wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

Khotbah Jumat Agung 18 April 2025

 

Pendahuluan

Saudara-saudari yang dikasihi dalam Kristus,
Hari ini kita memperingati peristiwa paling kelam tetapi juga paling mulia dalam sejarah manusia: kematian Tuhan kita Yesus Kristus. Di atas kayu salib, Dia tidak hanya menderita secara fisik, tetapi juga mengalami penderitaan rohani yang mendalam—ditinggalkan oleh Bapa demi menanggung dosa kita. Dalam Markus 15:33-34, kita menyaksikan momen paling gelap, secara harfiah dan rohani.

1. Kegelapan Meliputi Seluruh Daerah (ayat 33)
Kegelapan pada jam dua belas siang hingga jam tiga sore bukanlah peristiwa biasa. Di saat matahari seharusnya bersinar terang, justru bumi diliputi kegelapan. Ini bukan hanya fenomena alam, tetapi simbol ilahi:

Kegelapan sebagai lambang murka Allah atas dosa.
Yesus, yang tidak berdosa, menjadi wakil dari seluruh umat manusia yang berdosa (2 Korintus 5:21). Kegelapan itu menyatakan bahwa dosa sedang dihakimi.

Kegelapan sebagai kesaksian bahwa inilah saat yang paling berat dalam karya penyelamatan Allah.
Seluruh ciptaan pun bersedih karena Sang Pencipta sedang tergantung di salib.

2. Seruan Yesus yang Menggetarkan (ayat 34)
Yesus berseru, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”—seruan yang sangat memilukan.
Ini bukan tanda putus asa, melainkan:

Pengungkapan penderitaan rohani yang mendalam.
Yesus tidak hanya mengalami rasa sakit tubuh, tetapi juga keterpisahan dari Bapa karena menanggung seluruh dosa dunia. Dia, yang selalu satu dengan Bapa, kini mengalami keterasingan.

Yesus sepenuhnya merasakan keterpisahan manusia dari Allah akibat dosa.
Seruan ini merupakan kutipan dari Mazmur 22:1, dan menunjukkan bahwa Yesus mengalami sepenuhnya apa yang layak diterima oleh manusia berdosa. Namun di balik seruan ini, ada pengharapan. Mazmur 22 berakhir dengan kemenangan.

Yesus menyerahkan nyawa-Nya, bukan karena dikalahkan oleh kematian, tetapi karena Dia rela mengalaminya demi kita. Dalam Yohanes 10:18, Ia berkata, “Tidak seorang pun mengambil nyawa-Ku daripada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri.”

3. Makna Penyerahan Nyawa-Nya
Ketika Yesus berseru dan akhirnya mati di kayu salib, itu bukan akhir dari kisah-Nya, tetapi puncak dari kasih-Nya.

Yesus menyerahkan nyawa-Nya sebagai kurban pendamaian.
Ini bukan sekadar pengorbanan manusia, tetapi tindakan ilahi yang menghapus dosa dan membuka jalan bagi manusia berdamai dengan Allah.

Yesus menyerahkan nyawa-Nya sebagai teladan kasih yang terbesar.
Dia tidak mati karena dipaksa, tetapi karena cinta-Nya yang agung. Yohanes 15:13 mengatakan, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”

4. Aplikasi bagi Kita Hari Ini
Apa maknanya bagi kita di zaman ini?

Hidup kita bukan milik kita sendiri.
Jika Kristus menyerahkan nyawa-Nya bagi kita, maka kita juga dipanggil untuk menyerahkan hidup kita bagi Dia—bukan hanya dalam kata, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan: kasih, pelayanan, pengampunan, dan pengorbanan.

Tidak ada penderitaan yang tidak dimengerti oleh Kristus.
Ketika kita merasa sendiri, tertolak, atau menderita, ingatlah bahwa Yesus pernah mengalami lebih dari itu. Dia dekat dengan yang hancur hati.

Jangan sia-siakan salib Kristus.
Kita dipanggil untuk hidup dalam pertobatan dan kesetiaan, menghargai darah Kristus yang tercurah. Keselamatan yang mahal ini mengundang kita untuk hidup dalam kebenaran.

Penutup
Saudara-saudari, salib bukanlah simbol kekalahan, melainkan puncak kemenangan kasih Allah. Di atas salib, Yesus menyerahkan nyawa-Nya bukan karena kelemahan, melainkan karena kasih yang tak terukur. Mari kita menyambut pengorbanan ini dengan iman, syukur, dan penyerahan diri yang sejati.










Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Total Pageviews
Times/ Waktu
Waktu di Kota Medan: