tradition, (London: Westminster John Knox Press, 2008), 20-21

[15]Lawrence O. Richards, Christian Education: Seeking to Become Like Jesus Christ (Michigan: Zondervan Publications, 1975), 242.

[16]Harun Darmawanto Simarmata, Hospitalitas: Warisan Tradisi Kristen: Meretas sebuah Model Pendidikan Kristiani bagi Kehidupan Bergereja di Dunia yang Penuh Perbedaa” , Tesis STT Jakarta, 2010, 40-41.

[17]Lawrence O. Richards, Christian Education: Seeking to Become Like Jesus Christ, (Michigan: Zondervan Publications, 1975), 242.

[18]Lucien Richard, Living the Hospitality of God, 31, 40.

[19]Christine D Pohl, “Responding to the Strangers; Insight from the Christian Tradition, dalam Studies in Christian Ethics 19.1, (London: SAGE Publication, 2006), 82.

[20]Michele Hershberger, Hospitalitas-Orang Asing: Teman atau Ancaman?, (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), 11-24.

[21]Newlands, George & Smith, Alan, Hospitable God:The Transformative Dream, (London: Routledge, 2010), 45

[22]Jessica Wrobleski, The Limits of Hospitality, (Minnesota: Liturgical Press, 2012), 15.

[23]Ones Morokuhi, Tradisi Hospitalitas untuk Pendidikan Perdamaian di Poso, dalam http://repository.uki.ac.id/71/1/Tradisi%20Hospitalitas%20untuk%20Pendidikan%20Perdamaian%20di%20Poso%20-%20Ones%20Morokuhi%20-%20hal%2022-82.pdf yang diakses pada tanggal 24 November 2021 pukul 16:22 WIB


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca selengkapnya disini ya