KEKRISTENAN DI JAWA TIMUR
I. 1.1. Sekilas Tentang Jawa Timur
1.1.1. Letak Geografis
Jawa Timur adalah
sebuah provinsi di bagian timur Pulau Jawa, Indonesia. Provinsi Jawa Timur
didirikan pada tanggal 4 Maret 1950 berdasarkan dasar hukum UU No. 2 Tahun
1950. Ibukota Provinsi Jawa Timur adalah Kota Surabaya yang juga merupakan Kota
Terbesar kedua di Indonesia setelah DKI Jakarta. Lintang Selatan. Jawa Timur
dikenal sebagai pusat Kawasan Timur Indonesia, dan memiliki signifikansi
perekonomian yang cukup tinggi, yakni berkontribusi 14,85% terhadap Produk
Domestik Bruto nasional. Pulau Jawa menjadi salah satu pulau yang rawan terjadi
bencana di Indonesia. Letak Geografis Provinsi Jawa Timur adalah 111°0’ –
114°4’ Bujur Timur dan 7°12’ – 8°48‘ Lintang Selatan. Provinsi Jawa Timur yang
merupakan Provinsi Terbesar di Pulau Jawa ini memiliki luas wilayah sebesar
47.799,75 Km2. Pulau Madura merupakan Pulau Terbesar di Provinsi Jawa Timur.[1]
Pulau Jawa yang berada pada posisi 8 derajat lintang selatan dan memiliki
rentan panjang sekitar 1.000 km, serta rentan lebar antara 100-200 km, secara
geologis dapat dibagi dalam tiga zona yaitu: Jawa lajur selatan, Jawa lajur
tengah, dan Jawa lajur utara. Pulau Jawa secara umum berhawa panas namun
lembab. Suhu rata-rata di antara 26-27oC.[2]
1.1.2. Sistem Kepercayaan
Ngelmu dalam pemahaman Jawa Timur adalah
belajar mendapatkan kawaruh yang lebih bersifat batiniah atau gaib (ilmu gaib),
maka ngelmu dalam masyarakat Jawa Timur berfungsi sebagai spritual yang
ditempuh dengan perjuangan penegakan diri dan penyerahan seutuhnya agar dapat
mencapai ke-manunggalan dengan Ilahi singga mampu menjadi seorang Jawa yang
bijaksana dalam segala tindakan lebih berhati-hati dan tidak ceroboh.[3]
1.1.3. Mata Pencarian
Kekristenan di Jawa Timur mata
pencaharian mereka adalah bercocok tanam padi dipersawahan basah. Pengelolaan
sawah (dengan lahan-lahan beririgasi) kerap melibatkan teknik dan sistem hukum
irigrasi yang rumit, serta karaya kolektif didasarkan atas banyak konsultasi
dan solidaritas. Diperlukan pembendungan air dari sungai atau mata air untuk
mengalirkan lewat parit-parit terbuka, kerap melalui jarak yang jauh untuk
dibagikan secara merata ke sawah-sawah. Teknik seperti ini menyiratkan banyak
disiplin dan penguasaan diri, ini juga mensyaratkan bentuk pemerintahan yang
teratur. Oleh karena itu seluruh masyarakat peradaban Jawa dipengaruhi oleh
teknik irigasi. Inilah salah satu faktor yang menjadikan pula Jawa terkemuka
diantara pula-pula Indonesia lainnya, sejauh yang berkenan dengan perkembangan
budaya dan sosial ekonomi.[4]
1.1.4. Bahasa Penduduk
Bahasa sehari-hari masyarakat Jawa Timur
adalah adalah bahasa Indonesia, selaku bahasa peraturan nasional dan bahasa
Jawa dengan dialek ‘Jawa Timuran’ selaku mayoritas. Bahasa Jawa Timur yang
lainya adalah; bahasa Madura, bahasa Osing, bahasa Tengger dan lain-lain.[5]
1.1.5. Tradisi Di Jawa Timur
a. Kehamilan dan Kelahiran
Kehamilan dalam masyarakat Jawa tempo
dulu merupakan hal yang sangat penting.
Kehamilan membuktikan bahwa pasangan hidup itu binerkahan untuk mendapatkan
momongan. Selama kehamilan kedua pasangan calon orang tua ini harus senantiasa
berhati-hati berpantang dalam banyak hal agar sijabang bayi selamat dan tidak
cacat.
b. Sunatan
Ketika anak dipandang siap untuk
memasuki dunia dewasa anak perempuan dalam usia 8 tahun dan anak laki-laki
dalam usia 12 tahun diakan upacara tetesan dan sunatan. Semuanya itu semula
dilakukan sebagai upacara inisiasi dari daur krisis ritus agar terhindar dari
bahaya disaat krisis.
c. Perkawinan
Perkawinan dalam masyarakat Jawa
merupakan upacara krisis ritus yang penting. Pada tempo dulu, memegang peranan
menentukan dalam perkawinan seseorang berdasarkan bibit, bebet, dan bobot
maupun petungan selakirabi dan pantangan-pantangan.
d. Kematian
Kematian merupakan krisis kehidupan yang
paling penting dalam daur hidup seseorang dalam pemahaman masyarakat Islam
Abangan di Jawa. Untuk itu banyak upacara diselengarakan berkaitan dengan
kematian. Jenazah mula-mula disucikan kemudian di kafani, di sholatkan, dan
seterusnya diusung ke pemakaman dengan taburan bunga dan doa-doa. Sesudah itu
disusul dengan rentetan upacara.[6]
1.2. Latar Belakang Masuknya Kekristenan Di Jawa
Pada tahun 1584/85 datang sejumlah
misionaris ke Blambangan. Mereka sempat
membabtis sejumlah orang, termasuk dari kalangan keluarga raja.[7] Tahun
1597 Blambangan dan Panarukan direbut oleh pasukan Islam. Sejak itu hilanglah
kabar tentang jemaat Kristen di ujung timur jawa Timur-Blambangan. Ada
kemungkinan mereka diislamkan oleh penguasa yang baru. Kecuali Pasuruan, Jepara
juga pernah menjadi calon pembibitan gereja untuk kawasa Jawa Tengah. Hal ini
terjadi ketika pada tahun 1638 ada perahu portugis yang sedang melakukan
pelayaran ke solor terdampar diperaiaran Jepara, ditangkap dan ditahan oleh
penguasa Mataran di Jepara. Mereka kemudian dibebaskan, diperlakukan dengan
baik, bahkan diberi sebidang tanah untuk membangun tempat tinggal dan di
izinkan bergerak di seluruh wilayah Mataram. Misionaris yang berada
ditengah-tengah orang portugis ini sempat mendirikan sebuah gedung gereja
disana, namun karena pekabaran injil disini tidak berhasil, akhirnya
misionaris-misionaris ini pindah ke Solor.[8] Pada masa
ini, keadaan umum di Jawa Timur tidak menunjukan perbedaan besar dengan yang
berlaku di Jawa Tengah. Di Jawa Timur tradisi kejawen tetap bertahan disamping
pengaruh Islam yang kuat.[9]
Sejak pertengahan 1590-an raja
Blambangan semakin tidak menyukai kehadiran Portugis dan agama Kristen, karena
kedekatan para misionaris dengan dengan ibunda raja yang sekaligus menjadi
saingannya dalam menduduki takhta kerajaan. Tak lama kemudian kerajaan itu
diserang, diruntuhkan, dan diislamkan oleh adipati kerjaaan Pasuruan yang sudah
menganut agama Islam. Dalam kejadian itu umat Kristen-Portugis maupun pribumi
mengalami penderitaan besar, dengan demikian, berakhirlah misi disana.[10]
Pekerjaan misi pada abad ke-16 sampai
ke-18 tidak hanya terbatas di Indonesia Timor saja. Ada juga usaha
menyebarluaskan agama Kristen di Indonesia Barat. Pulau Jawa pada abad ke-16
sudah di islamkan, tetapi di Ujung Timur masih bertahan dengan agama Hindu
yaitu kerajaan Majapahit.[11] Akhirnya
yang termasuk usaha-usaha misi pada abad ke-16 ialah pekerjaan para Fransiskan
di Blambangan dan Panarukan pada tahun 1585-1598. Kepala daerah yang tadinya
bercorak Hindu ini, maka Injilpun diberitakanlah, suatu hal yang pertama
kalinya di pulau Jawa. Akibatnya beratus-ratus orang dibaptiskan. Akan tetapi
pekerjaan ini berakhir ketika jurusan Pasuruan dan Surabaya ujung timur pulau
Jawa diserang dan diislamkan pada akhir abad ke-16.[12]
1.3. Pada Masa Hindia Belanda
1.3.1. Pertumbuhan
Masuknya kekristenan di Jawa di anggap
menimbulkan kerusuhan, maka daerah itu ditutup untuk perkabaran Injil. Caranya
setiap orang Eropa yang hendak mentap di Hindia Belanda memerlukan izin khusus Gubenur
Jendral. Izin ini tidak diberikan untuk seluruh Jawa sampai tahun 1860. Pada
masa ini, keadaan umum di Jawa Timur tidak menunjukkan perbedaan besar dengan
yang berlaku di Jawa Tengah. Di Jawa Timur pun, tradisi kejawen bertahan di
samping pengaruh Islam yang kuat, di sini pun gerakan nasional lebih kuat dari pada
di mana pun di luar Jawa (kecuali di Tapanuli Utara). Peristiwa proses
penampungan kekristenan Jawa di Jawa Timur dimulai sejak tahun 1870-an oleh
lembaga-lembaga zendeling Eropa sudah selesai.[13]
1.3.2. Perkembangan
Pada masa 1870-1910 berlangsung
perkembangan yang berangsur-angsur menurut garis-garis yang telah ditetapkan
oleh zendeling. Adapun garis-garis itu ialah:
a. Zendeling
tetap lebih banyak memperhatikan desa dari pada kota. Sehingga para zendeling
mendirikan desa-desa Kristen yang baru dengan jalan membuka tanah. Contohnya
keputusan utusan zending di resort Malang untuk mnetap di Swaru, lima jalan
kaki dari Malang. Sehingga pada tahun 1923 seorang zendeling
menetap di kota Malang. Pada zaman itu di Jawa Timur kota-kota terutama
merupakan tempat pemukiman orang Eropa dan Tionghoa dan para zendeling
tidak suka berada di tengah masyarakat yang sikap dan kelakuannya merupakan
rintangan bagi perkabaran Injil.
b. Garis kedua
merupakan benang merah dalam sejarah zendeling
Jawa Timur ialah penyelengaraan karya perkabaran Injil sebagai karya
pendidikan. Tujuan para zendeling ialah untuk memakai sarana-sarana
yang tersedia (pelayanan Firman, disiplin gereja, pendidikan sekolah, dst).[14]
Adanya pengaruh dalam kehidupan jemaat
bagi zending NZG kebangkitan orang Kristen Jawa Timur, meskipun untuk sementara
hanya menyangkut mereka yang berada di kota-kota merupakan tantangan.
Disebabkan perkembangan itu pada pemuda Kristen Jawa tidak bersedia lagi
menerima himpunan dari pihak zendeling seperti halnya angkatan sebelumnya.
Terutama pada masa 1910-1920 para zendeling mendapat celaan seakan-akan mereka
bertindak sebagai penjajah rohani, khususnya tenaga yang sudah lama di lapangan
merasa sulit untuk menerima sikap seperti itu. Atas usul pengantar jemaat,
diadakan rapat utusan-utusan segala jemaat di Mojowarno. Dalam rapat tersebut
diadakan pembicaraan tentang empat pokok:
a.
Diadakannya
sinode
b.
Tidak
adanya pendidikan teologi
c.
Kurang
adanya sekolah-sekolah berbahasa belanda
d.
Kurnag
jelasnya pengelolaan keuangan sekolah-sekolah rakyat zending
Perkembangan
selanjut (1920-an) merupakan hasil pengaruh-mempengaruhi antara para zendeling
dan orang Kristen Jawa. Para zending yakin bahwa pemikiran orang Kristen
mengenai oraganisasi gereja masih bersifat formalistis, sebab perbedaan antara
asasi gereja dengan aparat gereja yang belum jelas. Pada tahun 1923, jemaat
Mojowarno dinyatakan berdiri sendiri. Penghantar jemaat itu menerima wewenang
melayankan sakramen. Tindakan-tindakan ini diambil bukan karena jemaat serta
para penghantar itu agaknya sudah selesai pendidikannya sehingga mereka sudah
matang. Sebaliknya kebijakan itu merupakan hasil pola pemikiran baru, yang
tidak lagi mengutamakan unsur pendidikan yang cita-citanya bagaimana pun tidak
pernah terpengaruh secara sempurna, tetapi yang mengakui jemaat sebagai milik
Kristus. Didirikan sekolah teologi “Bale Wiyata” yang didirikan pada tahun 1925
dan dua tahun kemudian pindah ke Malang. Akhirnya kota Malang menggantikan desa
Mojowarno sebagai pusat gerakan Kristen di Jawa Timur.
Terjadilah
pola perkabaran Injil yang baru, pengaruh orang Kristen di Jawa terhadap para
zendeling tampak pula dalam hal perkabaran Injil. Pada masa jemaat-jemaat masih
dipandang oleh para zendeling sebagai pulau-pulau di tengah lautan Islam
sebagai daerah-daerah kantong yang dikelilingi lawan, maka pergaulan utusan zendeling serta anak
buahnya dengan orang Islam mudah bersifat bantah-membantah. Pada tahun 1928,
Konferensi para zendeling mengangkat panitia yang bersama wakil jemaat-jemaat
akan menyusun rancangan tata gereja.
Maka pada tanggal 11 Desember 1931 berkumpullah majelis Agung (sinode).
Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) yang dibuka oleh Pendeta jemaat Mojowarno,
Drijo Mestoko. Dengan demikian GKJW itu tidak berada lagi di bawah perwalian
para Zendeling namun tetap mendapatkan bimbingan dari pihak mereka. Sang
zendeling, C.W. Nortier (utusan perkabaran Injil) menjadi guru “kadiwasan”, pembimbing menuju
kekedewasaan. Ternyata peristiwa pernyataan berdiri sendiri pada tahun 1931 itu
bukannya merupakan titik akhir atau pun permulaan baru secara muthlak. Kejadian
tersebut lebih tepat dikatakan merupakan tonggak dalam sejarah perkembangn yang
sudah dimulai sekitar tahun 1900. Selama dasawarsa 1931-1941 terdapat
tanda-tanda bahwa perkembangan itu berlangsung terus, baik mengenai jumlah
anggota maupun mengenai jangkauan kegiatan gereja. Dengan demikian jumlah
anggota meningkat dari 23.000 (1931) menjadi 34.000 (1941).[15]
1.3.3. Pergumulan
Kebijakan yang ditetapkan oleh zendeling
menghasilkan konsolidasi ke dalam dan ke luar. Berdilah sejumlah jemaat yang
sudah terbiasa dengan kehidupan Kristen yang diatur oleh “pranata”, peraturan
adat yang disusun untuk setiap desa Kristen. Jumlah orang Kristen meningkat
perlahan-lahan. Atas prakarsa Panitia Jawa, dimulailah perkabaran Injil di
tengah orang Madura di pantai utara Jawa Timur, yang kemudian bersatu dengan
karya NZG di kalangan suku Jawa.
Akan tetapi, mulai tahun 1910 datanglah
perkembangan-perkembangan baru menentang wawasan zending yang lama. Yang
pertama ialah bangkitnya gerakan nasional di kalangan orang Jawa. Pada tahun
1909 di Surabaya didirikan cabang “Boedi Oetomo”. Kejadian ini mendorong pemuda
Kristen Jawa untuk meningkatkan kegiatan organisasi mereka “Rentjono Boedijo”,
yang selama itu bersifat kelompok penelaahan Alkitab. Perhimpunan itu “Mardi
Pratjojo” itu menggiatkan cabang-cabangnya agar bergerak dibidang penelaahan
Alkitab, penyiaran Injil, paduan suara, kematian dana pinjaman, dll. Kelompok
ini bukanlah partai politik kendati lebih banyak menaruh perhatian ada bidang
politik dari pada Mardi. Dijalaninya hubungan dengan CEP (Partai Etis Kristen)
yang merupakan partai orang Kristen Belanda, terutama anggota gereja
Gereformeerd di Hindia Belanda. Tetapi di Jawa Timur, PKC tidak berkembang
seperti Jawa Tengah karena mayoritas ornag Kristen di Jawa Timur tetapi terdiri
dari orang desa, yang tidak banyak berminat akan bidang politik. Zending
Gereformeerd di Jateng lebih sadar akan panggilan kristennya dalam masyarakat
dan lebih banyak berupaya untuk menimbulkan kesadaran orang Kristen Jawa
ketimbang zendeling NZG di Jawa Timur.[16]
1.4. Kekristenan Pada Jepang
a. Pertumbuhan
Pada tanggal 5 April 1942 pemerintah
Jepang mengeluarkan pernyataan yang ditujukan kepada gereja Kristen di Pulau
Jawa yang isinya adalah “Pemerintah bala
tentara Nippon soeka dan menanggoeng dengan soenggoeh-soenggoeh melingoengi
semoea agama sepeti jang soedah diberitahoekan kepada orang banjak. Djadi oenga
Kristen Indonesia di Poelaoe Djawa boleh seperti biasa melakoekan
atoeran-atoeran (oeroesan-oeroesan) agamanja dengan selamat dan sedjahtera
(tidak dapat ganggoean apa-apa). Tetapi dalam prakteknya, Jepang
memata-matai Kristen yang tujuannya hanyalah menyamakan gereja-gereja Indonesia
sama dengan gereja-gereja di Jepang bahkan sedikit lebih rendah. Menghadapi
masa suram seperti ini, gereja-gereja di Jawa mencoba saling memperkuat ikatan
diantara mereka. Pada tanggal 17-19 Juni 1942 diadakan rapat di Yogyakarta yang
dihadiri oleh Majelis Agung Jawi Wetan,
Perepatan Agung Jawa Tengah Utara, Gereja Kristen Jawa Tengah Selatan, dan
Sinode Jawa Barat untuk memilih wakil dalam dialog dengan pemerintah pendudukan
Jepang.[17]
Gerja GKJW Mojowarno merupakan gereja
tertua di Jawa Timur yang di bangun pada 1879, pembangunan gereja ini di
prakarsai seorang pengajar Injil asli pribumi pertama di Mojowarno,
bernama Paulus Tosari. Meski demikian, bangunan ini baru rampung sepenuhnya di
tahun 1881 dan diresmikan langsung Pendeta yang saat itu memimpin gereja itu
yakni pendeta Kruyt.[18]
b. Perkembangan
Pada perang (1942-1945), GKJW mengalami
penderitaan yang hebat, sama seperti Jawa Tengah, diantara teman-teman sebangsa
yang bukan Kristen ada yang membenci agama Kristen sebab dianggap agama
Belanda. Mereka ini menggunakan kesempatan sesudah kekalahan penjajahan di hadapan
Jepang. Tetapi gereja mengalami penderitaan dari pihak orang Jepang yang
menahan sejumlah tokoh pemimpin. Terjadi keretakan di dalam gereja, maka pada
bulan April 1946, diselengarakan pertemuan Pendeta Se-GKJW dengan inti acara
kebaktian umum. GKJW mendirikan dewan permusyawaratan gereja-gereja berbahasa
Jawa (1947), dewan gereja-gereja sedunia (1948), dan DGI (1950). Setelah
mengalami kemacetan selama masa 1940-1951, jumlah anggota bertambah dari 35.000
(1951) menjadi 124.000 (1972). Salah
satu faktor yang ikut menyebabkan pertambahan itu ialah kehadiran gereja di
tengah masyarakat yang sedang dalam pergolakan, sebagai persekutuan yang tidak
ikut dalam kutuk-mengkutuk dan benci-membenci yang pada masa itu terdapat dalam
masyarakat, khususnya di Jawa Timur. Sementara bagi gereja tidaklah mudah
menentukan sikap di tengah berbagai golongan yang berebut kekuasaan dan
terhadap ideologi yang mau dipaksakan kepadanya. Sesudah tahun 1971,
peningkatan jumlah anggota berjalan lebih lambat 153.000 (1997). Pada tahun
1995-1998 GKJW menderita bersama gereja-gereja Kristen lainnya di Jawa karena
serentetan peristiwa yang antara lain ditandai pengerusakan gedung-gedung
gereja.[19]
c. Pergumulan
Adapun yang menjadi pergumulan dari tindakan pemerintah pendudukan Jepang yang mulai
kelihatan menyudutkan Kristen, orang tidak berani lagi mengadakan rapat-rapat
majelis gereja. Ada klasis yang selama pendudukan Jepang tidak mengadakan
rapat. Juga ada sebuah gereja yang menghapuskan kolekte untuk orang miskin oleh
karena takut pada kemungkinan larangan Jepang. Beberapa gedung gereja ditutup
sehingga kebaktian Minggu terpaksa diadakan di rumah-rumah. Di Jepitu-Gunung
Kidul dan di Glonggong Kebumen misalnya, banyak umat yang dibujuk unutk meninggalkan
kekristenan, namun mereka ternyata masih mencintai Tuhannya. Sayangnya tidak
semua warga gereja tegar dalam situasi ancaman yang kian semakin besar, banyak
diantaranya menyembunyikan Alkitab dan bahkan ada yang membakarnya untuk
menghidari tuduhan yang mengancam jiwanya. Akibat lain adalah katekisasi juga
ikut terhenti. Setelah satu tahun berlalu, Jepang mengambil-alih gedung gereja
untuk kepentingan Jepang yaitu gedung gereja Gondokusuman-Yogyakarta dijadikan
gudang senjata dan gedung gereja Wonosari dijadikan asrama prajurit PETA juga penyelenggaraan
ibadah dilarang, kunjungan guru (Injil) ditolak, bahasa Belanda juga tidak lagi
dipergunakan. Teologisch Opleidingschool
Yogyakarta yang semula ingin bertahan, tetapi dengan alasan karena dosen-dosen
yang mengajar itu adalah bangsa Belanda sehingga sekolah teologi ini ditutup
oleh pemerintah pendudukan Jepang. Kehidupan jemaat secara ekonomi adalah lemah
dan semakin lemah sehingga berimbas kepada para gutu Injil dan pendeta yang
mengasuhnya. Ada sekitar 15% guru Injil yang tidak lagi dapat melayani karena
kesulitan ekonomi yang manghimpitnya. Oleh karena kerja keras deputat Sinode
dibantu Ds. Basuki Probowinoto yang berhasil mendapat dukungan dana dari Gereja
Jawa di Jakarta, Gereja Gereformeerd Kalisari Semarang, serta gereja-gereja
Tionghoa dapat memperingan beban kehidupan guru Injil.[20]
1.5. Kekristenan Pada Masa Indonesia Merdeka
a. Pertumbuhan
Kehidupan gereja di masa pendudukan Jepang sangan
mempengaruhi jalannya sejarah Gereja di Indonesia dalam periode berikut ini.
dengan menyerahnya Jepang pada Sekutu pada tanggal 14 Maret 1945 maka dengan
itu berakhirlah penderitaan, penganiayaan dan penjajahan Jepang di Indonesia.
Bersamaan dengan itu usaha dan semangat Indonesia untuk merdeka sudah sampai
pada tahap kematangan yaitu puncaknya pada pembacaan Proklamasi pada tanggal 17
Agustus 1945. Pada waktu itu gereja-gereja sepenuhnya sadar bahwa perjuangan
unutk memperoleh kemerdekaan bangsa itu adalah tugas dan tanggungjawab seluruh
bangsa Indonesia dan orang Kristen sebagai bagian yang tak terpisahkan ikut
pula dalam memperjuangkan kemerdekaan.[21]
b.
Perkembangan
Pada
Kurun waktu sesudah kemerdekaan secara tak diduga-duga
menjadi periode kesempatan besar bagi penginjilan, walaupun dalam bidang
pendidikan dan pekerjaan, Gereja Kristen Jawa Timur hanya sedikit saja yang
menunjukan prakarsa (hal ini dikarenakan bahwa adannya tanggung jawab
Pemerintah dalam bidang pendidikan dan pemuda). Di mana-mana, khususnya
kalangan pemuda, terjadinya serangkaian pertobatan. Hanya sedikit bertobat yang
disebabkan oleh karya penginjilan atau penginjilan yang terorganisasi.
Kebanyakan terjadi lewat mekanisme “kebertetanggaan”. Karya ini berlangsung
selama hari-hari besar Muslim dan Kristen yang di man ajang saling mengunjungi
tetangga. Perayaan keluarga seputar Natal kerap merupakan kesempatan untuk
mengundang para tetangga dan kenalan, seraya memberitahukan kepada mereka akan makna
dari garis besar tersebut. Di kota-kota, dilangsungkan kunjungan ke
penjara-penjara apalagi di Malang, dikunjungi para tahanan perempuan. Demikian
juga mereka mengunjungi yang sakit. Jelas bahwa di dalam situasi yang berubah
ini, pelayanan Kristen, demikian pula kesaksian, tengah mencari bentuk-bentuk
baru.[22]
c.
Pergumulan
Periode antara tahun 1945 dan 1949, tak kala garis
demarkasi antara daerah-daerah di bawah kekuasaan Indonesia dan di bawah
administarasi Belanda, kerap memisahkan kawasan gereja menjadi dua bagian,
masing-masing dihuni oleh tentara-tentara yang saling berperang. Hal itu tidak
kurang sulitnya bagi gereja ketimbang tahun-tahun sebelumnya yaitu kala berada
di bawah tekanan Jepang. Selama tahun-tahun perjuangan kemerdekaan (1945-1949),
kala orang-orang Kristen Jawa memihak kepada sesama bangsanya, sejumlah kecil
sisa-sisa misionaris mencoba menjalin kembali hubungan dengan gereja. Namun
keadaan poilitik jelas tidak lagi memungkinkannya. Sesudah penyerahan
kedaulatan, hubungan baru diantara gereja Jawa pasca perang dan zendeling
Belanda, secara sangat bertahap dijalin kembali.[23]
1.6. Kekristenan Pada Masa Orde Lama
a. Pertumbuhan
Peningkatan urbanisasi, kesadaran
politik dan pembentukan partai-partai politik, menguntungkan bagi cepatnya
perluasan gereja, terlebih khusus sesudah perang dunia pertama, di kota-kota
yang besar atau lebih kecil demikian pula kota-kota kecil di pedalaman,
tumbuhlah jemaat-jemaat kristen kecil, utamanya terdiri dari para pejabat
rendahan, guru, tenaga rumah sakit dan mahasiswa. Sesudah tahun 1950,
presentasi warga jemaat kota gereja kristen di Jawa Timur bertambahlah 20-25 %.
Hal ini menunjukkan gerak ke kota yang lebih intensif berbanding gerak serupa
yang berlaku bagi penduduk umumnya yang pada tahun 1952 hanya mencapai 14%.
Mengikuti urusan klasis-klasis yang tersebut di atas, maka di masing-masing
klasis ada empat, enam, tiga dan empat jemaat kota. [24]
b. Perkembangan
Organisasi perkabaran Injil di kalangan
penduduk kota sangatlah terbatas. Ciri pedesaan Gereja Jawa Timur yang menonjol
ini tercermin dalam organisasi masa kini. Perkabaran Injil lebih ditunjukkan ke
kawasan desa ketimbang ke kota-kota dan pekerjaan ini ebih diitegrasikan ke dalam gereja dari
pada dulu. Yakni dibagian gereja yang tinggal di desa-desa. Pada pihak lain,
departemen PI sinode tengah bekerja secara sistematis guna mengintensifkan
kesaksian misionaris gereja secara keseluruhannnya melalui seluruh
bagian-bagiannya. Pola ketiga peluasan gereja ialah melalui penginjilan yang
berhasil menambah 16 jemaat, terbagi dalam ke empat klasis sebagai berikut
tujuh, empat, empat, dan satu (banyak kelompok kecil dan orang
Kristen/banyaknya jemaat yang belum didewasakan). Kelompok-kelompok ini akan
didewasakan selaku jemaat penuh segera telah merasa sudah cukup bertumbuh
seperti yang berlaku dengan ke enambelas jemaat yang sudah disebukan tadi.[25]
c. Pergumulan
Tahun 1950-an gerakan aliran kepercayaan
mengalami kebangkitan yang cukup signifikan. Fenomena ini muncul bukan hanya di
kalangan priyayi namun juga muncul dikalangan Abangan. Pada tahun 1951
kementrian Agama RI membuat aliran kepercayaan baru. pada tahun tersebut
terdapat 73 kelompok. Tahun 1956, departemen agama di Yogyakarta, Jawa Tengah
mengumumkan bahwa ada 63 sekte agama di
Pulau Jawa dari 63 kelompok tersebut, 35 terdapat di Jawa Tengah, 22 di Jawa
Barat dan 6 di Jawa Timur. Kelompok aliran kepercayaan ini terus mengalami
peningkatan hingga tahun 1965 mencapai jumlah yang tidak kurang dari 300
kelompok.[26]
1.7.Kekristenan Pada Masa Orde Baru
a. Pertumbuhan
Kegagalan
pemberontakan G30S tahun 1965 di mana pemerintah mengeluarkan perintah agar
seluruh rakyat Indonesia di wajibkan untuk memeluk 1 agama resmi, apabila tidak
memeluk satu agama resmi maka dianggap G30S. Dalam konteks Indonesia paska
revolusi G30S 1965 tersebut, GKJ termasuk entitas keagamaan yang sangat
diuntungkan dalam pertambahan jumlah umatnya seklaigus dengan keadaan tersebut
ia harus berumul mengenai kualitas kekristenan warga gerejanya, baik yang sudah
lama atau baru hasil pertobatan masalnya. Konteks sosio-politik paska revolusi
G30S 1965 pemerintah memberikan tantangan baru dalam pergumulan gereja-gereja
di Indoneisa pada umumnya dan GKJ pada khususnya.[27]
b.
Perkembangan
Hubungan kerja sama ekumenisnya
dengan gereja-gereja luar negeri, terutama dari negara-negara Barat, kembali
terbuka setelah sebelumnya mengalami hambatan oleh karena politik isolatip-anti
Barat (oleh Presiden Ir.Soekarno, tahun 1950-an). Bukannya tidak berguna tetapi
justru politik isolatip tersebut secara mental sangat penting terhadap
perkembangan mentalitas kemandirian gereja-gereja. Sebagaimana entitas-entitas
lainnya gereja-gereja Indonesia pada umumnya sangat antusias menyambut
kehadiran pemerintah orde baru dengan sedikit sikap kehati-hatian. GKJ sebagi
entitas sosi-religius gerejawi nasional tentu menghayati dirinya dalam proses
sejarah politik nasioanal tersebut. Mengingat Konfrensi Nasional Gereja dan
masyarakat diselenggarakan oleh PGI di Salatiga yang menjadi “tuan rumah” maka
secara logis dapat diduga intensitas GKJ cukup tinggi dalam mengikuti dan
menyerap pergumulan dan pembaharuan gereja tersebut.[28]
c.
Pergumulan
Munculnya para pendukung PKI mengakibatkan
legistimasi kebenaran dari kelompok Islam (NU & Muhammadiyah), maka
tindakan pembunuhan terhadap para pendukung PKI bukan hanya dilakukan oleh ABRI
tetapi juga oleh kelompok-kelompok Islam dan aktivis muda Ansor. Menurut
beberapa hasil penelitian para pemuda Katolik dan Kristen di beberapa wilayah juga ikut serta
dalam pembantaian terhadap para penganut PKI misalnya: Medan, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur.[29]
1.8.Gereja-Gereja di Jawa Timur
a. GKJ
Gereja Kristen
Jawa didirikan pada tanggal 17 Februari 1931 adalah sebuah ikatan Gereja-gereja
Kristen Jawa yang seluruhnya berjumlah 333 gereja yang terhimpun dalam 32
klasis dan tersebar di 6 provinsi di pulau Jawa.[30] Gereja ini merupakan
hasil kegiatan pekabaran injil beberapa kaum awam dan perhimpunan pekabaran
injil. Pada masa VOC telah didirikan sebuah jemaat di Semarang, yaitu pada
tahun 1753. Jemaat ini hanya melayani orang Kristen VOC dan orang Kristen
Indonesia yang menjadi pegawai atau tentara VOC. Pada masa Hindia Belanda,
jemaaat ini menjadi jemaat Indische Kerk (GPI). Sekalipun demikian pekabaran
injil tetap berlangsung yang dilaksanakan oleh kaum awam. Kegiatan-kegiatan
mereka ini menyebabkan adanya orang Jawa yang menjadi Kristen. Kaum awam yang
dimaksud adalah Mr. A. A. Keuchenius, mantan residen Tegal. Pada tahun 1873
sudah terdapat sekitar 2.000-an orang Kristen Jawa yang tersebar di seluruh
Jawa Tengah.[31]
Pokok-pokok
ajaran GKJ ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya ialah
pokok-pokok ajaran GKJ tahun 1996 ini telah memenuhi kebutuhan masa kini GKJ,
artinya dapat menjawab tantangan konkret dari konteksnya. Pada sisi yang lain
pokok-pokok ajaran GKJ dianggap penyajiannya menggunakan bahasa akademis
sehingga cocok untuk kaum cendikiawan dan sukar dipahami oleh orang-orang yang
berpendidikan sederhana.[32] GKJ secara proaktif
mengupayakan terjadinya hubungan antar gereja-gereja tetangga, terutama
gereja-gereja di Jawa dan kemudian secara lebih luas gereja-gereja di
Indonesia. Sejak sebelum Perang Dunia II tahun 1939 upaya GKJ pada masa
pendudukan Jepang kemungkinan lebih merupakan suatu tindak lanjut dan perluasan
dari gagasan dan upaya sebelumnya.[33]
b. GKJW
Permulaan sejarah Gereja Kristen
Jawi Jawetan ditentukan oleh dua orang yang sangat berlainan coraknya yaitu
Bapa Emde dan Coolen.[34] Gereja ini merupakan
hasil kegiatan pekabaran injil kaum awam dan Perhimpunan Pekabaran Injil
Belanda (NZG). Pada masa VOC, di Surabaya telah terbentuk sebuah jemaat pada
tahun 1785. Jemaat ini terus hidup hingga masa pemerintahan Hindia-Belanda.
Jemaat ini hanya melayani orang Kristen Eropa dan Indonesia yang berasal dari
Indonesia Timur. Dua orang awam ini adalah Johannes Emde dan Coolen. Gereja ini
mendirikan sekolah teologinya sendiri pada tahun 1920 di Kediri. Terdapat dua perhimpunan pekabaran Injil yang berjasa bagi kemunculan GKJW, yaitu NZG dan
Komite Jawa. Pada masa pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan, jemaat-jemaat
GKJW mengalami penderitaan. Pada tahun 1947 GKJW ikut mendirikan Dewan Pemusyawaratan
Gereja-gereja dan menjadi anggota PGI pada tahun 1950.[35]
1.9.Tokoh-tokoh Kekristenan di Jawa Timur
1.
Coen Laurens
Coolen
Coolen adalah seorang perankan Rusia-Belanda dan Jawa
dari ibunya seorang puteri bangsawan Jawa, ia mewarisi kebudayaan Jawa yang
sedikit banyak sudah bercampur dengan islam. Pada tahun 1827 ia membuka kawasan
hutan yang luas di sekitar 60 Km dari Surabaya, yang kemudian berkembang
menjadi desa yang makmur dan ialah sebagai pemimpin di desa itu. Dalam
mempraktekan kekristenannya Coolen tetap menghormati warga desanya yang Muslim
(mengijinkan mereka membangun mesjid).[36] Pada setiap minggu Coolen
menggelar kebaktian di pendopo rumahnya sendiri, mereka menyanyikan nyanyian
rohani dan berdoa dari bagian-bagian Alkitab dengan gaya bertembang. Beliau
dengan tekunnya mengajarkan tentang dosa dan Yesus Kristus sang Juruselamat,
tetapi beliau menolak sakramen baptisan dan perjamuan kudus karena
menganggapnya sebagai tradisi kebarat-baratan.[37] Bahkan Coolen juga
membuka perdebataan sehingga ketika tidak seorang pun mampu mengalahkan
argumentasi Coolen, maka ngelmu bab Gusti
Yesus akhirnya diakui sebagai ngelmu tertinggi
yang patut mereka ikuti. Berkat aktivitas empati Coolen atas orang-orangnya, di
Ngoro lahir suatu jemaat Kristen yang khas, khas jemaat Ngoro. Khas karena
kekristenannya sangat kental dengan kejawaan, tembang,wayang, dan rapal, bahkan dengan yang berbau islam
seperti dzikir dan masjid. Coolen sendiri menyebut kekristenan yang dibentuknya
sebagai “Kristen Jawa” bukan “Kristen Landa”. Kekristenan yang tidak membuang
unsur-unsur jawa dari para pengikutnya. Oleh sebab itu sakramen yang dianggap
unsur Kristen Landa tidak diberikan
kepada pengikutnya supaya jemaatnya tidak meninggalkan cara hidup kejawaannya
sendiri. Prinsipnya sebagai orang Kristen, orang Jawa itu harus tetap Jawa.[38]
2.
Paulus Tosari
Paulus Tosari
adalah seorang Madura. Ibunya mengharapkan agar Tosari menjadi seorang santri.[39] Lalu kemudian Tosari
pergi merantau ke Pulau Jawa tepatnya di Ngoro untuk ngelmu dan berjumpa dengan Coolen dalam sebuah khotbah. Khotbah
Coolen begitu mengesankan Tosari yang diangkat dari Matius 5:3 “Berbahagialah
orang yang miskin di hadapan Allah” sehingga Tosari memutuskan untuk menetap di
Ngoro. Kemudian Tosari pergi ke Surabaya untuk dibabtis oleh Emde. Sehingga
sejak saat itu, Paulus telah memulai perjalanan berkeliling untuk memberitakan
Injil Yesus dengan penuh keberanian. Sehingga Gereja di Mojowarno merupakan
hasil dari kegigihan Paulus Tosari.[40] Tosari menjadi Guru
Jemaat selama beberapa tahun yang berjalan hanya dengan kepemimpinan yang
terdiri dari orang-orang Jawa saja tetapi dalamtata kebaktian dan dalam hal-hal
lain mereka memakai bentuk-bentuk dari Barat.[41]
3.
Johanes Emde
Seorang Jerman yang menikah dengan seorang wanita Jawa,
giat memberitakan Injil
kepada orang Jawa pada tahun 1814. Emde adalah anggota jemaat GPI Surabaya.
Banyak orang Jawa yang bertobat dan dibaptis di GPI Surabaya. Corak Kekristenan
yang dibentuk oleh Emde adalah kekristenan Eropa (Barat).[42] Berbeda dengan Coolen
yang tidka bersedia membuang budaya Jawa dari kekristenan pengikut-pengikutnya,
Johannees Emde justru sebaliknya. Emde dan pengikutnya pantas disebut “Kristen
Landa”. Penginjilan Emde dilakukan dengan meminta anak-anaknya menyebarkan
Injil Markus terjemahan Bruchner. Setelah mendapatkan pengajaran agama Kristen
dari Emde beberapa waktu, pada tanggal 12 Desember 1843 ada beberapa orang
menerima baptisan dari Pdt. A.W. Meijer di Gereja Protestan Surabaya. Karena
dangkalnya pengetahuan Emde tentang kekristenan dan budaya, Emde memutuskan
para pengikutnya ini dari budaya Jawa melalui beberapa larangan dan keharusan.
Mereka patut disebut Kristen Landa
karena perilaku budaya mereka diatur menurut budaya orang Belanda.[43]
II.
Kesimpulan
Yang dapat menjadi
kesimpulan dari pemaparan kami di atas, bahwasanya kekristenan di Jawa itu
sudah mulai sejak tahun 1584/85 datang sejumlah misionaris
ke Blambangan. Mereka sempat membaptis
sejumlah orang, termasuk dari kalangan keluarga raja. Tetapi khusus di Jawa Timur dimulai pada tahun 1860-an.
Perkabaran Injil ini dimulai oleh zendeling pada masa Hindia-Belanda. Peristiwa proses penampungan kekristenan
Jawa di Jawa Timur dimulai sejak tahun 1870-an oleh lembaga-lembaga zendeling. Gereja
GKJW Mojowarno merupakan gereja tertua di Jawa Timur yang di bangun pada 1879,
pembangunan gereja ini di prakarsai seorang pengajar Injil
asli pribumi pertama di Mojowarno, bernama Paulus Tosari. Meski demikian,
bangunan ini baru rampung sepenuhnya di tahun 1881.
Kekristenan di wilayah
Jawa Timur setiap masanya mengalami pertambahan jemaat dan pengikut agamanya.
Meskipun awalnya Jawa Timur dihuni oleh mayoritas Islam, namun para zendeling
berusaha untuk mengkristenkan wilayah tersebut, sehingga wilayah Jawa Timur
tidak hanya dihuni oleh Islam saja. Gerakan mengkristenkan ini juga mendapatkan
tantangan dari luar Kristen sendiri, misalnya terjadinya kekacauan yang
disebabkan oleh Agama Islam untuk melakukan perusakan gereja.
III.
Daftar Pustaka
Akkeren, Philip Zan,
Dewi Sri dan Kristus, Jakarta: BPK-GM, 1995
Aritonang, Jan S, Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2016
Culver, Jonathan E, Sejarah
Gereja Indonesia, Jakarta: Bijisesawi, 2014
End, Th, Van den, Ragi
Cerita 1, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
2016
End, Thomas Van Den,
Harta dalam Bejana, Jakarta: Gunung Mulia, 2014
Hoekema, A.G, Berpikir
dalam Keseimbangan yang Dinamis, Jakarta: BPK-GM, 1997
Kartodirjo, Sartono dkk, Beberapa
Segi Etika dan Etiket Jawa, Yogyakarta: Depertemen Ditjen Kebudayaan, 1987
Komandoko, Gamal,
Ensiklopedia Pelajar dan Umum, Pustaka Widyatama, 2010
Kruger, Th. Muller, Sejarah
Gereja di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966
Soekotjo, S.H, Sejarah
Gereja-Gereja Kristen Gereja Kristen Jawa Jilid 2, Yogyakarta: Taman
Pustaka Kristen, 2010
Sumardi, Y.M, Sejarah
Gereja Kristen Jawa, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2007
Ukur, F. & Cooley, F. L, Jerih dan Juang, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi, 1979
Wellem, F.D, Kamus
Sejarah Gereja, Jakarta: Gunung Mulia, 2011
IV.
Sumber Lain
https://id.m.wikipedia
https://radarjombang.jawapos.com/nasional/15/11/2018/gkjw-mojowarno-gereja-jawa-tertua-di-indonesia
Jurnal Teologi Indonesia, Amos Sukamto,
Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa Orde Lama Awal Orde Baru
[1]
https://perkim.id/pofil-pkp/profil-provinsi/profil-perumahan-dan-kawasan-permukiman-provinsi-jawa-timur,
Diakses Pada Tanggal 14 Maret 2022, Pukul 20:13 WIB.
[2] S.H. Soekotjo, Sejarah
Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen,
2009), 6-7.
[3] Sartono Kartodirjo dkk, Beberapa
Segi Etika dan Etiket Jawa, (Yogyakarta: Depertemen Ditjen Kebudayaan ,
1987), 111
[4] Philip Van Akkeren, Dewi
Sri dan Kristus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 4-5.
[5] Gamal Komandoko, Ensiklopedia
Pelajar dan Umum, (Pustaka: Widyatama, 2010), 155.
[6] S.H. Soekotjo, Sejarah
Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 1, (Jakarta: Taman Pustaka Kristen, 2009),
62-67.
[7] Jan S. Aritonang, Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
2016), 44.
[8] S.H. Soekotjo, Sejarah
Gereja-Gereja Kristen Jawa, (GKJ) Jilid 1, 99.
[9] Th, Van den End, Ragi Cerita 1 (Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2016), 96.
[10] Jan S. Aritonang, Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 44-45.
[11] Th. Van den End, Ragi Cerita 1,
(Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2016), 95.
[12] Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja
di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966), 27.
[13] Th. Van den End, Ragi Cerita: 1860-Sekarang, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2012), 249.
[14] Th. Van den End, Ragi Cerita:
1860-Sekarang, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 249-250.
[15] Th. Van den End, Ragi Carita 2,
(Jakarta:Gunung Mulia 2012), 251-254.
[16] Ibid… 250-251.
[17] S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja
Kristen Jawa Jilid 1, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2009), 433-434.
[18]
https://radarjombang.jawapos.com/nasional/15/11/2018/gkjw-mojowarno-gereja-jawa-tertua-di-indonesia
Diakses Pada Tanggal 14 Maret 2022, Pukul 16:23 WIB.
[19] Th. Van den End, Ragi Carita 2,
254-255.
[20] S.H. Soekotjo, Sejarah Gerja-Gereja
Kristen Jawa Jilid 1, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2009), 435-437.
[21] F. Ukur & F. L. Cooley, Jerih
dan Juang, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi, 1979), 512-513.
[22] Philip Zan Akkeren, Dewi Sri dan
Kristus, (Jakarta: BPK-GM, 1995), 159-160.
[23] Philip Zan Akkeren, 150-151.
[24] Ibid... 157-158.
[25] Ibid…. 159.
[26] Jurnal
Teologi Indonesia, Amos Sukamto, Ketegangan
Antar Kelompok Agama Pada Masa Orde Lama Awal Orde Baru, 31.
[27] Y.M. Sumardi, Sejarah
Gereja Kristen Jawa, 65
[28] Y.M. Sumardi, Sejarah Gereja
Kristen Jawa, 67-74.
[29] Jurnal Teologi Indonesia, Amos Sukamto,
Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa Orde Lama Awal Orde Baru, 33-34.
[30] https://id.m.wikipedia.org
diakses pada tanggal 24 Februari 2020, pukul 12:22 WIB.
[31] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 117-118.
[32] S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Gereja Kristen
Jawa Jilid 2, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2010), 437.
[33] Y.M. Sumardi, Sejarah Gereja
Kristen Jawa, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2007), 22-23.
[34] Thomas Van Den End, Harta dalam
Bejana, (Jakarta: Gunung Mulia, 2014),275
[35] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja,
126-127.
[36] Jan S. Aritonang, Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015),
87.
[37] Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja
Indonesia, (Jakarta: Bijisesawi, 2014), 81-82.
[38] S.H. Soekotjo, Sejarah
Gereja-Gereja Kristen Gereja Kristen Jawa Jilid 1, 100-101.
[39] A.G. Hoekema, Berpikir dalam
Keseimbangan yang Dinamis, (Jakarta: BPK-GM, 1997), 46.
[40] Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja
Indonesia, 84.
[41] Th. van den End, Ragi Carita 1,
203.
[42] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja,
126.
[43] S.H. Soekotjo, Sejarah Gerja- Jawa Jilid 1, 102-103.